Selasa, 12 Oktober 2010

Al Qur'an; Otentik dan Terperinci


Al-Qur’an Kitab Suci yang Otentik dan Terperinci

Sejarah Penulisan Kitab Suci

Setiap agama , pasti mempunyai Kitab Suci, sebagai acuan bagi umatnya dalam memahami, meenghayati dan mengamalkan ajaran agama yang diyakininya. Ter lepas dari proses bagaimana seseorang melakukan pemahaman terhadap Kitab Suci agama yang dipeluknya. Kitab Suci , diyakini merupakan kumpulan ajaran Allah yang disampaikan Nabi, melalui wahyu. Kemudian ajaran Allah itu oleh para Nabi diteruskan kepada umat manusia. Ajaran yang disampaikan oleh Nabi itulah yang kemudian disusun dan dituliskan sehingga menjadi Kitab Suci.

Bagi umat beragama Islam, Al Qur’an adalah merupakan kumpulan wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad. Dan mereka yang mengikuti ajaran yang disampaikan Nabi Muhammad disebut sebagai seorang muslim atau umat Islam.

Pada masa Nabi itu masih hidup, para pengikutnya sambil memahami, juga meyakini kemudian mengamalkan ajaran. Dimulai dengan menghafalkan dan atau mengingat diskripsi ajaran maupun menuliskan ayat ayat tertentu yang kebetulan diajarkan kepadanya pada berbagai sarana yang ada pada masa itu.. Ada yang menuliskan pada lembaran lembaran kulit atau batu, dinding atau lembaran papyrus. Hal ini dapat dilakukan karena ilmu tulis menulis telah dikenal sejak lama, mungkin telah dikuasai manusia sekitar 5000 SM.

Ingatan ( hafalan) atau tulisan dilakukan banyak orang, bisa jadi berbeda beda. Karena itu menggabungkan semua ajaran Nabi dalam suatu Kitab Suci, membutuhkan otentifikasi. Otentifikasi Kitab Suci ini perlu, kalau kita berkeyakinan bahwa Nabi Sang penerima wahyu, adalah satu satunya otoritas yang menyampaikan ajaran yang langsung diterima dari Allah. Penulisan Kitab Suci menjadi otentik atau orisinil kalau penulsian Kitab Suci dilakukan oleh Nabi bersangkutan, minimal di-supervisi oleh beliau. Karena Nabi adalah sang penerima wahyu, sedangkan kalau dituliskan orang lain yang dhaif, bisa ada yang salah atau keliru. Orisinalitas Kitab Suci menjadi sangat penting, karena kalau terjadi perbedaan pemahaman, maka masing masing umat yang berbeda pemahamnnya, dapat kembali pada ajaran yang sama, yaitu Kitab Suci.

Uniknya , menurut sejarah yang ada, penulisan Kitab Suci agama agama , sehingga mencapai bentuknya pada saat ini, seluruhnya tidak dituliskan pada saat Nabi, Sang penerima wahyu itu masih hidup. Kita tidak tahu persis mengapa terjadi demikian? Apakah para Nabi memang tidak diperintah Allah untuk menuliskan ajaranNya? Atau masalah otentifikasi atau orisinalitas Kitab Suci memang tidak terlalu diperlukan?

Kitab Suci, pada umumnya dituliskan setelah ratusan tahun , sebagian baru dituliskan setelah puluhan tahun Sang Nabi wafat. Ada yang penulisannya yang berdasarkan penuturan para sahabat atau murid terdekat ada yang dituliskan oleh tokoh yang datang kemudian. Bahkan ada Kitab Suci, yang terus disempurnakan secara periodik dan ada yang kemudian dilengkapi karena ada Nabi atau tokoh yang menambahkan ajaran.

Untuk menjawab adanya keraguan mengenai orisinalitas ajaran yang dituliskan murid atau tokoh yang menulis Kitab Suci, maka para penulis itu diyakini bahwa mereka juga dibimbing wahyu , apapun wujudnya. Karena itu mereka diberi sebutan Rasul ( yang menyampaikan tanpa membawa ajaran tersendiri) bahkan ada pula yang disebut sebagai Nabi, kalau beliau melengkapi ajaran.

Karena itu Nabi yang dibedakan dengan Rasul, dan Nabi Muhammad adalah Nabi dan juga Rasul. Karena itu Rasul bukan penerima wahyu, namun ingatannya ( terhadap ajaran Nabi penerima wahyu) dituntun wahyu. Karena itulah pada ajaran agama tertentu, para penulis juga dianggap dituntun wahyu, untuk menjamin otentitas ajaran sebagai ajaran Allah.

Dengan asumsi bahwa para tokoh “pendiri” agama adalah Nabi yang penerima wahyu dalam ajaran agama bersangkutan, maka kalau penulisan ajaran dilakukan oleh orang lain, maka otentifikasi atau orisinalitas ajaran patut diragukan. Kita dapat mempelajari seberapa jauh otentiksitas atau orisinalitas Kitab Suci, antara lain dengan memperhatikan berbagai sejarah penulisan Kitab Suci ajaran agama agama yang ada. Antara lain dapat disebutkan sebagai berikut :

Agama Yahudi mempunyai Kitab Suci yang terdiri dari Tanakh ( Panteuch) yang berisi ajaran Taurat mulai disusun 460 SM. Disamping itu adalah Kitab Suci Nebim dan Khethubim disusun abad 5-2 SM, disamping itu juga ada Kitab Talmud . Kitab Suci agama Yahudi disempurnakan melalui sidang Besar Jamnia 90 M dan mengalami penyempurnaan dan penambahan. Nabi agama Yahudi adalah mulai Nabi Adam, Nuh, Ibrahim (2000 SM), Musa (1500 SM) hingga Nabi Jezikel.

Pada agama Nasrani Kitab Sucinya terdiri dari Kitab Perjanjian Lama yang juga digunakan oelh agama Yahudi ( nabinya adalah Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa hingga Nabi Jezikel) ditambah Kitab Perjanjian Baru ( ajaran Nabi Isa ~ 0-33 M). Kitab Injil- Perjanjian Baru dituliskan dari penuturan para Murid Nabi Isa ( Lukas, Matius, Paulus, Yohanes, Petrus dan Markus ) , yang secara gradual terus disempurnakan melalui sekitar 27 Konsili, dimulai dari Konsili Nicae ( 325 M) hingga Konsili Vatikan II ( 1962-1965). Ajaran Kristen itu sendiri kemudian mengalami perpecahan , yaitu setelah berkembangnya gerakan reformasi yang dipelopori oleh John Huss ( 1374-1415 M) , Zwingli (1484-1531 M), Erasmus(1466-1536 M),selanjutnya secara signifikan diperjuangkan oleh Marthin Luther ( 1483- 1546 M) dan Calvin ( 1509-1564 M). Mereka berupaya untuk memurnikan ajaran Kristus. Ajaran mereka akhirnya menjadi Kristen Protestan, yang karena waktu dan sifat penafsirannya yang liberal , maka aliran Protestan terpecah menjadi banyak aliran dan sekte. Di Amerika Serikat saja ada sekitar 255 aliran/sekte Protestan bisa jadi ada ribuan aliran. Sekte di seluruh dunia.

Agama Hindu nabinya tidak disebut secara jelas, namun diantaranya adalah Resi Wyasa dan para Resi atau “pendeta suci yang hidup antara 3000- 1300 SM. Ajaran agama dalam Hindu didasarkan pada kitab suci atau susastra suci keagamaan yang disusun dalam masa yang amat panjang dan berabad-abad, yang mana di dalamnya memuat nilai-nilai spiritual keagamaan berikut dengan tuntunan dalam kehidupan di jalan dharma. Di antara susastra suci tersebut, Weda merupakan Kitab Suci yang paling tua dan lengkap, yang diikuti dengan Upanishad sebagai susastra dasar yang sangat penting dalam mempelajari filsafat Hindu. Sastra lainnya yang menjadi landasan penting dalam ajaran Hindu adalah Tantra, Agama dan Purana serta dua Itihasa (epos), yaitu Ramayana dan Mahabarata. Bhagawadgita adalah ajaran yang dimuat dalam Mahabharata, merupakan susastra yang dipelajari secara luas, yang sering disebut sebagai ringkasan dari Weda. Kitab suci ajaran agama Hindu dituliskan dalam masa yang panjang yaitu antara 1500- 200 SM.

Agama Budha dengan tokohnya bernama Sidharta Gautama ( 563-483 SM), oleh pengikutnya dianggap sebagai Nabi. Sang Buddha setekah mendapatkan pencerahan, memberi pelajaran tentang dharma kepada lima pertapa di Taman Rusa. Setelah mencapai pencerahan sempurna, pertapa Gautama mendapat gelar dari pengikutnya sebagai: Buddha Gautama, Buddha Shakyamuni, Tathagata ('Ia Yang Telah Datang', Ia Yang Telah Pergi'), Sugata ('Yang Maha Tahu'), Bhagava ('Yang Agung') dan sebagainya. Lima pertapa yang mendampingi beliau di hutan Uruwela merupakan murid pertama Sang Buddha yang mendengarkan khotbah pertama Dhammacakka Pavattana, dimana dijelaskan tentang Jalan Tengah yang ditemukannya, yaitu Delapan Jalan Kemuliaan termasuk awal khotbahNya yang menjelaskan "Empat Kebenaran Mulia". Kitab Suci agama Budha adalah Tripitaka yang terdiri dari Vinaya Pitaka dan Sutta Pitaka serta Abhidama Pitaka. Pada Konsili IV yang diadakan pada 78 M , agama Budha terpecah menjadi aliran Budha Mahayana dan aliran Budha Theravada. Kemudian bertambah dengan aliran adanya Budha Vadjranaya yang lebih menekankan ajaran yang bersifat esoteris. Ajaran Budha tidak membahas keberadaan Tuhan, Budha menjawab masalah ini dengan diam. “ Mengapa kita mempersoalkan sesuatu yang kalaupun kita tahu, tidak mengubah penderitaan manusia?” Masing masing aliran mempunyai Kitab Suci dengan nama yang sama namun dengan teks yang berbeda beda, dan masing masing dituliskan antara 400-100 SM.

Kitab Suci agama Kong Hu Cu ( Nabinya Kong Fu Tse- 551-479 SM) ), adalah Kitab Suci Wu Ching (yang terdiri dari beberapa Kitab) dan Shao Shu. Kong Hu Cu dipuja sebagai seorang Nabi meskipun dia yang sebenarnya adalah manusia biasa”. Karena peng-agung-an yang luar biasa terhadap Kong Hu Cu, maka pengikutnya telah mengubah falsafahnya Konfusianisme menjadi sebuah agama. Konfusianisme mementingkan akhlak yang mulia dengan menjaga hubungan antara manusia di langit dengan manusia di bumi dengan baik. Penganutnya diajar supaya tetap mengingat nenek moyang seolah-olah roh mereka hadir di dunia ini. Ajaran ini merupakan susunan falsafah dan etika yang mengajar bagaimana manusia bertingkah laku. Ajaran ini dikembangkan oleh muridnya Mensius ke seluruh China dengan beberapa perubahan. Kitab Suci agama Kong Hu Cu dituliskan setelah sekitar 200 tahun Kong Fu Tse meninggal.

Agama Tao, didasarkan pada ajaran Lao Tze ( 604-517 SM), sehingga lebih tua dari ajaran Kong Hu Cu. Kitab Sucinya adalah Tao Te Ching ( Tao dan Kodrat-Nya). Adapun konsepsi ajaran Tao Te Ching adalah; (1) Tao, menurut huruf China Tao itu adalah bentuk kepala manusia , yang bermakna bahwa seseorang harus berpengetahuan. (2) Te, dalam huruf China berisi tiga bagian; Pertama, lukisan ideal yang mengandung makna ; pergi. Kedua, yang mengandung makna; lurus. Ketiga, adalah bagian tubuh yang mengandung makna ; hati. Panduan ketiganya itu melahirkan makna; gerakan rasa- adil dari sebelah dalam ( motivation by inward rectitude). (3) Wei Wu Wei, yang bermakna; Berbuat tanpa berbuat. Sebuah ungkapan yang sangat paradoxs dan merupakan kunci mistik bagi bangsa China; “ Cendekiawan berbuat dalam keadaan diam”. Kitab Suci agama Tao dituliskan antara 400-300 SM.

Dengan demikian Kitab suci ajaran agama agama diatas dapat dikatakan tidak lagi otentik, kalau hanya Nabinya san Penerima Wahyu, yang seharusnya menuliskan ajarannya pada masa para Nabi itu hidup. Bagaimana dengan sejarah penulisan Al Qur’an, yang diyakini sebagai kumpulan wahyu Allah yang dibawakan Nabi Muhammad?

Penulisan Al Qur’an

Kitab Suci agama Islam, Al Qur’an, menurut sejarah dituliskan hanya” sekitar 18 tahun setelah Nabi Muhammad wafat. Kalau sejarah ini dianggap benar, maka Nabi Muhammad juga tidak menuliskan ataupun mem- supervisi penulisan Al Qur’an.

Artinya , kalau kita mengacu kepada sejarah yang ada, tidak satupun Kitab Suci yang dituliskan secara lengkap ( sesuai dengan wujudnya sekarang ini) , dilakukan pada masa dimana Nabi bersangkutan masih hidup. Hal ini secara indikatif dapat dikatakan bahwa Kitab Suci ajaran para Nabi sudah tidak sepenuhnya orisinil wahyu Allah. Sedikit atau banyak , telah ada campur tangan manusia yang bukan Nabi Sang Penerima wahyu. Seperti telah dijelaskan, bahwa untuk menutupi kelemahan bahwa penulisan Kitab Suci itu tidak dilakukan oleh masing masing Nabi Sang Penerima wahyu, maka ada keyakinan tambahan, bahwa mereka yang turut serta menyusun Kitab Suci adalah mereka yang juga dibimbing wahyu. Sebagaimana diyakini oleh umat Krsiten, Hindu dan Budha.

Dari catatan sejaran Islam menyebutkan bahwa penyelesaian penulisan atau kodefikasi Al-Qur’an dilakukan pada masa Khalifah Usman, yang dilakukan oleh sebuah Tim yang dibentuk oleh Khalifah Usman, dipimpin Zaid ibn Tsabit, dengan anggota; Abdullah Ibn Zubair, Said ibn al ‘As dan Abdurrahman ibn Zubair ibn Hisyam. Karena itu rumusan Al-Qur’an tersebut selanjutnya disebut mushaf Usmani. Artinya rumusan mushaf Usmani, wujud final Al Qur’an tidak disupervisi langsung oleh Nabi Muhammad sendiri, orang yang menerima wahyu. Kalau demikian halnya, maka secara teoritis tidak ada jaminan bawa Kitab Suci Al Qur’an, bebas dari campur tangan manusia, sehingga bisa jadi , didalam penulisannya sedikit atau banyak ada kemungkinan terjadi kesalahan atau kekurangan penulisan, dibandingkan dengan wahyu orisinal yang diterima Nabi Muhammad. Dari sejarah yang ada, Tim Zaid bin Tsabit dan anggota Tim yang menuliskan Al Qur’an, tidak dikisahkan bahwa mereka telah dibimbing wahyu, namun disebutkan bahwa telah mendapat arahan dari Nabi Muhammad , terutama dalam menyusun urutan juz, surah dan ayat ayat.

Seperti diketahui, susunan Al-Qur’an yang ada pada saat ini, disusun tidak berdasarkan urutan waktu dan tempat turunnya ayat (wahyu) melainkan disusun dalam susunan juz (30 juz) dan surah (114 surah) sesuai dengan perintah Nabi. Penyusunan ( penulisan) Al-Qur’an disebut dengan istilah “kodefikasi”, untuk menjelaskan bahwa penulisannya tidak mencakup penyusunan urutan ayat, surah dan juz.

Menurut sejarah , awal penyusunan Al-Qur’an sebenarnya dilakukan berdasarkan desakan Umar Bin Khatab pada Khalifah Abu Bakar, dengan alasan bahwa cacatan Al-Qur’an pada masa itu tersebar di berbagai tempat dan berbagai bentuk. Sebagian lagi berada pada ingatan para ahli qura’, yang juga sahabat nabi. Karena Umar khawatir bahwa sebagian para penghafal Al Qur’an itu dapat meninggal karena peperangan atau usia. Ada sekitar 70 sahabat yang hafal Al Qur’an di peperangan Bir Ma’unah, dan sekita 70 ahli Qu’ra ( penghafal) Al Qur’an dipeperangan Yammamah. Maka Umar memandang perlu menuliskan seluruh Al Qur’an dalam satu Kitab Suci. Dalam periwayatan itu dikatakan bahwa Abu Bakar semula tidak setuju dengan alasan bahwa Nabi tidak memerintahkan penulisan Al Qur’an dalam satu Kitab. Namun setelah diyakinkan Umar, akhirnya Khalifah Abu Bakar setuju. Kemudian Abu Bakar membentuk tim yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit, dengan anggota; Ubay ibn Ka’ab, Ali Bin Abi Talib, Usman bin Affan dan beberapa sahabat lainnya, yang hasilnya kemudian disebut sebagai mushaf Zaid, dan kemudian naskah Al Qur’an itu disimpan oleh Siti Hafsyah janda Nabi putri Umar.

Meskipun demikian ada riwayat lain yang kurang masyhur, bahwa Nabi Muhammad pada masa hidupnya telah menyusun Al-Qur’an. Nabi telah memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk menuliskan dan menyusun Al Qur’an. Dengan demikian naskah Al Qur’an yang disusun dan dituliskan minimal disupervisi sendiri oleh Nabi Muhammad, Sang penerima wahyu Allah. Sehingga ke-otentik-an atau ke-orsinil-an naskah tersebut terjamin. Naskah tersebut selanjutnya disimpan oleh Siti Hafsyah. Atas dasar naskah inilah, maka Tim yang dibentuk Khlaifah Abu Bakar yang dilajutkan oleh tim yang dibentuk pada masa Khlalifah Usman, memperbaiki tanda baca dan penulisan dalam bahasa Arab Qurashi. Bahwa kemudian naskah Al Qur’an tersebut diberi nama sebagai mushaf Usmani, bisa jadi ada motif politik. Sebab kalau naskah itu senuhnya dituliskan kembali oleh Zaid bin Tsabit, maka ada kemungkinan adanya capur tangan manusia, baik sedkit atau banyak, sehinga tidak sepenuhnya orisinil wahyu Illahi. Ada pula periwayatan laian yang diuraikan kan oleh HA Atahaillah, dalam bukunya “Sejarah Al Qur’an”, disebutkan bahwa seitap ayat turun, langsung diperintahkan Nabi Muhammad untuk dituliskan, dan semua sahabat Nabi hafal Al Qur’an. Bahkan disebutkan bahwa yang paling hafal Al Qur’an adalah, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit dan Abu Musya al Asykari. Ada pula Hadits yang menyebutkan nama nama nama lain, dan menurut Abu’ Ubaid, dalam bukunya al Qir’at , bahwa yang hafal Al Qur’an diantara kaum Muhajirin adalah, empat sahabat , Tahlhah, sa’ad, Ibn Mas’ud, Huzaifah, Salim, Abu Hurairah, Abdullah ibn al Saib, Abdullah ibn ‘Abbas, Abdullah ibn Umar, Abdullah ibn Amrin, Abdullah ibn Zubair, Siti Hafsyah, Aisyah dan Ummi Salmah. Sedangkan dari kalangan anshar, adalah “Ubadah ibn Shamit, Abu Halimah , Majma ibn Ja’riyah, Fudlalah ibn ‘Ubaid dan Maslaman ibn Makhlad. Ada pula Hadits yang menyebutkan bahwa yang hafal dan telah menuliskan Al Qur’an, adalah Abdullah ibn Mas’ud, Salim, Muaz dan Ubay ibn Ka’ab. Ada pula yang menyebutkan bahwa mereka yang hafal Al Qur’an sebanyak 43 sahabat, mereka semua disebut sebagai kaibu al wahyi ( para penulis wahyu) . Namun juga ada yang menyatakan bahwa yang paling banyak menuliskan ayat ayat Al Qur’an dan selalu mendampingi Nabi Muhammad adalah Zaid bin Tsabit. Namun perlu dicatat bahwa menghafal banyak tidak berarti menghafal seluruh isi Al Qur’an, dalam urutan ayat, surah dan juz.

Meskipun para sahabat banyak yang hafal, masalahnya adalah apakah hafalannya meliputi seluruh isi Al Qur’an, karena isi Al Qur’an yang kini ada, tidak didasarkan pada turunnya ayat ayat, tidak juga turunnya surah per surah. Melainkan urutan tertentu, yang hanya akan tepat kalau diarahkan langsung oleh Nabi pada saat penulisannya. Untuk itu dibutuhkan bukti sejarah , bahwa setelah Al Qur’an selesai dituliskan, maka Al Qur’an tersebut dibaca ulang dan dichek kembali oleh Nabi Muhammad sendiri. Melalui hafalan bukan jaminan bahwa urutan ayat, surah dan juz seperti yang diinginkan Allah melalui Nabi Muhammad, karena setelah Al Qur’an dituliskanpun pada masa itu masih tetap tersebar dan masih bisa berbeda bacaannya.

Khalifah Usman sebagaimana disebutkan oleh Farag Fauda ( dalam bukunya “Kebenaran yang Hilang”, dinilai mempunyai rekam jejak yang negatif. Apalagi pada tahap selanjutnya, semua naskah Al Qur’an diluar mushaf Usmani, diperintahkan Khalifah Muawiyah untuk dibakar. Seperti diketahui Khalifah Muawiyah adalah keponakan Khalifah Usman, yang merebut kekuasaan dari Khalifah Ali. Mungkin maksud pembakaran seluruh bentuk penulisan dan naskah Al Qur’an, selain mushaf Usmani, mempunyai tujuan baik, agar tidak terjadi banyak versi ayat ayat Al Qur’an yang akan dapat membingungkan umat yang kemudian. Namun akibatnya umat Islam kehilangan jejak historis dari berbagai penulisan bagian bagian Al Qur’an yang dilakukan para sahabat.

Meskipun dalam kaitan dengan penulisan naskah Al-Qur’an ini, Imam Zarkasyi, menilai bahwa susunan Al-Qur’an dengan kodefikasi sebagaimana wujudnya saat ini, terutama berkaitan dengan penyusunan dengan urutan surahnya, bukanlah hal yang diwajibkan Allah melalui Al Qur’an, melainkan disusun berdasarkan ijtihad para sahabat. Namun kalau penulisan ini tidak diprakarsai oleh Nabi Muhammad maka masalahnya menjadi jauh berbeda.

Al Qur’an, Otentik Kumpulan Wahyu Illahi

Dengan memandang arti penting dari penulisan Al Qur’an, karena adanya bukti sejarah akan menambah kan pembuktian bahwa Al Qur’an telah dituliskan pada masa Nabi masih hidup. Terjaminnya otentitas penulisan Al Qur’an dalam satu Kitab Suci, sekaligu menguatkan ayat yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad Nabi terakhir. Sebab kalau Al Qur’an derajat orisinalitasnya sama dengan Kitab Suci yang lain, membuktikan Allah masih perlu menunjuk utusanNya setelah Nabi Muhammad.

Al Qur’an sendiri menyebutkan bahwa Allah yang mengajarkan Nabi Muhammad menuliskan wahyu Allah :

Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam” ( Al Alaq ayat 4)

Allah mengajarkan ajaranNya dengan kalam, artinya didalamnya terkait perintah kepada Nabi untuk menuliskan kalam Allah. Meskipun kalam yang dimaksud ayat diatas dapat pula berarti wahyu. Dalam kaitan penulisan Al Qur’an yang didasarkan Hadits kurang kuat, karena diantara Hadits yang ada, saling bertentangan. Karena itulah maka timbul periwayatan yang disetujui sebagian besar umat Islam masa itu, bahwa Al Qur’an selesai dituliskan pada masa Khlaifah Usman oleh Tim yang dipimpin Zaid bin Tsabit.

Karena itu pelurusan harus dilakukan melalui bukti sejaran dan argumen yang lain. Bahwa Al-Qur’an sebagaimana yang ada kini adalah kumpulan wahyu Illahi, juga dibuktikan dengan metoda berbeda, seperti dengan terutama dengan menunjukkan adanya keajaiban dan kemujizat yang ada dalam Al Qur’an, bukan melalui makna tertulisnya ( karena bisa multi interpretasi), namun berdasarkan perhitungan angka-angka yang ada di dalamnya. Rashad Kahlifa, seorang berkebangsaan Mesir, yang menjadi Imam Masjid Tucson Amerika Serikat, telah menemukan keajaiban adanya angka kalipatan 19 pada setiap uraian Al-Qur’an (1991), baik terhadap rangkaian kata-kata, ayat, surat, hingga juz (uraiannya dapat diperiksa di www.submission.org). Namun demikian menurut Rashad Khlalifa, ada ayat 128 dan 129 Surah At-Taubah, dinilainya telah diselipkan orang pada masa Khalifah Usman, karena dengan adanya ayat-ayat tersebut maka sebagai akibatnya sebagian perhitungan yang terkait dengan ayat ayat tersebut, kalipatan angka 19 tidak berlaku.

“Padanya (ada penjaga) sembilan belas (malaikat)” (Al-Mudadtstsir, ayat 30).

Meskipun ada yang menilai bahwa penjagaan oleh sembilan belas malaikat, adalah penjaga neraka. Namun dapat saja bahwa hal ini terkait dengan temuan Rashad Khlaifa terhadap keajaiban angka 19 dalam Al Qur’an.

Hanya disayangkan, bahwa melalui temuan itu, Rashad Khalifa mendudukkan dirinya sebagai seorang rasul ( meskipun bukan Nabi yang membawa Kitab), yang diyakininya ditugaskan Allah untuk meluruskan kembali pemahaman Islam yang selama ini telah keliru difahami umat“. Rashad Kahlifa kemudian melakukan tafsir dan menjelaskan makna Al-Qur’an yang menurut dirinya adalah pemahaman yang sebenarnya ( disisi Allah). Adapun rincian hasil pemahamannya dapat dilihat di wibesite-nya: www.s submission. org.

Pada tahun 1993 Rashad dibunuh oleh seorang muslim pengikut ajaran yang fanatik, yang tidak setuju dengan pemikirannya. Namun demikian, situs atau wibesitenya masih terus dikembangkan para pengikutnya. Bahkan Rashad Khlaifa , juga yakin bahwa Al Qur’an dituliskan sendiri oleh Nabi Muhammad dimasa hidupnya.

Selain dari itu ada pula temuan Lukman Abdul Qohar Sumabrata (1991), yang mengemukakan dimensi keilmuan dari susunan (mushaf) Al-Qur’an. Bagaimana urutan ayat maupun surah dan juz itu dimaknai. Antara lain dikatakan bahwa setiap juz dalam Al Qur’an ( yang diwakili pemaknaan surah dan ayat ayat didalamnya) menjelaskan karakter, kesehatan dan arah kehidupan seseorang, Jumlah juz yang 30 menunjukkan typologi keperibadian setiap orang. Disamping juga ditemukan pula keajaiban huruf dan kata kata dalam Al Qur’an, yang berkaitan dengan konstruksi bilangan 13x7 surah. Demikian juga tulisan KH Fahmi Basya dalam bukunya dengan judul Al-Qur’an Empat Dimensi, yang menggambarkan berbagai angka matematika ( 19,13 dan 11) yang dapat dikaitkan dengan isi Al-Qur’an. Rosman Lubis (1995), mengangkat keajaiban angka 11 dalam Al-Qur’an.

Semua tulisan dan kajian yang telah dilakukan membuktikan bahwa Al-Qur’an, adalah wahyu Allah yang otentik, mustahil merupakan hasil karya manusia.

Catatan :

Ada pandangan bahwa Al Qur’an mushaf Usmani tidak lagi otentik , karena banyak ayat ayat Al Qur’an yang diwahyukan kapada Nabi Muhammad yang tidak masuk. Beberapa kumpulan pendapat dibawah ini sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan bahwa kalimat Allah telah mengalami hilang / berkurang / terpotong / terkikis bahkan sebelum di Mushafkan menjadi mushaf Usmani.

Misalnya: Anas b. Malik mengingat satu ayat yang turun saat beberapa muslim terbunuh dalam perang, tetapi kemudian hilang [Muhasibi, Fahm Al Quran an wa manih , p 399, Tabari, Jami al Bayan, vol 2 p 479].

Abdullah ibn Umar menyatakan banyak bagian Qur’an yang telah hilang.[Suyuthi, al Itqan fi ulum Al Quran, vol 3 p 81-82]. dan beberapa pakar yang kemudian menyatakan bahwa banyak bagian Qur’an telah hilang sebelum dikumpulkan.[Ibn Abi Dawud, Kitab al Masahif, p 23 (mengutip pendapat Ibn Shihab (al Zuhri); Suyuthi, al Itqan fi ulum al Quran, vol 5 p 179, mengutip Sufyan al Thawri; Ibn Qutaybah, Tawil, p 313; Ibn Lubb, Falh al bab, p 92].

Ada bagian Qur’an yang ‘dinashkan’ untuk ‘kepentingan’ tertentu setelah meninggalnya Nabi yaitu berdasarkan tanggapan atas Mushaf Usman baik itu berupa tidak diketemukan ayat-ayat yang mereka dengar langsung ataupun menjadi berbeda setelah dituliskan menjadi Mushaf Usman.

Ubay b. Ka’b, sebagai contoh, menuliskan sura 98 (Al Bayyinah) berbeda dimana Ubay mengklaim versi dia adalah dia dengar langsung dari nabi SAW. Termasuk 2 surah yang tidak dimasukkan dalam mushaf Usman [Ahmad b. Hanbal, vol 5 p 132; Tirmidhi, Sunan, vol 5 p 370; Al Hakim al Naysaburi, al Mustadrak, vol 2 p 224; Suyuthi, al Itqan fi ulum al Quran, vol 3 p 83]
Ubay juga berpendapat bahwa sura 33 (al-Ahzab) seharusnya lebih panjang, dimana yang dia yakin ingat adalah ayat-ayat rajam yang tidak tertulis dalam mushaf Usman. Aisha menyatakan bahwa saat Nabi Muhammad SAW masih hidup surat Al-Ahzab 3 kali lebih panjang dari yang ada di Mushaf Usman [Ahmad b. HAnbal, vol 5 p 132; Muhasibi, Fahm al Quran an wa manih , p 405; Bayhaqi, al Sunan al Kubra, vol 8 p 211; Al Hakim al Naysaburi, al Mustadrak, vol 2 p 415; Suyuthi, al Itqan fi ulum al Quran, vol 3 p 82, vol 1 P.226; Al Raghib al Isfahani, Muhadarat al Udaba, vol 4 p 434].

Kesaksian Hudhayfa b. al-Yaman yang menemukan sekitar 70 ayat tidak tercantum dalam mushaf Usman. Hudhayfa juga meyakini bahwa Sura 9 (al-Bara’a) dalam mushaf Usman hanyalah ¼ dari yang biasa dibacakan saat nabi SAW masih hidup.[Suyuti, al Durre Manthur, vol 5 p 180, mengutip dari Bukhari, Kitab at Tarikh; Al Hakim al Naysaburi, al Mustadrak, vol 2 p 331; Haytami, Majam al Zawaid, vol 7 p 28-29; Suyuthi, al Itqan fi ulum al Quran, vol 3 p 84]

Bahwa Surah 15 (al-Hijr) and 24 (al-Nur) seharusnya lebih panjang dari yang tercantum dalam mushaf Usman. [Sulaym b. Qays al Hilali, Kitab Sulaymn b. Qays, p 108; Abu Mansur al Tabrisi, al Intijaj, vol 1 p 222, 286; Zarkashi, al Burhan fi ulum al Quran, vol 2 p 35]
Abu Musa al-Ash’ari mengingat keberadaan 2 sura yang panjang dimana hanya satu ayat dari 2 sura itu yang dia masih ingat. Namun 2 sura itu tidak ada dalam mushaf Usman [Muslim, vol 2 p 726; Muhasibi, Fahm al Quran an wa manih , p 405; Abu Nuaym, Hilyat al Awliya, vol 1 p 257; Bayhaqi, Dalai, vol 7 p 156; Suyuthi, al Itqan fi ulum al Quran, vol 3 p 83]
P)



Masalahnya adalah, manakah bagian ayat ayat Al Qur’an yang telah hilang atau dihilangkan itu? Sebab tanpa adanya naskah tertulis dan teruji otentifikasinya terhadap ayat ayat yang “hilang” pada mushaf Ustmani , akan sulit untuk memasukkannya kembali. Bahwa adanya kemungkinan ayat ayat yang hilang, dapat saja terjadi, dan ini dapat dijadikan cacatan. Karena siapa tahun, dimasa datang bukti bukti tertulis ini diketemukan. Kebanayakan ayat yang hilang dinilai merupakan dukungan terhadap konsep reinkarnasi dalam Islam.

Nabi Muhammad tidak Buta Huruf

Dalam kaitan dengan peran penulisan Al Qur’an yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, terdapat pandangan umat yang dapat mengganjal keyakinan diatas yang perlu dikalrifikasi. Selama ini ada suatu keyakinan dan pemahaman yang yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang yang umi, atau buta huruf. Hal ini seolah sejarah yang ada bahwa Nabi Muhammad mustahil menuliskan bahkan melakukan supervisi penulisan Al Qur’an. Sebagaimana disebut dalam ayat Al Qur’an.

Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk." ( Al A’raaf ayat 158)

Pemahaman bahwa Nabi adalah seorang buta huruf, tidak tepat/ benar. Karena yang dimaksud Muhammad sebagai “ummidalam bahas Arab juga dapat berarti “diam” . Artinya dalam menerima wahyu ini nabi dalam posisi diam, menerima langsung wahyu kedalam hatinya dan sama sekali tidak menggunakan akal pikiran dan nafsunya. Ummi juga dapat ditafsirkan bahwa Nabi Muhammad sebelum dan selama menerima wahyu, tidak pernah membaca Kitab Suci agama lain. Karena kalau Nabi pernah membaca Kitab Suci agama lain, maka bisa jadi dianggap bahwa wahyu berupa ajaran Allah yang diterimanya, adalah hasil rekaan dari pemikiran dan nafsu Muhammad untuk memperbaiki Kitab Suci sebelumnya”. Artinya, kalau Nabi pernah membaca Kitab Suci agama lain, maka bisa jadi ajaran yang disampaikan Nabi bukan wahyu dari Allah. Tuduhan ini, juga disebutkan dalam Al Qur’an:

Dan orang-orang kafir berkata: "Al Quran ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan oleh Muhammad dan dia dibantu oleh kaum yang lain[1054]"; maka sesungguhnya mereka telah berbuat suatu kezaliman dan dusta yang besar. Dan mereka berkata: "Dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang." ( Al Furqon/25 ayat 4-5)

Meskipun ayat tersebut menggambarkan adanya tuduhan dari orang kafir, namun dapat mengindikasikan bahwa Al Qur’an pada masa Nabi Muhammad masih hidup telah dituliskan.

Secara tehnis Muhammad pasti bukan seorang buta huruf, sebagaimana umumnya diyakini sebagian umat. Karena Muhammad sejak muda usia 18 tahun telah membantu Siti Khadijah yang pedagang kaya, dan menjadi padagang dan orang kepercayaannya. Sehingga sebagai seorang cerdas dan pasti bisa berhitung juga bisa baca tulis. Sementara, Nabi Muhammad SAW sendiri telah menganjurkan orang untuk “belajar, sekalipun ke negeri China”. Nabi pasti bukan termasuk orang yang menganjurkan tetapi tidak melaksanakan. Maka Nabi sebagai pedagang handal dan cerdas, mutahil tidak belajar baca tulis, yang pelajaran baca tulis ada di dekat lingkungan kehidupannya sendiri.

Melalui pemahaman bahwa Muhammad bukan seorang yang buta huruf, maka wajar apabila penulisan dan penyusunan Al-Qur’an, disupervisi langsung oleh nabi. Dan supervisi langsung oleh nabi ini penting untuk menjamin bahwa rumusan Al-Qur’an adalah wahyu Allah sebagaimana Nabi menerimanya. Sebab kalau yang merumuskan kembali Al-Qur’an adalah tangan-tangan manusia yang tidak dibimbing Allah, dan apalagi dilakukan setelah nabi wafat, pasti ada kekhawatiran bahwa Al-Qur’an yang disusun tidak sepenuhnya otentik / orisinal wahyu Illahi. Kalau Nabi Muhammad buta huruf bagaimana beliau akan mengcheck/ men-supervisi penulisan ayat ayat Al Qur’an yang dilakukan para sahabat dan para pengikut? Padahal pengecheckan itu tetap penting, kalau kita hanya percaya kepada Nabi Muhammad sebagai utusan Allah.

Ada pemahaman yang berbeda mengenai makna “ummi” dalam Al Qur’am, yaitu berdasarkan tafsir Al Misbach, yang menyebutkan bahwa pada masa Nabi, budaya Arab mengistimewakan mereka yang mampu menghafal, sehingga “memandang rendah mereka yang bisa baca tulis”, yang mereka dinilai bahwa kemampuan menghafalnya rendah. Nabi adalah pribadi yang kemampuannya menghafal sangat tinggi, “sehingga tidak memerlukan kemampuan baca tulis”. Atas dasar budaya itu Nabi memang “benar benar butahuruf”. Tafsir ini rasanya kurang tepat, apapun pandangan rendah kepada mereka yang buta huruf, ajaran Allah yang selalu mengangkat nilai nilai baru, pasti tidak tunduk pada budaya yang memandang rendah “seorang buta huruf”. Karena bagaimanapun juga tinggi kemampuan menghafal akan semakin baik bila juga pandai pandai baca tulis. Ini tafsir yang tidak masuk akal. Karena melalui baca tulis kita dapat menyampaikan pesan tanpa kehadiran kita. Rasanya tafsir ini sangat tidak masuk akal, sekalipun budaya Arab seperti itu, sehingga Nabi mau mengikutinya?!

Inilah mungkin budaya hafalan yang juga diikuti umat yang bahasa ibunya non Arab. Yang penting hafal Al Qur’an, meskipun tidak mengatahui maknanya. Ini suatu pembodohan yang dilakukan tanpa terasa. Apalagi ada pembelaan bahwa yang namanya Al Qur’an adalah yang tertulis dalam bahasa Arab, kalau diterjemahkan bahasa lain itu terjemahamannya?! Ya benar, tetapi membaca terjemahamannya juga berarti membaca Al Qur’an, buat apa membaca Al Qur’an dalam bahasa Arab tanpa memahami maknanya. Bukankah Al Qur’an untuk difahami?

Apakah Allah itu berbahasa Arab, sehingga tidak boleh diterjemahkan dengan pemahaman melalui berbagai bahasa ibu namun tetap sama? Allah pasti tidak berbahasa Arab! Allah pasti bisa bahasa apapun. Penggunaan bahasa Arab adalah karena Muhammad bahasa ibunya bahasa Arab dan umat yang akan diajar juga bahasanya Arab. Agar mudah dimengerti, itu jelas disebutkan dalam Al Qur’an.

Adalah tantangan bagi para penterjemah untuk menterjemahkan Al Qur’an, hingga makna terjemahannya sama dengan aslinya. Kalau tidak ada padanan kosa-kata, atau kata Arabnya bermakna banyak, maka berikanlah penjelasan padanannya, kalau perlu dilengkapi penjelasannya. Bukankah Kitab Suci yang diterjemahkan dalam berbagai bahasa juga disebut dengan nama yang sama atau dengan istilah berbeda.

Bukankah Al Qur’an bisa mempunyai banyak nama? Ini fanatisme ke Aran-Araban, yang harus dikikis, sehingga menjadikan Arab sama dengan Islam ! Perlu diketahui bahwa orang Arab yang memahami bahasa Arab Al Qur’an saja, belum tentu memahmai makna ajaran. Mengapa banyak aliran aliran dalam Islam yang bisa saling bertentangan , yang notabene para tokohnya menguasai bahasa Arab, bahasa Arab Qurasihi masa itu, bahasa yang digunakan wahyu Allah. Perlu juga dingat bahwa bahasa Arab masa kini juga telah berkembang dan mengalami perubahan. Ada yang dilupakan dalam membahas ajaran Allah hanya secara phisik, harus bahasa Arab, karena pengetahuan Allah diajarkan bukan semata mata terletak dalam huruf huruf, kata dan kalimat menggunakan bahasa tertentu , melainkan ajaran yang disampaikan melalui hati. Memahami makna Al Qur’an dalam bahasa yang dimengerti hanya merupakan alat bantu. Kalau kita membaca tanpa mengerti, sama halnya dengan mengucapkan mantra mantra, izim semacam jimat, yang memang mempunyai kekuatan mistis, namun akan menyesatkan umat. Kita bahkan tidak tahu, apakah kekuatan magis itu datangnya dari Allah atau jin atau syaitan atau iblis? Seperti yang telah banyak terjadi dilakangan umat, padahal bisa jadi kekuatan msitis itu dari keuatan jahat yang berwajah kebaikan.

Al Qur’an sebagai wahyu yang Otentik, Memberikan Kemudahan Pemahaman Kembali bila terjadi Penyimpangan Pemahaman.

Kembali pada otentisitas atau orisininalitas Al Qur’an. Otentisitas atau orisinalitas Al-Qur’an memang bukan jaminan bahwa umat akan dapat memahami ajaran Allah dengan sama serta baik dan benar. Namun hal ini setidak tidaknya akan memberikan kemudahan bagi umat dalam memahamai dan mendalami ajaran Allah. Kalaupun ada perbedaan tafsir dan takwil, maka umat dapat kembali pada sumber tekstual yang asli. Meskipun banyak perbedaan yang timbul disebabkan penggunaan Hadits yang berbeda. Mengingat Al Qur’an penuh dengan bahasa perumpamaan dan atau mustasybihhaat, maka untuk memahaminya secara baik dan benar, tidak cukup hanya secara literal atau tekstual melainkan juga harus dilakukan melalui pemahaman secara spiritual. Yaitu sesuai dengan prinsip dasar ajaran agama, yang memang bersifat spiritual. .

Meskipun Al Qur’an itu orisinal wahyu Allah, namun begitu Al-Qur’an dibaca dan dipahami, maka yang terwujud pada dasarnya telah beralaih pada “pemahaman si pembaca”. Sedangkan pemahaman si pembaca akan sangat tergantung pada; akal pikiran, kecerdasan, wawasan , pengetahuan dan pengalaman kehidupannya. Dengan adanya Kitab Suci Al Qur’an yang otentik, apabila terjadi perbedaan tafsir atau takwil, maka mereka dapat kembali kepada Al-Qur’an . Sehingga secara teoritis, kemungkinan timbulnya perbedaan pemahaman, seharusnya dapat diperkecil meskipun tidak mungkin sama sekali dapat ditiadakan.

Bagaimana halnya dengan Kitab Suci ajaran agama lain yang ke orisinalitas Kitab Sucinya patut diragukan? Seperti telah disampaikan, bahwa ajaran Islam mewajibkan umatnya untuk mengakui para Nabi utusan Allah dan Kitab Suci yang dibawakannya. Makna pengakuan ini adalah bahwa para Nabi itu selalu membawakan ajaran Allah, Allah yang sama. Sehingga mereka pada dasarnya juga membawakan ajaran Allah yang sama. Karena Allah tidak terikat materi, waktu dan ruang, baginya masa lalu, masa kini dan masa depan, dikuasai Allah dengan sebaik baiknya penguasaan. Allah tidak perlu melakukan perbaikan ajaran yang dibawakan oleh semua para Nabi utusanNya. Sehingga jangan diartikan bahwa setiap Nabi yang diutus Allah kemudian, menyempurnakan ajaran Nabi sebelumnya. Kalau kita percaya bahwa para Nabi juga membawa wahyu Allah, maka wahyu itu berisi ajaran yang secara essensial sama.

Meskipun setiap Nabi itu meninggal, maka terjadilah penyimpangan ajaran dan juga pemahaman. Meskipun Kitab Suci agama agama telah mengalami pembiasan yang dilakukan oleh manusia, baik sadar atau tidak sadar, baik sengaka atau tidak sengaja. Allah tetap menjaga essensi ajaranNya.

Cara penjagaan oleh Allah pasti merupakan “ misteri”, sebab kalau diketahui manusia, akan mudah bagi manusia untuk melakukan penyimpangan oleh mereka yang jahil. S€€ehingga, meskipun Kitab Sucinya telah mengalami pembiasan akibat peran manusia, Allah tetap menjaga essensi ajaranNya didalam ajaran yang terdapat dalam masing masing Kitab Suci. Meskipun akibat adanya pembiasan ajaran sebagaimana yang terjadi, maka umatnya akan lebih sulit mendalami ajaran Allah yang baik dan benar, dibandingkan umat Islam.

Kitab Suci berbagai ajaran ajaran agama agama, karena penyusunannya dilakukan oleh para Murid, telah mengakibatkan bahasa Kitab Suci itu lebih praktis dan mudah difahami. Kalau pada ajaran Islam, kedudukannya mirip dengan Hadits Nabi Muhmmad. Akibat penulisannya praktis, maka aspek essensial dari ajaran agama menjadi semakin tersembunyi. Namun kalau umat beragama lain mau berupaya lebih keras dan sungguh sungguh dalam mendalami ajaran Allah yang paling essensial, mereka pasti akan dapat menemukan pemahaman ajaran Allah yang baik dan benar. Mereka , semua umat beragama yang terus berupaya mendalami dan memahami ajaran Allah, pasti akan tiba , pada muara pemahaman yang sama.

Mengenai masalah “penyimpangan ajaran” pada pemahaman ajaran agama agama, hal yang sama juga bisa terjadi pada umat Islam . Adanya berbagai aliran pemahaman dalam Islam, yang dapat membingungkan kita, dalam menjawab manakah aliran pemahaman yang paling benar, membutikan bahwa di masing masing aliran pemahaman dapat terjadi pembiasan ajaran. Artinya dalam Islam juga bisa mengalami erosi pemahaman, sekalipun Kitab Sucinya adalah Al Qur’an , meskipun Kitab Sucinya otentik dan orisinil kumpulan wahyu Allah.

Penulis meyakini bahwa pemahaman diatas merupakan bagian yang penting sebagai upaya memahami dan mendalami Al Qur’an, sebagai ajaran yang orisinal atau otentik , yang memuat ajaran Allah yang universal dan dapat mengayomi semua umat dengan ajarannya masing masing. Karena semua ajaran sumbernya adalah sama, yaitu Allah SWT, Allah sleuruh umat manusia. Meskipun ajaran itu disampaikan melalui para Nabi yang berbeda, dan telah mengalami erosi akibat ulah manusia, namun didalamnya tetap terjaga ajaran Allah yang paling essensial. Karena itu Allah berfirman dalam surah Al Kafirun ayat 6 :agamaku agamaku dan agamamu agamamu”. Makna ayat ini bukan saja berlaku untuk diucapkan antar umat beragama, melainkan juga dapat berlaku pada umat satu agama, satu aliran, satu sekte dan satu mashab. Kita tidak bisa memaksakan pemahaman diri kita kepada orang lain. Siapa yang diterima pemahamannya disisi Allah, tergantung amalnya.

Karena itu wajar, apabila penulis menyatakan, bahwa kita semua umat beragama, termasuk pemeluk ajaran Islam, adalah umat yag sedang dalam proses pembelajaran dan pemahaman terhadap ajaran Allah, dengan semakin baik dan benar. Dan kita semua umat, juga sedang berupaya untuk mengamalkan pemahaman dan keyakinan agar pengamalannya semakin tepat, baik dan benar. Bahwa setiap umat beragama, tetap harus meyakini bahwa ajaran agamanya adalah baik dan benar, itu tetap harus dilakukan. Namun sebagai manusia, kita adalah penyanyi dan bukan lagu, yang bisa menyanyikan dengan jelek atau kurang baik atau telah baik.

Ajaran Allah pasti baik dan benar, namun yang menjadi masalah adalah pemahaman kita, yang tergantung dari ; kesungguhan upaya, kecerdasan akal pikiran, kecerdasan spiritual, pengetahuan dan wawasan serta pendalaman terhadap pengalaman kehidupan. Itulah yang menjadikan kita berbeda. Apalagi, manusia memang telah mempunyai fitrah yang berbeda beda satu sama lain, unik dan spesifik.

Al-Qur’an merupakan ajaran kehidupan yang lengkap, dalam arti bahwa semua essensi ajaran kehidupan telah disebutkan secara rinci didalam ajaran Allah; Al Qur’an. Bahkan termasuk semua ciptaan Allah, yang dicontohkan adalah dengan binatang dan burung serta manusia, sudah tentu semua ciptaan Allah lainnya.

Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu. ( Al An’aam/6:114)

Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab[472], kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.( Al An’aam/6:38)

Mempelajari Al Qur’an dari Bahasa Ibu

Al Qur’an, disusun dengan sistematika yang unik, jika ditinjau dari sudut pandang ilmu manusia. Ajaran yang menyangkut aqidah menurut manusia, justru tidak diuraikan secara jelas dan rinci. Misalnya perintah shalat, yang diyakini sebagai tiang agama, tidak secara eksplisit disebutkan jumlah shalat yang harus dilakukan per hari, apalagi cara mengerjakannya. Sebaliknya, ajaran yang terkait dengan hubungan sosial seperti; waris, perkawinan, perceraian, dan sebagainya, diuraikan secara rinci. Padahal, ajaran yang terkait dengan hubungan sosial atau berbagai ketentuan Allah yang selalu ada pengecualiannya atau dapat dimusyawarahkan bersama.

Banyak klausul ajaran yang diulang-ulang di banyak surat atau juz, baik dengan kalimat yang sama ataupun dengan kalimat yang sedikit berbeda. Didalam ayat ayat Al Qur’an banyak digunakan bahasa perumpamaan, kiasan dan simbol dan atau bahasa mutasyabihaat. Seperti telah berulang kali dijelaskan, bahwa seluruh isi Al Qur’an, bisa difahami sebagai ajaran yang berlaku pada seluruh kehidupan ( makrokosmos), namun juga seluruh isi Al Qur’an bisa diberlakukan sebagai ajaran pada diri pribadi setiap manusia ( mikrokosmos). Untuk itu dibutuhkan pemahaman yang bukan hanya secara tekstual – literal dan explisit, namun juga harus difahami secara mendalam, implisit, spiritual. Kedua pemahaman harus merupakan satu kesatuan konsistensi. Karena kalau difahami secara explisit atau literal maka kita cenderung memahami makna Al Qur’an, seolah lebih banyak menunjuk alam diluar diri kita. Dan sisi negatifnya, adalah melihat kesalahan, kelemahan dan kekurangan orang lain. Banyaknya ayat ayat yang jumlahnya sekitar 1/3 yang menyebutkan unsur, kekafiran, kemunafikan, kefasikan dan kemusrikan, seolah ada pada diri orang lain, padahal semua sifat dan perilaku itu ada dalam diri kita sendiri. Dan kita memang selalu menilai bahwa yang dimaksud Al Qur’an, sebagai orang yang beriman, bertaqwa, mukmin dan beramal shaleh adalah diri kita, padahal kalau kita memahami Al Qur’an secara menyeluruh syarat menjadi orang beriman, bertaqwa, mukmin dan beramal shaleh mempunyai banyak persyaratan.

Al Qur’an, memuat ajaran yang sifatnya bukan saja essensial , namun juga kontekstual , yang berlaku pada saat diturunkan dan atau pada masa tertentu. Karena itu sering disalah artikan bahwa ada diantara ayat ayat Al Qur’an, ada ayat tertentu yang dihapuskan oleh ayat yang lain ( nasakh dan mansukh), padahal keduanya tetap berlaku ( dan tak bisa dihilangkan dari teks Al Qur’an). Pada kasus tertentu (ayat ayat tertentu), Al Qur’an dapat difahami sebagai ketentuan dapat berlaku berbeda karena kasus sehingga ajarannya bersifat kontekstual dan kasuistis, yang berlaku pada; kaum, wilayah dan waktu tertentu.

Agar Al Qur’an dapat difahami secara meluas pada semua suku bangsa umat pemeluk ajaran Islam, maka sebaiknya Al Qur’an diterjemahkan dalam setiap bahasa yang ada. Upaya terjemahan yang ada, yang didasarkan peda pemahaman salah satu aliran pemahaman tertentu, sebaiknya dihindari. Karena menyebabkan bias pemahaman, biarkan setiap kata diterjemahkan dalam kata bahasa yang sama, dan kalau ada banyak makna maka terjemahkan sebanyak makna. Janganlah terjemahan dimasuki tafsir dan atau takwil. Kalau ada tafsir dan takwil buatkan tafsirdan takwil tersendiri . Sehingga setiap umat islam dapat memahami ajaran Allah dalam Al Qur’an sebagaimana bunyinya. Kalau ada berbagai tafsir pemahaman yang bersumber dari berbagai aliran pemahaman, sampaikan juga uraiannya, sehingga wawasan umat Islam semakin meluas.

Anggapan bahwa terjemahan bukan sama dengan Al Qur’an adalah kurang tepat dalam makna penggunaan bahasa manusia, karena ajaran Allah yang paling orisinil, bukan dalam bahasa manusia apapun. Meskipun terjemahan, juga dapat dinilai sebagai Al Qur’an, kalau tidak maka seolah olah hanya kalau menggunakan bahasa Arab saja kita bisa berkomunikasi dengan Tuhan. Allah tetap akan mengerti, namun dalam hal ini yang jauh lebih penting adalah bahwa umat bersangkutan akan mengerti ajaran Al Qur’an. Kalau semua umat mampu berbahasa Arab, terutama bahasa Al Qur’an, maka itu sangat baik, namun tetap akan baik, kalau setiap umat mengatahui makna bacaan Al Qur’an, daripada hanya menghafal dalam bahasa Arab tanpa tahu maknanya. Selama ini chauvesnisma ke Arab Arab-an, sebenarnya telah membodohi umat. Sehingga ayat ayat Al Qur’an diperlakukan sebagai mantera, izim atau jimat atau kata kata “mujizat”. Justru hal ini telah memperbodoh umat selama ribuan tahun. Kepandaian menghafal dijadikan kekuatan, yang akhirnya salah arah. Meskipun bahasa melalui suara, juga memberikan kekuatan spiritual, namun itu adalah langkah berikutnya.

Al Qur’an harus dijadikan ajaran yang dapat difahami. Karena bisa membaca arti kata katanya bukan jaminan mengerti ajaran Allah. Bahkan Allah menegaskan dalam Al Qur’an, bahwa Al Qur’an dapat menyesatkan atau mencerahkan, dan itu tergantung kepada Allah. Ketergantungan kepada Allah ini bukan dimaknai, sebagai meskipun hanya hafalan, Allah akan memberikan tahu makna didalamnya. Padahal ketergantungan kita kepada Allah, setelah ada upaya konkrit dari manusia. Antara lain melakukan penterjemahan dengan sebaik baiknya penterjemahan. Kemudian juga memahami makna yang tersirat didalam ajaran, dan ini baru langkah spiritual. Karena langkah spiriutal inipun bisa dipelajari, baik melalui proses kehidupan nyata, maupun melalui proses spiritual. Dan proses spiriutal inipun ada kunci kunci ajarannya dalam Al Qur’an, yaitu kalau kita berupaya melakukan kontemplasi atau tafakur.

Memang proses untuk bisa memahami Al Qur’an tidak linier, namun apa yang dapat dilakukan menurut pemikiran akal rasional atau intelektual, perlu dijalani. Bahwa kemudian ada lagi langkah spiritual hal itu juga perlu dimaklumi dan difahami serta dijalani. Karena penggunaan akal pikiran rasional/ intelektual dan akal pikiran spiritual perlu didayagunakan secara integral dan saling memperkuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar