Dua Kalimah Syahadah, Dogma dan Dua Pintu Masuk Beragama Islam, Konsekuensi dan Konsistensinya.
Ikrar Dua Kalimah Syahadah
Pada umumnya, dua kalimah Syahadah di ikrarkan oleh mualaf atau mereka yang beragama lain yang bersedia masuk beragama islam. Pada umumnya hampir tidak pernah diikrarkan secara khusus oleh seorang anak yang menjadi Islam karena orang tuanya seorang muslim. Karena anak seorang muslim otomatis masuk beragama Islam, sehingga memberikan azan dan mengucapkan dua kalimah syahadah ditelingannya oleh ayahnya , dianggap sebagai proses masuk beragama Islam. Untungnya , dua kalimah syahadah merupakan ucapan rutin bagi umat Islam, dalam prosesi mendirikan shalat, melaksanan ijab kabul dalam penikahan, kelahiran bayi dan pada saat prosesi penguburan. Karena itu dua kalimat syahadah sudah menjadi kalimat yang rutin diucapkan, sehingga sering dilupakan konsekuensi dan konsitensi dari ikrar tersebut.
Jika Al-Qur’an kita dalami secara menyeluruh, maka akan ditemukan hanya ada dua dogma utama, karena diluar itu umat Islam perlu mendalami dan dapat melakukan telahaan dan pemikiran. Ini adalah sebagai konsekuensi bahwa Islam adalah ajaran bagi mereka yang mau berpikir. Mengapa dua kalimah syahadah ini adalah dua pintu masuk ajaran sekaligus dogma ?
Dua kalimah syahadah yang terdiri dari, Pertama, bersaksi bahwa “tiada tuhan melainkan Allah” dan bersaksi bahwa “Nabi Muhammad adalah rasul utusan Allah”. Kedua kalimah ini disebutkan “pintu masuk” sekaligus sebagai “dogma” , karena ikrar atau kesaksian terhadap dua kalimah syahadah itu merupakan syarat yang harus dipenuhi seorang beragama Islam. Sebagai “pintu masuk’, karena melalui pengucapan ikrar/ kesaksian inilah, maka seseorang dapat mulai beragama Islam. Melalui keyakinan itu, maka kita percaya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, sang Maha Ghaib, Sang Maha Pencipta dan Sang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang mengutus seorang Nabi ( yang bernama Muhammad) yang membawakan ajaranNya ( Kitab Suci- Al Qur’an) melalui wahyu.
Dua kalimah syahadah juga merupakan dogma yang utama dan paling utama, karena isi pernyataan itu penjadi prasyarat keyakinan. Tidak untuk dipikirkan oleh akal rasional melalui analisa. Sehingga kita tidak bisa mempersoalkan ( bukan membahas), mengapa ada Allah, bagaimana Allah dan apa peran Allah? Dsb. Pertama, kita hanya dan harus yakin, bahwa Allah adalah tuhan Yang Maha Esa, Sang Maha Pencipta dan Maha Pengasih dan Penyayang. Kedua, juga kita tidak bisa memikirkan melalui akal intelektual kita, mengapa Nabi Muhammad seorang yang dipilih, mengapa tidak semua orang diajar langsung oleh Allah”?. Bukankah Allah Maha Kuasa? Dsb. Kita mengikrarkan dan bersaksi terhadap kedua kalimah syahadah itu, kemudian meresapinya kedalam hati, titik. Karena kesadaran baru akan tumbuh kemudian, itupun secara bertahap.
Bagaimana keyakinan itu bisa bekerja? Akal pikiran pada dasarnya bekerja melalui tiga jalur, yaitu, rasional, nafsu dan emosi atau perasaan. Dan penggabungan semua akal pikiran rasional, nafsu dan emosi secara seimbang disebut sebagai “akal pikiran rasiona/ intelektual”. Seperti telah dikatakan bahwa akal pikiran rasional dalam keyakinan ini tidak bisa digunakan. Yang bisa digunakan adalah akal pikiran yang berkembang dari nafsu dan perasaan. Perasaan itu sendiri terdiri dua unsur, yaitu perasaan yang terkait dengan ego dan perasaan yang lembut ( subtle) yang terkait dengan hati nurani. Rene Descrates menyatakan bahwa “ saya berpikir maka saya ada – cogito ergo sum “ . Dengan demikian kita bisa merasakan keberadaan atau eksistensi diri kita, karena kita berpikir. Artinya keyakinanpun merupakan proses berpikir, hanya saja proses berpikir yang menggunakan perasaan yang paling dalam, yaitu perasaan yang timbul dari hati sanubari. Sehingga bukan keyakinan yang berasal dari perasaan yang tumbuh dari ego ( yang mementingkan diri sendiri) ataupun keyakinan yang berasal dari perasaan yang tumbuh dari nafsu.
Kalau keyakinan itu tumbuh dari perasaan ego ( yang cenderung mementingkan diri sendiri) dan nafsunya, maka keyakinan itu akan bersifat semu, yang mudah luntur atau lemah atau berpikir sempit ( fanatik). Akibatnya “malas atau merasa sudah tahu”, sehingga tidak lagi bersedia untuk melakukan upaya pendalaman lebih lanjut. Karena apa yang difahami dan diyakini dianggap telah paling baik dan paling benar. Meskipun bisa saja keyakinan seperti itu, kemudian melalui tempaan dan cobaan kehidupan yang bertubi tubi dan berat , secara bertahap ataupun mendadak , beralih menuju jalur keyakinan yang baik dan benar.
Pada dasarnya, semua ajaran agama tauhid manapun, pasti memerlukan kesaksian umat melalui “dua kalimah syahadah”, meskipun dengan Nabi yang berbeda. Karena setiap agama tauhid pasti percaya kepada Allah ( meskipun dalam nama dan istilah yang berbeda) dan adanya Nabi yang membawakan atau menyampaikan ajaranNya . Hanya saja Islam, mensyaratkan secara explisit dan tegas melalui kesaksian/ pengucapan dua kalimah syahadah dengan lisan dan hati.
Mengapa penulis bisa menyatakan hal diatas, yaitu mengingat dalam Al Qur’an, Allah mengajarkan agar umat Islam mengakui semua Nabi utusan Allah. Yang diutusNya untuk membawakan ajaran Allah pada setiap kaum yang ada pada tempat dan waktu yang berbeda. Pengakuan kepada para Nabi itu menunjukkan bahwa semua ajaran yang dibawakan para Nabi dari Allah, mempunyai essensi ajaran yang sama, namun berbeda dalam segi penyampaian , berupa penggunaan bahasa dan cara pendekatan budaya dan metoda pengajarannya. Yakni agar lebih mengena dan diterima oleh masyarakat dimana Nabi bersangkutan mulai berdakwah.
Apa sebabnya keyakinan kita kepada Allah itu merupakan dogma? Karena keyakinan kepada Allah tidak bisa dipermasalahkan oleh akal pikiran. Pertama, keberadaan Allah, dengan segala atributnya, tidak mungkin difahami , namun harus diterima begitu saja. Allah Maha Pencipta dan kita adalah hanya salah satu mahluk ciptaan-Nya, adalah mustahil manusia yang diciptakan-Nya, mampu “memahamai ataupun dapat memikirkan wujud Sang Penciptanya’. Karena Allah tidak bisa diperumpamakan dengan apasaja.
Dogma dan Pintu Masuk Pertama.
Selain dogma, percaya kepada Allah, juga merupakan pintu masuk pertama untuk beragama Islam. Hal ini terkait dengan keyakinan pada ajaran tauhid. Allah tak dapat diperumpamakan dengan apapun juga( Al Wachid) , dan tidak dapat dibagi ( Al Achad). Allah sangat dekat (lebih dekat dengan urat leher kita), namun tak dapat disentuh, Allah juga jauh meluas Maha Besar, namun tidak dapat dibayangkan oleh pikiran manusia, kecuali hanya bisa dirasakan.
Tidak ada di dunia ini yang dapat diserupakan dengan-Nya. Allah ada di mana-mana, kemana kita menghadap disana ada wajah Allah.. Karena Allah tidak terikat oleh materi, waktu dan ruang, maka bagi-Nya ; masa lalu, masa kini dan masa datang, semua dikuasainya dan dalam kekuasaan-Nya. Allah adalah Maha di atas segala Yang Maha, Tidak Berawal dan Tidak Ber-akhir. Allah adalah pencipta Alam semesta, baik yang kasad indera (material) maupun yang tidak kasad indera (ghaib). Allah, adalah Tuhan Yang Maha Esa, Esa bukan berarti tunggal, Esa, tetapi bukan bilangan, juga bukan satu diantara yang banyak ( ketiga dari yang ketiga), Allah bukan sesuatu yang bisa dibagi . Allah tidak beranak dan diperanakkan. Hanya kepada-Nya manusia berserah diri. Allah, dan hanya kepadaNya ( tanpa perantara) , manusia dapat memohon pertolongan. Allah tidak berawal dan tidak berakhir.
“Katakanlah;” Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat meminta. Dia tidak beranak dan tidak (pula) diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara denganNya”
(Al-Ikhlaas, ayat 1-4).
“Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tiada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang“
(Al-Baqarah, ayat 163).
“Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa Mahasuci Allah dari mempunyai anak. MilikNya apa yang dilangit dan bumi. Dan cukuplah Allah sebagai pelindung.” (An-Nisaa, ayat 171).
“Katakanlah; Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa, dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan”
(Al-An’aam, ayat 19).
“Mahasuci Allah, Dialah Yang Maha Esa dan Maha mengalahkan”(Az-Zumar, ayat 4).
Ajaran tauhid adalah ajaran yang secara umum dikenal sebagai ajaran yang “ tidak menduakan Allah”, yang seringkali dikenal sebagai “tidak mem-berbahala-kan Allah”. Namun dalam pemahaman sufi, ajaran tauhid mempunyai makna yang lebih dalam, yaitu “ bahwa kecintaan umat kepada Allah, jauh melebihi kecintaan kepada selain Allah”. Atau melalui keyakinan tauhid, maka kita harus mampu membebaskan diri dari keterikatan kepada dunia. Bahkan dapat dikatakan bahwa melalui ajaran tauhid , kita “tidak lagi mengenal dikotomi” , bahwa selain Allah ada sesuatu yang lain. Allah sangat dekat dengan manusia, karena itu manusia selalu dapat mendekatkan diri kepada Allah dan langsung dekat.
“…Sungguh Kami telah menerangkan tanda tanda kekuasaan Kami kepada kaum yang yakin (118). Dan apabila hamba hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwa Aku dekat” (186) (Al-Baqarah, ayat 118,186).
Kalau kecintaan kita kita kepada sesuatu yang lain itu sama dengan kecintaan kepada Allah apalagi melebihi, maka kita telah berbuat syirk. Syirk, adalah dosa yang tak terampuni, karena melalui syirk, maka mustahil kita akan mencapai kesadaran tinggi, untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah. Juga dapat dikatakan bahwa melalui ajaran tauhid, diri kita melebur dalam CintaNya. Ada yang sebenar benarnya Ada, adalah Allah.
Semua dosa manusia dapat diampuni Allah kecuali dosa menduakan Allah atau dosa syirk. Mengapa dosa syirk tidak diampuni Allah? Dosa ini bukan sekedar memberhalakan Allah dalam bentuk phisik, sebagaimana yang difahami. Namun adalah dosa karena melalui syirk, pada dasarnya manusia telah emngingkari ekistensi Allah yang sebenarnya. Seperti telah dikatakan, bahwa Esa itu bukan satu atau bilangan. Esa adalah mencakup seluruh ciptaanNya. Karena kita tidak bisa membayangkan Allah dalam wujud apapun, maka kecintaan kita kepada Allah, dapat kita wujudkan melalui kecintaan kepada sesama mahluk dan semua ciptaan Allah. Kecintaan kita kepada seluruh ciptaan Allah, melebihi daripada kecintaan hanya kepada salah satu ciptaanNya, apakah isitri, anak, keluarga, harta, kekuasaan, alam lingkungan, kenikmatan dan kesenangan dunia. Kita masih syirk, kalau kita masih menganut faham dikotomi, termasuk bahwa ada Allah dan saya atau kita. Melalui ke Esa-an, kita meng Esa-kan Allah dan Allah meng-esa-kan kita. Tak ada dikotomi atau dualisme antara Allah dan saya atau kita. Dan itu hanya mungkin kalau kita mampu menyerupai sifat sifat Allah, menjalankan tugas sebagai wakil Allah, khlaifatullah didunia. Itulah sikap tidak menduakan Allah, atau meng Esa-kan Allah, sebagai dosa tak terampuni, karena itulah prinsip ajaran Allah. Dan bukan karena Allah, cemburu kepada tuhan lain, yang juga kita yakini.
Allah Maha Menentukan, namun kepada umat manusia diberikan kebebasan untuk menentukan pilihan ( free will). Hal ini seringkali salah diartikan atau difahami dan diadu dengan ketentuan lain yaitu bahwa Allah Maha Menentukan segala sesuatu. Kontroversi pemahaman ini melahirkan dua faham yang bertolak belakang, yakni faham Qadariyyah ( free will) dan Jabariyyah ( Allah menentukan segala sesuatu dan manusia hanya sebagai hamba yang melaksanakan tugas). Padahal antara Allah Maha Menentukan dan manusia dianugerahi kemampuan untuk memilih, keduanya dapat berjalan seiring.
Yaitu dengan rumusan sederhana. Kalau manusia telah mencapai tingkat kesadaran tertinggi atau kesadaran Illahiyah, maka apa yang dilakukan manusia pasti sejalan dengan kehendak Allah. Atau apa yang dikehendaki Allah , maka itulah pilihan jalan kehidupan manusia. Karena itulah maka manusia itu diberikan kebebasan untuk menjalankan tugas dan fungsi kehidupan. Al Qur’an, menjelaskan bagaimana manusia agar dapat secara efktip dan efisien menjelankan tugasnya didunia. Yaitu dengan cara membangkitkan kesadarannya. Apa hubungan antara bangkitnya kesadaran dan kesucian jiwa?
Melalui proses pensucian jiwa , yang dimulai melakukan ibadah ritual kepada Allah dan diikuti dengan amal shaleh dan perilaku ahlak mulia, maka secara bertahap mansuia akan mencapai kesadaran jiwa. Semakin meningkat pensucian jiwa yang dilakukan maka semakin tinggi kesadaran jiwa kita. Melalui proses pensucian jiwa manusia dapat “merasakan” keberadaan dan kehadiran Allah, dengan segala ke Maha Besar-anNya.
Pintu masuk atau Dogma kedua, adalah kesaksian bahwa; “Allah mengutus seorang Nabi/ Rasul, yang bernama Muhammad. Utusan yang diberikanNya wahyu” , ajaran kehidupan untuk mengajar dan atau memberikan peringatan kepada umat manusia. Untuk ini Allah berkehendak mengajar kepada mahluk ciptaanNya melalui para Nabi utusanNya, pengajaran Allah kepada manusia merupakan fitrah Allah sebagai pencipta manusia, mahluk yang paling sempurna. Manusia tidak bisa mempersoalkan; “Mengapa Allah hanya memilih seorang utusanNya , mengapa tidak semua manusia ciptaanNya diajar Allah secara langsung ? Atau mengapa tidak dibiarkannya setiap manusia mencari dan menemukan ajaran kehidupan sendiri sendiri yang harus dijalaninya didunia ini? Bukankah Allah Maha Kuasa? “ Mengajar kepada manusia melalui wahyu adalah bahagian dari ke Maha KuasaNya, sebagai proses pembelajaran dalam manusia melaksanakan kehidupannya.
Dogma merupakan keyakinan yang tidak bisa dan perlu dipikirkan, sesungguhnya mempunyai makna yang dapat dianggap kontroversial. Terutama bila kita menggunakan pemikiran Rene Descrates dimuka. Dengan konsistensi pemikiran bahwa “karena saya berpikir maka saya ada” , maka kita juga dapat menyatakan bahwa ; “karena saya berkeyakinan akan adanya Allah dan wahyu kepada Nabi, maka saya ada ”. Dengan demikian, pemikiran manusia telah mendahului keyakinan terhadap Allah dan wahyu kepada Nabi. Karena adanya wahyu kepada Nabi yang merupakan ajaran kehidupan, maka manusia perlu menggunakan segenap potensi akal pikirannya sehingga dapat memahami dan menghayati wahyu Allah. Melalui wahyu yang berisi ajaran kehidupan itulah manusia dapat tertuntun dan terarah dalam menentukan pilihan jalan kehidupannya dengan lebih baik, lebih benar dan lebih efisien.
Ajaran tauhid adalah ajaran pokok dalam Islam, atau aqidah dari semua aqidah. Karena itu Allah dalam bahasa terbalik, syirk ( menduakan Allah), adalah dosa tak terampuni. Karena memang itulah prinsip paling utama, kalau kita mau beragama islam. kalau tidak maka kita menolak keberadaan Tuhan, bahkan menolak keberadaan kita sebagai ciptaan Tuhan. Ajaran tauhid, sesungguhnya merupakan ajaran tersulit. Tauhid atau peng Esaa-an Allah, bukan sekedar memberhalakan Allah dengan illah yang lain. Menghilangkan berhala yang wujudnya phisik relatif sangat mudah.
Namun juga kalau kita memberhalakan atau mencintaai semua ciptaanNya, seperti; harta, kekuasaan, kenikmatan dunia, kehormatan, istri, anak termasuk eksehatan atau apapun yang paling kita dambakan dalam kehidupan. Kita juga mudah menyatakan diri bahwa kecintaan kita kepada Allah melebih cinta kita kepada yang lain.
Namun bagaimana kita mewujudkan kecintaan kita kepada Allah? Allah yang tak dapat diperumpamakan dengan apapun? Pasti sulit. Karena itu wujud kecintaan kita kepada Allah adalah dengan mencintai semua ciptaanNya. Tanpa kecuali, baik kawan maupun lawan, baik yang mengasihi kita maupun yang membenci kita. Karena itu tauhid dalam pengertian ini menjadi tidak mudah. Bisa saja kita yang meyakini ajaran tauhid telah melakukan syirk, sebaliknya mereka yang kelihatannya memberhalakan Allah secara phisik, justru mengamalkan ajaran tauhid.
Dogma dan Pintu Masuk Kedua
Dogma kedua atau pintu masuk beragama Islam Kedua, ini mengharuskan kepada umat manusia untuk percaya dan yakin akan kebenaran nabinya, yang bagi agama Islam adalah Nabi Muhammad.SAW. Bukan saja sebagai Nabi yang dapat memberikan petunjuk dan peringatan melalui wahyu Allah, tetapi juga percaya dan yakin bahwa Nabi Muhammad, sebagai utusan Allah, mampu menjelaskan dan menjabarkan serta memberikan keteladanan dalam praktek kehidupan yang nyata.
Kumpulan wahyu Allah, yang kemudian dituliskan dalam satu Kitab Suci Al Qur’an. Mempercayai bahwa meskipun wahyu itu disampaikan melalui malaikat Jibril, atau mimpi atau bisikan hati , sebagai wahyu Illahi.
Sebagai konsekuensi , dari dua kalimah syahadah itu, kita hanya akan melakukan pendalaman dan pemahaman melalui Al Qur’an dan ajaran yang disampaikan secara langsung oleh Nabi Muhammad. Sebab kalau kita menerima ajaran melalui perantaraan dari orang lain, selain Nabi maka kita perlu melakukannya dengan hati hati atau dengan cacatan. Sebab kalau kita menerima ajaran melalui pemahaman orang lain, atau perantaraan orang lain, tanpa pemikiran, maka kalimah syahadah kita juga harus ditambahkan nama orang lain tersebut. Kalau kita menerima ajaran Allah melalui pemahaman sederetan orang lain dengan begitu saja ( taklid), maka ucapan kalimah syahadah yang kita lakukan selain Nabi Muhammad, maka sebagai konsekuensinya kita harus menyebutkan sederetan orang, dari Nabi Muhammad dengan tambahan sederetan nama orang sesudahnya sehingga ajaran itu sampai ke diri kita.
Pola pikir semacam ini, dilakukan oleh para pengikut tareqat sufi tertentu, yang dilakukannya pada awal prosesi melalui doa dan shalawat yang disampaikan untuk Nabi Muhammad, para sahabat, dan kepada serangkaian tokoh hingga para guru kita saat ini. Pengucapan kamlimah syahadah yang ditambahkan nama selain Nabi Muhhamd juga telah dilakukan kaum Syi’ah dan Acmadiyyah.
Jika kita mendengarkan ajaran melalui pemahaman orang lain, siapapun orangnya, tanpa pemikiran , bisa jadi kita tidak lagi dapat melakukan seleksi sehingga kita semakin kehilangan jejak untuk mendapatkan ajaran yang sumbernya Nabi Muhammad. Sekalipun Nabi Muhammad telah meninggal, penulis yakin bahwa Al-Qur’an, sebagai kumpulan wahyu Allah, pasti mengajarkan bagaimana cara kita dapat memperoleh ajaran Allah yang otentik, sebagimana diajarkan kepada nabi, yaitu ajaran Allah yang baik dan benar dari sisi-Nya.
Bagaimana dengan kita umat kemudian, yang hidup setelah wafatnya Nabi Muhammad?
Allah sebenarnya telah memberikan perangkat kepada setiap manusia, namun manusia seringkali mengabaikannya atau keliru memahaminya. Yaitu perangkat, berupa “ar ruh”, Dzat Allah yang ditiupkan kepada setiap diri manusia yang masih berupa janin berumur 4 bulan. Ruh, seringkali dikacaukan dengan jiwa , padahal ruh, merupakan sarana Allah untuk mengajar manusia. Terutama setelah manusia mengenal kunci kunci ajaran atau essensi ajaran, sehingga mampu mendayagunakan ruh dalam dirinya. Ruh inilah yang selalu membisikan; ajaran, petunjuk dan bimbingan Allah, kepada jiwa manusia. Namun jiwa manusia karena sejak lahir disibukkan dengan urusan dunia, tidak mampu mendengar, ajaran, petunjuk dan bimbingan Allah.
Melalui kedua dogma inilah, maka kita dapat memahami wahyu Allah (berupa Kitab Suci Al-Qur’an), dan mndapatkan penjelasan, contoh dan keteladanaan langsung dari Nabi Muhammad. Dengan meninggalnya nabi Muhammad, bukankan kita masih dapat mempelajari; taqrir ( pembenaran), perkataan dan perbuatan Nabi Muahmmad, yang kemudian disusun dalam Hadits Nabi? Perlu kita ingat, bahwa sepanjang Hadits itu benar benar merupakan, taqrir, perkataan dan perbuatan Nabi, maka patut djadikan acuan, pemahaman dan pengamalan. Namun perlu diperhatikan, bahwa sebagai Nabi, dalam mengajarkan manusia, selalu memberikan dua sisi pengajaran. Pertama, adalah sisi ajaran yang bersifat kasad indera ( phisikal) dan Kedua, adalah sisi ajaran yang tidak kasad indera ( spiritual). Kebanyakan keteladanan Nabi yang ditangkap oleh perawi Hadits, yang disampaikan secara turun temurun , umumnya cenderung kehilangan aspek spiriutalnya. Karena itu maka kita perlu berhati hati menggunakan Hadits Nabi yang ada, sekalipun Hadits tersebut telah disaring dan diseleksi yang baru dilakukan sekitar 200-300 tahun setelah Nabi wafat. Khusus tentang hal ini akan dibahas secara lebih rinci pada bab tentang hadits.
Al-Qur’an berisi ajaran tentang kehidupan materil dan spiritual, kehidupan masa lalu, masa kini dan masa depan. Karena itu Al-Qur’an , sebagian besar disampaikan dalam bahasa perumpamaan, kiasan, dan simbol. Untuk itulah maka Al Qur’an perlu didalami dan dikaji secara menyeluruh. Apa yang tertulis dalam Al Qur’an pasti baik dan benar, masalahnya adalah bagaimana kita dapat memahami ajaran Al Qur’an dengan baik dan benar. Karena manusia adalah mahluk berpikir, maka untuk memahami ajaran Allah kita harus mulai dengan menggunakan segenap potensi akal pikiran kita. Karena akal pikiran adalah modal dasar dan utama kita untuk memahami sesuatau, bahkan termasuk emyakini sesuatu. Seperti yang telah dijelaskan dimuka, akal pikiran merupakan awal kesadaran, sebagaimana dinyatakan Rene Descrates. Melalui proses berpikir maka kita dapat mengkritisi ajaran Allah yang penuh perumpamaan, kiasan, dan simbol dan atau ajaran yang bersifat mutasyabihaat. .
Berpikir saja tidak cukup, karena pemahaman itu harus diamalkan dalam kehidupan nyata. Melalui pengamalan , maka kita dapat memperoleh pelajaran , karena bersamaan dengan itu Allah bahkan akan selalu menambahkan pelajaran kepada kita. Yaitu melalui lika liku proses kehidupan , baik apakah itu kita sebut dengan ujian/ cobaan atau rahmat, baik apakah itu melalui kebaikan atau keburukan. Semakin kaya kita dengan pemahaman dan pemikiran serta lika liku pengamalan kehidupan, maka kita semakin didorong Allah untu mendekatai pemahaman ajaran yang baik dan benar. Kita akan semakin menghayati dan memahami ajaran Allah, kita semakin mampu mengasah kemampuan spiritual dan membangun kekuatan yang tersembunyi dalam diri kita. Pemahaman ajaran Allah yang dilakukan melalui proses berpikir, pendalaman spiritual, dan pengamalan kehidupan, akan membuat kita mampu memahami ajaran Allah sehingga akhirnya akan mencapai kebaikan dan kebenaran pemahaman disisi Allah. Kemudian selanjutnya akan membuat kita mampu mengamalkan ajaran dengan tepat, baik, dan benar dalam menghadapi kehidupan yang nyata.
Seperti telah disampaikan sebelumnya, Al-Qur’an mengajarkan umat manusia untuk meyakini, mengakui, dan menghormati para nabi yang memperoleh wahyu dari Allah, dan ditunjuk sebagai utusa-Nya. Baik itu nabi yang secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur’an, ataupun para nabi yang tidak disebutkan.
“Ada beberapa rasul yang telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu sebelumnya, dan rasul rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan pembicaraan yang terang (langsung)” (An-Nisaa, ayat 164).
Artinya, para nabi adalah utusan Allah yang menerima wahyu dan menyampaikan ajaran Allah yang sama. Sehingga timbul pertanyaan, kalau ajaran Allah yang disampaikan para nabi adalah ajaran yang sama, mengapa timbul banyak ajaran agama? Lebih dari itu, mengapa dalam satu agama yang mengakui nabi dan Kitab Suci yang sama, ada berbagai aliran, sekte, dan mashab yang bermacam-macam? Seperti kita ketahui, saat ini di dunia terdapat beberapa ajaran agama yang pengikutnya cukup signifikan, baik ditinjau dari jumlah pengikut atau peranannya. Agama tertua adalah Hindu, kemudian Budha dan Yahudi, menyusul agama Tao, Kong Hu Cu dan Shinto, yang terakhir adalah Kristen dan Islam. Masing-masing agama, mempunyai banyak aliran, sekte dan madzhab. Saat ini ada lebih dari 1,6 milyar penduduk beragama Kristen, sekitar 800 juta orang beragama Hindu dan sekitar 350 juta orang beragama Budha, sekitar 800 juta beragama Kong Hu Cu dan Tao, sekitar 45 juta beragama Shinto. Dan hanya sekitar 15 juta beragam Yahudi. Semua ajaran agama dengan dinamikanya telah bertahan hingga ribuan tahun.
Dalam Islam, juga berkembang aliran; Sunni, Syiah, Mutazilah, Qadariyah, Jabariyah, dll, yang kalau dihitung dengan cabang-cabangnya telah mencapai 73 buah . Yaitu menurut Muhammad bin Abdul Karim Achmad al Syahrastani (w. 548 H/1153 M), dalam kitabnya al Milal wa al-Nihal). Jadi, firqah (cabang) dalam Islam ada sebanyak 73 buah, dan ini sesuai dengan sinyelemen dalam Hadits. Hanya saja al Syahrastani, menilai bahwa hanya faham Sunni pemahaman yang paling baik dan benar. Dari sekitar 1,4 milyar umat Islam, sebagian besar umat Islam saat ini, sekitar 75-80% adalah kaum Sunni, hanya sekitar 8-10% adalah kaum Syi’ah.
Namun jumlah besar bukan berarti memegang kebenaran ajaran, sebagaimana disebut dalam Hadits dibawah ini :
Para sahabat bertanya: "Apakah karena sedikitnya kami pada saat itu, wahai Rasulullah?. Beliau menjawab: "Tidak, bahkan kalian banyak (jumlahnya) pada saat itu, akan tetapi kalian adalah seperti buih banjir, dan Allah benar-benar akan mencabut kegentaran dari hati musuh kalian, dan Dia benar-benar akan menanamkan wahn ke dalam hati kalian. Mereka bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah wahn itu?". Beliau menjawab: "Cinta dunia dan benci mati". [Hadits Riwayat. Abu Dawud dari Ibnu Umar, Ahmad, Ath-Thabrani dalam al-Kabiir, Ibnu 'Adi dan Abu Nu'aim dalam al-Hilyah dan hadits ini shahih]
Lepas dari uraian 73 firqah atau sengaja dicocok cocokkan dengan pernyataan Hadits, maka setelah hampir 1000 tahun kemudian, kini jumlah aliran atau cabang dalam islam pasti semakin banyak lagi.
Semua itu pada dasarnya disebabkan ulah manusia. Ajaran yang semula diajarkan nabi secara orisinal adalah ajaran Allah , karena mataeri, ruang dan waktu, maka terjadi perkembangan atau perubahan dari pemahaman ajaran semula yang dibawakan oleh Nabi. Secara teoritis, karena ajaran agama berkembang akibat ulah manusia, sedangkan manusia adalah mahluk yang bersifat lemah dan serba kekurangan (dh’aif), maka semua pemahaman tidak luput dari kesalahan. Karena itu kita perlu lebih waspada dan lebih arif dalam menilai semua pemahaman atau aliran Islam yang ada.
Kalau demikian, lalu bagaimana mendapatkan ajaran Allah yang orisinil dan otentik, sebagaimana diwahyukan kepada para Nabi?
Kitab suci setiap agama, umumnya telah “mengalami penyempurnaan” melalui tangan-tangan manusia yang bukan nabi” (apakah itu murid, sahabat, resi, guru atau para ulama besar). Meskipun, masing-masing umat beragama umumnya tidak mengakui, dan mereka selalu menyatakan bahwa manusia yang menyempurnakan Kitab Suci adalah manusia yang mendapat tuntunan Allah (ada yang menyebutnya sebagai wahyu, ada juga yang menilainya hanya sebagai bentuk pencerahan). Hal ini dimaksudkan untuk meyakinkan umat, bahkan Kitab Suci yang digunakan sebagai dasar ajaran adalah otentik ajaran Allah, karena bagaimanapun Kitab Suci adalah sumber dan dasar setiap ajaran dan keimanan.
Dalam konteks ini, penulis menyatakan bahwa Kitab Suci dapat dikatakan sebagai ajaran yang otentik dari Allah, kalau Kitab Suci itu dirumuskan atau disusun oleh seorang nabi, minimal penulisannya disupervisi langsung oleh Nabi. Seperti telah disamapikan bahwa uniknya, menurut sejarah yang ada, semua nabi tidak pernah ada yang menyusun Kitab Sucinya, sebagaimana wujudnya pada saat ini. Kecuali Al Qur’an.
Meskipun demikian, Al-Qur’an menegaskan bahwa ajaran Allah selalu dijaga oleh Allah itu sendiri. Artinya, karena para nabi adalah nabi-Nya, maka penjagaan Allah itu juga berlaku pada semua ajaran yang disampaikan oleh para nabi. Jika ajaran para nabi itu akhirnya terkena pengaruh manusia, dan budaya menjadi ajaran agama, maka hal yang sama juga dapat terjadi pada ajaran Islam. Kebanyakan ulama menafsirkan ayat yang terkait dengan penjagaan Allah, seolah hanya ditujukan kepada Kitab Suci Al Qur’an. Padahal, disamping kita mengimani Nabi , bukankah kita juga mengimani Kitab Kitab Suci-nya?
Penjagaan ajaran-Nya, hemat penulis ada dua cara. Pertama, adalah melalui ajaran tekstualnya, ajaran yang disampaikan melalui perumpamaan, kiasan dan simbol. Karena sejahat apapun upaya untuk merubah ajaran Allah, dapat lalai dalam memahami perumpamaan, kiasan dan simbol. Kedua, Allah menjaganya melalui proses spiritual, yaitu dengan memberikan kemampuan atau sarana bagi setiap manusia untuk mendapatkan ajaran dan ilmu Allah. Yaitu ruh Dzat Allah yang ditiupkan kedalam diri manusia.
Allah melalui hasil penjagaanNya terhadap ajaran tekstual, memberikan kunci, sehingga manusia mengatahui bagaimana mengakses ajaran Allah yang otentik. Antara lain dengan memberikan kemampuan bagi manusia untuk membukakan hati (kekuatan spiritual), sehingga manusia dapat memahami dan menghayati ajaran Allah.
Di sisi lain Allah juga menyatakan bahwa Al-Qur’an dapat mencerahkan dan juga dapat menyesatkan. Artinya, sekalipun seorang itu ahli bahasa Arab atau bahasa Al-Qur’an, bukan jaminan bahwa pemahamannya tidak tersesatkan. Dan hanya hamba yang shaleh saja yang diberikan pemahaman ajaran dan ilmu-Nya.
Dengan adanya kemungkinan Kitab Suci itu telah dicemari oleh tangan-tangan manusia, termasuk juga kemungkinan bahwa Al-Qur’an itu ajaran otentik Allah, maka apa sesungguhnya peran Kitab Suci bagi agama?. Apa peran Kitab Suci bagi umat beragama, meskipun telah dicemari, dalam memberikan arahan kehidupan yang baik dan benar? Apakah keotentikan Kitab Suci sebagai wahyu Allah itu sangat penting?
Jawaban pertanyaan apakah keotentikan Kitab Suci itu penting, bisa ya dan bisa tidak. Secara rasional, kemurnian itu penting, karena apabila terjadi penyimpangan penafsiran atau takwil, maka umat dapat kembali pada sumber aslinya. Namun secara spiritual, keotentikan itu tidak penting. Karena secara spiritual, Allah selalu menjaga kemurnian ajaran-Nya “di Lauh Mahfuzh”. Dan setiap manusia pada dasarnya dapat mengakses ajaran Allah yang otentik itu secara langsung sebagaimana dialami oleh para nabi atau rasul.
Namun yang ingin disampaikan di sini adalah, bahwa banyaknya ajaran agama dan aliran dalam agama, adalah akibat dari kreatifitas manusia, dan bukan karena nabi mengajarkan ajaran yang berbeda-beda. Dan pasti di setiap Kitab Suci semua agama, tetap ada bagian ajaran yang masih dijaga Allah. Hanya kita amat sulit mengetahui, mana ajaran yang telah tercemari dan mana yang masih otentik (orisinal), baik dan benar. Tetapi melalui proses pendalaman yang dilakukan secara tulus dan terus-menerus, seseorang pada akhirnya akan mampu memilah-milah sendiri mana yang masih otentik dan mana yang sudah tidak lagi orisinal. Dan yang lebih penting lagi adalah bahwa keberadaan berbagai agama dan aliran itu, meskipun telah tercemari manusia, itupun hanya dimungkinkan juga atas perkenan Allah. Artinya, lahirnya berbagai ajaran merupakan bagian ajaran Allah yang harus didalami umat.
Begitu banyaknya ajaran agama, atau aliran dalam agama, bukanlah sesuatu yang harus kita nafikan.Meskipun demikian kita tetap meyakini bahwa agama atau aliran ajaran yang kita yakni adalah ajaran Allah. Meskipun demikian kita tidak perlu merasa bahwa pamahaman kita terhadap ajaran agama dan atau aliran yang kita anut, merupakan satu-satunya kebenaran yang utuh dan final. Bisa jadi ajaran agama yang kita fahamai itu ada bagian yang kita fahami secara keliru. Ajaran agama adalah lagu, dan kita adalah penyanyinya , agamanya benar, namun pemahaman kita yang keliru.
Meskipun dalam keimanan seseorang, bahwa agama atau aliran agama yang dipilihnya itu adalah ajaran yang baik dan benar, namun bersamaan dengan itu hendaknya masing-masing pemeluk ajaran agama itu tetap menyadari bahwa pemahamannya tentang agamanya belum tentu telah baik dan benar. Inilah keunikan dalam keberagamaan yang seringkali dilupakan. Di satu sisi harus yakin bahwa ajaran agama yang dianutnya adalah yang baik dan benar, namun di sisi lain, harus disadari bahwa keberagamaan kita baru dalam proses menuju pemahaman yang baik dan benar. Keyakinan atau keimanan boleh mantap, namun bersamaan dengan itu perlu juga menyadari bahwa pemahaman dan pengamalan keberagamaannya sedang dalam proses menuju kebaikan dan kebenaran. Allah telah mengingatkan bahwa setiap kelompok pasti menganggap bahwa agama dan alirannya sendiri adalah (pemahaman) ajaran yang paling baik dan benar. Namun juga disadari bahwa tidak seorang manusiapun yang berhak menyatakan bahwa dirinya telah mencapai pemahaman ajaran yang baik dan benar. Apalagi merasa telah mampu mengamalkan ajaran Allah dengan tepat, baik, dan benar.
Seperti telah sering dijelaskan, bahwa dalam Al-Qur’an, disebutkan nama-nama nabi secara eksplisit, tapi ada nabi yang tidak disebutkan secara eksplisit. Karena itu tidak mustahil ajaran agama-agama yang hingga saat ini diikuti oleh banyak umat, para penyampai ajaran adalah nabi utusan Allah (meskipun mereka tidak memproklamirkan dirinya). Mengapa para nabi itu pada dasarnya menyampaikan ajaran Allah yang sama? Karena bagi Allah, adalah mudah untuk mengajarkan ajaran yang sama pada berbagai masa, karena Allah tidak terikat oleh waktu dan ruang. Artinya, Allah menguasai masa lalu, kini dan masa depan. Untuk itu Allah tidak perlu setiap kali menurunkan utusan-Nya, selalu harus memperbaiki ajaran yang disamapikan kepada para NabiNya. Karena itu tidak ada nabi yang menyatakan bahwa ajaranya memperbaiki ajaran nabi sebelumnya. Namun yang dilakukan adalah melakukan perbaikan terhadap ajaran agama budaya yang terdapat pada Kitab Suci yang telah tercemari.
Karena perbedaan waktu dan ruang, maka ajaran Allah yang disampaikan kepada para nabi berbeda-beda. Perbedaan utama adalah dalam hal bahasa. Karena ajaran-Nya disampaikan dengan menggunakan bahasa, maka sangat tergantung pada bahasa ibu dari utusan yang ditunjuk-Nya. Selain dari itu, perbedaan dapat terjadi pada tema-tema ataupun metoda penyampaian. Ada nabi yang mengajarkan wahyu Allah dengan menekankan pada aspek disiplin, ada yang menekankan kasih sayang, dan ada yang menekankan peringatan. Namun, seperti telah sering disampaikan bahwa essensi ajaran Allah yang dibawakan tetap sama.
Sekalipun ajaran Allah sesungguhnya sangat kaya dan luas, tetapi kemudian seolah menjadi dipersempit akibat disampaikan melalui bahasa manusia, kemudian dipersempit lagi oleh manusia. Bagaimanapun, bahasa manusia tetap terbatas. Bahasa manusia umumnya selalu terikat oleh waktu dan ruang. Dan karena wujudnya selalu disesuaikan dengan perkembangan keadaan, maka setiap ajaran membutuhkan aktualisasi atau penyesuaian akibat perubahan keadaan dan perubahan bahasa. Karena itu, bahasa Kitab Suci akan menggunakan bahasa perumpamaan, kiasan dan simbol agar tetap kaya. Dengan demikian maka ajaran Allah, bukan saja akan berlaku abadi, namun juga bisa sangat dalam. Adanya penafsiran dan takwil tidak bisa dihindari. Melalui tafsir dan takwil inilah dimungkinkan timbulnya perbedaan pemahaman. Dan perbedaan pemahaman yang terus dimantapkan dan diyakini akan mengakibatkan penyimpangan ajaran dari ajaran semula. Memang tafsir dan takwil bisa mempersempit ajaran, namun juga bisa meluaskan dan mendalamkan pemahaman. Yaitu kalau umat manusia menyadari sifat ajaran Allah.
Ayat dibawah ini mempunyai makna yang luas, bahkan makna ajaran yang lurus ditafsirkan sebagai islam dalam arti yang sempit, apalagi adanya perintah mendirikan shalat, yang dinilai sebagai ibadah ritual yang hanya milik umat Islam.
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (iaitu) fitrah
Allah yang Ia ciptakan manusia di atasnya. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Dengan kembali
bertaubat kepada Nya dan bertakwalah kepadaNya, serta dirikanlah shalat dan janganlah
kamu jadi dari golongan musyrikin. laitu orang-orang yang memecah belah agama
mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan berbangga dengan
apa yang ada pada sisi mereka. (Ar-Rum: 30-32)
Padahal, siapa yang menghadapkan wajahnya ( dirinya) kepada Allah, maka sebagai manusia yang diciptakan melalui fitrah Allah, maka mereka adalah Islam. Namun karena setiap golongan agama agama, atau aliran dalam agama yang sama, merasa bahwa dirinya adalah pemahaman yang paling benar, maka terjadilah perpecahan. Perpecahan umat tidak akan terjadi, kalau kita tetap berpinsip “ agamaku agamaku, agamamu agamu”, menghormati perbedaan , tanpa mengobarkan pertentangan apalagi permusuhan apapun.
Mengingat perjalanan waktu setiap agama berbeda-beda, maka semakin jauh dari masa kenabiannya, semakin besar kemungkinan adanya penyimpangan ajaran oleh umatnya. Karena itu, sekalipun para nabi mengajarkan ajaran yang prinsip dan essensinya sama, sehingga telah mengakibatkan wujub ajaran agama yang isinya berbeda-beda.
Perbedaan yang mencolok di antara agama-agama terutama adalah pada ritual (ritus), karena ritus merupakan hasil pengembangan yang terkait dengan budaya manusia. Bentuk dan metoda ritus yang ditetapkan, merupakan proses dalam menemukan metoda yang dianggap paling efektif. Tetapi ritus bukan suatu kebenaran, karena itu Al-Qur’an juga tidak memperinci bentuk-bentuk ritus. Bahkan banyak ajaran agama akhirnya terus mengembangkan ritus yang makin lama makin kompleks. Karena dijadikan aturan, maka terjebak pada formalisme yang semakin kompleks, dan akhirnya kehilangan makna yang hakiki.
Namun demikian, seperti disampaikan di atas, originalitas ajaran bukan jaminan bahwa ajaran itu bebas dari pembiasan ajaran sebagaimana dimaksud Allah. Keuntungan dari originalitas Kitab Suci adalah, seandainya terjadi pembiasan ajaran, kita dapat kembali kepada teks originalnya.
Karena ulah manusia, maka ajaran yang dianut setiap pengikut nabi menjadi semakin berbeda. Kemudian umat manusia, menamakan pengikut ajaran yang disampaikan Nabi Musa sebagai agama Yahudi, ajaran (Nabi) Sidharta Gautama menjadi ajaran Budha, ajaran yang disampaikan oleh Nabi Isa sebagai agama Kristen, dan ajaran yang disampaikan kepada Nabi Muhammad menjadi agama Islam, dan sebagainya.
Proses pencemaran ajaran agama oleh manusia, dapat terjadi bukan karena kesengajaan, bahkan bisa jadi akrena niat baik. Misalnya, sepeninggal nabi, manusia tak lagi memiliki tempat bertanya pada orang yang paling kompeten. Karena perkembangan keadaan, maka diperlukan tafsir dan takwil ajaran Allah ataupun upaya lain. Bisa jadi melalui proses musyawarah di antara para tokoh, namun juga bisa jadi karena ada ketokohan yang besar yang dikagumi umat. Kemudian tafsir dan takwil tokoh itu yang kemudian diikuti umat dan dijadikan ketetapan. Baik ketetapan yang dimasukkan pada Kitab Suci, ataupun ketetapan yang di luar itu. Dan kalau ada tokoh atau kelompok yang pahamnya diikuti oleh banyak orang , maka jadilah aliran dalam agama, bahkan akhirnya menjadi agama itu sendiri. Padahal para tokoh yang benar benar tokoh, tidak pernah mengklaim bahwa pendapatnya paling benar. Bahkan menyarankan kepada umat; “ kalau pendapatku benar ikutilah, kalau pendapatku salah, tolaklah”. Artinya sikap merasa telah mencapai kebenaran justru diucapkan oleh para pengikutnya, yang penguasaan ajaran ke –Islam-annya tanggung atau kaum awam.
Bagaimana proses seseorang beragama?. Umumnya, umat beragama tidak memulai beragama melalui proses pemilihan agama, karena pada umumnya umat beragama mengikuti agama atau aliran agama karena mengikuti agama orang tua atau pengaruh lingkungan sekitar. Secara ideal, alangkah baiknya apabila orang beragama melalui pendalaman atau perbandingan agama. Hanya sebagian kecil umat yang beragama melalui proses penilaian dan seleksi dari dirinya. Namun anehnya, mereka yang beragama tidak melalui proses pemilihan, dengan fanatik membela kebenaran ajaran agama sebagaimana dipahami oleh para tokoh agama. Namun demikian, keberagamaan bukanlah masalah prosesnya, melainkan bagaimana setiap diri berproses mendalami ajaran agama yang diplihnya dengan sungguh-sungguh, dan membuka wawasan untuk melihat dunia yang lebih luas. Jangan menjadikan dirinya seorang yang taklid dan awam dalam beragama.
Seorang Islam jadilah seorang Islam yang taat, dalam meningkatkan keimanan dan ketaqwaan, dalam arti tetap berupaya mendalami ajaran Islam, melalui Al Qur’an dan keteladanan serta penjabaran ajaran yang dilakukan Nabi Muhammad. Dengan kesungguhan dan keichlasan tak perlu takut akan tersesat, karena Allah Maha pengasih dan Penyayang. Melalui ikrar, bai’at , pengucapan dua kalimah syahadah yang dilakukan dalam kedalaman spiritual, dan melaksanakannya secara konsekuen makna didalamnya, insya Allah, maka setiap umat Islam akan mencapai tujuannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar