Ajaran Islam, Ajaran Para Nabi
Makna Islam
Banyak jalan menuju Allah dan Allah menurunkan utusanNya kepada setiap kaum, pada wilayah tertentu dan waktu tertentu. Karena itulah maka Allah memerintahkan kita untuk mengimani para Nabi/ Rasul Utusan Allah dan Kitab Kitab yang diajarkannya. Bagaimana hal ini dikaitkan dengan ajaran Islam?
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan (tujuh buah langit); dan Kami tidaklah lengah terhadap ciptaan (Kami).
( Al Mukminuun/23 ayat 17)
“Ada beberapa rasul yang telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu sebelumnya, dan rasu- rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan pembicaraan yang terang (langsung)” (An-Nisaa, ayat 164).
Seorang yang memeluk atau beragama Islam, disebut sebagai sebagai muslim. Muslim berarti “orang yang tunduk”. Karena itu Islam dapat disebut sebagai “agama orang orang yang tunduk”. Islam berasal dari kata “aslama”, yang berarti “tunduk dan patuh atau menyerahkan diri”. Islam juga berarti ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Sedangkan iman, adalah pembenaran dengan hati. Sementara ihsan, adalah eksteriorisasi atau eksternalisasi apa yang ada dalam keyakinan seseorang. Menurut Fazlur Rahman, dalam kata Islam terdapat pengertian iman, demikian juga kata iman, terkandung pengertian Islam. Tumpang tindih arti itu juga terjadi dalam kata taqwa.
Menurut Fazlur Rahman, Islam berakar dari kata s-l-m, artinya “aman” (to be safe), “keseluruhan” (whole) dan “menyeluruh” (integral). Kata “slm”, dalam Al-Qur’an (Al-Baqarah, ayat 208) berarti “perdamaian” (peace), sedangkan “salam” dalam Al-Qur’an (Az-Zumar, ayat 29), juga berarti “keseluruhan” (whole) meskipun “al-salam” dalam Al-Qur’an (An-Nisaa, ayat 91), juga mengandung arti perdamaian. Sehingga Islam berarti; “perdamaian”, “keselamatan” atau “uluk salam”. Islam juga dikatakan dari kata “asalamu”, yang berarti tunduk dan patuh. Dengan demikain maka Islam dapat diartikan secara keseluruhan sebagai “penyerahan diri hanya kepada Tuhan”.
Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan dia mengikuti agam ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya".
Allah ingin memberikan pemahaman bahwa orang yang terbaik dalam ketundukannya kepada Allah yaiyu orang yang menundukan wajahnya dan berarti seluruh jiwa dan raganya merupakan cerminan dari ketundukan kepada Allah. ( An Nisaa/4 ayat 125)
Islam juga dapat berasal dari kata “salaama “, yang maknanya “kesejahteraan dan keselamatan” , Islam adalah ajaran yang bertujuan bagi tercapainya kesejahteraan dan keselamatan. Disamping juga berasal dari kata “sallama”, yang artinya adalah “penyerahan diri”, yang dalam hal ini adalah penyerahan diri sepenuhnya hanya kepada Allah. Islam juga dapat berasal dari kata “siliim”, yang berarti “kedamaian”, sehingga umat Islam harus mampu menciptakan kedamaian dikalangan umat manusia. Islam juga dapat berasal dari kata Arab, “sullam”, yang maknanya “tangga”, atau tahapan, pendalaman ajaran Islam memerlukan tahapan demi tahapan.
Pandangan lain menyebutkan bahwa Islam berasal dari kata “salam” yang berarti “pasrah”, “damai”, “selamat”, nama dari ajaran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW dari tahun 610-632 M. Makna Islam begitu luas dan memiliki konsistensi yang luas.
Nama dari ajaran yang diwahyukan pada waktu haji “wada” (perpisahan) melalui ayat sebagai berikut.
“ … pada hari ini telah Aku sempurnakan agamaKu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmatKu untukmu dan Aku restui Islam sebagai agama bagimu...”
(Al-Maidah, ayat 3).
Islam juga dapat dipahami sebagai agama para nabi. Dalam Al-Qur’an secara eksplisit disebutkan bahwa Islam merupakan agama Ibrahim. Islam dalam arti tunduk dan patuh atau penyerahan diri kepada Allah, adalah agama para Nabi sejak Adam, Nuh, Ibrahim, Musa hingga Isa dan Nabi Muhammad SAW. Sehingga bukan hanya pengikut Muhammad saja yang dapat disebut beragama Islam. Atau kita dapat mengatakan bisa saja kita umat beragama Islam, namun masih belum Islam.
“Ingatlah ketika Tuhan berfirman kepadanya;” Tunduk dan patuhlah (Islam)” Ibrahim menjawab; “Saya telah Islam kepada Tuhan semesta alam. Dan Ibrahim telah mewasiatkan keIslaman kepada anak anaknya, demikian pula Yaqub. Ibrahim berkata; “Hai anak anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untuk kamu, maka janganlah kamu mati melainkan dalam keadaan muslim“ (Al-Baqarah, ayat 131-132).
Jika Islam dikaitkan dengan agama (al-din), dalam Al -Qur’an terdapat lebih dari 10 kata “al-din”, yaitu bentuk mashdar dari kata kerja; “daana”, “yadii-nu”, yang menurut lughah atau bahasa Arab mempunyai makna; 1) cara atau adat kebiasaan, 2) peraturan, 3) undang-undang, 4) taat atau patuh, 5) menyatukan ketuhanan, 6) pembalasan, 7) perhitungan, 8) hari kiamat, 9) nasihat, dan 10) agama. Dalam Al-Qur’an, “al- din” sebagai istilah generik, disebut sebanyak 93 kali, yang maknanya adalah agama (religion) atau kepercayaan. Islam juga disebut sebagai agama fitrah (din al-fitrah) atau juga al-din al –qayyim (agama yang lurus).
“Maka hadapkanlah dirimu dengan lurus kepada agama, fitrah Allah yang telah Dia ciptakan manusia atasnya. Tidak ada perubahan bagi ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Ar-Ruum/30, ayat 30).
Dalam Al-Qur’an, pengertian Islam lebih pada makna “tunduk dan patuh”. Atau dapat juga dipahami sebagai “penyerahan diri secara total hanya kepada Allah”. Kalangan mufasir banyak yang mengartikan Islam menurut Al-Qur’an sebagai “kepasrahan diri yang sempurna kepada Allah”.
“Ketika Tuhannya berfirman kepadanya;” Tunduk dan patuhlah (Islam)!” Ibrahim menjawab “Aku tunduk dan patuh (Islam) kepada Tuhan semesta alam”. (Al Baqarah/2 ayat 131)
Islam adalah agama Ibrahim ( pengikutnya dinamai muslim), artinya agama yang telah ada sebelum Nabi Muhammad. Dengan demikian para Nabi utusan Allah lainnya, seperti telah disampaikan sebelumnya, adalah seorang Islam. Para Nabi, mulai dari Adam, Ibrahim, Musa, Isa, hingga Muhammad, “tunduk dan patuh” kepada Tuhan, dan mereka semua mendapatkan wahyu Allah, ajaran Islam.
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam”
(Ali-Imran, ayat 19).
”..sama dengan yang diwahyukan kepada Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu; tegakkan agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya“
(Asy-Syura, ayat 13).
Dalam pandangan formal, Islam adalah ajaran Allah yang dibawakan oleh Nabi Muhammad SAW, melalui wahyu yang diterimanya. Kedatangan setiap Nabi, selain dikhususkan kepada kaum tertentu, juga untuk meluruskan kembali ajaran Tuhan yang sebagian telah disimpangkan ( baik sadar atau tidak sadar, baik dengan niat baik atau kepentingan tertentu), oleh umat pengikut nabi bersangkutan. Demikian juga Muhammad, menyampaikan ajaran, bukan untuk memperbaiki ajaran Nabi sebelumnya, namun untuk meluruskan ajaran agama yang sebagian telah disimpangkan dan atau dipahami secara keliru oleh kebanyakan umat beragama bersangkutan pada masa itu.
Kedudukan Para Nabi dalam Ajaran Islam
Al Qur’an mengajarkan kepada umat Islam untuk mengakui para Nabi dan Kitab Sucinya, baik yang disebutkan namanya secara explisit (atau mempunyai sebutan lain, seperti misalnya Nabi Idris dengan nama Hermes) dalam Al Qur’an maupun yang namanya tidak disebutkan dalam Al Qur’an. Bahkan pengakuan itu dalam faham Sunni, merupakan bagian rukun Iman, artinya umat Islam harus mengimani Nabi dan Kitab Suci ( ajaran)-nya. Disamping itu Allah menegaskan bahwa Allah tidak membeda bedakan diantara para NabiNya, masing masing diberikan kelebihanya. Apa itu maknanya ?
“Ada beberapa rasul yang telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu sebelumnya, dan rasu- rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan pembicaraan yang terang (langsung)” (An-Nisaa, ayat 164).
Artinya, para nabi membawakan ajaran Allah yang sama, ajaran yang essensinya sama. Namun karena ajaran itu disampaikan oleh masing maisng Nabi pada golongan umat tertentu, pada wilayah dan waktu tertentu. Maka ajaran yang disampaikan kepada setiap Nabi berbeda bahasanya, demikian juga pendekatan penyampaian ajaran termasuk tata cara peribadatannya. Hal ini antara lain karena budaya dan kebiasaan masyarakat dan lingkungan alam juga berbeda, sehingga melalui pendekatan yang tepat dengan umat yang pertama kali menerima ajaran, diharapkan ajaran akan lebih mudah diterima dan difahami.
Penggunaan bahasa, pasti disesauikan dengan bahasa ibu dari Nabi. Sedangkan perbedaan pendekatan dan peribadatan, adalah disesuaikan dengan budaya yang ada, sepanjang budaya itu dapat dimasuki nilai nilai baru yang dibawakan melalui ajaran Allah. Pada ajaran Yahudi yang ditekakan adalah pendekatan pada kehidupan nyata, sama dengan agama Budha. Pendekatan disiplin, penggunaan akal rasional dsb, baru kemudian dibawa kearah pendalaman. Pendekatan pada ajaran nabi Isa, lebih ditekankan pada pendekatan kasih sayang, lebih spiritual . Kejahatan dibalas dengan kebaikan, menjauhkan diri pada keterikatan dunia. Baru kemudian diarahkan dalam menghadapi kehidupan praktis dan kehidupan rohani yang lebih dalam. Sedangkan pada ajaran Islam, pendekatannya lebih jelas, tegas dan kesetaraan meliputi sifat dikotomis; baik- batil , haram – halal dsb, sehingga lebih sebagai “bahasa peringatan”. Disesuaikan dengan budaya Arab yang keras. Baru kemudian kalau didalami masuk kedalaman spiritual.
Artinya, para Nabi yang diutus Allah secara bertahap, tidak berarti masing masing setiap Nabi menyempurnakan ajaran Nabi sebelumnya. Kalaupun seringkali dikemukakan bahwa seorang Nabi yang datang kemudian melengkapi ajaran, tidak berarti meluruskan kembali ajaran para Nabi sebelumnya, namun meluruskan pembiasan yang terjadi pada ajaran setelah Sang Nabi meninggal. Ini digambarkan Al Qur’an, bahwa umat telah “membunuh Nabi” utusan Allah. Menyimpangkan ajaran atau menyembunyikan kebenaram ajaran Nabi, sama artinya dengan “membunuh Nabi”. Kata “membunuh” adalah kiasan. Karena dari sejarah para Nabi yang terdapat dalam Al Qur’an, tidak pernah ada Nabi yang dibunuh( sekalipun Nabi Isa).
Seperti telah menjadi perilaku manusia , bahwa setiap Nabi meninggal , maka para pengikut akan cenderung menambah atau mengurangi ajaran yang semula dibawakan oleh para Nabi bersangkutan. Apa yang dilakukan manusia itu ada yang secara tidak sadar dilakukan sebagai akibat adanya kebutuhan baru yang dianggap belum terjelaskan. Namun ada pula yang dilakukan secara sadar karena adanya kepentingan tertentu, baik untuk kebaikan maupun untuk kepentingan diri atau kelompok. Karena itu, terhadap penyimpangan yang dilakukan manusia, wajar apabila dalam hal ini Nabi yang datang, kembali meluruskan ajaran Allah yang telah disimpangkan tersebut. Namun tetap tidak berarti bahwa Nabi yang diutus Allah belakangan, melakukan penyempurnaan terhadap ajaran Nabi sebelumnya.
Apakah dengan demikian hal yang sama terjadi setelah Nabi Muhammad meninggal? Kembali pada perilaku manusia, hal yang sama terjadi pada ajaran Islam. Adanya berbegai aliran dalam Islam, menunjukkan adanya penyimpangan ini. Karena hingga kinipun kita tidak tahu, mana diantara ajaran itu yang pemahamannya paling baik dan benar. Untungnya ada Kitab Suci Al Qur’an yang otentik kumpulan wahu Allah, sehingga umat Islam kalau mau dapat kembal kepada Al Qur’an.
Al-Qur’an, sebagai kumpulan wahyu Allah yang disampaikan melalui Nabi Muhammad, dengan sendirinya juga disampaikan dengan tujuan dan maksud yang sama. Yaitu untuk menyampaikan ajaran ( peringatan) Allah kepada suatu kaum atau golongan ( Arab Qurasihi), juga menggunakan metoda pendekatan yang sesuai sehingga mempunyai pendekatan penyampaian yang berbeda., baik dalam segi bahasa, pendekatan budaya dan keunikan lainnya. Meskipun pada akhirnya semua ajaran Nabi termasuk ajaran Nabi Muhammad, tidak dibatasi hanya pada kaum atau golongan tertentu. Karena suatu ajaran agama, penyebarannya memang tidak mungkin dibatasi hanya pada kaum tertentu.
Dengan demikian kalau ajaran yang dibawakan para Nabi itu essensinya adalah ajaran Allah yang sama , mengapa ajaran agama yang ada itu kini berbeda beda, bahkan ada yang bertolak belakang ? Mengapa ajaran agama agama itu pada kenyataannya menjadi ajaran agama yang berbeda beda?
Seperti telah dijelaskan, pada masa Nabi masih hidup, maka Nabi bersangkutan merupakan sumber yang paling kompeten untuk menjelaskan sekaligus menjabarkan ajaran dalam kehidupan nyata. Nabi mampu menjawab semua permasalahan kehidupan yang dihadapi umatnya. Namun setelah Nabi bersangkutan itu meninggal, tempat umat bertanya adalah kepada para murid, para sahabat dan pengikut terdekat dan langsung dari Nabi. Mereka sebagai manusia biasa tentu mempunyai kekurangan dan kelemahan. Demikian seterusnya ajaran disampaikan generasi demi generasi, dengan sendirinya tidak terasa terjadi penyimpangan pemahaman, yang berdampak pada pembiasan ajaran. Bahkan tidak mutahil selalu ada tokoh pembaharu pemahaman ajaran. Kalau tokoh itu luar biasa, sehingga mampu mengembangkan ajaran, dan ajarannya dinilai begitu istimewa oleh umatnya. Tidak mustahil dijadikan Kitab Suci tambahan. Bahkan tokohnyapun bisa dianggap Nabi oleh umat pengikutnya.
Suatu waktu, ada tokoh yang konservatif, namun suatu waktu ada tokoh yang progresif. Dan dengan perjalanan waktu, maka masalah kehidupan semakin kompleks, kalau dimasa lalu perbubahan dan kompleksitas kehidupan hanya bertambah sedikit, namun makin lama menjadi terjadi kompleksitas yang exponensial. Kalau kompleksitas masalah kehidupan di jaman para Nabi, yang rentang kehidupannya bisa ribuan tahun itu masalahnya hanya berkembang sedikit, maka dibandingkan dengan kompleksitas kehidupan masa kini menjadi jutaan kali lebih banyak.
Seperti telah disampaikan bahwa ajaran Allah yang disampaikan melalui wahyu kepada para Nabi, selalu menggunakan banyak bahasa perumpamaan, kiasan atau simbol dan atau kalimat mutasyabihaat. Hal ini tak bisa dihindari, karana ajaran Allah adalah ajaran yang memuat hal hal yang kasad indera dan atau nyata, namun juga ajaran yang tidak kasad indera atau abstrak atau ghaib. Ajaran Allah juga menggambarkan masa lalu yang kini menjadi abstark dan ajaran masa depan yang juga abstrak, berisi ajaran dunia yang nyata dan terikat pada materi, ruang dan waktu. Disamping juga ajaran akhirat atau spiritual dan ghaib. Karena ajaran Allah itu adalah ajaran yang berlaku sepanjang masa, tanpa membutuhkan pembaharuan. Karena bagi Allah, masa lalu dan masa datang, sama sama dikuasinya dengan baik dan sempurna.
Karena itu untuk memahami ajaran Allah , tidak mungkin hanya menggunakan makna ; phisikal, tekstual dan explisit. Bagaimanapun juga, semua Kitab suci pasti menggunakan bahasa ; perumpamaan, kiasan , simbol dan atau mutasyabihaat, agar ajaran itu bersifat langgeng . Seperti telah sering dijelaskan bahwa ajaran dalam Kitab Suci yang disampaikan tidak semata mata kasad indera dan dapat disaksikan, namun mencakup ajaran ghaib yang tidak kasad indera. Mencakup pengalaman masa lalu dan pandangan ke masa depan yang abstrak. Karena itu mendalami ajaran Allah, perlu penafsiran dan penghayatan yang mendalam. Bahkan kedalaman ajaran hampir tak akan diduga.
Meskipun untuk itu, ajaran Allah harus juga dapat menjawab permasalahan umat dimasa itu, karena itu ajaran Allah dapat juga dimaknai secara explisit atau tekstual, meskipun lebih ditujukan kepada penataan kehidupan kedepan. Karena itu Kitab Suci, dalam hal ini Al Qur’an akan tetap membutuhkan tafsir dan atau takwil agar dapat difahami dan didalami. Dan tafsir atau takwil ini kalau dilakukan oleh Nabi, orang yang dibimbing wahyu, tidak ada masalah. Namun baru akan menjadi masalah kalau yang melakukan tafsir dan takwil adalah manusia yang tidak dibimbing oleh wahyu. Karena bisa saja tafsir atau takwilnya itu keliru.
Kalau masalahnya masih dekat dengan masalah yang ada pada waktu Nabi itu hidup, maka tafsir dan takwilnya tidak akan meleset terlalu jauh. Namun semakin masalahnya kompleks, dan masalahnya jauh daripada masalah yang ada pada waktu itu, maka baru masalahnya menjadi besar. Meskipun tafsir yang dilakukan bisa tepat, namun bisa juga menyimpang terlalu jauh. Apalagi banyak masalah yang masa lalu tidak ada kini berkembang banyak sejalan dengan kecepatan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perkembangan kehidupan.
Karena itu kalau ajaran tekstual yang ada, difahami secara literal atau explisit, maka pasti tidak bisa langsung menjawab semua permasalahan secara langsung. Kalaupun dianggap dapat menjawab, maka pasti ada penafsiran atau takwil. Penafsiran atau takwil, sepanjang dilakukan oleh para tokoh dan mereka yang merasa bahwa dirinya adalah ilmu agama, namun tetap saja dia adalah manusia biasa, pasti ada kelemahannya atau kekeliruannya. Baik kesalahan atau kekeliruannya itu sedikit maupun banyak.
Meskipun secara essensial, semua ajaran Allah telah disiapkan untuk menjawab semua permasalahan kehidupan umat. Namun kalau ajaran hanya difahami secara tekstual, maka pasti tidak mungkin menjawab permasalah kehidupan masa sepanjang jaman ( termasuk masa kini). Karena itulah maka penafsiran dan takwil terhadap Kitab Suci diperlukan, terutama dengan memperhatikan kedalaman makna ajaran , sebagai yang disebut sebagai ajaran makrifat yang bisanya dilakukan melalui pendekatan sufistik atau mistik atau metafisika atau spiritual. Walau terhadap masalah ini, dapat dipertanyakan pendekatan sufistik yang mana dan disampaikan oleh siapa?
Namun adalah menjadi kewajaran, bahwa semua ajaran agama, akhirnya ditafsirkan dan atau ditakwilkan secara berbeda beda. Kalau ada tokoh yang menonjol , melakukan tafsir dan atau takwil tertentu, yang kemudian hasil penafsiran itu ( baik apakah berupa pemikiran, pendalaman atau apa saja), disetujui dan diikuti oleh banyak umat, yang makin lama makin banyak, dan diakui eksistensinya selama ratusan tahun, maka jadilah pemahaman ( penanafsiran) itu menjadi keyakinan, dan akhirnya membentuk aliran, kalau pemahamanya bercabang maka menjadi sekte, dan kalau kemudin menjadi ranting pemahaman, maka jadilah mashab. Hal ini terjadi pada seluruh agama yang ada, yang ada hanyalah jumlah aliran, sekte dan mashab. Meskipun antara aliran, sekte dan mashab bisa saja saling tindih pemahaman. Makin tua ajaran agama, maka peluang terjadinya pembiasan ajaran bisa semakin lebar, baik antar agama maupun antar aliran, sekte dan mashab dalam satu agama.
Yang membedakan manusia didepan Allah, bukan agama atau ilmunya, melainkan adalah mereka yang keimanannya kepada Allah dan amal shalehnya. Al Qur’an secara jelas tidak membeda bedakan agama yang berasal dari Nabi utusan Allah.
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.( Al Maidah/5 ayat 69)
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin , siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.( Al Baqarah/2ayat 62)
Ajaran Allah kepada Para Nabi, Ajaran yang Essensinya sama.
Perbedaan yang tampak jelas diantara ajaran agama agama, adalah aspek aqidah (terutama yang terkait dengan hubungan dengan Allah dan pendekatan kemanusiaan yang digunakan) , aspek ritual dan beberapa aspek tehnis keberagaman lainnya. Meskipun kalau didalami secara spiritual atau essensial ajaran agama agama, banyak sekali persamaannya.
Pendekatan pada ajaran agama Yahudi, lebih banyak penekanannya pada pendekatan disiplin dan perjuangan kehidupan. Pada ajaran Kristen lebih ditekankan pendekatan hubungan kasih sayang dan aspek spiritual. Sedangkan pada ajaran Islam lebih ditekankan pada ajaran tauhid disamping peringatan kepada manusia terhadap keimanan dan ketaqwaan serta pelaksanaan ibadah ritual. Padahal kalau didalami semua ajaran agama Samawi pada dasarnya adalah ajaran tauhid. Khusus terhadap ajaran Kristen difahami oleh umat Islam sebagai ajaran yang bukan tauhid. Karena terdapat ayat Al Qur’an yang dianggap mengingatkan secara langsung ajaran Kristen, karena melalui ajaran trinitas, seolah Allah berputra karena ada Allah Bapa dan Allah Anak. Kalau ajaran itu difahami secara explisit, memang dapat dianggap bertentangan dengan ajaran tauhid.
Namun kalau kita memahami hal itu bukan dimaksudkan sebagaimana Allah anak, sebagaimana manusia beranak pasti keliru. Namun kalau itu hanya metafora atau simbol, untuk memudahkan manusia untuk mayakini nabinya. Bahwa sebagai nabi utusanNya, maka Nabi Isa telah mencapai tingkatan yang menyerupai sifat sifat Allah. Tingkatan yang dipunyai oleh para Nabi lainnya. Hanya saja pemahaman keyakinan seperti itu tidak diberlakukan untuk orang awam. Hanya berlaku bagi para pendeta tertinggi gereja, yang dalam hal ini seolah mewakli Tuhan untuk menggembalakan anak anak Tuhan, domba domba yang tersesat didunia. Dimana dalam bahasa manusia, kita semua manusia juga dapat dikatakan sebagai anak anak Allah.
Memang khususnya bagi Nabi Isa, yang lahir tanpa ayah, maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa “ayah biologis” nya adalah Allah, dalam arti kehadiran Isa putra Maryam bukan melalui prosedur lazim. Mengapa Allah, meng-kodrat-kan Nabi Isa, menjadi tidak mempunyai ayah secara biologis? Pasti ada sebabnya. Salah satunya adalah untuk membuktikan bahwa Allah Maha Kuasa. Mengapa Allah untuk membuktikan kekuasaanNya, harus dengan menjadikan nabi Isa, seorang anak tanpa ayah? Bahkan dalam Al Qur’an dikatakan bahwa Nabi Isa, sejak dalam buaian telah bisa berbicara? Suatu misteri yang harus kita pecahkan. Allah pasti sengaja menciptakan “kontroversi” ini sebagai proses pembelajaran bagi umatNya, para anak anak Tuhan ( sons of God).
Inilah keistimewaan Nabi Isa, sekalipun menurut riwayat dari Injil, Nabi Isa lulus menjadi Nabi setelah lulus dari godaan iblis saat berkontemplasi digurun selama 40 hari dan kemudian akhirnya dibaptis oleh Nabi Yahya pada usia 30 tahun di sebuah sungai di Yerusalem. Nabi Isa hanya menjalankan tugas kenabian hingga usia 33 tahun ( selama 3 tahun sejak dibaptis), yang murut Injil meninggal disalib. Lain dengan kisah Al Qur’an, yang menyatakan bahwa Nabi Isa telah mampu berbicara sejak dalam buaian, hingga akhirnya diangkat Allah kelangit, dan bukan meninggal karena disalib. Artinya Nabi Isa sejak lahir hingga akhir hidupnya adalah seorang suci. Bahkan diramalkan akan turun kembali di akhir jaman.
Berbeda dengan nabi nabi lainnya yang untuk mencapai kesuciannya melalui proses menjalani kehidupan, baru setelah ditetapkan sebagai utusan Allah, maka dirinya baru menjadi suci. Ini kalau kita mau mencoba menemukan essensi persamaan ajaran agama agama. Memang proses keNabian, akan diindikasikan akan kemampuannya untuk mengingatkan manusia akan ajaran Allah. Bagi Nabi yang menerima ( meninggalkan) Kitab tentu berbeda dengan Nabi yang tidak meninggalkan Kitab. Perbedaan akan semakin menonjol apabila kita melihat praktek pelaksanaan praktis dari ajaran para Nabi, terutama dalam kaitan aspek ritual yang berebda beda dan wujud ke-pendeta-an ( orang yang secara khusus mendalami dan mengajar ajaran agama). Pada agama Katolik dan agama Budha, kependetaan adalah dengan bersalibat ( tidak menikah). Yang menurut Islam tidak dikenal, kecuali kemudian fungsi itu menjadi tugas para ulama. Budha, dalam ajarannya yang paling orisinil pun melarang kependetaan. Kependetaan (termasuk salibat) dan tidak menganal kependetaan selalu ada plus-minusnya. Tidak adanya kependetaan dalam Islam, seolah mengindikasikan bahwa setiap umat Islam tidak boleh menjadi umat yang taklid dan awam. Keberadaan ulama akhirnya menjadikan ajaran Islam menjadikan para ulama/ kyai tak ubah sebagai pendeta.
”Wahai Nabi,sesungguhnya kami mengutusmu sebagai saksi, pemberi kabar gembira, pemberi peringatan dan pengajak kepada Allah dengan izin-Nya dan sebagai lampu penerang.” ( Al-Ahzab/33 ayat 45-46).
Allah menentukan rahmat-Nya (kenabian) kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Allah mempunyai karunia yang besar. ( Ali Imran/3:74)
Allah menetapkan peran Nabi, yaitu sebagai saksi , pemberi kabar gembira sekaligus peringatan yang mengajak manusia kepada jalan Allah , dan menetapkan siapa yang diangkat sebagai Nabi utusanNya. Kenabian dan bagaimana seseorang dapat ditunjuk sebagai Nabi sangat tergantung kepada Allah.
Pada agama Hindu lebih ditekankan pada pelaksanaan tugas dan fungsi dalam menjalankan kehidupan sesuai dengan tugas danfungsinya. Di antara banyak aliran ajaran Hindu , ada aliran ajaran yang meyakini ajaran tauhid ( monotheis) ada yang politheis bahkan ada aliran yang atheis. Lain lagi dengan ajaran agama Budha lebih ditekankan pendekatan praktis kehidupan, untuk mengatasi penderitaan manusia melalui, amal kebaikan dan berbgai ajaran kebenaran ( berpikir, berkata dan berbuat benar).
Ajaran Budha memang tidak mengajarkan keberadaan Tuhan, meskipun tidak menolak ( Budha berdiam diri dalam amsalah ini). Secara sederhana, ia hanya mengingatkan, “buat apa kita mempersoalkan sesuatu yang kalaupun manusia itu tahu, tidak mengubah upaya manusia dalam mengatasi kehidupan”. Meskipun ada aliran yang meyakini ajaran tauhid dan keyakinan bahwa manusia kembali ke Allah ( seperti ajaran Islam), yang digambarkan sebagai nirvana, bukan surga. Karena itu umat Budha menilai bahwa Budha adalah “penjelmaan Allah didunia” mirip ajaran kaum Nasrani atau manusia yang telah mencapai kesucian sempurna. Meskipun Budha sama sekali tidak menyebut atau menolak keberadaan Allah. Dilain pihak Budha menolak peng-agung-an dan pemujaan terhadap dirinya, pikirkanlah dirimu karena engkau sendiri masih mempunyai banyak masalah.
Pendekatan pengajaran yang secara terbatas sebagaimana disebutkan diatas memang hanya dapat difahami secara essensial. Secara literal, semua ajaran agama mengajarkan ajaran agar manusia berbuat kebaikan dan melakukan amal shaleh dari perilaku ahlak mulia. Namun kalau semua ajaran agama lebih difahami kedalaman ajaran yang ada didalamnya, maka kita akan menemukan benang merah kesamaan dan persamaan.
Proses terjadinya penyimpangan ajaran dan atau pembiasan ajaran bukan hanya terjadi pada agama agama yang tua, melainkan juga terjadi pada ajaran Islam. Hanya saja, peluang penyimpangan pada ajaran Islam lebih kecil, mengingat usia ajaran yang paling muda dan adanya keaslian Kitab Suci Al-Qur’an sebagai wahyu. Penyimpangan ajaran lebih banyak kemungkinannya terjadi kalau ajaran Islam lebih banyak, kalau pemahaman Islam terlalu mengacu kepada Hadits. Karena Hadits yang diyakini kaum Sunni berbeda dengan kaum Syi’ah berbeda pula dengan aliran islam yang lain. Karenanya otentifikasi hadits banyak yang perlu diragukan. Meskipun umat Islam telah memiliki wahyu yang otentik atau original dari Allah, namun umat harus tetap berhati-hati karena penyimpangan dapat terjadi pada waktu melakukan tafsir dan ta’kwil.
Namun apapun yang terjadi tidak perlu dirisaukan, sepanjang umat secara terus menerus melakukan evaluasi serta peningkatan pemahaman dan pengamalan. Justru yang akan mendatangkan masalah besar adalah apabila ada umat yang menganggap pemahamannya telah; final, baik dan benar. Mengingat dalam Al-Qur’an, telah berkali diingatkan oleh Allah, bahwa banyak terdapat ayat-ayat yang mutasyabihaat ( belum jelas maknanya) dan atau yaitu ayat, kalimat atau kata yang merupakan perumpamaan, kiasan dan atau simbol. Al Qur’an dapat menyesatkan dan dapat mencerahkan, kita tentu ingin agar dapat dicerahkan.
“…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku cukupkan kepadamu nikmatKu dan telah Ku ridhai Islam itu jadi agama bagimu ...” (Al-Maidah, ayat 3).
Islam sebagai agama umat yang mengajarkan agar umat Islam selalu berserah diri hanya kepada Allah. Tinggal bagaimana umat Islam berupaya memahami makna penyerahan diri hanya kepada Allah dengan baik dan benar, serta mengamalkan ajaran dengan; tepat , baik dan benar.
“Dan Ibrahim mewasiatkan (ucapan) kepada anak anaknya, demikian juga Yakub: Wahai anak anakku, Allah memilihkan untuk kamu agama ini. Maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim” ( Al Baqarah ayat 132)
Islam merupakan ajaran yang dibawakan oleh Nabi Ibrahim, agama yang lurus, dan Nabi Ibrahim mengingatkan kepada umat setelahnya, agar tetap menjadi seorang muslim, umat yang patuh. Namun disamping itu Allah juga mengingatkan bahwa Islam akan terpecah menjadi aliran atau golongan, dan setiap golongan merasa bangga atau merasa pemahamnnya paling baik dan benar.
“Hai rasul- rasul makanlah dari makanan yang baik baik dan kerjakanlah amal saleh (51) sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu (52) Kemudian mereka menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap golongan merasa bangga apa yang ada pada sisi mereka” (53) (Al-Mukminum, ayat 23).
Ayat dibawah ini, oleh kebanyakan umat difahami hanya berlaku bagi agama Islam yang bernabikan Nabi Muhammad, padahal Islam yang dimaksud adalah ajaran para Nabi, yang menganut ajaran Islam. Dan pengertian ini jangan dibalik bahwa para pengikut Nabi Nabi harus mengikuti agama Islam dalam makna yang exclusif.
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dan daripada jalan yang sesat”
(Al-Baqarah, ayat 256).
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah , daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya , dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Al-Maidah, ayat 3).
Uniknya ayat 3 surah Al Maidah diatas, yang begitu essensial maknanya bagi ajaran islam , jutru diselipkan Allah , diantara kalimat panjang yang seolah hanya mempermasalahkan makanan haram dan halal yang seolah sederhana. Sehingga terkesan bahwa seluruh kalimat kalimat dan maknanya dalam ayat diatas “tidak setara”.
Namun kalau masalah makanan sebagai simbol yang perlu ditafsirkan sebagai makanan jiwa maka seluruh makna ayat diatas akan konsisten dan berkesetaraan. Meskipun makna harfiyahnya tetap berlaku. Yaitu seperti kata bangkai ( yang berarti kematian jiwa), darah ( pensucian jiwa) daging babi ( mengisi jiwa dengan watak buruk) dan penyembelihan dengan mengucapkan nama Allah ( pemahaman spiritual dan sesuatu yang bersumber bukan dari Allah). Mengundi nasib dengan anak panah ( mengarahkan kehidupan dengan tak menentu, tidak percaya kepada Allah, berarti berlaku syirk ) , kafir dan fasik yang putus asa (sikap menjauhi Allah dan pengingkaran yang putus asa). Apapun juga ketentuan Allah selalu ada pengecualiannya, termasuk untuk mendapatkan ampunan Allah. Yang menunjukkan bahwa itu semua hanyalah proses pensucian jiwa yang harus dilalui dan terus diupayakan perbaikannya. Sehingga akhirnya umat manusia mencapai kesadaran Illahi melalui Islam ( penyerahan diri hanya kepada Allah).
Para nabi telah diperintah untuk mengejakan “shalat, puasa dan berbuat amal saleh”. Meskipun dapat saja cara shalat yang dilakukan berbeda-beda. Dan mereka yang tunduk dan patuh atau menjalankan ajaran agama dengan “berserah diri hanya kepada Allah”, termasuk “beragama Islam”. Dengan demikian, pemahaman bahwa Islam hanyalah agama dari mereka yang mengikuti ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad, perlu koreksi.
Pengakuan ajaran Islam, disamping mengakui keberadaan para Nabi juga Kitab SuciNya, karena semua ajaran dari Allah. Dan Allah pasti juga mengetahui bahwa apa yang dimaksud Kitab Suci itu adalah bukan saja ajaran yang disampaikan melalui Nabi NabiNya, , melainkan juga proses penulisan dan penyusunan Kitab Suci tersebut, meskipun telah terjadi penyimpangan oleh manusia. Artinya Allah tetap menjaga essensi ajaran dalam Kitab SuciNya.
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.
( An Nisaa/4 ayat 136)
Pada umumnya umat beragama memahami bahwa Allah melalui para nabi yang diutus-Nya kemudian, selalu melakukan penyempurnaan terhadap ajaran Nabi yang diutus sebelumnya. Karena itu, nabi yang turun belakangan dipahami sebagai yang membawakan ajaran Allah yang disempurnakan. Seolah Allah terikat oleh waktu dan ruang dalam menyampaikan ajaran-Nya, sehingga Allah selalu melakukan pembaharuan ajaran pada kurun waktu tertentu. Seolah Allah melakukan evaluasi terhadap ajaran kepada Nabi sebelumnya. Allah tidak terikat pada materi, waktu dan ruang, sehingga masa lalu, masa kini dan masa datang dikuasaiNya dengan sebai-baiknya.
Dalam Al-Qur’an, Allah menekankan kepada umat manusia untuk mengakui para nabi utusan-Nya. Artinya, para nabi yang diutus-Nya pada dasarnya memperoleh wahyu (ajaran) yang sama. Nabi yang dimaksud adalah nabi yang disebut dalam Al -Qur’an ataupun yang tidak disebutkan.
“Ada beberapa rasul yang telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu sebelumnya, dan rasu- rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan pembicaraan yang terang (langsung)” (An-Nisaa, ayat 164).
Karena Allah tidak terikat oleh waktu dan ruang, maka bagi Allah, masa kini dan masa depan sama, terang dan jelas dan semuanya dikuasai-Nya. Artinya, Allah tidak perlu mengubah ajaran karena perkembangan kondisi, waktu dan ruang.
Kalaupun ajaran Allah yang disampaikan kepada para nabi itu berbeda, maka perbedaan itu terletak pada bahasa (disesuaikan dengan bahasa nabi bersangkutan), dan metoda pendekatannya. Kalaupun ajaran Allah yang turun belakangan itu menyempurnakan, tapi yang disempurnakan itu bukan “ajaran Nabi yang sudah diubah” atau diselewengkan oleh para pengikutnya. Perubahan yang dilakukan para pengikut itu, umumnya karena timbul adanya “pengajaran” yang dapat menjawab segala perubahan dan perkembangan keadaan, yang seolah tidak ada padanannya dalam Kitab Suci atau ajaran nabi bersangkutan.
Perubahan ajaran yang dilakukan, tanpa disadari telah mengakibatkan “pembiasan” dari ajaran Allah yang sebenarnya. Pembiasan ajaran bukan saja terjadi pada ajaran nabi sebelum Muhammad, namun dapat juga terjadi terhadap ajaran Islam. Yaitu tanpa mengurangi makna dan ketentuan bahwa dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Allah “telah ridha terhadap ajaran Islam”. Karena masalahnya terletak pada bagaimana umatnya memahami ajaran Islam itu sendiri.
Islam Ajaran Allah yang Universal
Islam sebagai ajaran yang universal sering diartikan sebagai ajaran satu satunya sebagimana dibawakan Nabi Muhammad dalam pemahaman sempit. Islam adalah ajaran yang mengakomodasikan semua ajaran para Nabi termasuk meng-iman-i Kitab Sucinya. Yang kini terwujud dalam berbagai ajaran agama agama, sekalipun telah terjadi pembiasan ajaran, namun tetap terjaga essensinya . Bahkan ajaran Allah ( Islam) adalah ajaran yang bersifat universal, tidak hanya berlaku pada planet bumi dalam satu tatanan tata surya, melainkan pada seluruh alam semesta. Dimana selalu ada “mahluk manusia” ciptaanNya.
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. (Al Ar’aaf/7 ayat 54)
Al Quran ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. ( Shaad/38 ayat 87)
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. ( An Anbiyaa/21 ayat 107)
Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. ( Al ‘Anakabuut/29 ayat 6)
Dan kamu sekali-kali tidak meminta upah kepada mereka (terhadap seruanmu ini), itu tidak lain hanyalah pengajaran bagi semesta alam. ( Yusuf/12 ayat 104)
Dari ayat ayat diatas dapat ditarik pelajaran akan kedudukan Allah dan ajaranNya serta makna jihad dan peran Nabi dalam mengajar manusia, ajaran Allah.
Dengan memahami adanya berbagai ajaran agama dan banyaknya aliran dalam ajaran satu agama, maka ajaran agama atau aliran ajaran agama yang manakah yang pemahaman ajarannya paling baik dan benar? Karena masing masing umat beragama, selalu mengklaim bahwa ajaran agama atau alirannya yang paling baik dan benar. Bahkan setiap umat meyakini bahwa ajaran agamanya adalah ajaran Allah yang paling akhir diturunkan. Artinya, nabi yang diutus Allah berikutnya tidak diakui.
Padahal menurut Al Qur’an, Allah akan mengadili siapa atau golongan mana yang paling benar . Bukankah tidak ada lagi Nabi atau Rasul yang akan diturunkan Allah yang dapat menetapkan siapa yang paling benar. Bahwa masing maisng golongan pemahaman, selalu merasa pemahaman dan keyakinan kelompoknya yang paling baik dan benar, berkali kali diingatkan Allah. Namun tetap saja mereka saling sesat menyesatkan bahkan saling kafir mengkafirkan.
yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. ( Ar Rum/30)
Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing). ( Al Mukminuum/23)
Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan , tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. ( Al An’aam/6:159)
Bahwa Allah akan memberitahukan kelak diakhirat, seperti telah disampaikan, bahwa sebaiknya hal itu mendorong kepada kita untuk menemukan jawabnnya.
Menurut penulis, kita semua umat manusia sedang dalam berproses untuk dapat memahami ajaran Allah dengan baik dan benar. Kalaupun kita masih belum menemukan jalannya, itu hanyalah proses karena Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, kepada semua mahluk ciptaanNya. Allah bukanlah Allah Yang Maha Penghukum terhadap umat manusia, mahluk ciptaanNya. Meskipun umatnya keliru dan salah jalan. Bukankah agama/ ajaran Allah ditujukan kepada umat manusia yang salah jalan atau keliru pemahamannya?
Namun demikian melalui pemahaman yang ada, maka adalah kewajiban dan konsekuensi bagi setiap manusia untuk mengamalkannya . Yaitu berupaya untuk mengamalkan ajaran Allah dengan tepat, baik dan benar. Dari pengalaman terhadap pengamalannya, maka seseorang akan dapat melakukan perbaikan pemahaman. Demikian terus berproses, maka makin lama akhirnya akan semakin baik dan benar pemahamannya dan semakin tepat, baik dan benar pengamalannya.
Tidak ada upaya manusia yang dapat dinilai sesat oleh sesama manusia, kecuali Nabi dan atau Allah yang menilai. Karena orang yang menyatakan sesat kepada orang lain, pasti menganggap bahwa dirinya bukan orang sesat, melainkan orang yang telah baik dan benar. Namun perlu dicatat, kalau ada umat atau golongan umat telah mencapai pemahaman yang baik dan benar disisi Allah, maka kebenaran dirinya telah sama dengan kebenaran Rasul dan Allah. Kalau dirinya telah menyamakan sama dengan Allah maka dirinya telah melakukan syirk. Dosa yang besar, bahkan dikatakan sebagai dosa tak terampuni, karena memang tidak mengakui dan menjauhkan diri dari Allah. Dan kalau ada umat atau golongan umat yang mengaku dirinya mampu mengamalkan ajaran dengan tepat, baik dan benar, maka dirinya telah menyamakan dirinya sama dengan Rasul, sama saja dengan mengaku dirinya sama dengan Nabi utusan Allah.
Padahal, kalaupun ada yang mampu mendekatkan kebenaran Allah, maka dirinya adalah seorang yang penuh cinta kasih, memberikan kedamaian dan rasa aman serta kebahagiaan bagi umat disekitarnya. Melalui amal shaleh dan perilaku ahlak mulia. Serta mampu memberikan keteladanan secara paripurna. Baik dalam menjalankan ibadah ubudiyyah maupun ibadah muamallah. Dan dirinya jauh dari sikap merasa paling benar, dirinya akan rendah hati, santun dan jauh dari sikap mempersalahkan orang apalagi mengkafirkan orang lain.
Islam adalah agama para nabi, ajaran yang diridhai Allah, yang mempunyai makna “berserah diri hanya kepada Allah”. Artinya siapapun yang mampu bersikap “berserah diri dan penyerahan diri hanya kepada Allah”, adalah “Islam”. Kemampuan untuk bersikap berserah diri hanya kepada Allah bukanlah perkara mudah. Terutama kalau didukung oleh hati nurani, kekuatan jiwa yang paling dalam. Penyerahan diri kepada Allah mempunyai makna “pemerdekaan diri” dari keterikatan pada dunia. Antara lain keterikatan pada nafsu dan emosi. Karena melalui sikap itu, maka segala nafsu, egoisme, emosi yang negatif, akan didudukkan dibawah kendali hati nurani. Sehingga sepenuhnya jiwa yang didukung oleh akal pikiran ( dalama rti luas) akan menjadikan hawa nafsu dan emosi dibawah kendalinya.
Penyerahan diri hanya kepada Allah merupakan kunci bagi manusia agar dapat berproses mendapatkan “pencerahan Allah” dan atau “petunjuk dan bimbingan serta kekuatan dari Allah”. Sebaliknya, meskipun seseorang mengaku beragama Islam namun kalau ia tidak berserah diri kepada Allah, maka ia belum Islam. “Penyerahan diri hanya kepada Allah” pada waktu menjalankan ibadah ritual mendekatkan diri kepada Allah, maka hasilnya adalah kekuatan dan kemampuan dalam pelaksanaan pengamalan ajaran Allah dalam menajlankan tugas pada kehidupannya masing masing. Karena melalui proses kehidupan ini, tugas utama setiap manusia adalah untuk mensucikan jiwanya. Apapun agama yang dianutnya. Hanya saja masing masing ajaran agama, melakukan pendekatan dan metoda yang berbeda beda. Begitu banyak jalan menuju Allah, Allah Yang Maha Esa.
Kalau kita tekun, ichlas selalu mensyukuri apapun yang terjadi pada diri kita, juga selalu berserah diri hanya kepada Allah, maka akhirnya kita semua, para pemeluk ajaran agama Allah, akan sampai di muara kebenaran yang sama. Dengan segala kerendahan hati, kita umat manusia perlu memahami bahwa; “setiap diri kita umat manusia sedang menuju proses menuju pemahaman ajaran Allah dengan baik dan benar ( meuju jalan yang lurus) , serta sedang berupaya untuk mengamalkan ajaran Allah dengan semakin tepat, baik dan benar ( berada dijalan yang lurus ) disisiNya”
ASS.TETAPI SAMPAI KINI YG BERKEMBANG DLM PENGERTIAN DAN PEMAHAMAN KAUM ISLAM IALAH BHW MEREKA YG BUKAN ISLAM ADALAH KAFIR. DAN HAL ITU SELALU DAN SDH MENJADI PEMAHAMAN YG KUAT DI DLM KALANGAN UMAT ISLAM YG NON ISLAM ADALAH KAFIR, DAN YG LEBIH MEMPERPARAH ADL KRN MAJELIS ULAMA INDONESIA MAUPUN PARA USTADZ TDK PRNH MEMBERIKAN PENGERTIAN YG JLS PADA UMAT ISLAM. WASS.
BalasHapusASS.TETAPI SAMPAI KINI YG BERKEMBANG DLM PENGERTIAN DAN PEMAHAMAN KAUM ISLAM IALAH BHW MEREKA YG BUKAN ISLAM ADALAH KAFIR. DAN HAL ITU SELALU DAN SDH MENJADI PEMAHAMAN YG KUAT DI DLM KALANGAN UMAT ISLAM YG NON ISLAM ADALAH KAFIR, DAN YG LEBIH MEMPERPARAH ADL KRN MAJELIS ULAMA INDONESIA MAUPUN PARA USTADZ TDK PRNH MEMBERIKAN PENGERTIAN YG JLS PADA UMAT ISLAM. WASS.
BalasHapus