Selasa, 12 Oktober 2010

Mengkritisi Hadits

Mendudukan dan Mengkritisi Hadits

Penulisan dan Kedudukan Hadits Nabi

Nabi Muhammad sebagai utusan Allah, bukan saja hanya mampu menyampaikan ajaran Allah, melainkan juga memahami dan menghayati ajaran. Karena itu, sebagai orang yang dibimbing wahyu, beliau mampu menjabarkan dan mengamalkan ajaran dalam kehidupan nyata. Keteladanan Nabi, melalui perilaku ahlak yang mulia, merupakan bentuk dakwah yang paling efektip. Nabi adalah satu satunya orang yang paling kompeten dan menguasai seluruh isi Al Qur’an. Sehingga semua perbuatan beliau, mulai dari berpikir, berhendak, berkata dan berbuat dan melakukan introspeksi merupakan amal perbuatan yang patut diteladani. Itulah yang kemudian disebut sebagai Hadits Nabi, namun kalau itu benar benar merupakan amal perbuatan Nabi.

Nabi Muhammad bersabda :

“Jangalah engkau menuliskan tentang aku kecuali Al Qur’an”

“Janganlah engkau berdusta mengatasnamakan aku, sesungguhnya orang yang berdusta mengatasnamakan aku akan masuk neraka “ ( HR Buchori)

Istilah Arab hadits (jamak, ahadits), secara harfiah berarti cerita, komunikasi, atau percakapan. Hadist merupakan percakapan nabi sebagai seorang manusia biasa, apakah itu masalah keagamaan atau masalah dunia (sekuler), apakah itu riwayat, sejarah atau legenda, apakah itu percakapan yang bersifat tersurat, atau tersirat (simbolik), apakah benar atau palsu, apakah berkaitan dengan masa lampau, atau masa kini.

Kata hadits berkaitan dengan kata “sunnah” atau kebiasaan, yang berkaitan dengan cara bertindak atau menjalankan kehidupan. Fazlur Rahman, menyebut Hadits sebagai “verbal tradition”, sedangkan “sunnah” sebagai “practical tradition” atau “silent tradition”. Hadits atau As-Sunnah, menurut Al-Amidi (w.631 H) mempunyai pengertian; Pertama, tidak wajib (fardhu). Kedua, perkataan (aqwal, qauliyah), perbuatan (af’al, fi’liyah) dan pengakuan atau pembenaran (taqrir) Nabi Muhammad. Peran As-Sunnah ada dua: Pertama, sebagai sumber hukum Syari’ah. Kedua, kedudukan dan fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an.

Sehingga dengan demikian adanya Hadist (nabi), yang merupakan pemikiran, perkataan dan perbuatan serta taqrir (peneguhan dan persetujuan) nabi, sudah pasti diperlukan. Karena suatu itu penjabaran ajaran Al-Qur’an dalam praktek kehidupan sehari-hari sangat diperlukan. Masalahnya adalah bagaimana Hadits yang ada pada masa kini itu dituliskan.

Bagaimana dengan kedudukan hadist tertulis yang ada pada saat ini? Penulis menilai bahwa ajaran Allah yang paling otentik dan orisinil adalah Al-Qur’an. Formulasi dan isi Al-Qur’an tidak diintervensi oleh tangan-tangan, nafsu dan pikiran manusia, bahkan tidak juga oleh Nabi Muhammad. Sedangkan hadist tertulis yang kini ada, sekalipun telah dilakukan seleksi oleh para perawi, dimulai dari sahabat Nabi, ada kemungkinan disusupi pikiran dan karya manusia. Apalagi penulisan dan penyeleksian Hadits baru dilakukan lebih dari 200-300 tahun setelah nabi wafat, melalui proses sambung menyambung penuturan dari sekitar 5-7 generasi. Hadist yang kini ada, disusun berdasarkan penuturan orang secara turun temurun ( perawi), mulai dari para sahabat, yang diteruskan secara sambung menyambung yang kemudian dikumpulkan oleh para penulis Hadits.

Penuturan yang terjadi pada waktu yang tenggang waktunya sama diantara 5-7 orang saja dapat terjadi bias, apalagi sampai tenggang waktu 200-300 tahun. Alasan bahwa bangsa Arab adalah penghafal yang baik, tetap tidak menggugurkan kelemahan manusiawi. Meskipun Nabi Muhammad, telah mengingatkan umatnya melalui Hadits seperti telah disebutkan diatas, namun kebutuhan umat akan Hadits Nabi sangat besar. Karena kebanyakan umat memandang ajaran Al Qur’an tidak cukup jelas dan lengkap, terutama dalam menjawab permasalahan kehidupan nyata. Kehadiran akan Hadits menjadi penting, sekalipun Nabi telah mengingatkan. Mungkin karena pada waktu itu, Al Qur’an belum selesai diturunkan dan dituliskan. Sehingga umat perlu fokus pada Al Qur’an.

Setelah Al Qur’an selesai dituliskan, maka wajar bila para ulama yang kemudian, banyak yang mendukung penulisan dan penggunaan Hadits, karena Al Qur’an saja dianggap tidak cukup. Contohnya mengenai perintah pelaksanaan shalat yang ada di Al Qur’an, tidak diikuti dengan rinciannya, mulai dari jumlah shalat yang dilakukan perhari, tata caranya, jumlah rakaatnya, bacaannya dsb. Hal ini hanya bisa diketahui dari penjelasan dan contoh yang dilakukan Nabi Muhammad. Itulah yang kemudian disebut sebagai Hadits. Banyak hal yang tidak dijelaskan dan dirinci dalam Al Qur’an, namun diperlukan rincian dan penjabarannya. Tanpa Hadits, maka umat tidak dapat melaksanakan perintah Allah dengan cara yang sama, pemahaman yang sama dsb, seperti yang kini dilakukan umat. Pendek kata keberadaan Hadits Nabi diperlukan umat.

Masalahnya adalah, Hadits yang mana dan Hadits seperti apa ?

Sepanjang hadits itu benar benar Hadits yang benar benar merupakan amal perbuatan Nabi, yakni merupakan pembenaran ( taqrir), perkataan dan perbuatan Nabi, maka tidak ada masalah, wajib diikuti umat. Artinya kalau Hadits itu otentik Hadits Nabi. Namun bagaimana caranya mennetukan bahwa agar hadits yang dituliskan dan disusun itu benar benar Hadits Nabi. Itulah masalahnya. Dan apakah kita umat disaat ini, memungkinkan menilai kembali Hadits yang telah dituliskan oleh para perawi Hadist? Apa keperluannya dan apa kemampuannya !

Sekalipun dari periwayatan penulisan kita dapat melakukan praduga adanya kemungkinan Hadits yang ada itu bermasalah. Kita tentu tidak bisa men-generalisir bahwa semua Hadits bermasalah. Ada hadist yang bermasalah dan ada Hadits yang tidak bermasalah artinya Hadits itu otentik sebagai Hadits Nabi Muhammad.

Para penulis dan penyusun Hadits, seperti Imam Buchori, Imam Muslim, Al Muwatta ( Malik Ibn Anas) , Tarmidzi, Abu Dawud, Mujtaba an Nasai, Ibn Madjah , Musnad Ibn Sayban, At Tayalist, Musnad Abd ibn Hamid, Musanaf Abd ar Rasaaq, Al Baihaqi at Tabrani, At Tahawi dsb . Mereka telah mengumpulkan , kemudian melakukan seleksi melalui berbagai metoda, pengelompokkan jenis dan kualifikasi. Dari sekitar 600.000 hadits yang dikumpulkan, akhirnya jumlahnya hanya menjadi sekitar 4000-6000 Hadits.

Suatu upaya istimewa yang patut dihargai, sehingga kini umat Islam memiliki referensi yang manfaatnya luar biasa. Kita umat Islam patut berterima kasih kepada mereka yang telah mengorbankan segenap daya hingga tersusun dan tertulisnya Hadits.

Meskipun tak tertutup kemungkinan adanya Hadits palsu. Hadits palsu dapat terjadi karena pertimbangan dari yang sederhana, karena telah dimasuki pikiran yang baik, hingga pada adanya kepentingan politik atau golongan hingga kepentingan pribadi. Yang berkembang pada masa kurun waktu sekitar 300 tahun, setelah Nabi wafat.

Semua bisa terjadi, baik untuk maksud yang baik maupun maksud jahat, baik karena lupa atau karena pertimbangan lainnya. Sekalipun diseleksi, maka banyak bukti historis yang bisa hilang sengaja atau diada-adakan. Meskipun kualitas para periwayat Hadits itu dilakukan penilaian rekam jejaknya masing masing, mulai dari kecerdasan, kejujuran daya ingatnya , penguasaan ilmu agamanya dsb.

Kalau berkaitan dengan turunnya ayat saja yang pasti juga diingat umat masa itu, sering ada perbedaan pendapat maka apalagi mengingat Hadits Nabi hingga ingatan kata perkata atau merangkai dalam kalimat kalimat panjang.

Belum lagi, bahwa apa yang dibenarkan, diucapkan dan dilakukan Nabi Muhammad disamping yang kasad indera ( terlihat, terdengar, tercium, teraba dan terasa), ada yang tidak kasad indera, karena harus memahami makna baik lahir maupun spirituil. Nabi sebagai utusan Allah, mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap lawan bicaranya, agar isi pembicaraan dan perbuatannya, dapat langsung dimengerti. Untuk bisa langsung dimengerti, maka kalau Nabi berbicara dengan khalayak, akan berbeda kalau berbicara dengan lima orang atau empat orang atau tiga orang atau dua orang, apalagi hanya satu orang.

Semakin sedikit yang orang melihat dan mendengar, maka sifat penguraian pasti berbeda, karena Nabi pasti menggunakan metoda didaktik dan sistem komunikasi yang tepat bagi rerata audiensnya. Apalagi bila komunikasinya dilakukan melalui kedalaman batin (yang langsung menyentuh hati), semakin sedikit orang yang dihadapi, semakin dalam unsur batiniyahnya. Kalau yang memberitakan itu bukan orang yang menjadi sasaran komunikasi, maka akan berbeda dengan kalau orang tersebut menjadi sasaran komunikasi.

Dan menyampaikan Hadits yang benar benar hadits, yang dilakukan secara jujur dan sungguh sungguhpun menjadi tidak mudah. Apalagi kemudian ada rekayasa, baik secara positip ( belebihan) atau negatif ( tidak sesuai fakta). Hadits yang disampaikan oleh para pemuja bisa berbeda dengan mereka yang netral atau ada orang yang mempunyai unsur ketidak sukaan yang tersembunyi. Untuk melakukan seleksi dengan menilai rekam jejak para perawi, sangat berat karena ada unsur yang tidak kasad indera (ghaib atau abstrak). Karena Nabipun dikatakan Allah tidak mengetahui hal yang ghaib ( kasad indera), kecuali mendapat petunjuk Allah.

Kalau Hadits itu benar benar Hadits ( orisinal dan autentik) , maka pasti mengandung kebenaran, yang dapat dimanfaatkan sebagai penjelasan dan penjabaran ajaran Al Qur’an. Hadist yang benar benar merupakan pemikiran, perkataan dan perbuatan serta taqrir nabi sudah pasti merupakan bagian ajaran Islam, dalam rangka memahami ajaran yang terdapat dalam Al -Qur’an dengan labih baik dan benar. Karena itu masalahnya terletak pada bagaimana proses penulisannya. Masalahnya adalah terletak pada akurasi hadist yang disusun dan dituliskan pada masa sekitar 200-300 tahun setelah nabi wafat. Para penyusun hadist, antara lain adalah Imam Buchori, Muslim, Tarmidzi, Abu Dawud, Ibn Madjah dsb., telah berupaya secara maksimal pada masa itu untuk melakukan seleksi. Dari sekitar 600.000 hadits yang berhasil dikumpulkan , diklasifikasi dan diseleksi dengan menggunakan metoda tertentu. Yang akhirnya terkumpul menjadi sekitar 4000-6000 Hadits.

Meskipun para perawi telah melakukan seleksi dengan tajam dan mendalam, namun hal itu tidak menutup kemungkinan adanya kesalahan atau kelemahan ( tidak autentik atau orisinal). Adapun jenis Hadist , berdasarkan tingkat akurasi, sumber kualitas dan bentuknya yang telah diseleksi para penyusun Hadits, dapat disampaikan sebagai berikut:

Jenis Hadis

Tingkat Akurasi

Sumber Kualitas

Bentuk

Mutawatir

Shahih

1) Adl (ucapannya terpercaya),

2) Tammud (menjaga dan merawat Hadis)

3) Mutasilus (riwayat sambung menyambung dari Mukharrij s/d Nabi),

4) Ghairu mu’allal ( tidak ada cacat dalam Hadis),

5) Syazz ( tidak bertentangan dg Hadis yang lebih kuat atau Al Qur’an

1) Al Musannaf ( campuran dg fatwa sahabat/ tabiin, belum menggunakan tehnik isnad)

2) Al Musnad, (pemilahan Hadis dan fatwa)

3) Al Mujam ( kitab Hadis yang menyebutkan para guru dan penyusun)

4) Al Mustadrak ( Hadis diluar kitab Hadis lain)

5) Al Mustakharaj ( Hadis yang jalur sanadnya berbeda)

6) Az Juz ( Hadis yang memuat hadis teretntu)

7) Al Atraf (himpunan Hadis yang hanya disebutkan pangkalnya saja)

Ahad

Masyhur

‘Aziz

Gharib

Shahih

Hasan

Da’if

Dan banyak lagi metoda, sistem seleksi dan klasifikasi yang telah dilakukan. Suatu upaya yang patut dipuji, tanpa upaya para penyusun Hadits, kita akan semakin kehilangan berbagai cacatan sejarah yang terkait dengan ajaran dan pengajaran Islam. Menurut penulis, sesungguhnya hadits hanya ada dua, yaitu benar dan autentik atau orisinil atau hadits palsu.

Tidak diragukan bahwa metodologi penyusunan hadist merupakan prestasi besar para ulama Islam di masa lalu, sehingga menjadikan Islam sebagai ajaran yang terpercaya di antara agama-agama di dunia. Kita umat kemudian, patut berterima kasih kepada Imam Buchori, Imam Muslim, Tarmidzi, Ibn Majjah, dll yang telah berupaya keras merumuskan hadits. Karena mereka, kita mempunyai referensi yang berharga. Namun kita juga tetap harus berhati-hati dalam menggunakan hadits yang ada, sekalipun hadits itu sudah dinilai shahih dan mutawatir. Karena kita ingin agar ajaran Islam menjadi ajaran yang universal dan diakui seluruh umat manusia.

Meskipun seringkali dinyatakan bahwa bangsa Arab adalah penghafal yang ulung, namun sebagai manusia biasa, seluruh rangkaian penuturan Hadits, mulai dari para sahabat , sambung menyambung hingga 5-7 penutur, tidak mungkin dapat dijamin tidak adanya pembiasan ingatan dan pemahaman.

Karena hanya Nabi saja yang mampu mengingat; kata perkata, ayat per ayat ajaran Al Qur’an ( itupun dalam jangka waktu puluhan tahun). Sedangkan para perawi adalah manusia biasa yang dhaif, yang pasti bisa berbuat salah. Bisa saja perawi itu khilaf, bisa saja perawi itu mempunyai maksud tertentu, baik untuk kebaikan bersama maupun untuk kebaikan diri maupun kelompoknya. Baik yang dilakukan secara tidak sadar ( dengan niat baik ) maupun secara sadar karena ada unsur nafsu didalamnya.

Meskipun Nabi Muhammad telah mengingatkan:

Nabi Muhammad bersabda : “Janganlah engkau berdusta mengatasnamakan aku, sesungguhnya orang yang berdusta mengatasnamakan aku akan masuk neraka “ ( HR Buchori)

Namun tetap saja pasti ada umat yang tidak memahami konsekuensi peringatan Nabi diatas, karena bisa jadi apa yang mereka lakukan adalah untuk memberikan citra yang baik dan unggul dari Nabi Muhammad , melebihi Nabi lainnya. Namun cara itu sesungguhnya keliru, bukan saja melanggar peringatan Nabi melainkan juga merusak ajaran dalam Al Qur’an, yang memberikan citra “kemanusiaan yang biasa “ kepada Nabi Muhammad. Tanpa harus emnunjukkan mujizat Allah secara demonstratif, Nabi Muhammad berhasil melakukan tugas dan misi Allah.

Pro dan Kontra Hadits

Berkaitan dengan hadits nabi, memang sejak lama ada pro dan kontra, meskipun sebagian besar umat Islam atau para ulama membela hadits. Masing-masing pihak mempunyai argumen tersendiri dengan mendasarkan diri pada Al-Qur’an, dan masing-masing pihak merasa pendapatnya paling benar, bahkan ada pihak yang mengkafirkan dan menuduh pihak lain sebagai sesat, atau menilai sebagai musuh Islam. Memang kita harus mewaspadai setiap pandangan yang kita nilai menyimpang, namun hendaknya kita jangan selalu berburuk sangka. Karena siapa tahu bahwa kritik atau perbedaan pandangan itu mengandung kebenaran, meskipun hanya sedikit. Dan mutu kita terletak bagaimana kita menanggapi kritik atau pandangan berbeda demi upaya perbaikan, karena kita pun bukan manusia sempurna. Terlepas dari siapa yang benar dan yang salah, maka adanya pro dan kontra tersebut sebaiknya merupakan pelajaran yang dapat memberikan manfaat bagi kita, sebagaimana sebuah hadits menyatakan: “Perbedaan di antara kamu adalah hikmah”.

Apalagi kalau mereka yang saling berselisih pandangan antara para ulama sesama muslim. Meskipun terhadap perbedaan ini kita tetap saja perlu berprasangka baik. Karena melalui sikap dan cara berpikir yang baik, pasti kita akan dapat menarik pemahaman sesuatu yang berharga.

Mereka yang menolak hadits di masa lalu antara lain golongan Khawarij (kecuali aliran Ibadhiyah), Mu’tazillah (menolak hadits tertentu), dan Syi’ah (hanya menerima hadist yang dirawikan para ahlul bait). Sedangkan dari kalangan ulama masa kini antara lain Mohamad Abduh (menolak sebagian), Rasyid Ridha (menolak sebagian), Rashad Khalifa (menolak seluruhnya), Mohammad Taufik Shidqi (menolak seluruhnya), Abdul Hamid Mutawalli (menolak sebagian), Achmad Amin, Muhammad Husaiyn Haykal dan Thaba Husayn, Mahmud Abu Rayyah, Abdul Kadir, dll. Mereka dinilai telah mendukung kaum Orientalis Barat. Mereka dimasukkan kedalam kelompok kaum “ingkar Sunnah”. Bahkan ajaran Rashad Khalifa dinyatakan sesat oleh Mufti Besar Arab Saudi, sebagaimana juga telah ditetapkan untuk faham Achmadiyah. Padahal tidak seorangpun berhak menyatakan sesat, selain Allah. Mereka yang dapat menuduh orang lain sesat , pasti telah mengklaim dirinya telah mencapai kebenaran seperti nabi dan rasul Allah. Tanpa disadari mereka dapat berlaku syirik, karena menilai dirinya telah mencapai kebenaran yang sama dengan Allah.

Para orientalis Barat yang dinilai mendestruksi hadits, antara lain William Muir, Anderson, Ignaz Goldziher, Dabid Samuel Margoliouth, Henri Lammens, Leone Caetani, Josef Horovitz, Louis Hoyack, AJ Barberry, A Geom, HR Gibb, SM Zweimer, G Von Grunbraun, PK Hitti, RA Nicholson, dan J Schacht. Mereka mempersoalkan keabsyahan hadits, mulai dari masalah isnad, kualitas, akurasi, pemalsuan, masalah pembuktian kebenaran hadits. Karena mereka tidak setuju dengan Hadits , mereka dinilai sebagai musuh Islam. Namun kita dapat kehilangan masukkan kalau ada sisi kebenarannya.

Mereka yang pro-hadist, tidak sepenuhnya menerima keseluruhan hadits ( meskipun terhadap Hadits yang telah dinilai shahih). Sebaliknya, sebagian dari mereka yang menolak hadits juga tidak berarti menolak keseluruhan hadits. Sejarah membuktikan bahwa sebagian besar ulama dan umat Islam menyetujui hadits sebagai pedoman umat setelah Al -Qur’an. Karenanya syari’ah dan hukum fiqh yang ditetapkan lebih banyak didominasi oleh hadits, di samping hasil ijma dan qiyas yang berpedoman pada Al Qur’an dan atau Hadits.

Adanya pro dan kontra tentang hadist, bermula dari ayat-ayat Al-Qur’an. Ayat-ayat Al-Qur’an yang dinilai mendukung adanya hadits nabi adalah sebagai berikut :

“Ucapan nabi bukan dari hawa nafsunya, namun hanya wahyu yang diwahyukan”

(An-Najm, ayat 3-4).

“Nabi perlu menerangkan umat manusia apa yang telah diturunkan dan supaya dipikirkan”

(An-Naahl, ayat 44).

“Menjelaskan apa yang mereka selisihkan“

(An-Nahl, ayat 64).

“Tugas Nabi membersihkan mereka dan mengajarkan kitab dan al hikmah” (Al-Jum’ah, ayat 2).

“Jika berlainan pendapat kembalikanlah kepada Allah dan Rasul” (

An-Nisaa’, ayat 59).

“Apa yang diberikan Rasul kepada umat, terimalah dan apa yang dilarangNya bagimu maka tinggalkanlah” (Al-Hasyr, ayat 7).

“Barang siapa mentaati Rasul sesungguhnya mentaati Allah” (An-Nisaa’, ayat 8).

Sedangkan ayat-ayat Al-Qur’an yang dipandang tidak mendukung hadits nabi adalah sebagai berikut.

“Misi utama Nabi Muhammad adalah untuk menyampaikan seluruh isi Al-Qur’an saja” (Ali Imran, ayat 20; Al-Maidah, ayat 48-50, 92-99; Al -na’am, ayat:19; Ar- Ra’ad, ayat 40; An-Nahl, ayat 35,82; Al-Mu’minuun, ayat 54; Asy–Syuura, ayat 48; At-Taghaabun. Ayat 12).

“Menyampaikan wahyu Al-Qur’an, merupakan misi dan tugas Nabi yang sangat mulia, yang merupakan misi khusus beliau, namun beliau dilarang oleh Allah untuk menyampaikan ajaran diluar Al-Qur’an” (Al-Haqqah, ayat 38-47).

“Ada pula isi Al-Qur’an yang menekankan bahwa Allah yang akan menjelaskan isi Al-Qur’an” (Al-Qiyamah, ayat 15-19).

“Allah sajalah yang mengajarkan Al -Qur’an” (Ar-Rahman, ayat 1-2).

Al- Quran adalah hadist terbaik (Az-Zumar, ayat 23; Al-Jaasiyah, ayat 6).

Menurut Hadits shahih Muslim, Nabi berkata; “Jangan menulis sembarang dariku kecuali Quran”. Artinya Nabi melarang penulisan Hadits secara permanen, atau baru membenarkan penulisan Hadits setelah ayat ayat Al Qur’an selesai diturunkan. Al-Qur’an bahkan telah meramalkan akan kepalsuan Hadist dan Sunnah yang datangnya dari musuh-musuh nabi. Hal ini tentunya menjadi bertentangan dengan keberadaan Hadist :

“ Kutinggalkan dua perkara, yaitu Al Qur’an dan Hadits , kalau kamu pegang teguh maka nicaya kamu tidak akan tersesat’

(HR Buchori dan HR Muslim).

Telah ku tinggalkan pada kamu dua perkara, kamu sekali-kali tidak akan sesat selama kamu berpegang kepada kedua-duanya, iaitu: Kitabullah dan Sunnah RasulNya

( HR Imam Malik)

Lain pula pernyataan Umar waktu Nabi ingin menuliskan wasiat, pada waktu itu Nabi sedang sakit ( dan akan meninggal). Umar menyatakan buat apa wasiat, bukankah Al Qur’an sudah cukup? Memang kemudian terjadi kegaduhan diantara para sahabat, antara yang prodan kontra mengenai perlunay wasiat Nabi. Kalau saja wasiat itu sempat ditulis, maka itu baru Hadits yang orisinal karena tertulis, meskipun isinya dapat tetap multi interpretatif.

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh (berupa) setan setan (dari) manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah-indah sebagai tipuan. Dan kalau Tuhanmu menghendaki tentulah mereka tidak akan memperbuatnya, sebab itu tinggalah mereka bersama apa apa yang mereka ada adakan. Dan supaya hati orang orang yang beriman kepada akhirat itu tertarik dan senang kepadanya, supaya mereka kerjakan apa yang mereka (setan) kerjakan. Maka patutlah aku mencari hakim selain Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan Kitab kepada kamu secara terperinci? Dan orang orang yang telah Kami beri Kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Qur’an sebenarnya diturunkan dari Tuhanmu, sebab itu janganlah engkau termasuk orang yang ragu. Dan telah sempurnalah kalimat Tuhan engkau (Al-Qur’an) dengan benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah kalimat kalimatNya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

(Al-An’aam, ayat 112-115).

Dari uraian di atas kiranya cukup jelas bahwa Al-Qur’an adalah ajaran yang telah lengkap dan rinci, sebagai ajaran essensial kehidupan. Karena itu hadist yang merupakan ajaran yang essensial dapat dinilai sebagai suatu yang berlebihan dan tidak dikehendaki, bahkan oleh nabi sendiri. Masalahnya adalah apakah Al-Qur’an dinilai sebagai ajaran tentang seluruh dan atau bermacam masalah kehidupan yang ada itu dinilai telah cukup? Kalau Al Qur’an dinilai cukup, apa tugas Rasul ? Nabi Muhammad tugasnya adalah untuk menyampaikan ajaran Al Qur’an, disamping sebagai Nabi pasti mempunyai kemampuan untuk menjelaskan dan menjabarkan atau memberikan keteladanan dalam menjalankan ajaran Al Qur’an dalam kehidupan nyata. Dalam hubungan dengan pelaksanaan kehidupan nyata adalah dengan memberikan contoh. Meskipun dimasa itu masalah kehidupan pada waktu itu relatif masih sederhana, namun secara explisit Al Qur’am tidak untuk menjawab dan menjelaskan setiap permasalahan kehidupan yang ada. Namun Al Qur’an cukup lengkap dan rinci dalam memberikan arahan prinsip. Karena itu kebutuhan Nabi untuk menjelaskan dan menjabarkan ajaran tetap diperlukan.

Nabi Muhammad Nabi Yang Sederhana dan Manusiawi

Menyambung , uraian bahwa Allah dalam Al Qur’an telah mendudukan Nabi Muhammad adalah manusia sederhana dan sangat manusiawi. Artinya, Nabi juga pernah digambarkan dapat berbuat kesalahan, meskipun hanya kesalahan tehnis. Artinya terhadap Nabi Muhammad, Allah ingin melakukan pendekatan ke nabian yang berbeda. Allah sengaja tidak memberikan berbagai mujizat sebagaimana Allah berikan kepada para Nabi sebelumnya, terutama Nabi Musa dan Nabi Isa. Nabi Muhammad justru harus berjuang dengan upaya nyata, bahkan dalam pepernaganpun pernah menderita kekalahan. Itu semua dilakukan Allah, agar tidak terjadi kultus yang bisa menduakan Allah. Kalau Allah mengingatkan agar tidak menjadikan utusan Allah sebagai anak Allah, maka hendaknya tidak diulang umat Islam dalam memperlakukan Nabinya. Mujizat yang diberikan Allah kepada para Nabi adalah untuk memudahkan para Nabi meyakinkan umatnya. Kalau dengan cara kesederhanaan, Nabi Muhammad telah berhasil menjalankan tugas dakwahnya, mengapa harus diberikan mujizat?

Al-Qur’an menekankan sifat kemanusiaan Nabi Muhammad. Beliau digambarkan sebagai manusia biasa, bahkan dikisahkan dapat berbuat kesalahan seperti manusia lain pada umumnya. Meskipun penulis yakin bahwa Nabi juga diberi anugerah kemampuan yang sama dengan para Nabi lainnya, mampu melihat kedalaman dan memahami yang ghaib bahkan diberikan kemampuan untuk membuat mujzat ( dengan perkenan Allah). Namun kenabian-nya justru sengaja ditampilkan Allah dari segi kemanusiaan yang biasa, sebagai manusia sederhana agar dengan demikian tidak dikultus-individukan. Atau disucikan meskipun beliau memang suci. Yang jelas Nabi Muhammad adalah seorang manusia yang berahlak mulia. Melalui keteladanan ahlak dan ibadahnya, beliau memberikan keteladan bagi umatnya. Maka kalau ada hadits yang seolah dirinya ingin ditonjolkan atau dipuja puji apalagi ingin didoakan, patut dipertanyakan. Bukankah tanpa melakukan demonstrasi mujizat, Nabi Muhammad telah sangat berhasil dengan dakwahnya? Bukankah mujizat hanya alat untuk memudahkan dakwah?

Dan aku tidak mengatakan kepadamu bahwa : “Aku mempunyai gudang rezki dan kekayaan Allah, dan aku tidak pula mengetahui yang ghaib dan tidak pula aku menyatakan; “Aku dapat menjadi malaikat” dan tidak pula aku mengatakan kepada orang orang yang dipandang hina oleh penglihatanmu; ”Sekali-kali Allah tidak akan mendatangkan kebaikan kepada mereka“: Allah lebih mengetahui dengan baik apa yang didalam jiwa (soul) mereka; sesungguhnya aku, kalau begitu benar benar termasuk orang yang zalim (31). Sebab itu janganlah kamu memohon kepadaKu sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekatnya), Sesungguhnya Aku peringatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang orang yang tidak berpengetahuan (46)

(Hud, ayat 31,46).

Nabi Muhammad telah diyakini untuk tidak diperkenankan oleh umat untuk digambar atau dilukis adalah agar tidak terjadi kultus. Mengapa dengan cara lain kita mengkultuskan Nabi Muhammad? Umat bisa marah besar kepada mereka yang menggambarkan Nabi Muhammad. Namun melalui berbagai hadits (palsu) yang ada , tanpa disadari kita telah melakukan pengagungan yang berlebihan yang bertentangan dengan Al Qur’an? Yang kalau Nabi Muhammad itu kembali hidup didunia, pasti akan menolaknya.

Melalui penggambaran Allah terhadap Nabi Muhammad, sebagai umat biasa , maka umat manusia akan menemukan figur yang dapat dicontoh dan 100% dimungkinkan dapat dicapai. Yaitu menjadi khalifah ( wakil) Allah didunia, dengan memiliki sifat sifat dan perilaku Nabi Muhammad, yang mampu bersifat seperti sifat Allah.

Hadits sebagai Sumber Pemahaman Kedua Ajaran Islam

Penggunaan hadist sebagai sumber referensi kedua sudah melekat dan menjadi tradisi yang turun-temurun dan telah mengakar di kalangan kebanyakan umat Islam dengan sangat kuat sejak 1000 tahun lebih. Menolak hadist meskipun hanya terhadap hadits yang telah ditetapkan sebagai dh’aif, dan telah dibuktikan atau dinilai berlebihan, tetap saja akan dinilai melawan arus. Apalagi memberikan kritik terhadap hadits yang dinilai shahih.

Umat yang menyetujui untuk mendudukan hadist sebagai ajaran kedua setelah Al-Qur’an, atas dasar firman Allah sebagai berikut.

Apa saja yang didatangkan Rasul hendaknya egnkau mengambilnya, dan apa yang dilarangnya hendaklah engkau meninggalkannya”

(Al-Hasyr, ayat 7).

“Kami menurunkan Al-Qur’an kepada engkau agar engkau menjelaskannya kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka”

(Al Nahl, ayat 44).

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauannya hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan” (An Najm, ayat 3-4).

Ayat-ayat di atas dapat pula ditafsirkan bahwa yang disampaikan nabi hanyalah sebatas wahyu Allah. Peran nabi adalah menjelaskan dan menjabarkan ajaran Allah yang disampaikan kepadanya, sementara wahyu yang diterimanya memang ada yang bersifat kontroversi. Maka nabi harus menjelaskan. Namun Islam mengajarkan agar manusia berhubungan dengan Allah tidak melalui perantaraan siapapun. Atau yang disebut sebagai “kepada Chalik tanpa perantaraan mahluq”. Karena itulah kesaksian dengan mengucap kalimat syahadah, merupakan pengakuan akan peran Nabi Muhammad sebagai Rasullulah, tidak lebih dari itu. Al-Qur’an mengingatkan umat agar tidak men-Tuhan-kan nabi. Bahkan Al-Qur’an mengingatkan agar manusia tidak melebih-lebihkan rasul, sehingga melupakan Allah sendiri. Adanya pemahaman bahwa syafa’at dari Nabi Muhammad (tawasul misalnya), dengan menjadikan Nabi Muhammad sebagai perantara setelah meninggal, adalah berlebihan. Karena terhadap paman Nabi, Abu Talib , yang telah membantu nabi pada tahap awal masa dakwahnya, Nabi Muhammad sendiri tidak bisa mengubah keimanan agar bersedia masuk Islam (merubah “kekafirannya”). Sehingga turun ayat yang khusus untuk mengingatkan Nabi.

Banyak hadis yang telah dijadikan dasar ketentuan hukum Syari’ah dan hukum Fiqh, atau bagi pemahaman islam sehingga membetuk aliran, sekte atau mashab. Dengan memperhatikan bahwa banyak Hadits yang palsu, karena itu kita perlu melakukan seleksi kembali Hadits yang kin ada. Dan hendaknya Hadits yang kita gunakan sebagai dasar pemahaman dan keyakinan ajaran Islam, tidak menjadikan ajaran Islam itu ajaran yang rumit dan berlebihan. Dalam memilah mana yang dinilai berlebihan, atau menjadikan ajaran Islam itu rumit, sebaiknya kita kembalikan pada hati nurani masing-masing. Meskipun demikian berbagai pemikiran yang ada mengenai Hadits tetap kita jadikan masukkan dan atau referensi. Memang bisa saja kita tetap keliru, namun minimal kita berupaya menjadi lebih baik, serta melakukannya dengan suatu kesadaran, apapun tingkat kesadarannya. Allah pasti akan mengampuni kalau kita keliru, dan melalui ketekunan dan kesungguhan upaya kita, maka Allah pasti meluruskan jalan kita. Apa yang kita lakukan adalah bagian dari proses kita menuju kebaikan dan kebenaran ajaran Allah.

Yang terpenting perbedaan pemahaman jangan dijadikan permusuhan, apalagi saling mengkafirkan. Perbedaan pendapat hendaknya digunakan sebagai masukan, bukan pertentangan. Kritik atau perbedaan pandangan bisa mengandung kebenaran yang lebih tinggi, meskipun hanya sedikit atau sebagian saja yang benar. Tidak seorangpun berhak menetapkan suatu kebenaran, kecuali Allah dan Rasul. Kualitas pemahaman kita, sebagai umat yang memegang teguh kebenaran, terletak bagaimana kita menanggapi kritik atau perbedaan pendapat dengan baik dan bijaksana.

Apakah seluruh perbuatan nabi wajib diikuti umat? Para ahli ushul fiqh, membagi sunnah fi’liyah menjadi:

1. Perbuatan yang muncul dari Rasullulah sebagai manusia biasa, seperti; makan, minum, duduk berpakaian, tidak wajib diikuti.

2. Perbuatan yang khusus hanya untuk dirinya, seperti ber-istri lebih dari empat, shalat tahajjud terus menerus, tidak menerima zakat, dan perbuatan lain yang tidak untuk diikuti.

3. Perbuatan yang berkaitan dengan hukum dan mempunyai alasan, seperti penetapan, sunnah, haram, halal, makruh dan jaiz (boleh), kemudian oleh ulama dijadikan sebagai syariat Islam.

Sedangkan dalam kitan dengan fungsi Hadits ada beberapa bentuk, yakni;

1. Bayan Tafsir Wa-Tudhih, yang memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam hal:

a. Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an.

b. Merinci apa yang terdapat dalam Al-Qur’an hanya secara garis besar.

c. Membatasi apa yang disebut dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum.

d. Memperluas sesuatu yang terdapat dalam Al-Qur’an.

2. Bayan Ta’kid Wa Taqrir, yang menguatkan dan menegaskan hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an, yang mengulang apa yang terdapat dalam Al-Qur’an.

3. Itsbat atau Insya’, berupa penetapan suatu hukum dalam sunnah yang secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an, dengan demikian Sunnah menetapkan hukum secara tersendiri di luar Al-Qur’an.

Dalam kaitan ini dimana kedudukan rukun Iman, Islam dan Ihsan menurut kaum sunni, dan rukun Islam menurut kaum Syi’ah? Karena semua rukun yang ditetapkan itu dapat dikatakan sifatnya merangkum ajaran essensial yang terdapat dalam Al Qur’an.

Yang menarik mengenai As-Sunnah adalah anggapan bahwa As-Sunnah yang dipelopori oleh Imam Syafii (w 204 H), dijadikan dasar hukum Islam sama kedudukannya dengan Al-Qur’an. Sehingga As-Sunnah dinilai setara dengan wahyu, sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an.

Dalil-dalil dengan makna setara antara lain juga disebutkan dalam surat Al-Anbiya, ayat 45, Shaad, ayat 70, dan Al-An’aam, ayat 50. Ayat-ayat di atas difahami sebagai ayat yang menunjukkan bahwa ucapan, perbuatan dan pembenaran (taqrir) atau hadits nabi kedudukannya sama dengan Al-Qur’an. Meskipun ucapan Nabi yang dimaksud disini adalah ucapannya yang berisi wahyu Allah. Kalau Al Qur’an disamakan sama dengan Al Hadits , maka tidak lagi bisa dibedakan wahyu dan bukan wahyu. Seolah tidak perlu dibedakan antara Al Qur’an, Hadits Qudsi dan Hadits Nabi. Dan mengapa Hadits itu tidak ditambahkan sebagai Kitab Suci? Yaitu sebagiaman yang dilakukan umat Kristen terhadap Kitab Inji, dengan mendudukan para perawi dan penulis Hadits, sebagai orang orang yang dibimbing wahyu ?

Mendudukan Sunnah sama dengan wahyu akan mengakibatkan rancunya kedudukan Al-Qur’an sebagai wahyu, yang merupakan Kitab Suci yang benar benar otentik wahyu Illahi. Bahwa ucapan, perbuatan, dan pembenaran Nabi Muhammad patut diikuti umat, pada masa nabi Muhammad hidup memang tepat dan benar. Namun tetap saja kedudukan hadits tidak dapat disejajarkan dengan Al-Qur’an. Masalahnya adalah bahwa pemahaman umat terhadap ajaran Islam, susah dipisahkan antara pemahamannya terhadap Al-Qur’an dan Hadits, karena keduannya dinilai setara, bahkan seringkali Hadist didudukkan lebih tinggi.

Sedangkan dalil yang dinilai umat wajib mengikuti Sunnah, antara lain adalah sebagai berikut.

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan mukmin, apabila Allah dan rasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka” (Al-Ahzab, ayat 36).

Ayat-ayat yang semakna dengan ayat di atas antara lain adalah An-Nisaa’/4 ayat 59, 65; An-Nuur/24 ayat 63, dan Al-Ahzab/33 ayat 21. Penafsiran bahwa melalui ayat-ayat di atas, umat harus mematuhi apa yang ditetapkan nabi juga ada benarnya. Namun demikian, hadits merupakan sumber ajaran yang tepat bagi umat yang hidupnya bersamaan dengan Nabi Muhammad SAW, karena nabi merupakan sumber utama yang mampu memberikan penjelasan, penjabaran dan keteladanan bagaimana memahami dan mengamalkan ajaran Allah. Yaitu kalau Hadits itu adalah Hadits yang otentik. Atau bisa jadi ayat diatas berlaku kontektual, berlaku dimasa Nabi hidup. Kecuali kemudian kita tangkap essensi dari ketetapan Nabi. Memang ada hadits yang berlaku tetap tak terkait ruang dan waktu, namun ada hadits yang terkait dengan ruang dan waktu ( kontekstual).

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. ( Al Ahzab/33 ayat 21)

Kita boleh waspada terhadap setiap pandangan yang dinilai menyimpang atau berbeda, namun hendaknya kita juga jangan cepat berburuk sangka. Meskipun sebagian besar ulama dan mayoritas umat mendukung hadits, namun pendapat mayoritas belum tentu sepenuhnya benar, demkian pula pendapat kaum minoritas mungkin ada sebagian yang benar. Karena itu pro atau kontra hadits tidak dapat digeneralisir, harus merujuk pada hadits pada yang mana. Sehingga dapat ditelaah lebih lanjut.

Kalau seluruh Hadits yang ada kita dalami, maka dapat dijumpai Hadits yang isinya meragukan. Artinya apakah Nabi pernah melakukannya?

Dalam hal ini penulis meragukan apakah Nabi pernah melakukan pembenaran, mengucapkan dan berbuat sebagaimana disebutkan dalam beberapa Hadits yang ada, seperti peristiwa Mirajd , penetapan rukun Islam, Iman dan Ihsan ( sehingga tak seimbang dengan pentingnya atau keseimbangan dengan Ahlak Mulia) serta shalawat Nabi dsb. sebagaimana disebutkan dalam Hadits.

Terutama adanya hal hal yang janggal kalau diperbuat Nabi, seperti memerintahkan umat melakukan “shalawat Nabi disamping pengagungan yang berlebihan kepada Nabi Muhammad. Meskipun shalawat Nabi itu (seolah) ada dasarnya dalam Al Qur’an, bahkan Allah dan malaikat bershalawat kepada Nabi. Hendaknya shalawat itu difahami makna shalawat secara proporsional. Bukankah Allah, pasti tidak akan mendoakan Nabinya melalui shalawat, apalagi shalawat yang dikerjakan untuk meminta syafaat dari Nabi Muhammad. Safaat hanya diberikan Allah, dan manusia dapat memohon langsung kepada Allah. Ada pula hadits yang menyebutkan Nabi memerintahkan umat mengerjakan shalawat dan Nabi akan mengingat umat yang mengerjakan shalawat sebanyak 10 kali lebih banyak. Seolah Nabi seperti Allah, yang dapat menghitung amal shalawat setiap umatnya. Ini sangat berlebihan.

Bagi umat akan sangat menghormati Nabi kalau menjalankan ajaran Allah yang disampaikannya. Bahwa umat Islam patut berterima kasih adalah wajar, namun jangan dilakukan secara berlebihan apalagi menjadikannya kultus.

Apa yang dilakukan oleh umat terkait dengan shalawat Nabi, tidak ubahnya dengan apa yang dilakukan oleh umat agama Kristen, yaitu peng-agung-an yang berlebihan kepada Nabinya. Hanya bedanya, umat Kristen menjadikan Nabi Isa merupakan penjelmaan Tuhan yang mendunia kepada tubuh manusia dan sebagai juru selamat. Sedangkan Nabi Muhammad dianggap wakil Tuhan didunia ( bukan sebagai “anak Tuhan”), dan diyakini bahwa Nabi Muhammad dapat memberikan syafaat.

Kesemuanya adalah salah satu “wujud naluri manusia”, yang membutuhkan “kehadiran Allah dalam wujud phisik”, para Nabi yang diagungkan umatnya. Bagi umat Kristiani wujudnya adalah berupa manusia yang bernama Isa yang digambarkan sebagai “putera Allah” ( smeua manusia juga disebut sebagai anak anak Allah- sons of God) , yang diberikan kewenangan untuk menebus dosa manusia dan menyelamatkan manusia, yang dimanefestasikan dalam gambar dan patung. Sedangkan bagi umat Islam adalah manusia Muhammad, adalah Wakil Allah didunia ( meskipun seluruh anak manusia adalah kalifah/ wakil Allah). Yang dapat memberikan syafaat, sehingga perlu ada shalawat Nabi, doa dan puja puji, meskipun umat dilarang untuk menggambarkan apalagi membuat patungnya Nabi Muhammad. Yang dapat dimaknai bahwa Nabi Muhammad menjadi perantara umatnya. Artinya kedua umat, sama sama memerlukan simbolisasi eksistensi, meskipun wujudnya berbeda.

Tak ubah juga bagi umat Hindu dan Budha yang menjadikan patung Dewa atau patung Budha sebagai pengganti “kehadiran Tuhan” didunia untuk memudahkan penyembahan. Masing masing dengan cara yang berbeda, namun untuk pemenuhan terhadap “ kebutuhan nalurinya masing masing” , naluri yang sama. Yaitu untuk mepermudah atau menjembatani “komunikasi” umat dengan Allah.

Namun kalau simbolisasi itu dijadikan sebagai kenyataan riel, maka akan terjadi kekeliruan, kesemuanya dapat menjadikan “menduakan Allah”.

Penilaian Kritis Terhadap Hadits yang Ada

Dari beberapa Hadits yang ada, juga terdapat kejanggalan isi dan cara memaknai dan atau penjabaran ajaran Al Qur’an. Seperti bahwa isi Hadits menjadi lebih “aqidah atau essensial” , dibandingkan ajaran Al Qur’an. Baik yang menyangkut rukun Iman, rukun Islam dan Ihsan, serta peristiwa Mira’jd dsb. Adanya rukun Islam, rukun Iman dapat dimengerti sebagai upaya menyederhanakan ajaran Islam agar mudah difahami, sebab kalau mengacu kepada Al Qur’an, yang dimaksud dengan keimanan terdapat banyak sekali unsurnya. Sedangkan pada rukun Islam, seolah terlalu menekankan aspek ibadah ubudiyyah sehingga melupakan ibadah muamallah ( amal shaleh dan perilaku ahalk mulia). Ihsan memang seharusnya menjelaskan ahlak mulia, namun uraiannya kurang memadai. Rukun Iman, rukun Islam dan Ihsan, adanya pada keyakinan kaum Sunni, sedangkan aliran Islam yang lain berbeda lagi rukunnya.

Contoh Hadits yang perlu dinilai kembali, meskipun termasuk Hadits shahih, namun menurut penulis berlebihan. Hadits tersebut adalah yang berkaitan dengan peristiwa “mira’jd. Apa yang dikisahkan dalam Hadits itu, patut dipertanyakan. Karena hadist itu mengisahkan adanya pertemuan Nabi Muhammad dengan para nabi terdahulu, bahkan yang istimewa lagi, adalah terjadinya dialog antara Nabi Muhammad dengan Allah. Bahkan melakukan tawar menawar dengan Allah, setelah mendapat masukkan dari para nabi. Ringkasnya, perintah Allah tentang shalat, yang konon semula 50 kali sehari, setelah dilakukan tawar menawar dengan Allah, dan setelah memperoleh tanggapan beberapa nabi, akhirnya ditetapkan shalat 5 waktu sehari semalam.

Persitiwa Isra’ dan Mira’dj merupakan peristiwa yang dinilai kaum Sunni sangat penting. Perisitiwa Isra’ dinyatakan secara jelas dalam Al Qur’an, bahkan menjadi judul surah. Namun peristiwa Mira’dj, sama sekali tidak disebut dalam Al Qur’an. Peristiwa Mira’dj yang dapat dikatakan disebutkan dalam Al Qur’an ( kalau ditafsirkan peristiwa ini sebagai Mira’dj), hanya menggambarkan perjalanan Nabi Muhammad naik kelangit bersama malaikat Jibril, disebutkan dalam Al Qur’an. Yang disebutkan dalam ayat yang menggambarkan Nabi Muhammad berjumpa dengan malaikat Jibril sesuai dengan wajah aslinya Sidratul Mutaha.

Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha ( An Najm/53 ayat 13-14)

Lain halnya dengan kisah Mira’dj sebagaimana terdapat pada Hadits ( yang dinilai shahih ~ HR Buchori dan HR Muslim) , sehingga difahamai dan diyakini umat. Dikisahkan dalam Hadits tersebut, Nabi bersama dengan malaikat Jibril naik kelangit, namun Nabi meninggalkan malaikat Jibril di Sidratul Mutaha, sementara Nabi terus naik kelangit menjumpai para Nabi, dari langit ke satu hingga keenam, hingga akhirnya bertemu Allah dilangit ketujuh dan berdialog dengan Allah secara langsung. Uniknya melalui dialog tersebut telah terjadi tawar menawar antara Allah dan Nabi Muhammad terhadap jumlah waktu shalat per hari. Dari ketetapan Allah harus shalat 50 waktu per hari, hingga akhirnya disetujui Allah hanya perlu dilakukan oleh umat islam sebanyak lima waktu per hari.

Padahal, jika dialog antara Nabi Muhammad dan Allah dilakukan secara langsung maka dialog lebih dari sekedar komunikasi ( karena menurut kisah telah terjadi tawar menawar antara Allah dan Nabi), maka dialog antara Nabi Muhammad dengan Allah itu mempunyai nilai yang jauh tinggi derajatnya dibandingkan dengan Al-Qur’an yang sekarang ada. Karena Al-Qur’an bukan merupakan dialog atau komunikasi langsung antara Allah dan nabi Muhammad, melainkan wahyu yang disampaikan melalui perantaraan malaikat ( Jibril), mimpi atau pesan langsung yang masuk kedalam hati nabi.

Menurut Al Qur’an, hanya Nabi Musa satu satunya Nabi yang bertemu langsung dengan Allah, meskipun dalam “wujud cahaya”, sehingga Nabi Musa pingsan karena tidak tahan. Bahkan komunikasi Nabi Musa secara langsung tersebut dikaitkan dengan turunnya sepuluh perintah Tuhan”. Yang menurut Kitab Injil, wahyu itu dituliskan langsung oleh Allah pada batu. Adapun ayat yang menjelaskan pertemuan langsung antara Nabi Musa dan Allah, disebutkan dalam Al Qur’an pada ayat dibawah ini:

“Ada beberapa rasul yang telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu sebelumnya, dan rasu- rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan pembicaraan yang terang (langsung)” (An-Nisaa/4, ayat 164).

Bahkan dalam ayat diatas Allah juga menegaskan kembali akan adanya berbagai Nabi utusan Allah baik yang disebutkan maupun tidak disebutkan ( dalam Al Qur’an).

Dalam kaitan dengan Hadits mengenai peristiwa Mira’dj ini kaum Syi’ah tidak mengakuinya, ini dapat dibuktikan dimana mereka melakukan shalat wajib hanya tiga kali sehari semalam. Memang uniknya mengenai perintah mengejakan shalat lima waktu, sehari semalam, dalam Al-Qur’an itu sendiri, tidak diperintahkan secara jelas dan explisit. Mungkin karena ini, maka dipandang perlu ada Hadits ( kaum Sunni) yang menegaskan perintah shalat lima waktu. Meskipun kalau dari ayat-ayat Al Qur’an tentang shalat itu dirinci ( tersebar pada berbagai ayat dan surah), maka yang disebutkan waktunya dengan jelas jumlahnya ada 4 waktu ( Subuh, Lohor, Magrib dan Isa) dan akan bertambah menjadi 5 waktu, kalau ayat yang terkait dengan shalat wustha dinilai sebagai shalat As’ar.

Inilah uniknya Al Qur’an, apa yang umat manusia nilai sebagai aqidah, seperti perintah shalat lima waktu, justru di Al Qur’an tidak disebutkan secara gamblang/ explisit. Pasti ini bukan suatu kealpaan, Allah pasti mempunyai pertimbangan yang bagi umat Islam seharusnya menjadi dorongan untuk mendalami makna dibelakngnya atau yang menjadi pertimbangan Allah. Karena itu pula kaum Syi’ah melakukan tafsir, bahwa shalat yang wajib adalah shalat 3 waktu.

Hadits tentang rukun Iman, rukun Islam dan Ihsan serta peristiwa Mira’dj, termasuk Hadits yang tergolong shahih dan disusun oleh Imam Buchori dan Imam Muslim, tokoh yang paling diagungkan dalam penyusunan Hadits oleh ulama jumhur ( Sunni). Hadits tentang persitiwa Mira’dj, dapat diakui kalau yang penting sebagai “kiasan atau simbol” bahwa Nabi pernah “ berjumpa dengan Allah”, karena mendapatkan ilmu dan cahaya Allah.

Mira’dj telah menjadi suatu ajaran nenek moyang yang diyakini turun temurun , yang akhirnya menjadi bagian penting dari pemahaman umat. Ini yang diingatkan Allah dalam Al Qur’an, sebagimana tersebut pada ayat dibawah ini:

Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami." "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?." ( Al Baqarah/2 ayat 170)

Lain halnya kalau peristiwa “mir’adj” adalah kiasan , hal ini sejalan dengan Hadits yang menyatakan bahwa “shalat kita adalah miradj jiwa kita kepada Allah”. Memang akan sulit untuk menghapus keyakinan yang telah menjadi tradisi, sekalipun itu keliru, kita harus tangkap makna essensial pemahaman dan keyakinan itu.

Kalau dalam Al Qur’an, ada ajaran yang sifatnya kontekstual, demikian juga Hadits, karena itu umat perlu lebih teliti dan berhati hati, dengan menggunakan . Hadits yang sifatnya kontekstual. Perlu dicari makna essensialnya. Sebagai contoh adalah penetapan awal puasa, 1 Syawal ( Idul Fitri) dan 8/9 Zulhijah ( wukuf /Idhul Adha). Al Qur’an menggunakan tanda “ bulan sabit” sedangkan Nabi menggunakan tanda “ hilal”. Hal ini disebabkan karena pengetahuan umat waktu itu memang terbatas, kalau Al Qur’an/ Nabi Muhammad baru diturunkan pada hari ini, bahasa tentang masalah itu tentu lain. Kaum Sunni, khususnya kaum Nadliyin, memegang teguh hadist ini, sehingga melakukan hilal sebagaimana dilakukan dimasa lalu melalui “peneropongan menggunakan mata telanjang”.

Teknologi melalui ilmu Astronomi dan ilmu Geografi masa kini telah dapat menetapkan dengan sangat rinci dan akurat masalah ini pada setiap lokasi. Apalagi hanya penetapan tanggal, bahkan perbedaan waktu hingga perseratus detik pada suatu wilayah waktu tertentu, dapat ditentukan jauh hari. Namun umat lebih suka menyulitkan diri dengan pedoman Hadits, seolah pengetahuan itu hanya ilmu agama, dan dianggap bukan ilmu astronomi dan ilmu bumi. Ini apa bukan contoh pembodohan umat, yang sengaja dipelihara dikalangan umat Islam? Kita umat Islam, cenderung menjadikan masalah kecil dipersulit masalah besar diabaikan. Namun tetap saja hingga saat ini dikalangan umat ( termasuk pemerintahan) masalah awal Ramadhan, 1 Syawal dan Idhul Adha, menjadi masalah dan perbedaan yang tak kunjung usai hingga saat ini ( khususnya di Indonesia).

Para ulama lembaga Istimbat akhirnya “menjadi tuhan tuhan”, yang dianggap kompeten menetapkan waktu. Ini baru satu kasus sederhana. Di Indonesia karena dilakukan secara formal oleh pemerintah dan melibatkan banyak tokoh, maka penetapan itu dapat kita anggap sebagai salah satu pembodohan umat dilakukan secara sistematis dan metodis.

Karena Nabi sebagai utusan Allah pasti bukan sebagai pencipta ajaran Allah, maka Haditsnya hanya bisa menjabarkan dan mengamalkan dan memberikan keteladanan kepada umat. Yaitu bagaimana melaksnakan ajaran dalam kehidupan nyata. Karena sebagai pengamal atau praktisi, maka Nabi juga memperhatikan ruang dan waktu, maka ada keterbatasan dalam menjelaskan dan mengamalkan ajaran agar umat tidak keliru memahami.

Banyak Hadits yang menyatakan bahwa nabi dapat memberi syafaat, atau berbagai keuntungan kalau umat mau bershalawat, Nabi memperoleh berbagai mujizat yang phisikal dan berbagai peng-agung-an yang berlebihan. Hadits itu perlu ditolak, karena Al Qur’an menegaskan bahwa pemberi syafaat hanya Allah ( dalam arti pengampunan dosa), dan banyak Hadits yang mendorong umat untuk mengagungkan Nabi dan atau mendoakan, memuji dsb. Apalagi umat berdoa agar Allah konsekuen dalam memberikan rahmat dan mendudukannya ditempat mulia kepada Nabi. Kecuali kalau syafaat dalam makna ayat dibawah ini;

Barangsiapa yang memberikan syafa'at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bahagian (pahala) dari padanya. Dan barangsiapa memberi syafa'at yang buruk , niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari padanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.( An Nisaa’/4 ayat 85)

Pemahaman umat terhadap shalawat kepada Nabi, karena Allah dan para malaikat itu bershalawat kepada Nabi, perlu didudukkan dengan baik dan benar. Karena shalawat Allah pasti tidak untuk “memujikan” , karena kepada siapa Allah memujikan Nabi kecuali kepada Allah sendiri, ini tidak mungkin. Kecuali shalawat bermakna; “mengingat”. Memang kita perlu mengingat jasa Nabi Muhammad yang luar biasa. Apalagi Nabi yang sangat rendah hati itu, meminta agar umatnya mendoakannya . Bukankah Nabi seorang yang mashum, seorang suci yang bebas dari dosa. Bahwa kita wajib berterima kasih kepada Nabi Muhammad itu pantas dan harus.

Apa yang dilakukan oleh umat, melalui Hadits yang menyebutkan berbagai pemberian mujizat dan perbuatan Nabi yang secara demonstratif digambarkan untuk menunjukkan kehebatan beliau, adalah kurang tepat. Apalagi adanya berbagai Hadits yang menyatakan bahwa seolah olah ada permintaan bahkan perintah Nabi, untuk didoakan dan dipuja puji umat; patut ditolak. Karena hal itu jauh dari sifat dan perilaku Nabi yang mulia, sederhana, rendah hati, santun dan lemah lembut, serta jauh dari sikap mementingkan dan menonjolkan dirinya. Bahkan Al Qur’an secara jelas mendudukan Nabi Muhammad sebagai seorang manusia biasa , namun berahlak sangat mulia, bahkan Nabipun mengakui bahwa beliau tidak mempunyai kelebihan apapun. Sengaja Allah tidak memerintahkan Nabi untuk mendemonstrasikan suatu mujizat. Karena kalau dakwah Nabi sudah berhasil dengan pendekatan kultural dan rasional, mengapa harus dikelurkan mujizat? Ini semua adalah agar tidak terjadi kultus kepada Nabi Muhammad. Apa yang dilakukan kebanyakan umat terhadap Nabi ( dengan berpedomankan pada hadits), justru mengarah pada kultus yang ditolak Allah. Sehingga dapat mengabaikan Allah sendiri, sehingga umat berlaku syirk. Sama seperti yang dilakukan umat beragama lain, yang dicela melalui ajaran Islam.

Bahwa umat patut berterima kasih dan mengagungkan Nabi Muhammad harus tidak dengan melakukan kultus. Karena bisa menduakan Allah. Suatu perbuatan yang dilakukan oleh kebanyakan umat beragama kepada Nabinya, dan Allah telah memperingatkan dengan keras dalam Al Qur’an. Penulis yakin, kalau Nabi masih hidup, maka Nabi Muhammad pasti menolak perlakuan umatnya kepada beliau, apalagi seolah adalah perintah dan permintaan beliau.

Penggunaan hadits yang diragukan keasliannya hanya akan memperbodoh umat, dan semakin memantapkan dan menjadikan umat Islam , tetap berada dalam keadaan jumud. Apalagi banyak para tokoh umat tidak mau memahami aspek essensial dari ajaran Al Qur’an . Apalagi Hadits yang dinilai memang merupakan ajaran yang praktis. Kalau dipelajari satu persatu, maka banyak Hadits dari berbagai penyusun Hadits yang perlu dipertanyakan keasliannya. Yang kalau dikritisi akan memberikan masukan bagi pembaharuan atau dekonstruksi pemahaman islam. Pemahaman yang selama ini cenderung menjadikan umat menjadi kaum taklid sekaligus awam dan jumud. Uniknya, kaum Nadliyin generasi muda pada saat ini jauh lebih maju dari generasi kaum Muhammadiyah dalam melakukan kajian Islam dan pemikiran pembaharuan Islam, terutama terhadap ajaran Al Qur’an, meskipun masih belum berani untuk mengkritisi Hadits, terutama Hadits yang shahih yang tidak sesuai atau melebihi isi Al Qur’an . Padahal dimasa lalu kaum Muhammadiyah terkenal sebagai kaum pembaharu.

Kalau umat Islam benar benar mau mengikuti ajaran Allah dengan menggunakan akal pikiran pada tempatnya, maka umat akan maju, kalau tidak maka keterbelakangan dan kejumudan pada sebagian besar umat Islam sebagai konsekuensinya. Karena itu penggunaan hadist yang ada , perlu dikritisi dan membutuhkan pemahaman dan kajian serta penafsiran yang jauh lebih mendalam lagi. Penulis sekalipun bukan ahli Hadits, mencoba memberikan telaahan dan pandangan sesuai dengan kemampuan dan penguasaannya.

Dalam kaitan dengan pemikiran untuk mengkritisi Hadits, kalau Hadist itu menjelaskan sesuatu yang lebih essensial dari yang diuraikan dalam Al-Qur’an (termasuk tafsirnya), maka patut dipertanyakan keabsyahannya. Namun kalau Hadits itu bersifat menjabarkan, seperti memperinci bagaimana melakukan ibadah ritual, seperti ; shalat, dzikr, tafakur, itikaf , puasa dan haji dsb, maka tidak masalah. Sepanjang tidak berlebihan, sehingga tidak menjadikan Islam ajaran yang rumit dan sulit. Memang manusia selalu membutuhkan petunjuk yang rinci, dari berbagai ayat ayat dalam Al Qur’an yang secara operasional tidak rinci atau difahami tidak secara operasional tidak dapat menjawab berbagai permasalahan baru.

Misalnya dalam bersuci ( taharah), maka akan dituntut rincian, bagaimana urutannya, bagaimana kualifikasi sarananya dsb dsb. Semakin kompleks kehidupan semakin bertambah kebutuhannya. Sedemikian banyak syarat dan prosedurnya yang harus dituliskan, sampai akhirnya kita kehilangan makna essensial dari taharah itu sendiri. Demikian pula yang menyangkut ibadah dan ketentuan lainnya. Itulah akibatnya kalau umat ingin menjadikan ajaran Allah sebagai hukum positip. Maka perlu ada uraian yang rinci sehingga tak lagi dimungkinkan adanya tafsir yang berbeda. Sehingga ajaran menjadi kering dan dangkal, kehilangan makna essensialnya. Padahal ajaran Allah, sengaja selalu memberikan sesuatu yang memungkinnya untuk terus didalami. Karena ajaran Allah tak berbatas.

Kebutuhan akan hukum Fiqh dan Syari’at , yang ingin semakin rinci dan mampu menjawab tatangan jaman ( masa itu), tidak mustahil dimasa lalu ada gagasan dari seseorang untuk membuatkan Hadist yang sesuai”. Karena melalui dasar Hadits tak lagi akan ada perdebatan, namun seolah Nabi mampu meramal masa depan, sekaligus mampu menjawab berbagai kebutuhan kehidupan masa itu. Sayang kemudian diberlakukan hingga masa kini dan umat tidak ingin melakukan perubahan lagi.

Pengalaman juga membuktikan bahwa selama sejarah umat, berbagai penyimpangan ajaran, yang dikatakan sebagai bid’ah telah terjadi. Sekalipun kita umat, bisa dijadikan bingung mana ajaran yang bid’ah mana yang ajaran yang murni. Uniknya ajaran yang murni dikatakan bid’ah yang bid’ah dikatakan ajaran murni.

Adanya gerakan Acmadiyyah, Wahabbi, Salafyah, Ichwanul Muslimin, Islam Liberal dan Jama’ah Islamiyah dsb, adalah contoh nyata dari upaya yang telah menjadikan terjadinya berbagai bentuk dan aliran pemahamannya. Semua pihak seolah bertindak atas nama “pemurnian ajaran Islam”, ada yang ingin kembali pada masa lalu, ada yang ingin menjawab semua perkembangan dan kemajuan jaman.

Namun manakah ajaran Islam yang paling murni? Kembali ke jaman Nabi? Kita telah banyak kehilangan jejak jejak historis yang otentik, baik terhadap apa yang sebenarnya diperbuat Nabi dan kondisi masyarakat yang terjadi dengan segala permasalahnya yang dihadapi waktu itu. Yang ada hanyalah perkembangan pemahaman Islam yang terjadi di Arab. Meskipun negeri Arab adalah tempat dimana ajaran itu diturunkan, jejak sejarahnya sudah membaur dengan berbagai akulturari dan asimilasi budaya yang selama ini terjadi di Arab. Artinya sulit untuk menemukan “kemurnian ajaran Islam”, karena kemurnian itu telah ditelan sejarah. Atau mau sepenuhnya menyesuaikan diri dengan budaya lokal dan memasukkan nilai nilai ke Islaman, maka itupun bisa menciptakan masalah. Sekalipun akan memudahkan penetrasi awal bagi masuknya ajaran Islam. Atau memasukkan nilai nilai mutakhir, itupun juga mengakibatkan masalah.

Memang atas dasar Hadits, seolah melegitimasi bahwa yang difahami itu ada dasarnya. Namun kita tidak bisa membayangkan bagaimana proses pergolakan pemahaman yang telah terjadi antara masa kenabian hingga masa Hadits itu dituliskan dan ditetapkan menjadi Hadits sebagaimana adanya saat ini. Bahkan tak mustahil, dimasa antara para penulis Hadist hingga saat ini ada Hadits yang diselipkan orang, masuk kedalam daftar Hadits yang dirumuskan para penulis Hadits pada abad 2-4 H. Belum lagi adanya persoalan untuk memilah Hadits yang dapat dikaitkan sebagai ajaran kontekstual dan mana yang merupakan ajaran essensial?

Karena untuk itu kita sama sekali tidak mempunyai referensi lain. Khususnya terhadap Hadits yang aspek yang bersifat ritual, yang mau tidak mau harus diikuti, masalahnya menjadi semakin kompleks. Dan banyak lagi masalah kehidupan yang perlu dijawab melalui ajaran Islam, sehingga tidak mutahil , melalui Hadits maka pemahaman akan terasa berbobot dan punya dasar kuat. Apalagi kemudian dari Hadist tersebut, dapat menjadikan pedoman umat untuk menjalankan arah dan mengatasi berbagai masalah kehidupan.

Maka tidak mustahil penetapan hukum syariah dan fiqh didasarkan pada Hadist semacam itu. Yang kemudian Hadits itu menjadi suatu yang pasti benar dan harus diikuti, meskipun tidak autentik atau orisinal sebagai Hadist Nabi. .

Adanya berbagai penulis Hadits, yang kemudian ada penulis yang dinilai paling dihargai atau diunggulkan, menunjukkan kesadaran umat bahwa ada masalah mutu, kualitas atau otentifikasi hadits hadits yang ada dan tertulis yang ditulis oleh banyak tokoh masa lalu. Karena klasifikasi hadits sebaiknya adalah otentik atau tidak otentik. Kalau masih diakui adanya beberapa versi terhadap aspek ajaran yang sama, akhirnya juga harus dikembalikan kepada kita akan memilih versi yang mana. Karena pemaknaan Hadits, bukan saja secara tekstual maupun juga bersifat spiritual.

Bahkan disadari bahwa ada hadits yang palsu ( maudhu), namun masalahnya manakah Hadits yang dinilai sebagai hadits yang palsu? Setiap golongan atau aliran pemahaman Islam, akhirnya menentukan sendiri sendiri mana Hadits yang dianggap “ shahih” dan “mutawatir “. Bahkan ada pendapat, untuk mengutamakan kemanfaatan hadits dalam mengisi kebutuhan umat yang masuk akal, Hadits yang tidak sesuai sebaiknya ditinggalkan. Inipun akan kembali menimbulkan masalah, karena apa kriterianya?

Melalui kajian historis kita tidak mungkin lagi melakukan seleksi dan koreksi Hadist setelah lebih dari 1400 tahun tahun Nabi wafat. Namun kita masih dapat melakukannya dengan menggunakan kekuatan atau kecerdasan akal pikiran rasional dan kecerdasan spiritual. Terutama dengan kembali mengacu kepada Al Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam, ajaran Allah. Mungkin secara normal, pemikiran ini dapat dianggap menggelikan, karena sejak dulu para ulama dan tokoh besar, telah menggunakan Al Qur’an sebagai dasar acuan.

Mengapa penulis memberanikan diri untuk melakukan pengujian kembali Hadits yang ada? Yaitu didasarkan kenyataan bahwa banyak hadits yang patut diragukan ke-otentik-annya namun digunakan sebagian ulama sebagai dasar pemahaman dan keyakinan ajran Islam.

Fungsi Hadits ditetapkan para ulama yang telah disebutkan dimuka ( 3 butir) , perlu dilengkapi dan dipertajam dengan ketentuan tambahan. Misalnya untuk tidak menggunakan hadits yang mempunyai sifat dan fungsi sebagai berikut.

.

1. Hadits yang makna ajarannya; “lebih tinggi atau lebih essensial dari ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an, sehingga dijadikan aqidah ajaran Islam, di luar yang disebutkan Al-Qur’an.

2. Hadits yang ; tidak tersebut secara explisit dan atau berbeda dan atau bertentangan; dengan isi Al-Qur’an.

3. Hadist yang bernada mengkultuskan dan melebih lebihkan Nabi Muhammad

4. Hadits yang jauh atau bertetangan dengan sifat dan perilaku Nabi Muhammad yang berahlak mulia, rendah hati, tidak mementingkan diri sendiri apalagi minta dipuja dan dihormati, sederhana, ramah , santun dan lemah lembut serta penuh kasih sayang.

5. Hadits yang menyebutkan besaran pahala secara kuantitatif berlebihan , tanpa makna spiritual yang jelas.

Hadits yang maknanya “ lebih tinggi dan lebih essensial” dari Al Qur’an, misalnya penetapan aqidah ajaran diluar Al Qur’an. Memang untuk mempermudah umat, para ulama telah mendudukan Hadits menjadi aqidah ajaran, seperti ; rukun Iman, rukun Islam dan Ihsan ( bagi kaum sunni) dan rukun Iman dalam versi lain ( bagi kaum Syi’ah). Yaitu akibat hanya menggunakan satu Hadits yang dianggap shahih, meskipun itupun belum tentu tepat, karena bisa mempersempit ajaran Al Qur’an. Dilain pihak memang banyak hadits yang indah dan semakin memperjelas pemahaman kita terhadap ajaran Al Qur’an. Yang menjadi masalah adalah kalau melalui Hadits tersebut, timbul ketidak seimbangan ajaran dan mengrangi sifat kemenyeluruhan ( kaffah) dalam memahami ajaran Al Qur’an. Misalnya mengakibatkan ibadah muamallah atau ibadah sosial, khususnya perilaku ahlak mulia seolah bukan aspek penting dibandingkan ibadah ritual. Padahal dalam Al Qur’an, sebagian besar ayat yang menyebutkan ibadah ubudiyah ( shalat) selalu diikuti dengan ibadah muamallah ( amal shaleh dan berbuat baik).

Kalau menyusun aqidah, agar ajaran Islam difahami secara kaffah, hendaknya menggunakan beberapa Hadits. Karena disamping Hadits mengenai ketiga rukun diatas ada Hadits Nabi yang menekankan bahwa beliau diutus untuk menjaga perilaku ahlak yang mulia. Akibatnya, antara lain umat Islam jauh lebih menekankan rukun Islam . Anehnya rukun Iman, yang memuat pengakuan pada para Nabi dan Kitab Sucinya, diabaikan atau ditafsirkan untuk mendukung pemahamannya sendiri.

Demikian pula Hadits yang memberikan gambaran perhtungan matematis berbagai pahala yang akan didapatkan umat apabila melakukan ibadah tertentu. Yaitu misalnya shalat di Masjidil Haram pahalanya 100.000 kali, kalau kita melakukan shalawat Nabi balasanya 10 kali dsb dsb. Hadits seperti ini sangat menyesatkan, penggunaan nilai atau angka bukan seolah kita berpikir rasional, namun sebaliknya kita sangat tidak rasional. Karena itu kejumudan umat tetap berkembang meluas, karena Hadits seperti ini didukung oleh tokoh dan umat yang mempunyai ilmu dunia sangat tinggi. Inilah salah satu kelemahan umat, yang mau menghindari bid’ah, namun melakukan bid’ah dari dalam ajaran.

Untuk itu sebaiknya perlu dilakukan kajian terhadap makna material dan spiritutal terhadap Hadist- Hadits yang ada. Dan setiap umat wajib berupaya melakukannya agar pemahaman dan keyakinan kita terhadap ajaran Al Qur’an semakin baik dan jauh dari kemungkinan kekeliruan yang sesungguhnya dapat dihindari.

Contoh kriteria diatas hanya merupakan usulan penulis yang dapat dikembangkan oleh seiap muslim. Hal ini tidak perlu upaya formal, namun kalau kita anggap Hadits itu kurang tepat, maka tidak kita gunakan sebagai acuan. Namun bagaimana Hadits yang kini telah menjadi keketapan hukum Fiqh dan Syari’at?

Dalam keberagamaan, adalah kenyataan bahwa sekalipun ketetapannya ada , namun pada prakteknya banyak umat yang tidak membaca dan memahaminya. Memang adanya hukum Fiqh dan Syari’at adalah untuk memudahkan umat memahami rambu rambu ajaran, mana yang baik mana yang tidak baik, mana yang boleh mana yang dilarang, mana yang halal dan mana yang haram, beserta gradasinya. Dilain pihak kalau kita pelajari Al Qur’an secara kaffah, tidak ada ketentuan yang hitam dan putih , bahkan selalu ada pengecualiannya. Sedangkan yang namanya hukum, pasti kaku, jelas, rinci dan hitam putih, sebisa mungkin menghindari tafsir. Inilah kontroversi antara “hukum / ajaran Allah” dan “hukum manusia”.

Bagiamanpun juga hukum Fiqh dan Syari’at, disusun berdasarkan ajaran Allah, tetap saja seluruh isi tertulisnya adalah rumusan manusia. Karena itulah maka hukum Fiqh dan Syari’at, sebaiknya secara periodik dilakukan revisi. Yaitu kalau kita ingin hukum Fiqh dan Syari’at itu dapat ditaati sepenuhnya. Upaykan agar dijadikan hukum positip, atau setidaknya masuk sebagai bagian dari hukum positip. Masalah ini akan kita bahas pada topik yang khusus.

Atau kalau kita meragukan ke-otentik-an Hadits, maka sebaiknya Hadits itu kita tinggalkan atau tidak kita pergunakan. Memang dengan apa yang dilakukan oleh para ulama dan tokoh dengan menggunakan Hadits tertentu, dalam melakukan dakwah, juga dapat dikatakan merupakan bagian dari proses seleksi. Namun menjadi berbeda, kalau kita sudah mempunyai suatu pendapat, kemudian baru kita cari ayat Al Qur’an atau Hadits yang kita nilai dapat mendukung pendapat atau pemahaman kita. Ini namanya adalah nafsu yang berbicara dan bukan hati.

Namun apa yang disarankan disini adalah dengan melakukannnya secara sadar dan konseptual bahwa ada masalah dengan Hadits yang ada. Namun karena adanya Hadits yang merupakan “dua wasiat Nabi”, maka akhirnya para ulama dan umat tidak pernah memasalahkan kualitas Hadist yang dijadikan acuan pemahaman. Sekalipun Hadits itupun patut kita fahami makna essensialnya. Bahwa “dua wasiat Nabi” itu harus otentik, asli dari Allah dan Nabi Muhammad, memang harus umat ikuti!

Adalah kewajiban kita bersama sama untuk memikirkan bagaimana melakukan seleksi kembali Hadits. Hadits yang telah disusun bukanlah sesuatu yang sakral yang tak boleh kita sentuh dan kita evaluasi. Karena didalamnya banyak sentuhan atau proses ingatan dan mungkin pemikiran manusia. Sehingga apapun juga Hadits adalah karya manusia, yang mendasarkan pada ingatan dan penuturan umat, meskipun sebagai obyek / sumber pengamatan adalah Nabi Muhmmad. Kita perlu kembali melakukan seleksi ulang Hadits per Hadits, kalau pemahaman umat terhadap ajaran Islam menjadi lebih jernih, dan diharapkan dapat mengurangi pertentangan pemahaman antar aliran dalam Islam yang tidak perlu. Meskipun hal ini bukanlah saja merupakan gagasan yang mudah, namun juga merupakan upaya yang melawan arus pemahaman yang telah ada dan membudaya.

Perlu disampaikan bahwa umat tidak perlu khawatir, apabila pada suatu permasalahan tertentu “seolah tidak ada arahanya” akibat hilangnya Hadits . Dalam hal ini lebih baik Hadits itu tidak dipakai karena menyesatkan. Dalam kaitan ini kita masih ada jalan, yaitu dengan melakukan ijtihad. Kalau dimasa lalu hanya ulama saja yang berhak ber-ijtihad ( hal itu juga ditetapkan ulama, bukan Allah), maka penulis sarankan ijtihad untuk dapat dilakukan setiap muslim.!

Sudah tentu upaya diatas hanya dapat dilakukan oleh umat yang telah mampu khatam Al Qur’an mampu memahami makna ajaran didalamnya, baik secara rasional maupun spiritual. Disamping itu umat tentu perlu membaca dan memahami setiap Hadits dan kemudian mengecek apakah ada kaitannya dengan ajaran dalam Al Qur’an. Meskipun kita telah kehilangan satu dari dua dimensi Hadits yang dilakukan Nabi pada masa itu yaitu aspek ajaran yang sifatnya isotoris , atau spiritual, namun kita tetpa berupaya memahami aspek spiritual ajaran Hadits. Disamping upaya melakukan persiapan terkait lainnya.

Melalui kriteria seleksi tambahan dan kriteria sifat dasar Hadits , sebagaimana disebut diatas, pada dasarnya hanya salah satu jalan memudahkan, Namun selalu terbuka bagi kemungkinan bahwa setiap diri kita dapat melakukan seleksi dan evaluasi terhadap hadits- hadits yang ada.

Pikiran, perkataan dan perbuatan serta pembenaran nabi, sebagai rasul Allah, sudah pasti sejalan dengan ajaran Allah, karena beliau selalu dituntun Allah. Masalahnya bagi kita umat yang hidup saat ini, tidaklah mudah untuk mengetahui mana pikiran, perkataan, dan perbuatan yang benar-benar dilakukan Nabi Muhammad SAW, dan mana yang merupakan interpretasi, harapan, ingatan, atau bahkan karangan manusia apalagi karena ada kepentingan pribadi atau kelompok. Kita umat Islam, sebaiknya mengembalikan perbedaan dan peselisihan pemahaman dan keyakinan dengan kembali kepada Al Qur’an. Karena Al Qur’an, merupakan Kitab Suci wahyu Illahi yang otentik, disamping isi ajaran yang essensial telah rinci dan lengkap. Hadits hanya referensi kedua manakala ada yang dalam Al Qur’an masih belum kita fahami maknanya. Dengan cacatan bahwa hadits itu adalah Hadits Nabi Muhammad yang juga otentik, yang bersifat menjabarkan dan atau menjelaskan ajaran Al Qur’an, secara tidak berlebihan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar