Ijtihad, Menuju Pemahaman pada Al-Qur’an dengan Baik dan Benar
Turunnya Al-Qur’an
Al Qur’an turun pada tanggal 27 Ramadhan atau 6 Agustus tahun 610 M, pada waktu Nabi Muhammad sedang bertafakur di Gua Hira, kemudian didatangai malaikat Jibril , yang membawakan wahyu dari Allah. Secara formal wahyu yang turun adalah ayat 1-5 surah Al Alaq. Namun secara spiritual, itulah saat Allah mentahbiskan Muhammad sebagai Nabi utusanNya. Ada pendapat dari berbagai ayat Al Qur’an dapat difahami bahwa seluruh isi Al Qur’an langsung masuk kedalam hati ruhani Nabi Muhammad, ada pula yang menyatakan bahwa Al Qur’an telah diturunkan Allah secara utuh seluruhnya di Lauh Mahfuzh.
Dalam Al-Qur’an disebutkan, bahwa Al-Qur’an diturunkan pada:Muhammad utusan Allah dan memasukkan Al Qur’an kedalam ingatan dan hatinya. Dalam Al Qur’an, turunnya wahyu secara menyeluruh , antara lain disampaikan melalui berbagai ayat berikut.
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang hak dan yang batil” (Al-Baqarah, ayat 185).
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam lailatul qadar”
(Al-Qadr, ayat 1).
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan (Al-Qur’an) pada suatu malam yang diberkahi”
(Ad-Dukhan, ayat 3).
Ibn Abbas dan sejumlah ulama menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat-ayat di atas, bahwa turunnya Al-Qur’an sekaligus, namun turun di Baitul ‘Izzah (langit dunia), agar malaikat dapat menghormati kebesarannya. Sementara menurut Asbabun Nuzul, wahyu pertama yang turun adalah surah Al-Alaq, ayat 1-5.
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dan menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha pemurah. Dia mengajar manusia apa yang belum diketahuinya” (Al-Alaq, ayat 1-5).
Kita hanya bisa memperkirakan dan mencoba membayangkan bagaimana wahyu itu diturunkan Allah. Namun sudah dapat dipastikan bahwa, terhadap wahyu pertama itu (Surat Al-Alaq, ayat 1-5), Nabi Muhammad langsung paham, dan mampu menghayati dan mengingat . Bahkan diyakini bahwa Nabi Muhammad Al-Qur’an menguasai secara keseluruhan. Nabi bukan sekedar “terompet Allah” , yang hanya bisa membawakan ajaran kalau wahyu ( ayat ayat Al Qur’an) itu diturunkan? Namun nabi adalah seseorang yang begitu menerima wahyu Allah yang pertama, sesungguhnya langsung menerima secara spiritual “seluruh isi Al Qur’an”. Ada pandangan sebagian Ulama yang menyatakan bahwa setelah ayat pertama turun, maka seluruh isi Al Qur’an diturunkan Allah di Lauh Mahfuzh. Wahyu pertama dapat dikatakan semacam metahbisan atau “ bai’at oleh Allah”, bahwa Muhammad dijadikan utusan Allah. Al Qur’an bukan hanya diturunkan di Lauh Mahfuzh , melainkan turun dalam hati Muhammad, sehingga Nabi langsung berkemampuan memahami dan menghayati seluruh isi Al Qur’an. Bahkan kalau diperhatikan dari Al Qur’an, turunnya seluruh Al Qur’an ( dibulan Ramadhan) secara utuh kedalam hati Nabi, dapat dibuktikan dari beberapa ayat dibawah ini :
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. ( Al Qadr/97 ayat 1-3)
Dalam bulan ramadhan itu diturunkan Al Qur’an sebagai petunjuk untuk manusia dan penjelasan penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda .... (Al Baqarah2 ayat 185)
Turunnya Al-Quran yang tidak ada keraguan di dalamnya, (adalah) dari Tuhan semesta alam. ( As Sajdah/32 ayat 2)
Dan sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. Dan sesungguhnya Al Quran itu benar-benar (tersebut) dalam Kitab-kitab orang yang dahulu. (Asy Syua’raa’/26 ayat 192-195)
Demi Kitab (Al Quran) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah ( Ad Dukhaan/ ayat 2-4)
Namun secara didaktis dan untuk memudahkan umat yang diajar, maka Nabi ayat ayat Al Qur’an disamapikan secara bertahap. Dan tahapan itupun tidak menggunakan sistematika biasa, berurutan menurut wujud Al Qur’an yang ada. Namun dalam urutan yang unik namun mendasar. Sebagai contoh kita sering meremehkan isi ayat ayat pertama, yang sangat sederhana. Padahal itulah kunci memahami seluruh isi Al Qur’an, karena Allah melalui ayat ayat pertama yang turun itu, memerintahkan Nabi membaca seluruh Al Qur’an. Dan Al Qur’an, pada dasarnya telah tergelar di alam ini. Dan melalui ayat itu memerintahkan membaca Al Qur’an yang kini ada, karena pada waktu itu Al Qur’an belum terwujud secara tertulis.
Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. ( Al Isra’/17 ayat 106)
Ayat diatas ini memang difahami sebagian besar umat bahwa wahyu itu turn secara bertahap, dan karena itu ada “ asbabun nuzul” , namun hal ini adalah bagian bahwa ajaran ayat ayat Al Qur’an bersifat kontekstual. Namun hendaknya dibedakan antara proses spiritual ( menyeluruh) dan proses lahiriyah ( disampaikan secara bertahap), dan tidak perlu dipertentangkan namun untuk menjadikan seluruh ajaran konsisten dan saling sesuai/ sejalan.
Namun seperti penulis sampaikan bahwa ayat diatas adalah bagian metoda didaktik, yang memang disampaikan kepada umat secara bertahap. Namun bagi Nabi tidak perlu seperti itu, karena Nabi perlu memperoleh perspektif, memahami dan menghayati seluruh isi Al Qur’an.
Pewahyuan Al-Qur’an secara bertahap kepada nabi, adalah suatu bentuk metode pengajaran (dikdaktik), untuk memudahkan umat manusia memahami dan menghayati serta mengamalkan ajaran Allah pada masa itu. Menurut penulis turunnya wahyu pertama hanyalah tanda “pentasbihan- bai’at” nabi oleh Allah. Suatu pencerahan melalui cahaya-Nya. Karena setelah itu pada dasarnya seluruh isi Al-Qur’an telah ada dalam hati Nabi Muhammad. Hal ini terbukti bahwa nabi telah mengajar beberapa puluh pengikut dan sahabatnya, dan setelah jangka waktu 3 tahun baru turun wahyu yang kedua.
Ada sejarah yang meriwayatkan bahwa setelah Nabi menerima wahyu pertama, nabi “menggigil ketakutan”, kemudian Siti Khadijah dibawa ke keponakannya bernama Qaraqah seorang Kristiani. Oleh Waraqah, Nabi diyakinkan bahwa dari Injil beliau dicirikan sebagai seorang Nabiyang diutus Allah. Sebagai Nabi, yang diplih sebagai utusan Allah, pasti “tidak menggigil ketakutan”, padahal yang datang malakikat, sekalipun syaitan yang datang, Nabipun tak akan ketakutan. Yang timbul pada waktu turunnya wahyu, Nabi justru dapat dipastikan akan merasa; tenang dan damai serta berkeyakinan mantap, karena telah mendapatkan penerangan dan pencerahan dari Allah yang selama ini didambakan. Apalagi dalam Al Qur’an disebutkan pada saat wahyu Allah diturunkan, banyak malaikat yang turut menyaksikan.
Nabi Muhmmad tak memerlukan pengukuhan kenabian dari seorang Kristen, apalagi tak jelas kualifikasinya ke Kristen-annya. Suatu riwayat dengan tujuan melegitimasi kenabian, namun sebenarnya “merendahkan Nabi dan Allah” ( karena memimbulkan dan timbulnya rasa takut), namun sayangnya pemahaman seperti ini diterima umat secara luas.
Al-Qur’an mengajarkan aspek kehidupan masa kini, masa lalu, dan masa datang, ajaran tentang masalah-masalah duniawi, dan ajaran tentang kehidupan akhirat. Al-Qur’an berisi ajaran yang sifatnya material maupun spiritual, dan mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, dengan mahluk ghaib (syaitan, jin, dan iblis serta malaikat), dan hubungan antar sesama manusia, mahluk lainnya serta alam serta semua, dan aspek kehidupan lain secara menyeluruh.
Ditinjau dari turunnya surat per-surat, surat yang diturunkan melalui wahyu kepada Nabi Muhammad (Nabi Muhammad lahir 6 Agustus 570 M) di Mekkah sebanyak 86 surah (Makiyyah) dan yang turun di Madinah sebayak 28 surah (Madaniyyah). Ayat-ayat Makiyyah diturunkan selama 12 tahun 5 bulan 13 hari, terhitung sejak tanggal 27 Ramadhan (ulang tahun Nabi ke 41) sampai tanggal 1 Rabiul Awwal (ulang tahun Nabi ke 53). Jumlah ayatnya sebanyak 4.780 ayat yang meliputi 19/30 isi seluruh Al-Qur’an. Sedangkan ayat-ayat Madaniyah diturunkan selama kurun waktu 9 tahun, 9 bulan dan 9 hari, terhitung sejak Nabi Hijrah pada tahun 623 M sampai tanggal 9 Zulhijjah tahun ke 63 dari tahun kelahiran Nabi, berjumlah 1.456 ayat. Meskipun tidak selalu seluruh surah diturunkan di satu lokasi.
Proses sejarah tentang bagaimana cara umat memahami dan mendalami Kitab Suci, sebagaimana sejarah para nabi hingga Nabi Muhammad, sebenarnya berulang hingga kini. Artinya, umat beragama semakin berkembang dalam memahami ajarannya, dengan mengupayakan agar pemahaman mereka sejalan dengan perkembangan keadaan. Pemahaman umat Islam terhadap ajaran Allah juga mengalami perkembangan, sejalan dengan perubahan dan perkembangan waktu, dan terus terjadi dari waktu ke waktu, sejak Nabi Muhammad hingga kini. Semua upaya dimaksudkan untuk tujuan kebaikan, untuk menjaga kemurnian ajaran dan konsistensinya. Meskipun, kita tetap dapat mempertanyakan konsistensi ajaran, karena tidak ada jaminan akan kemurnian dan keotentikan esensi ajaran Allah.
Sebagai contoh, pada suatu masa di suatu daerah muncul paham Mutazilah, kemudian pada masa lain yang diikuti paham Sunni , ditempat lain yang diikuti faham Syi’ah, demikian seterusnya. Adakalanya, pendekatan pendekatan akal pikiran dikedepankan, ada kalanya ketentuan Syari’ah yang dikembangkan, adakalanya pendekatan falsafah diikuti orang, dan ada kalanya kaum Sufi yang maju berkembang. Di suatu daerah mashab Hanafi yang diikuti, di daerah dan dimasa lain bisa saja mashab Hambali yang diikuti, atau Maliki,sedangkan di wilayah lain mashab Syafe’i, dan seterusnya. Penekanan pendekatan pemahaman dapat berkembang pada suatu kaum tertentu, pada suatu wilayah tertentu, dan pada masa tertentu.
Semua ajaran yang disampaikan kepada para Nabi , pada dasarnya bisa dinamakan ajaran “Islam”, merupakan “ajaran essensial kehidupan yang sama” dari Allah , disampaikan melalui wahyu kepada para nabi dan atau rasul utusanNya, untuk dapat diteruskan kepada umat manusia. Dan Al-Qur’an dalam bentuk tekstual yang ada pada saat ini adalah kumpulan wahyu Allah yang diterima Nabi Muhammad.
“Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al-Qur’an) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat) dan janganlah kamu yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukar ayat-ayatKu dengan harga yang rendah, dan hanya kepadaKu lah kamu harus bertaqwa” (Al-Baqarah, ayat 41).
“Dan tidaklah mugkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang, lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi dan Maha Bijaksana” (Asy-Syuura, ayat 51).
Penggunaan Bahasa Arab Dan Budaya Arab
Bahasa adalah suatu sistem simbol yang terdiri atas kosa-kata dan bunyi. Ada bahasa yang sangat terbatas kosa-katanya, ada yang sangat luas kosa-katanya. Kosa kata bahasa Arab jauh lebih banyak daripada kosa-kata bahasa Inggris. Apakah Allah dengan demikian maka berbahasa Arab? Tentu tidak, bahasa Allah bukan menggunakan bahas yang kita kenal namun dapat juga kita katakan bahwa Allah dapat menggunakan bahasa manusia yang manapun.
Mengapa wahyu yang disampaikan kepada Allah menggunakan bahasa Arab ? Karena Nabi Muhammad mempunyai bahasa ibu, bahasa Arab, maka wahyu yang disampaikan juga menggunakan bahasa Arab, Arab Quraishi.
Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. ( Ibrahim 14 ayat 4)
“Dan jikalau Kami jadikan Al Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?" Apakah (patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (rasul adalah orang) Arab?....” ( Fushilat/41 ayat 44)
“Dan sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas”. ( Asy Syuaraa/26 ayat 192-195)
Hal ini dimaksudkan agar mudah dimengerti oleh umat dilingkungan kehidupan Nabi tempat dakwah itu dimulai.
Sesempurna apapun bahasa manusia, tetap saja terbatas untuk sepenuh digunakan dalam menyampaikan ajaran Allah. Ajaran yang berisi ajaran tentang alam nyata dan alam ghaib, tentang masa itu, masa lalu maupun masa depan (yang menjadi abstrak), baik ajaran lahir ( kasad indera) dan ajaran spiriutal ( yang tidak kasad indera).
Bahasa (manusia) merupakan sarana komunikasi antar manusia. Bahasa memiliki arti luas, bukan saja bahasa tulisan atau lisan, melainkan juga bahasa tubuh bahkan bahasa ruhani. Namun bahasa tulisan ataupun bahasa lisan manusia, betapapun sempurnanya, tidak dapat digunakan sebagai sarana komunikasi yang 100% efektif. Karena banyak ungkapan pikiran dan hati, yang tak dapat dikemukakan dengan baik dan utuh.
Karena itulah maka berkembang sistem kosa-kata yang simbolik, misalnya bahasa puisi, yang menggunakan kosa-kata atau ungkapan bahasa kiasan atau perupamaan bahkan simbol. Dengan demikian perlu diinterpretasikan lebih lanjut agar dapat difahami. Belum lagi penggunaan bahasa tubuh, di mana kita bisa mengetahui reaksi penerimaan seseorang melalui bahasa tubuh. Dengan melihat wajah, muka, mata, bibir, hidung, kuping kita juga mampu mengenal suatu dimensi informasi kebahasaan yang lain. Dsb.
Melalui bahasa tubuh kita akan mengenal “perasaan dan karakter” seseorang. Belum lagi kita berbicara dengan bahasa pikiran dan atau bahasa hati (qolbu). Bahkan melalui ada pandangan bahwa Allah menyampaikan wahyunya ajarannya melalui bahasa Allah kedalam hati Nabi yang langsung difahami. Ada pula yang menganggap bahwa yang disampaikan Allah yang langsung dihafal dan difahami nabi adalah kata perkata. Ini untuk membedakan dengan Hadits Qudsi yang difahami Nabi isinya, sedangkan kata katanya berasal dari Nabi.
Bagaimana proses transformasi ajaran Allah dalam diri Nabi, apakah prosesnya melalui “ down load” ke otak atau ke qalbu atau ke ruhaninya. Pengetahuan manusia tentang hal ini masih sangat terbatas. Namun secara spekulatif kita dapat menyatakan bahwa otak manusia adalah seperti “transmitter” dan sekaligus “receiver” dalam menerima dan meneruskan ajaran Allah, namun ditambah kemampuan analisa dan penghayatan baik melalui akal pikiran dan perasaannya. Bahkan dari berbagai pengalaman spiritual , manusia dengan “kekuatan pikiran”, mampu mewujudkan impian atau harapan. Artinya pikiran manusia mempunyai kekuatan yang nyata, bahkan kalau tahu menggunakan akan mampu mempengaruhi pikiran orang lain, dan semua ciptaan Allah lainnya.
Kita seringkali keliru dalam memahami mengapa Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab. Sehingga semua bahasa ibadah yang kita lakukan juga harus menggunakan bahasa Arab. Kalau keyakinan semacam ini untuk mendorong agar orang mau berbahasa Arab, sehingga orang tahu makna yang diucapkannya, maka tidak masalah. Namun kalau memaksa harus berbahasa Aran meskipun tidak tahu maknanya, tentu merupakan salah satu cara yang mengakibatkan pembodohan umat. Menciptakan umat tergantung kepada mereka yang tahu bahasa Al Qur’an, sehingga memperbanyak kaum yang taklid dan awam.
Bahwa Nabi sebagai orang Arab, yang pasti selalu menggunakan bahasa Arab dalam percakapan maupun tata cara melakukan ritus, seharusnya jangan hal itu diacu secara kaku, sebagai Hadits. Sebab kalau Al Qur’an dapat disamapikan dalam bahasa apapun, hal itu akan memudahkan penyebaran pemahaman ajaran Al Qur’an. Apalagi bahasa Al Qur’an, merupakan bahasa yang mendalam. Ada kekhawatiran, kalau ayat ayat Al Qur’an di ucapkan diluar bahasa Arab akan merubah artinya. Ini suatu pembodohan, karena mana yang lebih penting Allah yang mengetahui bahasanya atau manusia yang mengucapkannya? Ada lagi pemahaman, kalau Al Qur’an tidak dibiasakan membaca nya dalam bahasa Arab, maka originalitas Al Qur’an, kelestarian bahasa Al Qur’an akan hilang. Inipun juga merupakan pembodohan dan mengajak orang berpikir sempit.
Adalah kewajiban para ahli bahasa menterjemahkan Al Qur’an dalam semua bahasa manusia manapun, dengan sebaik baiknya dan selengkap lengkapnya, kalau perlu berikan cacatan dan penjelasan terhadap kosa kata dan tata bahasa yang mempunyai berbagai makna. Namun semua itu perlu dilakukan dengan obyektif , terbebas dari aliran pemahaman apapun. Apakah itu penjelasan makna harfiyah maupun makna tersirat. Termasuk kalau setiap kata mempunyai banyak makna yang bisa konsisten ataupun berbeda pengertiannya.
Biarkanlah semua umat dengan semua bahasanya masing masing bisa memahami , menghayati ajaran Allah. Baik dalam mempelajari al Qur’an maupun membacanya dalam shalat, berdoa atau apa saja. Ini memang memerlukan perjuangan sendiri , karena melawan pemahaman turun temurun atau pemahaman “nenek moyang” yang sudah tertanam lebih dari seribu tahun tanpa dikritisi.
Sebenarnya lucu sekali kalau para udztad, dhai dan pengkhotbah membaca ayata ayat yang panjang dalam bahasa Arab, sebagian besar yang hadir ( meskipun mereka adalah cendekiawan, tetapi umu dalam bahasa Arab) tanpa mengetahui makna yang diucapkan. Namun karena sudah menjadi tradisi dan dianggap lumrah, memang sulit untuk merubahnya. Umat seolah seperti “kerbau dicocok hidungnya”, bukankah itu merupakan pembodohan, membiasakan diri diperlakukan secara bodoh?
Dengan digunakannya bahasa ibu dari masing maisng umat, maka transformasi dan komunikasi menjadi jauh lebih mudah dan efektip. Kalau tidak maka bahasa ayat ayat Al Qur’an, seolah hanya sebagai “izm” atau ”mantera “ bahkan menjadi “azimat”. Yang kalau diucapkan secara terus menerus akan mampu “memaksa Allah” memenuhi keinginannya termasuk “mengingatkan Allah” akan janjiNya. Janji Allah yang sebenarnya juga kita tak pernah persis tahu.
Lain lagi kalau penggunaan bahasa Arab digunakan untuk melakukan penetrasi kebudayaan, sama seperti penggunaan bahasa Inggris atau bahasa lain untuk mempengaruhi dan atau melakukan penetrasi kebudayaan kepada bangsa lain. Tentu bukan itu tujuan Allah mengapa menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa Al Qur’an.
Memang bahasa Arab bahasa yang lengkap kosa katanya. Sebagai contoh , mereka bagi laki-laki disebut “hum” dan untuk mereka perempuan disebut “hunna”. Untuk mereka dua laki-laki atau perempuan, disebut “humaa”. Kata “qaalataa”, dalam bahasa Inggris harus dikemukakan dalam 4 kata (the two women said , kedua wanita berkata); yaitu sebagaimana terdapat pada kata di surah Al-Qashash, ayat 23. Mengetahui makna Al Qur’an, bukan semata mata tergantung pada pemahaman bahasa, karena Allah tetap dapat menyesatkan atau mencerahkan umatnya. Dan mereka yang dicerahkan tidak selalu mereka yang menguasai bahasa Arab. Yaitu mereka yang diberi rahmat, hikmah dan ilmu dari Allah.
Meskipun demikian, mereka menguasai bahasa Arab, kalau tidak dibukakan pintu hikmah oleh Allah, mereka tak akan mampu memahami makna ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an. Dan justru karena wahyu Tuhan menggunakan bahasa Arab, maka bahasa Arab menjadi diperkaya. Karena itu melalui ajaran Islam, bahasa lain juga bisa diperkaya, yaitu kalau umat menggunakan bahasa ibu sendiri dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Jalan masih panjang agar pemikiran seperti ini dapat terlaksana.
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya“ (Yusuf, ayat 2), (Ar-Radu, ayat 37), (Az-Zukruf, ayat 12).
Ayat ini sebenarnya perlu mendorong umat agar bagaimana Al Qur’an dengan cepat dan mudah dapat difahami melalui bahasa ibu semua umatnya. Seperti telah disampaikan diatas, sayangnya umat Islam dengan berbagai dalih Al Qur’an dan Hadits, melarang umatnya untuk tidak melakukan shalat dalam bahasa ibu mereka masing masing. Dimasa lalu, khotbah pun diucapkan dalam bahasa Arab. Hingga kini doa doa juga diucuapkan dalam bahasa Arab tanpa diterjemahkan secara lengkap. Namun kini telah ada kemajuan, dalam doa bersama, setiap membaca ayat ayat Al Qur’an maka disampaikan terjemahannya. Wajar kalau umat cerderung awam dan taklid dalam masalah agama, seolah masalah yang membutuhkan keahlian yang hanya dimilik orang orang pilihan ( yang mampu menguasai bahasa Arab).
Mendalami dan mengamalkan ajaran Islam yang universal harus dibedakan dengan menggunakan tradisi atau budaya bangsa Arab. Karena Islam sebagai ajaran universal bukan menuntut manusia mengikuti budaya atau tradisi Arab, yang tidak berhubungan dengan ke”Islam”an. Demikian juga dalam mengikuti dan meneladani nabi, harus dikembalikan pada essensi ajaran dan bukan pada budaya dan tradisi ke Arab-annya. Banyak penggunaan budaya Arab yang kemudian distempel sebagai budaya Islam.
Banyak pemahaman tentang aspek budaya yang seolah Islami adalah budaya Arab dan belum tentu “Islami”. Ini semua terjadi disebabkan oleh suatu pemahaman tertentu tentang ajaran Islam yang sempit atau terbatas. Islam selalu dikaitkan dengan masalah cara berpakaian, makan, dan minum menurut budaya Arab. Dan ajaran Islam hanya dinilai dari sisi luar, yang selalu dihubungkan dengan hadits Nabi Muhammad SAW, yang belum tentu merupakan Hadits yang otentik. Hal ini memang seringkali dihubungkan dengan ahlak dan perilaku. Sehingga mungkin tidak akan dapat meng-Islamkan suku Dani di Papua, kalau kita telah mendahulukan tampilan fisik dan bukan isi. Kita bisa terjebak oleh kepura-puraan, atau kemunafikan. Tampilan memang perlu tetapi isi jauh lebih penting.
Banyak ajaran dalam Al Qur’an, yang tidak langsung menolak budaya Arab pada waktu itu, seperti; perbudakan, poligami, pembagian rampasan perang, ka’abah, peniliaan terhadap perempuan, cara berpakaian dsb dsb , namun semua itu kemudian diberikan makna baru yang jauh lebih baik. Karena itulah metoda penetrasi atau transformasi yang efektip. Namun akan menjadi keliru, kalau budaya itu jadi kebenaran dan ajaran yang penting.
Dan janganlah kita seperti para wanita bangsawan dan orang-orang kaya Arab, yang berjilbab-rapat, namun begitu meninggalkan Jedah, Abu Dhabi atau Kuwait, menuju Barat, langsung berdandan ala Barat. Melarang zina, namun mengembangkan harem, semacam budak yang bisa digauli semaunya atau melakukan kawin mut’ah untuk emnggauli wanita agar syah, setelah itu langsung dicerai. Tidak mencuri namun menipu. Berpakaian ke Arab2an. Dan banyak lagi contoh lainnya. Kulit memang perlu, namun utamakan makna dan essensi ajaran.
Mungkin itu hanya penyimpangan atau ekses, namun kalau itu dilakukan secara masif dan terus menerus menjadi kebiasaan, menjadi kebiasan untuk menjadi munafik. Jangan membudayakan kemunafikan, karena kaum munafik kedudukannya lebih rendah dari kaum kafir. Bahkan tanpa kita sadari sering kita bersikap atau berbuat kemunafikan.
Memang ideal kalau umat Islam seluruhnya menguasai bahasa Arab. Kita umat Islam tentunya tidak mau seperti para elite gereja Katolik yang harus menguasai bahasa Yunani kuno. Atau elite pendeta Yahudi yang harus menguasai bahasa Ibrani. Atau elite pendeta Hindu yang harus menguasai bahasa Pali atau Sansekerta. Sehingga timbul exclusifisme dan ketergantungan pemahaman kepada orang tertentu. Ini bagian pemahaman yang menajdikan ajaran Islam kehilangan semangat universalitasnya. Al-Qur’an perlu dipahami arti kebahasaannya dan dipahami makna terluar hingga makna terdalam di balik ayat-ayatnya.
Kalau semua umat Islam dapat menguasai bahasa Arab ( bahasa Al Qur’an), dan jika menguasaai bahasa Arab akan sangat baik, mereka yang menguasai bahasa Arab Al Qur’an , silahkan membaca Al-Qur’an dalam bahasa Arab. Namun perlu diingat bahwa menguasai bahasa Arab, bukan jaminan pasti bisa memahami sisi Al Qur’an. Kalau umat tidak memahami bahasa Arab, maka bacalah dengan bahasa ibu agar lebih mengerti dan menghayati. Jadikanlah Al Qur’an, ajaran yang bisa didalami dalam bahasa ibu manapun. Seperti telah disampaikan pada Bab sebelumnya, adalah tugas para ahli bahasa yang dibantu oleh mereka yang merasa dirinya ahli agama Islam, untuk menterjemahkan selengkap lengkapnya dan memberikan penjelasan makna bahasa Arab yang beragama makna akibat berbagai tata bahasa dan kosa kata , sehingga sejelas jelasnya. Sehingga tidak ada chauvenisme dalam penggunaan bahasa Arab. Baik dalam terjemahan Al Qur’an yang didasarkan pada pemahaman / aliran / mashab tertentu, maupun dalam penulisan, dalam khotbah, dalam dakwah dan doa bersama serta berbagai transformasi ajaran lainnya. Janganlah penggunaan bahasa Arab dianggap “unjuk keahlian dan kemampuan ke Islam-an” apalagi untuk memperbodoh orang lain, karena yang diucapkan tidak dimengerti oleh khalayak.
Penulis yakin, melalui cara itu untuk tidak fanatik menggunakan bahasa Arab, maka ajaran Islam akan difahami lebih baik dan ajarannya akan berkembang semakin pesat dan semakin meluas dengan menjadikan umat Islam semakin bermutu. Penulis juga menyadari bahwa penggunaan bahasa Arab dalam keberagamaan Islam sudah berlangsung lama ( seribu tahun lebih) , sehingga sudah membudaya bahkan hal pokok untuk telah menjadi “Islami”. Dan tidak mudah merubah penggunaan bahasa Arab , sesuatu yang meskipun tidak essensial dalam beragama, namun telah “terlanjur membudaya dalam praktek”.
Uniknya, kalau manusia itu beriman pada sesuatu dan teguh didalamnya, sekalipun “keliru pemahamannya” , ternyata dapat mendatangkan kekuatan metafisik tertentu. Karena manfaat itu langsung menyentuh bagi “kebutuhan praktis bagi kehidupannya didunia”, seperti; kesehatan, rezeki, kedudukan dan hubungan keluarga , maka menjadi sangat menarik. Kebutuhan itu perlu, namun dapat mengikat manusia, sehingga dapat melupakan pencapaian kebutuhan kehidupan didunia yang paling essensial. Lain halnya kalau pemahamannya itu baik dan benar, maka dengan keimanan kita teguh, maka bukan saja essensi kebutuhan kehidupannya didunia dapat terpenuhi, kebaikan bagi bagi kehidupannya selanjutnya juga dapat tercapai.
Ijtihad
Ada pandangan bahwa pintu Ijtihad telah ditutup, dan sejak itu umat Islam semakin mundur. Memang tidak jelas tentang pengertian pintu ijtihad telah ditutup, oleh siapa dan kapan, karena tidak satupun manusia yang mempunyai otoritas seperti itu. Kemungkinan setelah mantapnya hukum Syariah dan Fiqh, maka persyaratan untuk melakukan ijtihad yang ditetapkan para ulama menjadi sangat ketat. Pertama, adalah obyek yang dapat dilakukan umat dalam ber-ijtihad, Kedua, adalah persyaratan bagi mereka yang “berhak” atau boleh melakukan idtjtihad.
Ijtihad, menurut definisi ahli Ushul Fiqh, “adalah mengerahkan segala potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang yang memiliki kualifikasi secara keilmuan, pemahaman dan keyakinan teologis, untuk menetapkan hukum hukum praktis syariat Islam disertai dalil dalil yang diulas secara detail dan argumentative.” Sedangkan “ijtihad bi ar-ra’yi” (ijtihad menggunakan opini) dalam term Ushul Fiqh, adalah “berpikir”, berefleksi dan berkontemplasi dengan sarana yang telah ditetapkan oleh syari’at sebagai rambu rambu dalam menggali dan mendeduksi hukum di saat tidak ada nass (teks normatif) yang menjelaskannya”.
Maka definisi “ijtihad bi ar-rayi” adalah “pengerahan segala kemampuan dan potensi yang dimiliki untuk mencapai hukum-hukum yang berhubungan dengan kasus-kasus yang tidak memiliki dasar nass yang tegas dengan cara berpikir dan menggunakan perangkat-perangkat yang disediakan oleh syari’at sebagai rambu rambu untuk menetapkan hokum pada saat tidak ada nass yang menetapkannya”.
Kata ijtihad dalam bahasa Arab mengambil bentuk masdar tsulatsi mazid. Bila dikembalikan ke bentuk aslinya yang hanya memiliki tiga huruf ia menjadi jahada dan bentuk masdarnya ada dua; jahdun dan juhdun. Para ahli bahasa terbagi dalam pemaknaan dua kata ini. Ada yang menganggap keduanya memiliki satu arti sedangkan yang lainya meyakini masing-masing memiliki arti sendiri-sendiri. Jauhari menuliskan: “Al-Jahdu dan al-Juhdu kedua-duanya memiliki arti kemampuan, oleh karenanya pada surat Taubah/9 ayat 79 dapat dibaca kedua-duanya, “Walladzina laa yajiduna illa jahdahum atau juhdahum”.
Sementara Ahmad Fayyumi dalam kamusnya membedakan antara al-Jahdu dan al-Juhdu. Ia menuliskan: “Al-Juhd adalah kata yang dipakai oleh orang-orang Hijaz sementara kata al-Jahd dipakai oleh selain Arab Hijaz. Al-Jahd memiliki arti mengerahkan segenap kemampuan. Sementara kata al-Juhd mengandung makna kesulitan.” Mencermati arti yang disampaikan para ahli bahasa terlihat ada perbedaan dalam memaknai akar kata ijtihad. Namun bila diteliti lebih dalam lagi sebenarnya tidak ada perbedaan di sana. Kata al-Jahdu yang memiliki arti mengerahkan segenap kemampuan tidak akan pernah dilakukan oleh seseorang bila tidak menemui sebuah kesulitan. Artinya kedua kata ini saling melengkapi. Setiap kesulitan akan dihadapi dengan segenap kekuatan yang dimiliki sebagaimana segenap kekuatan hanya akan dikeluarkan bila menghadapi kesulitan.
Raghib Al-Isfahani dengan indah mengartikan kata ijtihad dengan menggabungkan dua unsur tersebut. Beliau menuliskan, ‘Wa Al Ijtihadu Akhdzun Nafsi Bi Badzlit Thoqoti Wa Tahammuli Al Masyaqqoh’ (Ijtihad adalah suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang dengan segala kemampuan yang dimiliki dan menanggung semua kesulitan yang ada).
Dalam kaitan ijtihad ini, ada hadist yang terkenal, yaitu katika Mu’az bin Jabal diangkat Nabi Muhammad menjadi hakim di Yaman, pernah melakukan dialog dengan nabi:
“Bagaimana sikap kamu dalam mengambil keputusan jika berhadapan persoalan hukum? Muaz menjawab: “akan aku putuskan berdasarkan Kitabullah” Jika juga tidak kau dapati? “aku akan putuskan berdasarkan sunnah Rasul” Jika tidak juga kamu dapati? Aku akan beritjtihad sekuat kemampuanku”. Jawab Muaz. Jawaban Muaz diakui dan dipuji oleh Nabi.
“…. Lakukanlah ijtihad, dan apabila kamu salah, maka kamu masih akan mendapat satu pahala, dan kalau kalau kamu benar, maka kamu akan mendapat dua pahala”
Ada yang menilai Hadits diatas tidak shahih merupakan hadits yang lemah atau Hasan. Padahal Hadits itu memperkuat pentingnya mengikuti Hadits.
Lebih daripada itu, Khalifah Umar pernah melakukan ijtihad terhadap ketentuan surat Al-Anfaal ayat 41, dan At-Taubah ayat 60; yaitu dengan menolak memberikan hasil rampasan perang buat muallaf. Yakni dengan alasan bahwa pada waktu ayat Al-Qur’an turun, pada saat itu umat Islam masih sedikit, sehingga perlu stimulus melalui pembagian hasil rampasan perang. Sementara itu di masa kekhalifahan Umar, umat yang masuk Islam semakin banyak, sehingga perintah untuk membagikan pampasan perang diabaikan. Suatu kisah yang menarik untuk ditarik sebagai pelajaran akan keberanian sebuah ijtihad. Terutama terhadap ajaran Al Qur’an yang bersifat kontekstual ( berlaku pada masa terbatas). Apalagi kini pampasan perang secara harfiyah sudah tidak ada lagi.
Hadist dan kisah Umar di atas memang sangat mendukung orang dalam berijtihad. Dan sayangnya umat Islam sejak abad 13 dapat dikatakan telah menutup pintu ijtihad. Memang ada kebebasan penggunaan akal pikiran yang cukup besar, terutama pada masa pemerintahan dinasti Abbasyah, terutama pada masa Khalifah Harun Al-Rasyid (170-193 H/786-808 M) dan Al- Makmun (198-218 H/813-833 M). Pada masa itu di satu sisi pemerintahan maju pesat, namun di sisi lain timbul berbagai kekhawatiran dalam menjaga kemurnian “aqidah” Islam. Faham Mutazilah pada masa jaman keemasan pemerintahan Islam, sangat didukung oleh penguasa sehingga memberikan warna pemahaman Islam yang bebas. Bahkan sedemikian bebasnya penggunaan akal, menibulkan kekhawatiran pada sebagian ulama tertentu. Karena dapat timbul ijtihad yang kebablasan, sehingga dapat saja menimbulkan banyak penafsiran atau ekses yang keliru.
Pergolakan pemikiran para ulama dan cendekiawan berlangsung antara abad 10 hingga abad 12 M dimenangkan oleh pemikiran Al Gazali (w.1111 M), yang sesungguhnya ingin “mendamaikan” pemikiran filsafat, fiqh, syari’ah dan tasauf. Namun akhirnya yang berkembang adalah pemikiran tasauf dan fiqh / syariah, masing masing berkembang sendiri-sendiri. Dengan kemenangan para pengikut Al Gazali, maka “pintu ijtihad sejak itu ditutup” dan kondisi umat Islam dari waktu kewaktu semakin terpuruk, tertinggal dan terbelakang. Minimal untuk dapat berijtihad para ulama memberikan persyaratan yang ketat.
Sesungguhnya sikap umat terhadap ijtihad ini penuh dengan kontroversi. Di satu sisi memahami bahwa Islam adalah agama akal, sehingga pentingnya kita menggunakan akal pikiran dalam memahami ajaran, namun disisi lain akal dibatasi. Padahal makna penggunaan akal pikiran maka dapat dilakukan ijtihad dengan seluas-luasnya. Namun di sisi lain begitu ketat persyaratan yang ditetapkan para ulama dalam melakukan ijtihad. Ijtihad hanya boleh dilakukan atas dasar “frame of thinking” tertentu. Ijtihad memang diperbolehkan, namun dengan persyaratan ketat dan hanya para ulama tertentu yang dapat melaksanakannya.
Hasil Ijtihad terutama adalah berupa idjma, qiyas dan Seolah dilepas kepalanya tetapi dipegang buntutnya. Karena tidak lagi ada masalah yang dinilai sifatnya sebagai “aqidah ajaran Islam” yang dapat di-ijtihadkan. Seolah pemahaman terhadap aqidah Islam sudah final.
Padahal, seperti yang telah diuraikan sebelumnya secara panjang lebar, umat Islam masih belum memahami ajaran dengan baik dan benar, pemahaman “jalan yang lurus”. Kita baru mencoba memahami dan menuju pada pemahaman ajaran Allah dengan baik dan benar. Hal ini terbukti dari banyaknya aliran, faham, sekte dan mashab yang masing-masing mempunyai argumen yang menurut mereka sangat kuat dan benar. Artinya, dapat saja semua paham, aliran, sekte, dan mashab, itu ada yang benar sebagian tetapi tidak berarti bahwa keseluruhan fahamnya benar 100%. Hanya Allah dan Rasul yang dapat mengklaim kebenaran itu. Artinya pintu ijtihad harus terbuka seluas-luasnya bagi setiap umat. Tidak ada batasan apapun dalam melakukan ijtihad. Para ulama telah melakukan pembatasan, karena khawatir sesat, maka itulah penyebab ditutupnya pintu ijtihad. Apakah ulama itu menjamin bahwa dengan adanya kriteria pembatasan ijtihad, maka ijtihadnya paling baik dan benar?
“ Jika seorang hakim menetapkan keputusan lalu ber ijtihad dan ternyata ijtihadnya benar, ia mendapat dua pahala. Jika seorang hakim menetapkan keputusan lalu ber ijtihad, dan ternyata ijtihadnya keliru, ia mendapatkan satu pahala” ( HR Shahih Buchari).
Pemahaman terhadap adanya pahala yang diberikan sekalipun ijtihadnya keliru, menunjukkan bahwa nabi menganjurkan ijtihad. Diberikankan satu pahala kalau ijtihad yang dilakukan keliru, adalah penghargaan pada upaya yang dilakukan dengan sungguh sungguh dan tulus, sekalipun keliru. Semua upaya yang dilakukan merupakan proses, dan melalui proses itulah maka setiap umat, bukan saja memahami ajaran melainkan juga akan menghayati ajaran.
“Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang sengaja di hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Al-Ahzab, ayat 5).
Karena itu ijtihad sangat penting dalam memutuskan atau memahami sesuatu “nash” yang belum jelas. Dan “nash” yang belum jelas itu terkait dengan pemahaman kita terhadap ayat-ayat mukhamat dan mutasyabihaat dan nasikh-mansukh. Kita mau tidak mau, suka tidak suka, harus mengatahui posisi dirinya dalam memahami ajaran Allah. Ketika tidak ada informasi atau penjelasan yang dapat kita yakini, masing-masing umat Islam diminta untuk meminta fatwa pada nuraninya (qalb) sendiri. Rasullulah bersabda:
“Mintalah fatwa pada hatimu…Kebaikan adalah suatu yang menenangkan jiwa dan menenangkan hati, kejelekan (dosa) adalah sesuatu yang menyengsarakan jiwa dan membuat perasaan tidak tenang, sekalipun ada yang memberikan fatwa”
Sebagai akibatnya, wajar bila banyak ulama Sunni yang memperketat persyaratan orang untuk melakukan ijtihad dalam penafsiran ajaran Allah dalam Al-Qur’an. Alasan utamanya adalah bahwa akal manusia terbatas, sehingga tidak mungkin menjangkau atau menilai ajaran kebenaran, baik dan buruk atau haram dan halal, atau yang diwajibkan atau yang disunnahkan.
Ijtihad dalam kaitan dalam memahami makna ajaran Al Qur’an, bukan hanya penggunaan akal rasional ( kecerdasan rasional ) , namun juga akal emosional dan atau spiritual ( kecerdasan emosional/ spiritual). Seperti telah disampaikan bahwa Al Qur’an menggunakan bahasa perumpamaan, kiasan dan simbol dan atau mutasyabihaat. Al Qur’an memang dapat difahami secara phisikal, literal, explisit , terutama bagi pemula, namun bagi mereka yang pemahamannya semakin dalam dapat memaknai Al Qur’an, melalui pemahaman spiritual, yang banyak dilakukan oleh kaum sufi. Al Qur’an dapat difahami sebagai ajaran yang menyangkut alam diluar diri manusia ( makro kosmos), namun juga seluruh isi Al Qur’an, merupakan ajaran yang berlaku bagi setiap diri seorang manusia ( mikrokosmos).
Kita bisa menilai Yahudi, Nasrani dan Majusi secara phisik atau sebagai kumpulan manusia, namun kita juga bisa memahami bahwa makna sebagai sifat; ke-Yahudi-an ( materialistis) , ke-Nasrani-an (spiritualis-tik) dan ke-Majusi-an ( kemistikan) , suatu sifat yang bisa muncul dalam diri kita sendiri. Demikian juga, kafir, musrik, munafik, fasik, bukan hanya suatu sifat dominan seseorang, namun juga bisa merupakan salah satu sifat pada dalam diri kita sendiri, yang kadangkala mempunyai sifat sifat seperti itu. Al Qur’an mengingatkan akan bahaya dari kejahatan syaitan, sebagai mahluk yang ada diluar manusia, namun juga perlu difahami bahwa sifat syaitoni, ada dalam nafsu di-diri kita sendiri. Sebagai contoh pemehaman kita tentang tauhid umumnya mengEsa-kan Allah, itu sekedar tidak memberhalakannya, kalau hanya itu sangat mudah. Namun bagaimana kita menyadari bahwa yang ada hanya Allah, bahwa kecintaan kita pada sesuatu jauh lebih rendah dari kecintaan kita pada Allah. Bahwa tidak lagi ada Allah dan aku, atau berbagai sikap dualistik lainnya. Kesadaran seperti itulah yang perlu diupayakan, dan bagi setipa manusia itu merupakan proses penjang. Kita mampu membebaskan diri pada keterikatan dunia, sekalipun kita tetap hidup dan berupaya didunia. Sebab kalau belum mencapai kesadaran seperti itu kita masih bisa bersikap syirk . Dosa yang tak terampuni, karena menutup jalan menuju Allah.
Memang seolah dengan mudah kita memahami Al Qur’an secara literal dan explisit , padahal kalau kita mengikuti rangkaian ayat ayat, kita bisa merasakan ajaran dalam Al Qur’an itu seolah inkonsiten, melompat lompat dan tidak sistematis bahkan kontroversial. Karena itu seringkali kita melakukan penggalan penggalan ayat. Bahkan ada pemahaman bahwa dalam Al Qur’an ada nasakh dan mansukh, seolah ada hukum atau ketentuan yang diubah. Namun kalau kita memahami ajaran itu dengan kedalaman spiritual, maka Al Qur’an itu sangat sistematis dan konsisten. Bahkan kalau kita memahami bahwa isi ajaran Al Qur’an itu ada yang bersifat kontekstual, maka wajar apabila Umar melakukan penafsiran yang berbeda dengan bunyi yang tersurat dalam suatu ayat Al Qur’an. Bahkan kalau kita dalami pada “Asbabun nuzul”, yang sebenarnya didalamnya ada makna ajaran yang bersifat konstektual, artinya adanya ajaran yang berlaku hanya pada beberapa saat waktu ayat itu diturunkan. Dan bukan “ Asbabaun Nuzul “ dengan makna; diturunkannya wahyu adalah disebabkan karena ada peristiwa / masalah tertentu (kontektual).
Kita seringkali menggunakan Hadits yang menyatakan bahwa “ kalau menanyakan sesuatu harus pada ahlinya”. Kalau masalah itu adalah masalah keduniwian maka memang benar pernyatan Hadits tersebut. Yakni agar tidak sesat/ keliru , maka bertanyalah kepada ahlinya. Namun dalam masalah “ajaran agama, yang ajaran Allah”, yang merupakan ilmu diatas semua ilmu manusia, maka peran ahli sebagai ahli agama patut dipertanyakan, karena diperlukan adanya pemahaman baru.
Selama ini umat Islam, telah terbiasa menjabarkan ajaran Allah dalam ilmu ilmu agama atau ilmu Islam. Karena itu diperlukan ahli agama, atau adanya ahli agama maka muncullah ilmu agama. Ilmu-ilmu agama adalah ilmu ciptaan manusia, untu mendalami agama agar menjadi lebih mudah lebih sistematis didalami dan dimengerti dan diamalkan dsb. Padahal ajaran Allah bukan ilmu agama, kalau ilmu agama yang notabene adalah ilmu ciptaan manusia, adalah ilmu yang termasuk ilmu yang sejajar atau setara dengan ilmu ilmu manusia lainnya. Bahkan ilmu ilmu agama dimasukkan kedalam ilmu sosial dan atau ilmu humaniora. Sehingga adanya ilmu agama seperti itu akan menurunkan kadar ajaran Allah atau ilmu Allah itu sendiri.
Ajaran Allah adalah ilmu diatas ilmu, ilmu ciptaan manusia. Sedangkan ilmu ilmu agama adalah pemahaman menurut sudut pandang manusia, bukan sudut pandang Allah. Namun karena pemahaman ini telah berlangsung lama, maka kemudian telah menjadi tradisi yang diyakini kebenaran dan kebaikannya. Inilah yang disebutkan dalam Al Qur’an, mengikuti ajaran nenek moyang. Inilah pangkal kekisruhan kita dalam kita memahami ajaran Allah. Dimana otoritas yang dinilai paling faham tentang ajaran Allah, Islam, adalah para ulama agama dan ahli agama. Padahal dalam memahami ajaran Allah, disebutkan dalam Al Qur’an, bahwa Allah dapat menyesatkan atau mencerahkan manusia. Hal itu tergantung dari amal shaleh dan ketaqwaannya dan bukan karena ilmu atau keahliannya. Pemahaman terhadap ajaran Allah juga ditentukan oleh rahmat dan ilmu dari sisiNya kedalam hati dan jiwa manusia. Yang lebih membutuhkan “laku dan amal” atau “suluk”. Ajaran Allah adalah tentang “suatu kebenaran yang mutlak”, namun pemahaman manusia terhadap ajaran Allah adalah pemahaman “kebenaran relatif”.
Kalau ilmu itu adalah ilmu ciptaan manusia, apalagi termasuk ilmu sosial maka merupakan ilmu relatif , lebih rentan relatifitasnya dari ilmu phisik atau ilmu exakta. Padahal ilmu exakta saja, juga bersifat “relatif”. Ilmu sosial akan sangat tergantung pada siapa tokoh dibelakangnya, apa fahamnya atau alirannya, apa mashabnya atau wahmnya? Karena itulah, maka ilmu hukum dan Syari’atnya sebagai ilmu manusia, maka yang disusun kaum Sunni akan berbeda dengan kaum Syi’ah akan berbeda dengan kaum Jabariyyah dst. Demikian juga bisa jadi ilmu agama lainnya, tasauf, filsafat, teologi , ilmu Al Qur’an dsb.
Kalau tidak menggunakan ilmu ilmu agama, maka bagaimana kita membahas dan mendalami ajaran Allah?
Setiap manusia, adalah seseorang yang menjalani kehidupannya masing masing. Dan ajaran Allah adalah ajaran kehidupan, berisi ajaran tentang bagaimana agar manusia dapat menjalankan kehidupan dengan tepat, baik dan benar. Karena manusia adalah pelaku kehidupan, maka setiap manusia adalah ahli kehidupan. Baik kehidupan dirinya maupun kehidupan mahluk dan alam disekitarnya. Karena itu setiap manusia adalah ahli dalam kehidupannya sendiri, sehingga juga ahli untuk memahami ajaran Allah, ajaran kehidupan. Dengan demikian, sebaiknya tidak ada ahli agama atau ulama yang hanya ahli agama, yang ada adalah ahli bidang kehidupan dunia tertentu, sekaligus juga memahami dan mengamalkan ajaran Allah. Dimasa lalu, ulama adalah ahli ilmu bukan ahli agama, ahli yang menguasai berbagai ilmu manusia sekaligus memahami ajaran Allah dengan ilmunya. Atau dapat dikatakan bahwa merasukkan pemahaman terhadap ajaran Allah kedalam berbagai ilmu ciptaan manusia.
Kembali pada ajaran Allah yang merupakan ajaran kehidupan sedangkan manusia adalah ahli kehidupan, maka setiap manusia yang ingin agar hidupnya, tetap, baik dan benar atau kehidupannya berjalan dengan efektip dan efisien, maka perlu belajar ajaran Allah secara mandiri. Untuk setiap umat tidak perlu takut sesat, karena itu semua hanya proses, namun syaratnya adalah bahwa setiap orang dengan sungguh sungguh, tulus dan jujur mendalami ajaran Allah (Islam). Belajar mendalami dan menghayati ajaran Al Qur’an. Disamping kemudian juga mau mendalami semua pengalaman kehidupannya dengan baik. Untuk ini umat harus belajar dari Hadits Nabi yang dilakukan secara selektip.
Karena umat tidak belajar ajaran Allah dari awal, maka adanya pemikiran dan pemahaman orang lain, sebaiknya dijadikan masukan yang berharga, karena belajar dari pengalaman orang lain pasti ada nilainya.
Hal ini didasarkan pada pemahaman, bahwa setiap orang diciptakan dan mempunyai fitrah dari Allah, sebagai mahluk yang unik dan spesifik. Setiap orang mempunyai kapasitas dasar yang unik dan spesifik, tak ada duanya. Setiap orang adalah unik dan spesisik pengamalan hidupnya. Bahkan sekalipun dirinya adalah anak kembar dari orang tua yang sama dan dibersarkan dalam lingkungan yang sama. Dengan kita mencoba ada ahli agama, ada aliran agama, itu adalah upaya untuk melakukan standardisasi pemahaman. Suatu kebiasaan dan rekayasa manusia yang telah menjadi nalurinya dalam hubungan sosial, yang sudah dimulai sejal manusia menciptakan bahasa. Bahasa adalah ilmu kesepakatan manusia untuk memudahkan manusia berkomunikasi satu sama lainnya. Dan naluri itu juga dikembangkan dalam memahami ajaran Allah, yakni agar semua orang mempunyai pemahaman yang sama.
Nasikh Dan Mansukh
Dalam Al-Qu’an terdapat ayat-ayat yang nasikh (yang menghapus atau meralat), dan ada yang masukh (ayat yang dihapus). Umumnya para ulama telah sepakat tentang hal ini. Meskipun, ada ulama yang keberatan terhadap pandangan ini, misalnya Abu Ja’far An-Nuhlas (w.338 H). Makna nasikh, secara etimologi ada dua, yaitu;
Pertama, “ar raf’u wal izalah” yang artinya mencabut atau menghilangkan. Ini adalah pengertian nasikh yang digunakan dalam hukum syari’ah, sebagaimana ayat di bawah ini.
“Allah akan menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu”
(Al-Hajj, ayat 52).
Kedua, “at Tashir”, artinya gambaran atau salinan, sebagaimana dalam ayat ini:
“Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan”
(Al-Jaatsiyah, ayat 29).
Di kalangan ulama ada berbagai pendapat mengenai masalah nasikh dan mansukh ini. Ayat-ayat Al-Qur’an yang dimansukh ada tiga macam. Pertama, ayat yang mansukh rasm (tulisan) termasuk hukumnya. Kedua, ayat yang dinasakh rasm-nya, namun hukumnya masih tetap ada. Ketiga, ayat yang dinasakh hukumnya, namun rasm-nya masih ada.
Ubay Muhammad Makki ibn Abi Thalib Al-Qaysi, menerangkan makna etimologis kata “naskh” ada tiga macam arti. Pertama, diartikan dengan al-naql yang diambil dari kata naskh al-kitab (menukil dari satu kitab ke kitab yang lain). Dengan makna ini naskh tidak mengubah apa yang dinasakh. Kedua, kata “naskh” berarti menghapuskan sesuatu untuk kemudian menempati posisinya. Di sini apa yang dinasakh menjadi hilang dan digantikan posisinya oleh yang me-nasakh. Ketiga, kata “naskh” berarti menghapuskan sesuatu tanpa pengganti, yang diambil dari perkataan “nasakhat al-rih al-atsar“.
Dengan demikian maka baik yang me-nasakh maupun yang di-nasakh sama sama hilang. Selanjutnya Makki menyatakan bahwa kebenaran naskh dalam Al-Qur’an kebanyakan diambil dari arti yang kedua, yakni menghapuskan sesuatu yang kemudian menempati posisinya. Dengan adanya naskh dalam Al-Qur’an dengan kata al-naql (pemindahan), maka pendapat Abu Jafar al-Nahhas, adalah keliru. Sedangkan naskh dalam arti ketiga, hanya diketahui dari riwayat.
Para sahabat dan tabi’in, menggunakan kata “naskh” untuk takhhish dan taqyid, dan memandang “naskh” sebagai perubahan mutlak yang terjadi atas sebagian hukum, baik untuk menghapuskannya dan menempatinya tempatnya. Dalam hal ini Ali Al-Awsi mengutip contoh bahwa dalam surat Al-Anfal, ayat 1-2 yang menurut Ibn Abbas, Mujahid Ikrimah dan Al Suddi, dinasakh oleh ayat dalam surat Al-Anfal, ayat 41. Dengan merujuk karya Muntaqa, Al-Awsi menyatakan bahwa antara kedua ayat itu tidak terjadi nasikh dan mansukh, karena hubungan kedua ayat itu termasuk persoalan taybin al-mujmal, di mana “Al-Anfal” ditafsirkan sebagai “Al-Ghanimah”.
Lebih lanjut pandangan para sahabat mengenai pengertian nasikh-mansukh yang demikian itu terus diikuti para mufassir sehingga mereka mengambil kata “naskh” dengan pengertian yang mencakup; “takhshish al-‘amm”, “taqyid al-mutlhaq”, “itsitsna’” dan lain-lain. Dan ini menjadi awal kerancuan teori “naskh”. Teori naskh ini diberlakukan sebagai metodologi alternatif untuk menyelesaikan problem kontradiksi di antara ayat-ayat Al-Qur’an yang dianggap bertentangan yang tidak dapat diselesaikan melalui metoda seperti; “takhshis al’amm”, “taqyiyid al-mutlaq” atau “taybin al-mujmal”.
Sedangkan syarat-syarat yang disimpulkan para ulama, dalam masalah nasikh dan mansukh ada lima, yaitu:
1. Hendaklah hukum yang terkandung dalam nasikh dan mansukh bertentangan, dan tak mungkin dilakukan kompromi. Contoh; status haram bagi wanita yang telah dithalak tiga. Status haram itu hanya berlaku bagi suami yang men-thalak-nya. Dan kalau wanita itu kemudian telah kawin dan ditalaq, maka status haram itu hapus.
2. Hendaklah hukum dalil yang mansukh sudah berlaku sebelum digantikan dengan hukum nasikh. Contoh; “sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan” (Al-Anfaal, ayat 66) dengan firman yang lain; “Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu, maka sekarang campurilah mereka” (Al-Baqarah, ayat 187).
3. Hendaklah hukum yang dinasakh adalah hukum yang ditetapkan melalui nash syar’i. Praktek thalak pada jaman jahiliyah tidak dibatasi. Kemudian melalui firman Allah; “Thalaq (yang dapat dirujuk) dua kali (Al-Baqarah, ayat 229).
4. Hendaklah hukum dalil yang berfungsi sebagai nasikh harus berasalh dari nash syar’i, sebagaimana dalil hukum yang dimasukh. Karena itu hukum yang ditetapkan melalui nash syar’i, tidak boleh dinasikh hanya dengan keputusan ijma atau qiyas.
5. Hendaklah proses penetapan dalil nasikh, minimal setara dengan proses penetapan mansukh.
Selain dukungan yang diberikan sebagian ulama terhadap teori “naskh”, muncul setidak tidaknya 3 macam pandangan yang menolak adanya “naskh” dalam Al-Qur’an.
Pandangan Pertama, Menolak Teori Naskh. Abu Muslim al Ashfahani secara tegas menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan, dengan mengajukan ayat Al-Fushshilat, ayat 42, sebagai argumentasinya. Sekalipun ada yang dinilai bertentangan pasti bisa dikompromikan tanpa menggunakan teori “nasikh-mansukh”. Muhammad ‘Abd al Muta’al al Jabri, menyatakan bahwa makna “naskh” sebagai pembatalan hukum, namun pembatalan itu terjadi bukan di dalam Al-Qur’an, melainkan pembatalan syariat yang diwahyukan para nabi sebelum Nabi Muhammad. Lain lagi pandangan Muhammad Abduh, yang menyatakan bahwa ayat yang dimaksud dalam surah Al-Baqarah, ayat 106, bukan berarti syariat atau ayat-ayat Al-Qur’an, seperti yang dipahami kebanyakan ulama, tetapi ayat di sini berarti mukjizat. Ini diperkuat dengan akhir ayat yang menyebutkan “Tidak tahukah engkau bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu”. Apalagi pada ayat 107, disebutkan proses umat Nabi Musa yang selalu meminta bukti-bukti untuk mengimani Musa sebagai nabi.
Hasbi Ash Shiddiqi menolak teori “naskh” dengan pertimbangan; 1) Tidak ada ayat Al-Qur’an yang menyatakan ke-mansukh-an suatu ayat, 2) Hadis tentang naskh tidak memenuhi kriteria keshahihan, sehingga tidak bisa dijadikan “hujjah”, 3) Tidak ada kesepakatan dari para ulama, 4) Ke-”mansukh”-an suatu ayat menjadi batal ketika pertentangan lahiriyah antara ayat-ayat yang dianggap mansukh dengan ayat-ayat “nasikh” sudah bisa dihilangkan, 5) tidak ada hikmah dengan adanya ayat ayat yang di”naskh”.
Pandangan Kedua, Memodifikasi dan Merekonstruksi Teori Naskh. Salah satu orang yang berupaya memodifikasi adalah Muhammad ‘Abduh, yang menyetujui pergantian dan pemindahan (tabdil) satu ayat dengan ayat lain, karena kondisinya berbeda. Hanya saja dengan memaknai “nasakh” sebagai penggantian, tidak disebutnya sebagai “naskh”. Al-Maraghi mengibaratkan penggantian hukum (naskh) ini dengan fungsi obat kepada pasien (umat). Para nabi adalah bagaikan dokter yang memberikan obat yang berbeda kepada pasien yang penyakitnya berbeda. Dan obat yang ada sudah tentu tak perlu dibuang karena pasti ada yang membutuhkan. Al-Maraghi dengan pandangannya di atas menolak “naskh” dalam arti pembatalan, namun menerimanya sebagai penggantian hukum.
Pandangan Ketiga, Mendekonstruksi teori “naskh”. Mahmoud Muhammad Thaha berpandangan bahwa “naskh” adalah suatu kebenaran historis yang sudah saatnya ditinggalkan. Ditinggalkan bukan berarti bahwa adanya penghapusan hukum itu tidak diakui, tetapi model teori “naskh” itu yang tidak lagi bisa diterima dalam situasi sekarang. Bagi Thaha, “naskh” memiliki kebenaran tersendiri namun tidak bisa diberlakukan secara permanen. Karena kalau dijadikan permanen, maka umat Islam menolak bagian dari agama mereka yang terbaik. Mengapa menerima “teori naskh” dianggap meninggalkan ajaran Islam terbaik? Thaha menyatakan bahwa pesan abadi dan fundamental yang menjadi acuan Al-Qur’an adalah ayat-ayat makiyyah, yang lebih menekankan martabat umat manusia.
Kontradiksi yang seolah ada dalam ayat, karena misi Islam adalah menegakkan pluralisme, egaliterianisme, keadilan sosial, dan kesetaraan gender laki-laki dan perempuan, dan pesan-pesan lain semacam itu. Karena umat Islam pada waktu itu belum siap melaksanakan pesan-pesan universal itu, maka diwahyukan Madaniyyah yang isinya lebih praktis. Dalam hubungan ini Thaha menolak anggapan bahwa kalau demikian halnya Allah mempunyai keterbatasan.
1. Al-Qur’an merupakan wahyu terakhir, konsekuensinya Al-Qur’an harus berisi ajaran-ajaran yang relevan bagi masa depan.
2. Demi martabat dan kebenaran yang dilimpahkan Allah kepada manusia, maka Allah menghendaki umat manusia belajar melakukan pengalaman praktis.
Menanggapi surah Al Baqarah, ayat 106, Thaha memberikan penafsiran sebagai berikut. “Ayat yang Kami nasakh (menghapus hukum suatu ayat) atau Kami tunda pelaksanaannya (aw nansa ‘ha), Kami gantikan dengan ayat yang lebih dekat dengan pemahaman manusia atau memulihkan berlakunya ayat itu pada saat yang tepat”.
Mengenai ketentuan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah ini, masing-masing terdapat analisis dan penjelasanannya. Adanya teori “nasikh dan mansukh” dinilai para ulama sebagai suatu yang dijelaskan sendiri oleh Al-Qur’an, meskipun hal ini juga merupakan interpretasi. Namun yang ingin disampaikan adalah bahwa manusia dapat melakukan “nasikh dan mansukh” terhadap ketentuan Allah? Dan penulis yakin, karena Allah tidak terikat waktu dan ruang, maka bagi Allah masa lalu, masa kini dan masa depan, terlihat dengan jelas dan terang, Allah tak perlu melakukan perubahan terhadap ajaran-Nya, apalagi dalam rentetan wahyu dan kurun waktu yang berurutan.
Contoh lain, adalah berkaitan dengan ayat Al-Qur’an yang mengatur pembagian pampasan perang dan zakat. Khalifah Umar, pernah mengabaikan ayat yang memerintahkan pembagian rampasan perang yang diberikan kepada mereka yang masuk Islam. Dengan alasan, bahwa pada saat ayat itu diturunkan, sangat dianjurkan pembagian harta rampasan perang dan zakat agar banyak orang yang masuk Islam. Namun setelah begitu banyak orang masuk Islam, khalifah Umar menganggap mereka tidak perlu lagi dibagikan hasil rampasan perang. Artinya apakah dengan demikian ayat tersebut secara hukum dapat dihapuskan?
Adalah tidak mungkin suatu ayat “di-nasakh” atau dimansukh oleh ayat lain, karena Al-Qur’an tidak mengenal urutan atau struktur, yang lebih dulu turun tidak berarti kurang penting dibandingkan yang turun kemudian. Demikian juga dalam mengenal mana yang lebih esensial, tidak dengan mudah dapat difahami, karena aspek inilah yang paling dijaga Allah. Dan untuk memahami ajaran yang paling esensial diperlukan hikmah-Nya. Dan hikmah akan turun kalau manusia yang bersangkutan beriman atau berserah diri secara totalitas kepada Allah dan beramal shaleh (ber-ahlak mulia).
Dalam kaitan nasikh dan mansukh, masalahnya tidak harus dipahami sebagai suatu perubahan ajaran Allah, sehingga Allah dapat ditafsirkan sebagai Allah yang “sewenang-wenang”. Melainkan harus dipahami sebagai suatu ajaran atau pengaturan yang luwes (fleksibel) karena memang tidak mempunyai makna esensial, namun sekedar upaya kondisional guna membangun dan “memelihara budaya yang ada kemudian diisi dengan jiwa Islam”. Ajaran Islam tidak dimulai dari titik nol. Melalui ayat-ayat tersebut Allah ingin menunjukkan bahwa bisa saja suatu ketentuan dapat “disesuaikan”, bila dinilai secara sosial akan lebih efektif, sesuai perubahan kondisi, waktu dan ruang yang memerlukan penyesuaian (pemahaman kontekstual). Artinya, suatu ketentuan mungkin saja diperlukan perubahan, karena aspek sosialnya yang menonjol, dan perubahan atau penyesuaian yang dilakukan dapat saja dimusyawarahkan di antara umat. Namun tidak berarti ketentuan sebelumnya tidak berlaku, karena itu semua tergantung konteksnya, terkait dengan waktu dan ruang. Ketentuan lama juga berlaku dalam konteks yang sama, sebagaimana ditunjukkan oleh situasi dan kondisi pada waktu turunnya ayat.
Yang jelas Allah pasti telah mengetahui jauh sebelumnya dampak dari turunnya suatu ayat, apalagi bila Allah seolah-olah melakukan uji coba untuk kemudian melakukan perubahan ayat-ayat dari kehendak, keinginan, atau perintah-Nya. Adanya nasakh dan mansukh disebabkan karena penafsiran dan pemahaman yang keliru dari manusia atau sebagian ulama terdahulu. Teori nash-mansukh membuat seolah terjadi perubahan ayat-ayat yang diturunkan Allah. Seolah-olah ada inkonsistensi dalam ayat-ayat-Nya, yang memerlukan pelurusan kembali. Dalam hal ini, maka pemahaman manusia mengenai nasikh dan mansukh yang dilakukan Allah terhadap ayat-ayat-Nya sendiri dapat dikatakan keliru dan harus diluruskan kembali. Maka harus dikembalikan pada asumsi bahwa kekeliruan ada pada manusia yang memahami, bukan pada ayat-ayat-Nya. Manusia sangat potensial untuk memiliki asumsi atau cara pandang yang keliru. Jadi bukan ayat-ayat-Nya yang mengandung inkonsistensi, tetapi pemahaman manusia yang memelukan perubahan. Janganlah kita menilai Kebesaran dan ke-Maha-Kuasaan Allah secara inkonsisten atau ada kontroversi didalamnya ( nasikh mansukh).
Bahasa Perumpamaan, Mukhamat dan Mutasyabihaat
Seperti diketahui dalam Al Qur’an terdapat ayat ayat yang menggunakan bahasa perumpamaan, kiasan serta simbol dan atau sifatnya mutasyaabihaat ( yang belum jelas maknanya), disamping terdapat adanya ayat ayat yang muhkamat ( yang jelas makna dan artinya). Bahkan dalam Al Qur’an dikatakan bahwa banyak diantara umat manusia sebagai akibatnya ; telah disesatkan atau sebaliknya telah dicerahkan atau diberiNya petunjuk.
“Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu . Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?" Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah , dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik”( Al Baqarah/2:26)
Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.
(Al ‘Anakabuut/29 ayat 43)
Melalui bahasa perumpamaan, Allah dapat menyesatkan atau memberikankan petunjuk. Dan untuk dapat mamahami bahasa perumpamaan dalam Al Qur’an adalah orang yang berilmu . Disamping ayat ayat diatas, banyak ayat yang menjelaskan mengenai penggunaan bahasa perumpamaan dalam Al Qur’an, seperti ; Ar Ra’ad/13 ayat 17, An Nur/25 ayat 35, Al Hajj/22 ayat 73 dst, yang jumlahnya sekitar 47 ayat tersebar pada 18 surah. Ayat diatas secara jelas menyatakan bahwa mereka yang disesatkan adalah mereka yang fasik. Dan Allah membuat perumpamaan itu dengan kalimat yang baik dan kokoh.
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit,
( Ibrahim/14 ayat 24)
Sebagai contoh nyata bahwa ayat ayat Al Qur’an merupakan ajaran yang mempunyai makna perumpamaan adalah kisah hamba Allah yang diberi rahmat dan ilmu Allah.
Seperti yang tertuang pada ayat 60 s/d ayat 82 surah Al Kahfi. Keseluruhan kisa didalamnya, dapat dianggap sebagai kisah simbolik, karena tidak perlu bahwa peristiwa itu benar benar ada, dimana Nabi Musa sebagai utusan Allah justru belajar kepada hamba Allah yang diberikan rahmat dan ilmu dari sisiNya. Bukankah Nabi Musa sebagai utusan Allah adalah seorang hamba yang diberi rahmat dan ilmu, mengapa dikisahkan belajar pada seseorang yang identitasnya tidak jelas. Yang oleh para ulama kemudian disebut sebagai Nabi Khidr. Dapat dipastikan bahwa Nabi Musa yang belajar kepada Nabi Khidr tak pernah terjadi secara phisik. Allah melalui kisah ini dalam Al Qur’an, mengajarkan kepada kita umat manusia , “ilmu kebijaksanaan bahkan termasuk sebagai ilmu wahdatul wujud”, ilmu kesadaran tertinggi yang dapat dicapai manusia ( kesadaran Illahyiah). Dimana antara kehendak atau perbuatan manusia dapat sejalan dengan kehendak Allah.
Hampir semua kata kata dalam ayat Al Qur’an merupakan bahasa perumpamaan, hal ini antara lain dapat ditunjukkan bagaimana umat memaknai surah Al Fatihah. Penjelasan makna surah Al Fatihah, yang terdiri dari hanya 7 ayat yang sangat pendek, uraiannya dapat menjadi satu buku yang tebal. Setiap kata yang kelihatannya jelas bagi kita atau seolah bukan bahasa perumpamaan, kiasan atau simbol, ternyata mempunyai makna yang sangat luas dan dalam.
Sebagai contoh sederhana, mengenai yang dimaksud “jalan yang lurus” , seolah jelas. Karena jalan yang lurus bukan sekedar, mengikuti perintah dan emnjauhi larangan Allah, namun lebih dalam dan rinci. Yaitu terkait dengan semua jalan pilihan manusia apapun yang setiap detik setiap manusia harus memutuskannya, yang tidak secara langsung terkait “ mengikuti perintah dan menjauhi larangan Allah”. Mulai dari berpikir apapun, berkata apapun, mendengar apapun, merasakan apapun dan berbuat apapun ataupun tidak berbuat appaun dsb, memerlukan “ jalan yang lurus”. Hal ini berlaku pada seluruh kata dan kalimat serta ayat ayat, surah hingga juz. Masing maisng merupakan perumpanaan dan atau kiasan danatau simbol , yang bisa dilakukan pemaknaan yang dalam. Karena itu memahami dan mendalami ajaran Allah, Al Qur’an tak akan pernah final.
Adapun ayat ayat Al-Qur’an yang berkaitan secara langsung dengan unsur mukham dan mutasyabih, berada pada Surah Ali Imran, ayat 7:
“Dialah yang menurunkan Al Kitab kepadamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang mukhamat, itulah pokok pokok isi Al-Qur’an dan ada yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat darinya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah, dan orang-orang yang mendalam ilmunya mereka berkata,”kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat. Semuanya itu dari sisi Tuhan kami” (Ali Imran/3 : 7).
Jika ayat di atas dicermati, terdapat ketentuan bahwa ayat-ayat mutasyaabihaat dapat menimbulkan fitnah dan kesesatan. Yaitu kalau ayat ayat mutasyabihaat itu keliru dalam menfasirkannya. Karena bila keliru , pasti akan menimbulkan fitnah dan kesesatan, namun tidak berarti kita tidak mengambil resiko untuk tetap melakukan tafsir dan atau takwil, sebatas kemampuan kita, seraya kita menyadari untuk terus melakukan pendalaman makna ayat lebih lanjut, tanpa kita melakukan fitnah agar tidak dalam kesesatan. Karena tafsir atau takwil yang baik dan benar hanya diketahui Allah, karena itu untuk memahaminya memerlukan dengan baik dan benar petunjuk dan pertolongan dari Allah. Sekalipun Allah memberikan pertolongan dan petunjuk, itu hanya untuk diri pribadi, yang bisa jadi masih merupakan proses menuju pemahaman yang lebih baik dan lebih benar.
Sebab kalau kita berhenti pada pernyatan bahwa hanya Allah saja yang tahu makna ayat-ayat mutasyaabihaat, dan kita berhenti berupaya, maka ajaran Allah menjadi sia-sia. Karena itulah, maka Allah menegaskan bahwa mereka yang dapat mentafsir dan mentakwil dengan baik dan benar, adalah mereka yang mendalam ilmunya (dalam memahami Al-Qur’an) setelah mendapatkan hikmah dan ilmu dari sisi Allah.
Dengan adanya ayat dengan bahasa perumpamaan dan atau mutasyaahibaat , maka ada kebutuhan manusia untuk melakukan tafsir dan takwil, suatu kebutuhan yang tidak bisa, dihindari. Namun upaya untuk melakukan tafsir dan takwil, hendaknya tidak menjadikan perselisihan, bahwa terjadi perbedaan tafsir takwil yang dilakukan setiap umat hendaknya dapat diterima. Karena beberapa kali Al Qur’an menegaskan bahwa kelak ( di hari pengadilan) Allah yang akan mengadili perselisihan yang terjadi. Karena kebenaran hanya milik Allah. Kalau untuk mengetahui kebenaran yang disampaikan oleh Allah kemudian atau pada hari akhir, maka pengetahuan itu akan sia sia. Bisa jadi yang dimaksudkan Allah adalah bahwa sementara ini kita umat manusia, harus dapat saling menghargai perbedaan. Karena bisa jadi, apa yang menurut kita benar itu keliru, dan apa yang menurut kita keliru itu sebenarnya adalah benar disisi Allah.
Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain . Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan." ( Al An’aam/6:164)
Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih. Kalau tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulu, pastilah telah diberi keputusan di antara mereka , tentang apa yang mereka perselisihkan itu ( Yunus/10:19)
Dan sesungguhnya Kami telah menempatkan Bani Israil di ternpat kediaman yang bagus dan Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik. Maka mereka tidak berselisih, kecuali setelah datang kepada mereka pengetahuan (yang tersebut dalam Taurat). Sesungguhnya Tuhan kamu akan memutuskan antara mereka di hari kiamat tentang apa yang mereka perselisihkan itu.(Yunus/10:93)
Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain . Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.(An Nahl/16:92)
Sesungguhnya diwajibkan (menghormati) hari Sabtu atas orang-orang (Yahudi) yang berselisih padanya. Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar akan memberi putusan di antara mereka di hari kiamat terhadap apa yang telah mereka perselisihkan itu. .(An Nahl/16:124)
Keputusan Allah dihari kiamat, pada saat semua perhitungan telah ditetapkan tidak akan mendatangkan manfaat lagi bagi manusia, kecuali bahwa kiamat yang dimaksud adalah kiamat kecil. Mungkin ini juga pertanda bagi adanya kehidupan kembali jiwa jiwa manusia kembali hidup di dunia dengan pengertian baru.
Secara bahasa “mukham”, menurut Ibnu Faris berarti “mencegah”. Menurut Ikromah, Qatadah, Dhahhak, Muqatil bin Hibban, Ar Rabi’ bin Anas dan Suddhi, yang dimaksud dengan “mukhkam”, adalah sesuatu yang harus diamalkan. Sebagian kalangan ahli tafsir memahami bahwa ayat mukhkam merupakan ayat-ayat yang maknanya “telah jelas dan tegas”, sehingga dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat mukhkamat merupakan bagian yang harus diamalkan. Sedangkan “mutasyabihaat”, secara etimologis, sebagaimana disebutkan dalam Mu’jam Maqayis al Lughah, adalah sesuatu yang menunjukkan adanya “keserupaan sesuatu dengan yang lain, baik warna maupun sifatnya”. Sebagian menafsirkan sebagai “sesuatu yang mengandung kemuskilan”.
Para ulama berbeda pendapat mengenai makna mukham dan mutasyabih. Imam As Suyuti, dalam Al-Itqan fi’ Ulum Al-Qur’an, mengatakan bahwa; 1) Mukhkam adalah suatu yang jelas maknanya sedangkan mutasyabih adalah kebalikannya, 2) Mukhkam adalah ayat yang tak mengandung takwil kecuali satu wajah, sedangkan mutasyabih mengandung banyak wajah penafsiran, 3) mukhkam adalah sesuatu yang bisa difahami akal sehat, sedangkan mutasyabih adalah kebalikannya, 4) Mukhkam adalah ayat yang bisa berdiri sendiri, sedangkan mutasyabih mereferensi pada ayat yang lain, 5) Mukhkam adalah semua fardhu, janji dan ancaman, sedangkan mutasyabih adalah kisah-kisah dan perumpamaan-perumpamaan, 6) Mukhkam di dalamnya menerangkan sesuatu yang “haram dan halal”, sedangkan selain itu adalah mutasyabih.
Ada pula ulama lain, Manna Khalil Al-Qattan, yang menyebutkan bahwa; 1) Mukhkam adalah ayat-yang mudah diketahui maksudnya, sedangkan mutasyabih hanya diketahui oleh Allah, 2) Mukhkam adalah ayat yang mengandung satu wajah, sedangkan mutasyabih mengandung banyak wajah, dan 3) Mukhkam adalah ayat yang dapat diketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain, sedangkan mutasyabih memerlukan penjelasan dan merujuk pada ayat-ayat lain.
Ayat Al-Qur’an yang berkaitan secara langsung mengenai mukhkam dan mutasyabih, berada pada Surah Ali Imran, ayat 7:
“Dialah yang menurunkan Al Kitab kepadamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang mukhamat, itulah pokok pokok isi Al-Qur’an dan ada yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat darinya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah, dan orang-orang yang mendalam ilmunya mereka berkata,”kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat. Semuanya itu dari sisi Tuhan kami”
(Ali Imran/3, ayat 7).
Jika ayat di atas dicermati, terdapat pemahaman bahwa ayat-ayat mutasyabihat dapat menimbulkan fitnah dan kesesatan. Kita bisa keliru dalam melakukan takwil, sedangkan takwil yang baik dan benar hanya diketahui Allah dan mereka yang mendalami Al-Qur’an dan mendapat petunjuk Allah. Kalau hanya Allah saja yang tahu makna ayat-ayat mutasyabihat, tentu ajaran itu menjadi sia-sia. Karena itulah Allah menegaskan bahwa mereka yang dapat mentakwil dengan baik dan benar adalah yang mendalam ilmunya (dalam memahami Al-Qur’an). Dengan adanya ayat mutasyahibaat itu, maka ada kebutuhan manusia untuk melakukan takwil, suatu kebutuhan yang tidak bisa dihindari. Namun upaya untuk melakukan takwil, hendaknya tidak menjadikan perselisihan, bahwa terjadi perbedaan takwil, hendaknya dapat diterima. Nanti Allah yang akan mengadilinya, karena kebenaran hanya milik Allah. Mengapa Allah menyatakan bahwa akan mengadilinya nanti diakhirat? Bukankah pengadilan atau penjelasan Allah akan menjadi sia sia, karena tidak mungkin lagi masing masing pihak melakukan perbaikan pemahaman ? Pasti pengadilan dan atau penjelasan Allah itu tetap bermanfaat, terutama pada kehidupan berikutnya. Atau daripada kita berpangku tangan menunggu datangnya kiamat, melalui ayat terkait sesungguhnya mendoorng kepada kita untuk menggunakan segenap akal pikiran dan ilmu, mencoba menemukan kebenaran.
Tadzkiyat An-Nafs
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (Asy-Syams, ayat 9-10).
Penyucian jiwa (tadzkiyat al-nafs), merupakan tawaran Allah kepada manusia agar manusia beruntung. Apakah keberuntungan mensucikan jiwa? Keberuntungan yang diterimanya adalah “pahala surga”, namun itu hanya merupakan sasaran atau tujuan antara. Karena tujuan akhir manusia adalah “ dari Allah kembali kepada Allah ~ inna lillahi wa inna lillahi roji’un”, suatu tujuan kehidupan yang terlupakan dan tersembunyi. Terlupakan dan tersembunyi, karena sering kita ucapkan, terutama kalau ada musibah dan kematian, namun yang dianggap tujuan akhir dari kehidupan ini adalah pahala surga atau hukuman neraka. Bahkan seolah olah didunia ini kita bisa langsung mengupayakan pahala akhirat, sehingga kita membiarkan hidup kita sengsara didunia. Padahal hanya mereka yang bahagia didunia akan bahagia di akhirat. Sedangkan kebahagiaan didunia yang benar adalah kalau kita mensucikan jiwa kita. Itulah orang yang beruntung.
Bagaimana keberuntungan yang diperoleh di dunia? Dalam Al-Qur’an, mereka adalah yang hidupnya selalu tertuntun dan dirinya akan bebas dari rasa khawatir dan penderitaan. Atau dapat dikatakan, karena kehidupannya tanpa rasa takut, khawatir, dan penderitaan, artinya bahwa dirinya dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia.
Pada umumnya jalan seorang salik (pencari Allah), guna mencapai tujuan akhirnya, harus melewati tahap-tahap tertentu (madarij), dan mengalami keadaan tertentu (ahwal). Setelah mensucikan jasmani, sebagaimana ditetapkan syari’ah, ada empat tahap utama pensucian jiwa yang harus dilalui.
1. Tazkiyah an Nafs atau “pensucian jiwa” dimulai dari pembebasan diri dari sifat-sifat buruk, tercela dan perilaku hewani serta menghiasi dengan sifat-sifat terpuji dan malakuti.
2. Tashfiyah al-Qalb atau “pensucian kalbu”, menghapus dari hati kecintaan terhadap duniawi dan kekhawatiran akan kesedihan serta memantapkan kecintaan akan Allah.
3. Takhalliyah as-Sirr atau “pengosongan jiwa” dari semua pikiran yang dapat mengalihkan perhatian atau dzikir mengingat kepada Allah.
4. Tajalliyah ar-Ruh atau “pencerahan ruh” , yaitu dengan “mengisi ruh” dirinya dengan Cahaya Allah dan Cinta-Kasih SayangNya.
Secara umum, cara mensucikan diri adalah mengikuti perintah dan menjauhi larangannya. Masalahnya terletak pada pemahaman terhadap apa yang diperintah dan apa yang dilarangNya. Dari Al-Qur’an, kita dapat memperoleh ketentuan mengenai apa yang menjadi larangan atau yang menjadi perintahNya. Mereka yang dinilai telah mampu mensucikan dirinya adalah para sahabat, para tabi’in dan hamba yang shaleh. Meskipun kalau kita melihat rekam jejak para sahabat sepeninggal Nabi, maka tidak semua sahabat maupun tabi’in mencapai kesucian jiwa. Hamba yang shaleh adalah mereka menjalani kehidupan sufi yang mengamalkan ajaran tasauf. Para wali termasuk mereka yang dinilai telah mencapai kesucian jiwa. Namun siapa yang sebenarnya telah mencapai kesucian jiwa sepenuhnya hanya Allah yang mengetahuinya.
Umumnya mereka menjalan kehidupan zuhud dan menjauhkan diri dari kehidupan dunia, akan lebih mudah untuk menjadi zahid. Atau mereka yang berupaya terus untuk mendekatkan diri kepada Tuhan (taqarrub), dengan mengamalkan shalat dan dzikr dengan tekun, khusuk dan ikhlas. Yang jelas semua manusia , selain Nabi adalah mereka yang sedang dalam proses menuju kesucian jiwa, dengan berbagai macam tingkatannya.
“Sesungguhnya Aku-lah Allah, tiada tuhan melainkan Allah, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” (Thaha, ayat 14).
“Hai orang orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama Allah)), zikir sebanyak banyaknya dan bertasbihlah kepada Nya di waktu pagi dan petang”
(Al-Ahzaab, ayat 41-42).
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan tidak mengeraskan suara di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang yang lalai” (Al-Anfal, ayat 205).
“Hendaklah kamu berdzikir kepada allah sebanyak banyaknya agar kamu bahagia” (Al-Anfal, ayat 45).
Ketentuan formal tentang proses pensucian jiwa (tadzkiyat al nafs), sebagaimana dijanjikan Allah, tidak serta merta dapat dengan mudah dilaksanakan. Banyak faktor yang menjadi pertimbangan Allah terhadap ibadah yang dilakukan seorang manusia. Karena tidak dikenalnya apa yang sesungguhnya menjadi persyaratan Allah, sehingga untuk mudahnya itu semua dikatakan sebagai hanya terjadi atas kehendak Allah.
Untuk memahami isi Al-Qur’an, diperlukan cara yang unik, atau bahkan perlu menggunakan cara berpikir “terbalik” dari kebiasaan manusia atau pemahaman spiritual. Seperti berulang kali dikatakan bahwa Al-Qur’an disusun tidak dengan cara yang sistematis sebagaimana umumnya karya manusia. Meskipun Al Qur’an menggunakan metoda “summary atau ringkasan”, sebagaimana diwujudkan adanya surat pertama, namun isinya berbeda dengan bagaimana manusia menyusun suatu ringkasan. Sebagaimana dalam surah Al-Fatihah, yang disebut sebagai “ummul kitab” atau “ringkasan kitab”. Banyak sudah tulisan yang membahas mengenai makna surah Al Fatihah, “ tujuh yang selalu diulang”.
Uraian yang sama dari ayat ayat, juga banyak yang diulang-ulang, tersebar di berbagai surat. Pengulangan terjadi dalam tatanan kalimat dan uraian yang sama atau sedikit berbeda. Hal ini mungkin untuk terus mengingatkan kepada kita aspek yang penting dari ajaran, sehingga dilakukan Allah dengan cara mengulang ulang. Semakin banyak pengulangannya berarti semakin penting diketahui maknanya.
Ketentuan yang menurut manusia dinilai sebagai ajaran yang bersifat aqidah, justru diuraikan secara samar, tidak rinci. Tidak disebutkan secara eksplisit, apa yang disebut sebagai rukun Islam, rukun iman, ihsan, dan kewajiban utama manusia. Demikian juga tentang amal shaleh, perbuatan baik (amal shaleh) dan ahlak mulia. Sebaliknya, ketentuan yang mengatur hubungan personal disebutkan secara rinci.
Penggunaan istilah dalam bahasa Al-Qur’an sangat kaya, dan hal itulah yang memperkaya tafsir dan takwil yang bisa sangat berbeda beda. Namun “perbedaan adalah rahmat”, selalu ada hikmah tersembunyi didalamnya. Yang akan mendorong kita melakukan pemahaman secara lebih mendalam dan lebih mendalam lagi.
Karena Al-Qur’an berisi ajaran yang berlaku sepanjang jaman, bukan langsung menjawab masalah praktis dan konstektual , maka bahasanya penuh dengan perumpamaan, kiasan dan simbol sebagai yang disebut juga sebagai mutasyabihat (tidak jelas makna dan artinya), di samping ayat-ayat yang mukhamat (jelas makna dan artinya). Al-Qur’an juga tidak menjelaskan mana ayat-ayat atau kata-kata yang bersifat mutasyabihat dan mana yang mukhamat. Bagi penulis, ayat atau kata yang semula dipahami sebagai mutasyabihat, suatu waktu karena bertambahnya wawasan umat, dapat menjadi mukhamat. Sebaliknya, ayat atau kata yang mukhamat dapat kembali menjadi mutasyabihat. Demikian seterusnya, karena kandungan Al-Qur’an begitu luas, sehingga tidak akan ada habisnya.
Karena itulah Allah menyatakan bahwa Al-Qur’an “dapat mencerahkan, akan tetapi dapat pula menyesatkan”. Untuk memahaminya bukan tergantung pada tingginya kemampuan ilmu dan keahlian, akan tetapi tergantung dari amal shaleh kita , sehingga kita bisa memperoleh “hidayah Allah”. Hidayah bukan berarti dapat diperoleh tanpa upaya, justru upaya berupa amal shaleh itu sangat penting. Dan upaya manusia melakukan amal shaleh itu adalah bagian dari proses pensucian jiwa.
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah bacaan yang mulia, pada Kitab yang terpelihara (di Lauhmahfuz), tidak menyentuhnya kecuali hamba hamba yang disucikan” (Al-Waqi’ah, ayat 77-79).
Ayat di atas seringkali dipahami secara tekstual, misalnya bahwa untuk membaca Al-Qur’an terlebih dahulu harus berwudhu. Padahal perlu diartikan bahwa hanya mereka yang suci jiwanya yang mampu mengakses kelengkapan ajaran Allah yang tersimpan di Lauh Mafuzh. Lauh Mahfuzh dapat dikatakan merupakan “Central Processing Unit ~ C PU” dari komputer raksasanya Allah. Karena itu, selembar daun atau sebutir benda sebesar zarrah yang jatuhpun diketahui Allah. Semua mahluk dan materi terhubung pada CPUnya Allah. dengan demikian semua data informasi dari setiap manusia, mulai dari niat, berpikir, berkata dan berbuat akan terekam dan dapat diakses oleh Allah. Sebaliknya semua ajaran Allah, baik yang tersurat maupun yang tersirat, sepanjang kehidupan juga tersedia dan dapat diakses oleh manusia. Manusia diberikan kemampuan untuk dapat mengaksesnya, sesuai dengan kebutuhannya. Yaitu kalau manusia bersangkutan memahami dan mengamalkan ajaran Allah.
Demikian pula halnya originalitas wahyu Allah juga tersimpan di Lauhmahfuzh, dan siapapun yang mampu mensucikan jiwanya, melalui proses spiritual dapat mengakses baik ajaran maupun pemahamannya yang terkandung dalam Al-Qur’an yang ada Lauh-Mahfuz. Adapun kunci dasar untuk mengakses ajaran dan ilmu Allah adalah; “berserah diri hanya kepada Allah” sejalan dengan makna “Islam”. Melalui shalat yang khusuk dan amal shaleh yang dilakukan secara berkesinambungan dan berkelanjutan, secara bertahap kita akan kita akan mencapai kesucian jiwa, yang wujudnya adalah, petunjuk, bimbingan dan kekuatan untuk mengamalkan ajaran.
Melalui empat tahapan pensucian jiwa tahapan kita juga dapat mensucikan jiwanya, sebagaiman disebutkn diatas sehingga mencapai tingkat kesucian jiwa. Ada pula pensucian jiwa melalui tujuh pengendalian al nafs, mulai dari ;
(1) al nafs al aluwamah ( jiwa yang menyesali dirinya), (3) al nafs sawmanah ( supiah) jiwa yang berkeinginan berbuat kebaikan,(4) al nafs mulhamah , jiwa yang melaksanakan perbuatan kebaikan dan amal shaleh (5) al nafs al mutmainah, jiwa yang telah mencapai ketenangan (6) al nafs al rhodyah, jiwa yang telah telah menuju keridhaan Allah (7) al nafs al kamilah , jiwa yang telah kembali kepada Allah dalam kasih-sayang Allah.
Upaya pensucian jiwa pada dasarmya sama dengan upaya peningkatan keimanan dan ketaqwaan, hanya saja pensucian jiwa yang ujungnya adalah kesucian jiwa merupakan pencapaian tertinggi yang sama dengan kesadaran Illahiyah sebagai hasil akhir dari keimanan dan ketaqwaan.
Setiap muslim wajib mendalami ajaran Allah (Al Qur’an), yang merupakan tuntunan bagaimana menjalankan kehidupan dengan sebaik-baiknya, sehingga tidak ada istilah taklid dan awam pada setiap manusia yang telah memilih agama (Islam) sebagai pedoman hidupnya. Meskipun manusia tidak memilih jalan agama sekalipun, ia tetap terkena hukum Allah. Karena keberadaan Allah tidak tergantung pada keyakinan manusia, Allah tetap Tuhannya seluruh umat manusia. Baik mereka muslim maupun non muslim , baik yang beragama maupun mereka yang tidak percaya kepada ajaran agama atau keberadaan Allah.
Memahami Al Qur’an dengan Baik dan Benar.
Melalui semua uraian diatas, setidak tidaknya kita mengetahui permasalahan dalam upaya memahami dan mendalami Al Qur’an. Ujung dari upaya pemahaman itu adalah melalui upaya pensucian jiwa. Karena melalui pensucian jiwa, sebagai proses pengamalan ajaran dengan semakin baik dan benar, maka jiwa kita akan semakin suci. Melalui jiwa yang semakin suci maka upaya pemahaman dan pendalaman kita semakin lebih baik, karena didukung penghayatan yang diperoleh dari pengalaman. Melalui proses pensucian jiwa maka penghaaytan kita bukan hanya secara akal rasional melainkan juga akal spiritual.
Secara rasional, terhadap pengetahuan atau masalah dunia, maka kita wajib bertanya kepada ahlinya.
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (An-Nahl/16 ayat 43, Al-Anbiya' /21 ayat 7)
Namun kalau berkaitan dengan ajaran Allah ( Al Qur’an), maka hukum pemahamannya berbeda. Karena masalahnya bukan masalah tinggi atau rendahnya ilmu agama, namun tinggi rendahnya keimanan dan amal shalehnya. Al Qur’an dapat menyesatkan atau mencerahkan seseorang, tergantung amal shalehnya. Seperti telah sering dikatakan, karena bahwa ajaran Allah adalah ajaran kehidupan, dan setiap orang adalah ahli kehidupan, sehingga setiap orang adalah ahli dalam memahami Al Qur’an. Upaya memahami Al Qur’an dapat melalui proses rasional maupun spiritual.
Memahami Al-Qur’an dengan memahaminya ayat per-ayat, secara parsial memang dapat memantapkan mindset yang telah terbentuk dalam diri sendiri, namun sulit untuk memahami seluruh ajaran secara kaffah. Karena itu tadarus , dengan membaca seluruh Al Qur’an dan mencoba memahami maknanya sangat diperlukan. Kalau kita merasa ada inkonsistensi dan atau kontroversi diantara ayat ayat yang ada, maka kita perlu memahami ulang. Sampai pemahaman itu menjadi konsisten dan atau semakin mendalam. Sesuai dengan turunnya ayat yang bertahap, maka mempelajari Al-Qur’an pada dasarnya dapat dilakukan secara bertahap. Pentahapan itu bisa saja dilakukan sesuai dengan urutan turunnya ayat-ayat, bisa juga per juz, atau per surat, atau mulai dari halaman manapun. Namun jangan telalu cepat mengambil suatu kesimpulan.
Dan yang tak kalah pentingnya, setiap membaca dan mendalami ayat ayat Al Qur’an, selalu memohon petunjuk agar diberikan rahmat dan ilmu dari sisiNya. Untuk itu kita perlu mendirikan ibadah ritual ( terutama shalat dan dzikir) yang khusuk. Lakukanlah sikap penyerahan diri hanya kepada Allah, melalui sikap tubuh yang rileks diikuti dengan berupaya meletakkan akal pikiran, sehingga terhindar dari “ monkey mind ~ pikiran yang melompat-lompat”. Sehingga kita merasakan dan mendapatkan kesadaran akan kehadiranNya. Upaya ini perlu dilakukan secara tekun.
Pemahaman dan kesadaran, menjadi tidak berarti kalau tidak diamalkan. Karena melalui pengamalan ajaran dalam kehidupan nyata, bukan saja akan membawa manfaat langsung bagi kehidupan, disamping itu kita akan lebih menghayati makna ajaran. Melalui pengalaman dan penghayatan, maka kita akan dapat lebih meningkatkan ibadah ritual kepada Allah. Dengan melaksanakan ibadah ritual dengan lebih baik, maka hasil petunjuk, bimbingan dan kekuatan dari Allah akan lebih baik. Untuk kemudian diamalkan. Demikian kita lakukan secara berkesinambungan dan terus menerus. Bila tiba waktunya, Allah akan memberi petunjuk, bimbingan dan kekuatan kedalam jiwa dan hati sanubari kita sebagai pemahaman dan kesadaran baru.
Ajaran Allah pada dasarnya sangat sederhana, jika kita mampu menangkap essensinya. Dan setiap pemahaman essensial itu bersifat sangat relatif dan subyektif. Ajaran Allah sebenarnya juga sangat dinamis, luwes dan fleksible, namun dalam koridor tata nilai yang tetap terjaga. Hanya saja manusia selalu berupaya melakukan standardisasi, terus memperinci menjadi ketetapan formal yang ingin diseragamkan. Memang itu adalah fitrah manusia agar di antara umat dapat saling berkomunikasi dan mengatur kehidupan sosialnya. Semakin banyak masalah, maka kebutuhan akan ketentuan hukum, akan terus berkembang, makin lama makin rinci. Dan suatu ketentuan yang diberlakukan secara umum kepada semua umat, akan menjadi sangat formal dan normatif, yang menjebak manusia pada ketentuan hitam putih, haram atau halal, baik atau batil, iman atau kafir dst. Sehingga umat akan terjebak pada “formalisme ajaran yang kaku dan kering”. Ajaran Islam menjadi kering. Padahal banyak ketentuan Allah yang selalu memberikan pengecualian dan atau jalan lain, yang sifatnya relatif dan tidak hitam –putih. Sehingga dapat memasung ajaran Allah, yang sangat luas , mendalam dan universal.
Seperti diketahui ajaran Allah meliputi ajaran keseluruhan kehidupan. Dan kalau ajaran Allah dapat dipahami secara luas dan komprehensif , maka barulah kita dapat memahami makna bahwa ajaran islam adalah “rahmat il allamin” sekaligus memahami peran manusia sebagai “khalifah di dunia“. Manusia dapat menjadi wakil Allah didunia, apabila umat benar benar mampu “berperilaku dengan perilaku Allah”.
Bukankah ajaran ini diturunkan dan ditujukan kepada mereka yang semula “sesat dan kafir”, manusia yang dhaif dan lemah ? Ajaran Allah ditujukan untuk mengingatkan mereka yang sesat, kurang beriman, kurang bertqwa dsb. Memang ada manusia yang bandel dan tidak mau tahu. Namun adalah tugas nabi dan kita umat manusia untuk saling sharing , saling mengingatkan dengan santun dan lembut dengan penuh kesabaran. menebarkan kasih sayang dan kedamaian , lebih banyak memberikan contoh nyata berupa keteladanan dari pada berbicara.
Karena keteladanan adalah ajakan yang paling mujarab. Kelemah lembutan, kebaikan dan kesabaran akan lebih mudah “melunakkan hati umat yang membatu”. Demikian juga membalas kejahatan dengan kebaikan, akan menjadikan lawan menjadi sahabat, sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad. Dalam islam membalas perbutan secara setimpal adalah hak, namun memaafkan akan lebih mulia. Bukankah kita lebih memilih kemuliaan dari pada membalas yang hanya memberikan kepuasan kepada nafsu dan ego. Walau diperbolehkan tetapi merusak jiwa, suatu penolakan halus dari Allah. Namun sayang kita kurang peka, lebih mengutamakan hak dan kepuasan ego, padahal untuk itupun Allah selalu menetapkan persyaratannya.
Bila manusia semakin mampu memahami, menghayati dan semakin mengamalkan ajaran Allah dengan semakin baik dan benar, maka hidupnya akan semakin baik. Dalam arti semakin beriman, bertaqwa dan beramal shaleh. Indikasi keteguhan keimanan dan keberhasilan ketaqwaan kita, diindikasikan dengan intensitas penurunan rasa khawatir, rasa tidak aman dan mengurangnya rasa menderita. Sehingga kehidupan kita intensitas kebahagiaan semakin tinggi. Artinya, kalau kita masih ada rasa khawatir, tidak aman atau menderita, berarti ada masalah dengan keimanan dan ketaqwaan kita.
Melalui pensucian jiwa, akal pikiran kita akan diterangi cahaya Allah, ilmu Allah, pencerahan dari Allah. Jiwa kita selalu diliputi rasa penyesalan kalau berbuat salah. Perilaku kita semakin baik, selalu berpikir positip, amal shaleh meningkat dan perilaku dan ahlak kita menjadi semakin mulia. Pribadi seperti itu akan memberikan kontribusi kepada sesama, dalam bentuk menebar kasih sayang dan kedamaian, serta meningkatkan kualitas kehidupan. Dirinya semakin menyadari tugas dan fungsi dalam menjalani kehidupan dengan tulus, berupaya dengan tepat , baik dan benar. Karena yang dapat dilakukan manusia adalah upaya yang tepat, karena semua upaya bersifat relatif, demikian juga kebenaran dan kebaikan, selalu bersifat relatif. Tetapi relatifnya bukan karena akal pikiran rasional atau untung rugi , namun “relatifitas yang melalui penerangan dari cahayaNya’.
Kalau setiap umat, khususnya umat Islam memberikan kontribusi bersama yang tepat, baik dan benar maka peradaban manusia akan semakin maju. Bukan saja kemajuan kehidupan material melainkan juga kehidupan spiritual / ruhaniyah. Kehidupan masing masing manusia di dunia yang bahagia akan melandasi kehidupan kebahagiaan di akhirat. Sehingga hanya keberhasilan kehidupan di dunia yang berhasil, akan memberikan landasan bagi keberhasilan kehidupan di akhirat.
Tak mungkin manusia dalam menjalankan kehidupan di dunia itu mengarahkan kehidupannya langsung pada kehidupan akhirat. Kalau kehidupan manusia di dunia tepat, baik dan benar, maka dengan sendirinya kehidupan akhiratnya akan baik. Untuk itu, manusia meskipun tetap menjalankan tugas hidup didunia, harus mampu membebaskan diri dari keterikatan dunia dalam bentuk apapun. Manusia tetap hidup didunia namun tidak terikat pada dunia.
Kebahagian hidup tidak ditentukan oleh faktor luar( external) apapun, kebahagiaan hanya diperoleh karena faktor internal dalam diri manusia itu sendiri. Yaitu mampu menerima kenyatan kehidupan sekalipun yang negatif atau merugikan yang terjadi pada dirinya.
Yaitu setelah melakukan upaya dengan sungguh sungguh, dapat mensyukuri hasil apapun, terutama yang negatif atau ketidak berhasilan. Dan ketidak berhasilan itu akibat kesalahan atau kekurangan diri. Sehingga kita perlu memperbaiki diri dan bangkit untuk berupaya lagi. Sedangkan terhadap hasil upaya yang positip, akan mensyukurinya, sebagai pengakuan bahwa keberhasilan hanya mungkin diperoleh melalui pertolongan Allah. Bahkan keberhasilan itu kita nilai sebagai sebagai cobaan, sehingga menjauhkan diri dari kesombongan dan siap berbagi dengan orang lain yang membutuhkan. Selalu berbuat baik kepada orang lain, mahluk lain dan alam lingkungan, menebar kasih sayang dan kedamaian. Selalu dekat dan berserah diri hanya kepada Allah, sehingga kita tidak terikat pada dunia. Itulah kebahagiaan hidup yang sejati.
Artinya, meskipun manusia membebaskan diri dari keterikatan dunia tidak berarti meninggalkan kehidupan dunia, tetap hidup di dunia untuk “mencapai tujuan kebehagiaan bagi dirinya maupun sesama” dalam menjalankan tugas hidup didunia. Tujuan yang hanya bisa dicapai apabila akal pikiran mampu mengendalikan nafsu dan emosi.
Seperti telah disampaikan sebalumnya, Al-Qur’an adalah suatu ajaran untuk dipahami, bukan untuk dihafal , apalagi sekedar dibaca tanpa dimengerti. Al-Qur’an sebagai ajaran kehidupan, memberikan pedoman agar kehidupan setiap individu maupun kehidupan bersama dapat dilaksanakan secara efektip dan efisien. Sehingga manusia mampu menjalankan tugasnya, sebagai khalifah (wakil Allah ) di dunia, karena mampu membawakan sifat sifat Allah. Mampu memanfaatkan dunia dan alam semesta bagi peningkatan kualitas kehidupan bersama serta mampu memeliharanya dan menjaga pelestarian alam. Sehingga ramalan iblis bahwa manusia membawa kerusakan didunia tidak terwujud.
Untuk itu manusia perlu didorong untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mendayakan poteni kemanusiaan dan pemanfaatan semesta dengan tepat, baik dan benar. Melalui ibadah ubudiyyah setiap manusia akan menghasilkan amal shaleh dan perilaku ahlak mulia.
Memahami Al-Qur’an dapat dilakukan melalui cara dan upaya apapun juga, asalkan tulus dan ichlas serta terus menerus melakukan pendalaman dan penghayatan. Tidak ada suatu metoda yang paling unggul, karena banyak alternatif metoda maupun jalan menuju Allah. Meskipun demikian Al Qur’an, kalau telah difahami dengan baik dan benar akan memberikan koridor yang lebar namun tepat bagi semua bentuk pemahaman. Melalui pengalaman, setiap manusia dapat belajar dan belajar untuk memperbaiki cara atau metoda yang dinilainya paling sesuai, dalam “koridor jalan yang lurus”. Kalau melalui “metoda yang sudah lazim”, tidak diperoleh manfaat atau hasil yang berarti, maka perlu pemikiran ulang. Karena mungkin kita masuk kejalan buntu ( the road has been stopped there), kalau perlu kita membanting arah.
Seluruh kehidupan ini hanyalah suatu proses, yang harus dijalani oleh setiap umat manusia. Melalui pasang surut , melalui kebaikan dan kesalahan jalan hidup. Sesungguhnya tidak perlu perlu ada rasa khawatir terhadap kesesatan, karena kehidupan akan mengajar kepada “mereka yang sesat dan hatinya membatu ”. Ada yang proses pengajarannya panjang dan ada yang prosesnya pendek. Pada mereka yang mau berpikir pasti menginginkan agar pembelajaran yang mereka lakukan dapat lebih efisien, sehingga lebih cepat berhasil. Bagi kaum yang mau berpikir, pasti ada jalan yang lebih baik. Berpikir disini adalah menggunakan segenap potensi kecerdasan, baik rasional maupun emosional atau spiriutal atau kecerdasan lain yag suatu waktu dapat diangkat.
Dari semua essensi ajaran kehidupan, khususnya yang terkait dengan proses pensucian jiwa ada dua pertanyaan mendasar. Apakah dalam pencapaian kehidupan, kondisi jiwa dalam keadaan apapun , baik apakah jiwanya masih kotor atau telah suci, kta dapat kembali kepada Allah? Apapun tingkat kekotoran dan apapun tingkat kesuciannya, kemudian bila kemudian mati , kemudian pada akhirnya akan diadili Allah secara final? Sehingga apakah jiwa mendapatkan pahala surga bagi yang telah mencapai derajat kesucian tertentu dan dimaafkan Allah segala kesalahannya? Ataukah menjadi jiwa yang dimasukkan keneraka yaitu bagi jiwa yang lebih banyak kekotorannya tanpa pengampunan Allah? Yaitu dengan neraka dan surga sebagai terminal terakhir dari perjalanan jiwa? Ataukah manusia harus mencapai kesucian diri sepenuhnya pada masa kehidupannya didunia , baru kemudian dapat diterma kembali pada Allah Yang Maha Suci? Sehingga kembalinya jiwa kepada Allah, adalah terminal akhir perjalanan kehidupan setiap ( jiwa) umat!
Hal ini akan terkait dengan konsep; surga dan neraka serta kembalinya setiap jiwa kepada Allah. Masalah ini memerlukan pembahasan tersendiri, yang akan disampaikan pada Bab tersendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar