Kamis, 07 Juni 2012

Hakekat Ajaran Allah


Menuju Hakekat Ajaran Allah

Adalah merupakan kenyataan bahwa umat islam hingga saat ini dalam kondisi terpuruk. Sebagai indikator dari keterpurukan umat adalah diabaikannya penggunaan akal pikiran, sementara ajaran islam diyakini sebagai agama akal. Seolah masalahnya hanya terletak pada pengamalan, padahal hal itu pada aspek pemahaman ajaran.  Karena pemahaman terhadap pemaknaan penggunaan akal pikiran telah keliru, maka hal itu menjadikan umat islam bukan umat yang menguasai dan mengembangkan  ilmu pengetahuan dan teknologi.  Demikian juga  dengan masalah ucapan bila umat akan memulai sesuatu dengan mengucapkan basmalah, yang tujuan untuk mendorong agar umat islam, menjadi umat yang penuh kasih sayang, sebagaimana Allah mencurahkan kasih sayang kepada seluruh umat, tanpa kecuali. Namun dalam banyak hal, umat islam  seringkali merasa dirinya paling baik dan benar dan mengabaikan sifat kasih sayang.  Kondisi ini menunjukkan bahwa terdapat  masalah  pemahaman dan pengamalan ajaran Islam. Ini hanya dua contoh dari banyak contoh lainnya.
Pada umumnya umat islam, menganggap bahwa masalah pemahaman ajaran sudah final, yang menjadi masalah adalah pengamalan. Mengapa demikian? Sebab  kalau masalahnya hanya pada pengamalan, maka jumlah umat islam yang telah mencapai 1,4 milyar orang, maka pasti pada suatu kelompok, disuatu wilayah  pada saat ini kehidupannya dapat  menjadi contoh dan patut diteladani.
Kejayaan umat memang bukan tujuan  beragama islam, namun kejayaan didunia dalam makna tercapainya tujuan kehidupan dunia sebagaimana diamanatkan Allah,  adalah indikator penting dari suatu keberhasilan pemahaman islam yang baik dan benar.
Tulisan ini merupakan suatu proses pendalaman yang cukup lama, sebagai upaya untuk memahami ajaran Islam, ajaran Allah dengan  mencoba menggunakan segenap potensi akal pikiran yang dimiliki ( baik rasional, emosional dan spiritual). Disamping itu juga  melakukan pemahaman kritis, yang bila diperlukan tidak lagi menggunakan  pemahaman yang telah ada. Yang karena proses sejarah,  tidak mustahil apa yang kini  menjadi pemahaman dan keyakinan, adalah merupakan ajaran  turun temurun dari nenek moyang. Disamping Al Qur’an yang digunakan sebagai acuan utama, maka berbagai ajaran agama yang ada, telah dicoba untuk dikaji dan didalami essensi atau hakekat ajaran. Karena ajaran agama pada saat ini telah menjadi ajaran yang rumit dan kompleks dan banyak yang telah dibumbui dan dikembangkan  manusia.
Apa yang penulis lakukan, bukan suatu pendekatan normatif,  juga bukan pendekatan ilmiyah, tetapi mencoba melakukan pemikiran bebas, jauh dari penggunaan pakem yang  selama ini telah digunakan umat dalam membahas pemahaman ajaran agama, khususnya ajaran islam. Penulis mencoba melakukan pemahaman secara kaffah dan sekomprehensif mungkin. Agar tulisan ini ringkas, maka yang disampaikan  hanya merupakan highlight,  sehingga hanya  mengarah pada aspek yang paling hakiki atau essensial. 
Dengan menganggap bahwa masalah utama bagi umat islam, adalah masalah pemahaman.  Karena dengan pemahaman yang baik dan benar, maka barulah kita mampu mengamalkan ajaran dengan; tepat, baik dan benar. Jalan lama sudah berakhir, kita memerlukan jalan baru. 
Paling tidak, apa yang penulis lakukan adalah suatu upaya mencoba memahami hakekat ajaran Allah, sekalipun terpaksa mendobrak sebagian pola pikir dan pemahaman  serta  keyakinan yang ada. Dengan suatu harapan bahwa, mudah mudahan Allah membimbing apa yang penulis lakukan. 



Penciptaan Manusia dan Tugas Kehidupannya.
Dari mana manusia berakal, apa tugasnya dan kemana tujuannya, sering dibahas dan dicoba didalami. Meskipun tetap saja banyak yang belum kita ketahui. Kita hanya  bisa meyakini bahwa Allah adalah pencipta manusia, yang  tugas kehidupannya tidak sia sia.
Allah menciptakan alam semesta dengan mahluk didalamnya  adalah  bagi kepentingan manusia.  Sedangkan Allah menciptakan manusia melalui dua proses, Pertama adalah dengan menciptakan jiwa manusia. Kedua, menciptakan manusia secara phisik melalui proses alami/ keduniaan.
Allah menciptakan jiwa manusia di alam malakuut, yang jumlahnya sebanyak dianggap Allah cukup. Kemudian Allah membuat perjanjian dengan setiap jiwa manusia,  dalam rangka manusia memahami  “ keberadaan Allah”  dan memahami tugas dan misi jiwa, mulai dari awal kehidupannya didunia. Memahami keberadaan Allah, mempunyai makna ; menerima ajaranNya dan penugasan dirinya dalam menjalani kehidupan didunia.  Jiwa diciptakan dalam keadaan suci dan langsung menyatu dengan tubuh phisik manusia, bersamaan dengan terjadinya proses pembuahan ovum oleh sperma ( zygote) yang terjadi  dalam kandungan ibu. Kesucian  yang dimaksud pada dasarnya adalah  suatu keadaan dimana  sesuatu itu; “ tidak melekat pada kehidupan keduniaan”.
Selain dari itu, Allah juga meniupkan ruh dzatNya pada  manusia, disaat janin berusia 4 bulan di dalam perut ibu;  ruh tersebut pada dasarnya merupakan sarana untuk membimbing manusia dalam menjalankan  kehidupannya.   Berbeda dengan jiwa  yang mengalami proses pematangan dan kemantapan melalui  kehidupan ini,  maka ruh bebas dari proses apapun yang dilakukan manusia. Karena itulah maka dikatakan bahwa jiwa menjadi tempatnya pahala dan dosa  dari amal perbuatan manusia.  Banyak tulisan yang mengaburkan perbedaan makna dan peran antara ruh ( spirit- ar ruh) dan jiwa ( soul- an nafs), apalagi akibat  berkembangnya  ilmu kejiwaan.
Manusia sebagai mahluk yang berakal budhi, disimbolkan melalui penciptaan Adam yang sekaligus diangkat sebagai Nabi. Karena Adam adalah simbolisasi manusia  yang diberi pengajaran oleh Allah ,  yang dalam Al Qur’an disebutkan bahwa Allah mengajarkan ;“ nama nama”, yang pada dasarnya adalah “pengetahuan” . Yang kemudian dikisahkan juga melalui bentuk “pelanggaran oleh Adam dan Hawa”, dengan memakan buah kuldi, yang pada dasarnya adalah buah pengetahuan baik dan buruk atau buah akal dan budhi,  suatu pengetahuan yang menjadikan  Adam mengenal baik dan buruk; pengetahuan sekaligus keadaan yang bersifat dikotomis.   
Karenanya Adam  dinilai tidak layak  untuk tetap tinggal di surga yang tidak bersifat dikotomis  dan serba ada. Yang digambarkan oleh Allah, sebagai pengusiran Adam  dan Hawa  dari surga ke dunia, tempat yang serba dikotomis  yang untuk menjalani kehdupan didalamnya memerlukan upaya ( kerja-karya).
Alam dan segala isinya  dan manusia, pada dasarnya  diciptakan Allah melalui  proses evolusi, sebagaimana keberadaan alam semesta dan binatang dan tumbuh tumbuhan ( yang terus bermutasi dan berevolusi ), demikian juga mahluk yang dinamakan manusia. Sekalipun simbolisasi penciptaan alam dilakukan Allah dalam “tujuh hari atau masa”, namun itu adalah “hari/ masa bagi Allah”.  Sebutan nama hari, dapat dibedakan antara” harinya Allah dan “harinya manusia”.  Harinya Allah, bisa saja lamanya jutaan atau milyardan tahun, menurut ukuran manusia. Sedangkan makna harinya manusia, baru tercipta akibat terjadinya proses perputaran matahari terhadap bumi.  
Meskipun alam tercipta melalui proses evolusi,  tidak berarti bahwa  Allah tidak Maha Besar.  Kalau ilmu pengetahuan itu telah mencapai kebenaran,  maka kebenaran ajaran Allah pasti sejalan  dengan ilmu pengetahuan.  Karena mujizat apapun yang dilakukan Allah, tidak akan bertentangan dengan hukum yang ditetapkannya.  Hanya saja bisa jadi hukumnya mujizat, belum dikenal manusia, yang bisa terjadi akibat persinggungan antar dimensi.
Dengan lain perkataan kalau teori evolusi telah terbukti kebenarannya, maka hal itu sama sekali tidak  mengecilkan kebesaran Allah.  Bersamaan  dengan penciptaan Adam melalui penciptaan spiritual,  maka bersaaman itu mahluk yang berwujud seperti manusia telah mencapai kesempurnaan phisik. Sehingga manusia itu siap menjadi mahluk  phisik yang dimasuki  daya spiritual, yang menjadikan manusia sempurna baik phisik maupun  spiritualnya.  Dalam wujud manusia sempurna seperti itulah, maka manusia tumbuh dan berkembang bersama anak anak Adam, berkembang biak mengisi dunia  dari dahulu hingga masa kini.
Manusia dalam pemahaman tersebut, mendapatkan anugerah Allah, berupa potensi  intrinsik yaitu;  tubuh phisik  dan  jiwa yang dilengkapi dengan  akal pikiran, nafsu, perasaan , disamping sebagai wadah  bagi ruh dzat Allah.   Selain dari itu, setiap manusia  mempunyai  fitrah yang unik dan spesifik, sehingga satu sama lain berbeda sehingga tugas dan misinya didunia juga berbeda beda.   Perbedan antara manusia ini dapat ditandai dari aspek phisik, seperti; sidik jari, kornea mata, hingga DNA dsb, disamping juga perbedaan aspek non phisik  seperti; potensi akal pikiran, nafsu dan perasaannya.  Meskipun  berbagai potensi itu dapat disederhanakan sebagai “akal pikiran”, hal ini dibuktikan bahwa manusia dapat menyadari keberadaan dirinya, adalah karena akal pikirannya. “ Karena saya berpikir maka saya ada”.  Keberadaan yang dapat membentuk pemahaman dan keyakinan agama.
Tugas dan Misi Allah, seperti yang telah disampaikan adalah agar (jiwa)  manusia dalam perlu menjalani kehidupan  didunia, adalah untuk menyempurnakan  dan memantapkan penciptaanNya. Karena itu, dapat dikatakan bahwa tugas dan misi utama manusia  dalam menjalankan kehidupan didunia, adalah untuk mematangkan jiwa dan meningkatkan mutu kehidupan. Karena jiwa itu diciptakan suci maka, kehidupan manusia itu  dapat dikatakan sebagai ; tetap perlu  menjaga kesucian jiwanya. Sehingga kesucian jiwa tidak menjadi tujuan, namun upaya penjagaan kesucian jiwa. Kecuali kalau jiwa itu terlanjur terkotori, maka perlu kembali diupayakan kesucian jiwanya.
Proses pematangan dan pemantapan jiwa dalam kehidupan dunia terjadi melalui proses; pengamalan, ujian , cobaan dan godaan  terhadap  manusia. Yang bisa  dalam bentuk sesuatu yang menarik jiwa manusia, dalam bentuk; kenikmatan, kepuasan  dan kesenangan dunia. Disamping itu manusia juga bisa dalam bentuk ; rasa kekhawatiran, penderitaan dan ketidak-amanan. Atau  yang secara sederhana, dapat  kita sebut sebagai;  godaan berupa keterikatan pada kehidupan atau kemelekatan  jiwa pada kehidupan dunia.
Kehidupan dunia, yang serba dikotomis,  meliputi ; baik dan buruk , kejahatan, siang dan malam, yin dan yang  dsb. Dalam kaitan ini, mahluk yang dikenal sebagai; malaikat dan iblis/ syaitan, sesungguhnya sengaja diciptakan Allah, antara lain sebagai simbolisasi unsur dikotomi dikehidupan dunia. 
Malaikatjuga  dapat ditafsirkan sebagai simbolisasi dari sifat ; ketertundukan, keimanan, kepatuhan dalam kebaikan dan sifat positip lainnya.  Sebaliknya syaitan, sebagai simbolisasi dari sifat; kedzaliman, kejahatan, ketidak adilan  dan hal negatif lainnya.  
Karena manusia berada dalam kehidupan dunia yang berupaya menarik atau mengikat jiwa manusia, maka manusia disebutkan sebagai mahluk yang ;“cenderung pada kejahatan”. Sejak jiwa manusia  berada didunia ( dimulai sebagai janin), kemudian menjadi ; bayi, menjadi anak anak, kemudian beralih remaja, selanjutnya menjadi dewasa  dan menjadi tua;  manusia selalu  bergelut  dengan upaya memenuhi kebutuhan phisiknya  yang serba duniawi. Seperti pangan, sandang dan papan, yang kemudian meningkat pada berbagai kesenangan dan kenikmatan  hingga pada aktualisasi diri yang serba keduniaan, semua ini telah memupuk egosimenya dan pola piker/mind-set- nya.   Hal ini disebabkan, karena kehidupan dunia  difahami  sebagai kehidupan yang paling konkrit dan nyata baginya. 
Karena itulah maka ditahap awal ajaran kehidupan, manusia didorong dan dingatkan; untuk berbuat kebaikan. Hal ini sebagai pelajaran awal agar manusia tidak mementingkan diri , keluarga dan golongannya ( egoism).  Yang  pada tingkat dan proses selanjutnya, maka  manusia diharapkan mampu memerdekakan diri, melepaskan diri  dari kemelekatannya pada kehidupan dunia. Ajaran agama pada umumnya, mengajarkan agar manusia menjalankan tugas didunia tanpa harus terikat atau melekatkan jiwanya pada kehidupan dunia.
Sebagai indikator, bahwa manusia pada umumnya melekat pada kehidupan dunia, antara lain dapat dibuktikan bahwa misalnya dalam memahami ajaran agama, maka terhadap semua aspek ajaran yang sifatnya ghaib atau spiritual bahkan terhadap Allah sekalipun,  selalu mengungkapkannya dengan ukuran keduniaan. Bahkan Allah  juga digambarkan sebagaai sesuatu yang mempunyai wajah, kaki, tangan hingga singgasana ( Arysh ) yang kita bisa menjumpai Allah secara phisik. Karena itu manusia telah terbiasa dan memang selalu meliputi dirinya dalam kehidupan dunia, sehingga semua kehidupan akhiratpun diukur dengan ukuran duniawi.
Bahkan untuk menjadikan manusia bisa menyadari bahwa dirinya itu melekat mind-set, keduniaan memang sulit. Apalagi terhadap kaum beragama, yang menganggap bahwa mereka adalah umat yang paling menetang kehidupan sekuler. Karena agama yang mengajarkan ajaran spiritual, disamping ajaran keduniaan, tanpa disadari telah dijadikan ajaran spiritual yang disekulerkan.  

Ajaran Allah
Karena tanggung jawab dan kasih sayang Allah kepada manusia, maka Allah mengajar kepada manusia ajaran dan tuntunan kehidupan.  Hal ini dimaksud sebagai pedoman bagi manusia dalam memahami kehidupan dan hukum hukum kehidupan, serta tatanilai  kehidupan yang dapat dijadikan dasar dalam menetapkan arah kehidupannya masing masing. Meskipun dapat dikatakan bahwa, karena Allah yang menugaskan manusia untuk menjalankan kehidupan didunia, maka wajar apabila Allah memberikan ajaran, pedoman dan acuan kehidupan.
Ada 3  bentuk cara  pengajaran yang dilakukan Allah. Pertama, adalah ajaran yang digelar  dialam semesta  dengan segala isi dan kehidupan didalamnya. Darinya manusia akan dapat memikirkan dan memahami ajaranNya terutama hukum hukum dan tata nilai didalamnya.  Kedua , adalah dengan memberikan wahyu berisi ajaran dalam bentuk deskriptif kepada seseorang yang dipilihNya atau  menunjuk Nabi sebagai utusanNya, untuk diterukan kepada semua manusia.  Untu itu para Nabi juga diberikan kemampuan untuk; menjabarkan, memberikan keteladanan, mengingatkan dan mengajarkan, yang  kemudian  seluruh ajaran dan keteladanan itu disebut sebagai  agama. Yang pada dasarnya   yang mengajarkan; hakekat/ aqidah/ essensi  ajaran kehidupan dan ajaran yang bersifat kontekstual, berlaku dalam kondisi tertentu sebagai contoh kasus. Semua ajaran itu dapat dikelompokan dalam bentuk ibadah kepada Allah yang terdiri dari dua ibadah:  ibadah ritual ( ubudiyyah) dan ibadah muamallah ( amal shaleh dan perilaku ahlak mulia). Ketiga, adalah ajaran yang dimasukkan kedalam diri manusia. Disamping Allah telah membuat perjanjian dengan setiap jiwa, kepada setiap manusia ditiupkan ruh, dzat Allah kedalamnya. Yaitu sebagai sarana yang mendampingi  dan mengajar setiap diri manusia,  ajaran Allah yang  lebih bersifat spesifik yang sifatnya individual. Ajaran ini hanya “dapat didengar dan menjadi pengingat diri manusia”, melalui  proses/ upaya dengan persyaratan  tertentu.
Umumnya umat manusia hanya mengenal bentuk ajaran yang kedua, karena wujudnya seolah paling konkrit. Padahal ketiganya sama sama konkritnya, atau sebaliknya bisa dianggap sama sama abstraknya. Ketiga ajaran itu bukanlah suatu yang instant, berupa ajaran  yang  sepenuhnya siap pakai pada setiap masalah dan tahapan kehidupan, namun merupakan ajaran yang perlu difahami dan di-imani. Agar manusia dapat memahami ajaran  dengan baik dan benar, memerlukan proses.  Dan pemahaman itu menjadi berharga kalau kemudian diamalkan. Sesungguhnya  seluruh ajaran Allah tergelar dialam semesta, meskipun ajaran yang paling mudah adalah mempelajari keteraturan alam, sehingga dapat difahami berbagai hukum alam. Dengan memahami alam semesta dengan segala hukum hukum yang berlaku serta sejarah kehidupan didalamnya, maka  terdapat pelajaran yang nyata,  yang perlu proses untuk direnungkan, dipikirkan dan didalami. Karena itulah maka wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, adalah   “5 ayat  surah Al Alaq atau iqra”, wahyu  ini dapat dikatakan  sebagai sarana pencerahan / membuka hijab  Nabi dalam memahami ajaran Allah sekaligus pembaptisan Muhammad sebagai Nabi.  Sedangkan pada para Nabi lainya,  dilakukan dengan cara berbeda.  Karena para Nabi bukan sekedar terompet Allah, namun mampu mendalami dan menghayati ajaran Allah.
Dalam Al Qur’an, dijelaskan perlunya umat menghormati dan meyakini keberadaan para Nabi utusan Allah, disamping mengakui ajaran yang dibawakannya. Bahkan Allah menegaskan bahwa Allah tidak membeda bedakan para Nabinya, dan masing masing  Nabi diberikan kelebihan sendiri sendiri karena kebutuhan jamannya masing maisng dalam meyakinkan umatnya. Karena itu para Nabi pada dasarnya diberikan ajaran dari Allah yang hakekatnya adalah sama. Ditangan  manusialah maka ajaran para  Nabi itu itu menjadi berbeda beda. Karena itu, apapun yang telah terjadi sumber semua ajaran agama, adalah Allah, Allah Yang Maha Tahu, baik masa lalu, masa kini dan masa datang.
Khususnya ajaranNya yang tertuang dalam Kitab Suci, adalah berupa ajaran kehidupan, ibadah ubudiyyah (ritual) dan ibadah muamallah ( sosial), ajarannya ada yang pemahamannya bersifat  explisit ada yang implisit, ada yang phisikal ada yang spiritual, ada yang  yang bersifat hakiki / aqidah/ essensial  dan ada yang bersifat kontekstual.
Terhadap  ajaran para Nabi yang kemudian disusun oleh umatnya menjadi Kitab Suci, bahkan Nabi Muhammad sebagai Nabi terakhir yang jamanya paling mutakhir,  tidak menyaksikan dan menyesyahkan perumusan/ penulisan Al Qur’an. Apalagi para Nabi yang ajarannya baru dituliskan ratusan tahun setelah para Nabi bersangkutan wafat, yang bahkan Kitab Suci agama agama itu dilakukan beberapa kali revisi dan pelengkapan. Meskipun demikian, Allah pasti menjaga kemurnian semua ajaranNya, sekalipun penjagaan oleh Allah, bisa jadi tidak kata perkata sebagaimana telah dituliskan menjadi Kitab Suci oleh manusia. Karena itu semua Kitab Suci diwahyukan dan dituliskan penuh dengan bahasa perumpamaan, kiasan dan simbol, suatu yang tak mungkin dihindarkan karena dinyatakan didalam Kitab Suci itu sendiri. Apalagi ajaran didalamnya memuat ajaran tentang masa lalu dan masa depan yang abstrak, disamping ajaran tentang yang ghaib hingga maha ghaib, yang non phisik. Karena yang terpenting dalam hal ini, Allah pasti menjaga hakekat ajaran didalamnya.
Pada tahap awal manusia dapat memahami ajaran secara explisit/ eksotoris sebagaimana makna tertulis, namun pada tahap selanjutnya  perlu memahami yang implisit/ isotoris yang maknanya . Demikian juga dengan ruh dzat Allah yang mendampingi manusia. Ruh yang sebenarnya selalu membisikkan  kepada manusia ajaran Allah , yaitu kalau jiwa manusia mampu mengendalikan; akal pikiran, nafsu dan perasaan manusia. Atau manusia dalam kondisi meditatif / khusuk. Maka melalui  pengalaman kehidupan pribadi,  manusia  dapat melakukan evaluasi dan penghayatan, agar kita dapat mendengar  bisikan atau ajaran dari ruh.  Banyak cara bagi manusia untuk memahami dan mendalami  serta mengimani ajaran Allah serta mengamalkannya dalam  kehidupan. Kitab Suci sebagai Kitab tertulis,  seolah paling mudah, karena kita bisa membacanya dan seolah dapat langsung memahaminya. Padahal itu adalah langkah awal, membaca dan memahami makna secara explisit.
Ajaran Allah, memang sederhana, hanya saja begitu banyak pendekatan pemahaman yang dapat dilakukan. Kesederhaan ajaran Allah akan kita fahami, kalau mempelajari ajaran secara kaffah, terutama kalau kita dapat  memahami hakekat atau aqidah ajaran. Namun ajaran Allah juga dapat sedemikian luas dan amat dalam, yang tak akan tak habis habisnya  untuk difahami dan dihayati.

Amanah Kehidupan
Manusia diciptakan Allah  sebagai mahluk yang paling mulia, kemuliaan diperoleh karena  manusia  diberikan hak dan kebebasan ( fitrah) oleh Allah  untuk melakukan pilihan dalam menempuh kehidupannya.  Dilain pihak dikatakan dalam salah satu ayat Al Qur’an,  disebutkan  bahwa Allah menawarkan kepada langit, bumi dan gunung gunung untuk memikul amanah,   semua menolak kecuali manusia  yang  bersedia menerimanya (sesungguhnya manusia itu dzalim dan bodoh).  
Amanah Allah itu memang berat, karena  menyangkut tugas kehidupan, yang dapat difahami  sebagai tugas untuk; memajukan proses pematangan jiwa dan memajukan kehidupan tanpa keterikatan pada dunia. Tugas yang seolah olah kontroversial, sehingga hanya orang yang “ dzalim dan bodoh”, yang mau menerimanya. Ini hanya suatu penegasan saja, karena manusia sejak awal, memang menerima penugasan dirinya.
Pelajaran pertama yang dianjurkan kepada  manusia dalam menjalankan tugas dan misi kehidupannya, adalah dengan berbuat amal shaleh dan berperilaku mulia.  Agar tertuntun, maka manusia  dianjurkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, melalui pendekatan ritual sekaligus melaksanakan amal shaleh dan perilaku ahlak mulia.
Karena  amal saleh dan perilaku ahlak mulia itu sulit dilakukan, maka  manusia cenderung melakukan modifikasi ajaran ( dengan alas an menggunakan dasar Al Qur’an dan Hadits) , untuk menjadikan ibadah ritual ( dengan berbagai bentuknya) sebagai  cara utama  dalam memperoleh pengampunan Allah terhadap penyimpangan  ajaran  yang dilakukan. Padahal melalui upaya ritual yang khusuk, maka upaya manusia akan dituntun dan dimudahkan Allah. Dan pengampunan Allah tidak dengan menghapus dosa atau kesalahan, melainkan diberikannya  melalui tuntunan dan kekuatan pada manusia untuk melakukan perbaikan diri.
Seperti telah dijelaskan, bahwa kehidupan dunia , umumnya telah menjerat manusia. Antara lain disebabkan karena sifatnya  mementingkan diri sendiri dan keluarganya  mendominasi kehidupan. Semua orang ingin mengejar ; kekuasaan dan atau kedudukan dan atau kekayaan, harga diri  dan atau kesehatan dan atau kehidupan keluarga yang menyenangkan. Sebagai akibatnya manusia saling berebut, saling menjatuhkan satu sama lain, saling memperalat  dan kalaupun mereka berhimpun  hanyalah strategi  agar  tercapai kepentingan  diri dan kelompoknya.  Meskipun manusia juga menyadari, bahwa; kenikmatan, kepuasan dan kesenangan yang dikejar dan diperoleh  itu, sifatnya hanya sementara.
Karena setelah itu, manusia  silih berganti mengalami  kehidupan yang penuh penderitaan, kekhawatiran dan rasa tidak aman; setiap manusia  dapat menjadi sakit atau menjadi tua dan akhirnya mengalami kematian. Semua itu dapat menciptakan kebingungan  dan  pertanyaan bagi umat manusia.  Ada yang kemudian beragama guna memperoleh harapan kedamaian atau sebaliknya menolak agama dan menjadi kaum atheis yang hanya mengandalkan akal pikiran rasional dan dunia nyata.
Hanya sebagian kecil umat beragama, yang mampu  memahami dan mengamalkan ajaran Allah dengan baik dan benar,  yang tercermin pada kehidupannya  yang ; tenang, damai  dan penuh kasih sayang serta kebahagiaan. Mereka  menjalankan tugas kehidupan dengan baik untuk memajukan kualitas kehidupan dirinya dan  memberikan kontribusi bagi peningkatan peradaban kehidupan, tanpa terikat pada kehidupan dunia.  Apapun ajaran agama yang dianutnya, karena semua agama sumbernya adalah Allah.
Demikian kompleksnya kehidupan itu kalau dibahas satu persatu.  Meskipun hakekat kehidupan manusia  itu sebenarnya sederhana.  Yang sebaiknya  dicoba manusia untuk ditemukan,  sehingga  kehidupan juga akan ditanggapi dengan mudah. Dan uniknya setiap kejadian selalu ada yang  kontroversial , sehingga perdebatan tentang kehidupan manusia tak akan ada habis habisnya.  Sehingga masalah kehidupan dan ajaran agama menjadi  semakin rumit dan kompleks.
Apapun yang dilakukan manusia, melalui pilihan kehendak bebas, apakah percaya kepada Allah dan memilih  agama  tertentu ataupun mereka yang menolak keberadaan Allah; mereka semua selalu mendapatkan kasih sayang Allah. Semua manusia akan memperoleh anugerah, berupa ; kehidupan, rezeki, ilmu dan anugerah lainnya  dari Allah.   Hal ini hanya mungkin kalau apa yang dilakukan manusia disisi Allah, adalah proses  guna penyempurnaan  dalam menjalankan tugas kehidupan. Meskipun bisa jadi mereka tersesat terlebih dahulu, dan pada suatu masa akan mulai sadar. Adalah keliru kalau agama itu hanya ditujukan untuk  kaum beriman, sebab agama ( ajaran Allah) pada dasarnya justru ditujukan kepada kaum  tidak beriman, mereka yang ingkar  atau kafir.
Karena itu kenyataan kehidupan manusia  penuh dengan kontroversi.  Seorang dzalim, diberinya kekuasaan dan kehormatan.  Sehingga seolah kemungkaran dan kejahatan  lebih diberikan peluang, dibandingkan mereka  yang banyak berbuat kebaikan. Para ulama dan tokoh agama, akan  hidup penuh penghormatan apabila dekat dengan penguasa, dibandingkan kalau dirinya menjadi acuan kebijaksanaan dan mendukung mereka yang lemah dan tertindas. Bahkan jarang sekali dalam sejarah kehidupan manusia, seorang adil dan bijaksana mendapatkan kekuasaan dan dijadikan raja/ kaisar/ khalifah/ pimpinan negara.  Ini terjadi, baik dimasa kerajaan Hindu, Budha, Yahudi, Nasrani  hingga kekhalifahan Islam. Meskipun manusia berupaya membangun system untuk dapat memilih orang  terbaik menjadi pimpinannya dan menggunakan ajaran agama sebagai dasar hukum.  Semua masalah sebenarnya tergantung pada manusianya, dan bukan agama yang dipeluknya.  Dalam politik, agama sering dijadikan alat bagi para penguasa.
Karena itu ajaran agama, seringkali diubah dan ditafsirkan, agar umat lebih bersedia berbuat kebaikan dengan cara sederhana dan membodohkan. Misalnya dalam masalah; zakat, kolekte, derma. Maka dijanjikan  bukan saja akan mendapatkan pahala surga, melainkan juga dapat imbalan harta yang berlipat. Sehingga  orang mau berderma, karena imbalan. Inilah salah satu hal  yang ingatkan Allah agar tidak memperdagangkan agama  dengan harga murah. Atau seolah membela Allah, padahal mereka memperjuangkan diri dan kelompoknya, sehingga dapat dinilai sebagai “membeli dunia dengan akhirat”.


Tujuan Kehidupan Manusia di Dunia: Kebahagiaan
Hampir semua manusia, baik yang beragama maupun tidak beragama, sadar bahwa tujuan kehidupan adalah untuk memperoleh kebahagiaan. Meskipun banyak yang tidak tahu makna kebahagiaan, dan bagaimana kebahagiaan itu sebenarnya. Bahkan karena sibuknya manusia dengan permasalahan kehidupan, akhirnya lupa, bahwa tujuan kehidupannya adalah untuk memperoleh kebahagiaan sepanjang hidupnya.
Kebanyakan diantara kita menganggap, bahwa; kesenangan, kenikmatan dan kepuasan adalah kebahagiaan. Padahal kebahagiaan adalah suatu keadaan jiwa , akal pikiran dan nafsu yang kondisinya diatas semua kenikmatan, kesenangan dan kepuasan. Suatu kondisi yang hanya mungkin dicapai dalam kondisi spiritual  tertinggi.  Suatu keadaan, bukan saja kalau sekedar bisa berbuat amal shaleh dan beribadah ritual khusuk, namun suatu  keadaan  yang lebih dari itu.
Ajaran agama  selalu mengajarkan kebaikan,  yang akan mengalahkan mereka yang ingkar atau  dzalim.  Seolah keadaan diluar yang akan menentukan keberhasilan kehidupan, seperti memperoleh; keadilan, kedamaian, kasih sayang dari orang lain. Padahal kebahagiaan itu datangnya bukan dari luar, tetapi dari dalam jiwa manusia itu sendiri. Kita bisa merasakan kebahagiaan, kalau kita mampu melepaskan diri dari kemelekatan kita pada dunia. Kita akan bisa merasa bahagia, kalau kita mampu tidak lagi mementingkan diri sendiri melalui berbagai bentuk egoism. Sehingga kebahagian akan kita rasakan, karena  kita berbuat kebaikan, melakukan amal shaleh dan berperilaku ahlak mulia kepada sesama dan alam.
Kenyataannya, kita baru merasa  seolah bahagia, kalau kita mendapatkan; kenikmatan, kepuasan dan kesenangan dunia suatu keadaan yang dapat terjadi kalau, kita; berhasil dalam mencapai cita cita , berkuasa, kaya raya , sehat dan mempunyai keluarga yang menyenangkan.  Suatu keadaan eksternal. Padahal itu semua merupakan kekeliruan pemahaman.
Pada kenyataan kehidupan, manusia kadangkala berhasil- kadangkala gagal, kadangkala berkuasa  kadangkala tak berkuasa, kadangkala berjabatan- kadangkala harus melepaskan jabatan, kadangkala sehat- kadangkala sakit   dsb sehingga kadangkala senang -kadangkala menderita, kadangkala nikmat- kadangkala kecewa, kadangkala  optimis- kadangkala khawatir dsb dsb.  Dan ini akan dihadapi semua manusia, perbedaannya hanya masalah intensitas dan kualitasnya. Karena itu, masalahnya adalah bagaimana dengan turun-naik kehidupan itu, kita tetap merasa bahagia.
Keistimewaan dari keadilan Allah, terletak bahwa apa yang dirasakan dan dipikirkan manusia bersifat relatif, sehingga dalam intensitas dan kualitas apapun tingkatan  sosial  dan phisik dari  berbagai kondisi  manusia, semua tetap bisa merasakan; kesenangan, kenikmatan dan kepuasan  termasuk memperoleh kebahagiaan.   Hal yang sama juga berlaku terhadap masalah; penderitaan, kesulitan, kekecewaan dsb, semua itu bersifat relatif dan subyektif. Dan semua manusia dapat mencapai kebahagiaan, apapun status, fungsi dan kedudukan mereka.
Sayangnya, manusia juga mudah membuat permasalahan baru dan atau yang dikelirukan sehingga dapat menjerumuskan. Karena itu manusia beragama, yang menderita dan mendapatkan ketidak adilan kehidupan dunia, harapannya  adalah kebahagiaan di akhirat.  Seolah kebahagiaan diakhirat itu dapat diupayakan didunia. Seolah kalau selama hidupnya lebih banyak melakukan ibadah ritual, itu artinya menanam bekal bagi akhiratnya. Padahal ibadah ritual, yang pada dasarnya mendekatkan diri kepada Allah, bukan berarti kita bisa “ mencari muka” kepada Allah. Mendekatkan diri kepada Allah, adalah agar kita memperoleh tuntunan dalam menjalankan tugas dan misi kehidupan didunia. Karena itulah maka Allah menyatakan; “ celakalah mereka yang shalat namun lalai dalam shalatnya”.
Padahal  kebahagiaan di akhirat hanya akan dapat diperoleh kalau dirinya mampu memperoleh kebahagiaan dunia. Kebahagiaan  hidup didunia, adalah landasan bagi diperolehnya kebahagiaan di akhirat. Karena kebahagiaan di dunia, bukan ditentukan oleh; harta, kekuasaan, kedudukan, kesehatan  dsb yang dinilai sebagai keberhasilan dunia. Namun ditentukan oleh kondisi jiwa dalam diri manusia itu sendiri.
Seorang yang beragama dengan baik dan benar,  mempunyai   ciri  utama yaitu bahwa hidupnya penuh kebahagiaan.  Kebahagiaan  yang sebenarnya bisa dilihat dari pancaran wajahnya yang cerah dan senantiasa tersenyum dan kita akan merasa damai berada didekatnya. Kebahagiaan itu bisa dicapai bukan karena faktor diluar dirinya, seperti ; kekayaan, kedudukan, kesehatan dan  keberadaan anak istri dsb.  Kebahagiaan yang diperoleh karena kondisi dari dalam jiwanya, kondisi spiritual.  Dan seperti kita ketahui bahwa kebahagiaan adalah tujuan kehidupan.
Masalahnya adalah bagaimana seseorang bisa memperoleh kebahagiaan seperti itu?  Apakah  kebahagiaan itu cukup sebagai indikator bagi  umat beragama yang shaleh?  Seseorang  hanya bisa selalu berbahagia, kalau  dirinya mampu memahami, meyakini dan mengamalkan ajaran agama dengan baik dan benar dalam makna seluas-luasnya.  Apakah mungkin seseorang yang atheis bisa bahagia? Seorang atheis bisa saja berbahagia, kalau mampu menghayati makna kehidupan, namun kebahagiaan yang terbatas, sebatas upaya yang tingkatannya rasional.
Hanya mereka yang mampu memperoleh kebahagiaan hidup didunia akan memperoleh kebahagiaan hidup diakhirat. Karena hanya mereka yang mampu mengamalkan ajaran Allah secara kaffah saja yang mampu memperoleh kebahagian hidup didunia. Hanya orang yang bahagia, yang  terbebas dari penderitaan, khawatir dan rasa tidak aman. Atau hanya mereka yang terbebas dari; penderitaan, khawatir dan rasa tidak aman adalah orang yang benar benar beriman dan bertaqwa. Dan orang itu bukan saja mampu mendekatkan diri kepada Allah, melainkan juga  mampu selalu beramal shaleh dan berahlak mulia.  Mampu menjalankan  fitrah kehidupan, yang berarti juga mampu menjaga kesucian jiwa. Selalu berupaya  dengan aktif, namun tulus dan ichlas, dan menerima apapun hasil upaya dengan rasa syukur.
Masalah apapun dalam kehidupan  pada ujungnya akan berproses melalui akal pikiran, nafsu, perasaan . Persoalannya adalah, bagaimana  memperoleh kekuatan/ enersi, arah  dan kemampuan  untuk menggerakkan akal pikiran, nafsu dan perasaan dengan baik dan benar.
Kebanyakan umat beragama, umumnya menjadi kaum awam dan taklid. Mereka bertumpu atau menggantungkan pemahaman dan keyakinan dirinya pada kepada kaum; ulama atau pendeta atau biksu dsb dan atau para tokoh agama.  Padahal kependetaan itu ditolak, baik oleh  Budha Gautama maupun Nabi Muhammad dan demikian juga ajaran para Nabi lainnya ( kecuali yang sudah diselewengkan manusia). Manusia didorong untuk mandiri dalam beragama, apalagi agama adalah ajaran  kehidupan dan setiap diri manusia adalah ahli bagi kehidupannya.  Manusia harus mendayagunakan segenap potenti dirinya dalam  memahami ajaran Allah. Tak perlu kita takut sesat, karena kalau diekrjakan secara tulus dan sungguh sungguh Allah yang akan menuntun. Apakah kalau kita mengikuti pemahaman dan pemikiran orang lain, sekalipun dirinya seorang ulama yang diagungkan maka kita dijamin tidak sesat?  Apalagi yang difahami ulama itu belum tentu kita fahami dengan baik dan benar.
Kalaupun sesat, maka itu hanyalah proses. Kunci menjadi ahli agama, tidak sama dengan ahli ilmu manusia. Seoang yang yang mendalami ajaran agama , ajaran Allah adalah kesungguhan dan ketulusan, selebihnya  Allah yang mengajar  setiap manusia. Terutama melalui ruh dzatNya yang ada dalam diri setiap manusia. Apalagi kita tahu, bahwa fitrah manusia terbesar adalah bahwa setiap manusia dianugerahkan Allah potensi intrinsik dan pengembangan yang unik dan  spesifik demikian juga tugas dan misi yang ditetapkan Allah kepada setiap manusia itu berbeda beda.
Perlu kita fahami, bahwa ajaran Allah atau ilmu Allah  itu berbeda dengan ilmu yang diciptakan manusia. Ilmu agama,  kalau kita dalami, sebenarnya adalah ilmu yang diciptakan manusia. Karena ajaran Allah adalah ajaran yang ada dalam Al Qur’an.
Karena itu, mereka yang dikatakan ulama dimasa lalu, adalah manusia yang menguasai berbagai ilmu manusia, yang kemudian secara khusus mendalami ilmu agama. Sehingga ulama dimasa lalu, umumnya juga ahli dalam berbagai ilmu ciptaan manusia  yang kemudian akan memberikan kemudahan dalam mendalami ilmu Allah, melalui Kitab Suci.  Namun sayangnya banyak ulama, yang hanya mendalami ilmu agama, dan menganggap dengan demikian menganggap bahwa dirinya menguasai ajaran Allah.  Ayat 80-82 surah Al Kahfi,  yang memerintahkan Nabi Musa seorang Nabi yang dibimbing wahyu Allah yang pasti kita anggap menguasai ilmu Allah, ternyata harus belajar pada seorang hamba yang shaleh dan diberi rahmat dan ilmu disisi Allah.  Jelas mengajarkan kepada kita bahawa rahmat dan ilmu dari sisi Allah bisa diberikan kepada siapa saja. 
Hal ini bukan berarti keberadaan para ulama ( yang ahli ilmu) tidak ada gunanya. Namun jangan jadikan pemahaman dan pemikirannya seolah sebagai suatu kebenaran, karena kebenaran adalah milik Allah. Kita sesame manusia hanya bisa sharing, sebagai referensi, untuk saling mengingatkan akan kebenaran; kebenaran yang sebenarnya sedang kita upayakan.
Dalam hal ini, kebahagiaan adalah sebagai salah satu contoh nyata, bahwa  hanya dapat kita peroleh secara mandiri dan pribadi.

Ibadah Hanya Kepada Allah
Umat islam sering menyatakan bahwa semua ibadahnya hanya untuk Allah? Apa makna ibadah hanya kepada Allah?  Ada dua ibadah, pertama adalah ibadah ritual ( ubudiyyah) dan kedua, ibadah muamallah. Kedua ibadah tersebut tidak saja hanya perlu berkeseimbangan, namun kedua ibadah itu perlu konsistensi dan dilaksanakan secara berkelanjutan, karena saling terkait, saling mempengaruhi dan meningkatkan. Sehingga tidak tepat bila kita hanya mengutamakan salah satu ibadah saja. Makna ibadah ritual juga bukan sekedar ibadah yang formal yang bersifat phisik, namun lebih dari itu yaitu, ibadah ritual yang sifatnya informal  dan sangat  spiritual mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah ritual, pada tahap awal diwajibkan, namun kemudian harus dijadikan sebagai kebutuhan. Sehingga kalau manusia tidak memperoleh nilai tambah apapun melalui ibadah ritual tersebut dan tetap menganggap sebagai kewajiban, maka itu adalah suatu yang keliru dalam tatacara menjalankan ibadahnya. Minimal karena dilakukan secara tidak khusuk.
Karena dalam kaitan ini umumnya masalahnya terletak pada sikap batin dalam menjalankan ibadah, yang disebut sebagai khusuk. Adalah keliru bila kita menilai shalat dan ibadah ritual lainnya itu, karena Allah membutuhkannya, atau Allah memberikan pahala. Karena melalui ibadah yang benar dan khusuk, maka manusia akan mendapatkan manfaatnya. Yaitu mendapatkan tuntunan Allah, sehingga kehidupannya menjadi lebih baik. Meskipun “tuntunan Allah”  itu bukan suatu yang instant dan langsung benar, namun “tuntunan” tersebut masih merupakan proses pembelajaran kepada kita, yang akan apapun yang terjadi akan meningkatkan  kualitas amal kita disamping memberikan pelajaran bagi kita.  Dan umumnya petunjuk itu adalah  berupa kemampuan diri kita dalam meningkatkan kualitas amal shaleh  kita kepada sesama  dan lingkungan ( ibadah muamallah). Yang kalau semua amal itu kita evaluasi dan dalami, maka hal itu akan dapat meningkatkan ibadah  ubudiyyah atau ibadah ritual kita. Demikian dapat kita lakukan secara konsisten dan berkesinambungan.
Dalam kehidupan nyata, kita perlu berlatih, untuk menerima; kesenangan, kenikmatan sama halnya dengan kalau kita mendapatkan;  penderitaan , kesulitan  dan berbagai persoalan kehidupan. Yaitu selalu mampu mensyukurinya, karena dibalik itu semua terdapat pelajaran yang berharga.
Memang banyak berbagai bentuk pemahaman dan keimanan beragama yang diperlukan, namun uraian diatas adalah merupakan hasil pendalaman  yang telah dilakukan. Dalam beragama, praktek yang dikatakan sebagai ibadah kepada Allah,  yang dilakukan umat  dengan cara berdoa dan  permohonan, pada umunya isinya sekitar   kehidupan dunia. Yaitu seperti memperoleh; kekayaan, kedudukan, kekuasaan, istri- anak yang membanggakan dsb, yang sifatnya duniawi.  Kalaupun  diikuti dengan doa untuk mendapatkan pahala diakhirat  umumnya hanya mengikuti  ajaran yang melekat turun temurun, tanpa memaknainya  dengan benar.  Sebab pahala akhirat, adalah konsekuensi logis, kalau  amal ibadah kita didunia dilakukan dengan; tepat, baik dan benar.
Bahkan uniknya, sekalipun berkaitan dengan masalah akhirat, tetap membayangkannya bahwa akhirat  sebagai tempat yang penuh kenikmatan dan kesenangan  dsb dengan ukuran keduniaan.
Hal ini disebabkan karena dalam Al Qur’an, dan terlebih lagi dalam Hadits, banyak janji kepada manusia, kalau berbuat berbagai kebaikan  dan ketaatan, maka hadiahnya adalah surga.  Surga dengan demikian difahami sebagai tujuan akhir kehidupan manusia. Sebaliknya neraka sebagai tempat hukuman yang harus dihindari.  Padahal , kalau surga dan neraka itu kita dalami, dapat merupakan bentuk reward and punishment yang sederhana. Apalagi bila kita meyakini, bahwa  neraka dan surge adalah kekal. Maka mana yang lebih kekal, Allah atau surga dan neraka ciptaanNya? Pasti hanya Allah, karena Allah kekal dan nyata, sedangkan ciptaanNya tidak nyata.  Karena itu ada pemahaman dalam salah satu sekte  agama Nasrani, bahwa iblis dan neraka itu pada hari akhir akan dibinasalan dan lenyap. Sehingga tidak lagi ada dikotomi, surga dan neraka yang kekal.  Suatu pemahaman yang masuk akal.
Ada doa kaum Nasrani yang menarik, yaitu: “ Jadikanlah dibumi ini sebagaimana keadaan disurga”.  Yang pada sebagaian umat islam difahami “  Melalui Daullah islamiyah yang menggunakan hukum islam sebagai dasar ajaran Allah akan dapat dilaksanakan didunia”. Semua itu adalah harapan ideal manusia, dalam pola pikir keduniaan, atau spiritual yang diduniakan.
Karena dunia memang diciptakan Allah dalam kehidupan yang penuh dikotomi. Kalau Allah menghendakinya, maka hal itu sangat mudah.  Akibatnya kehidupan manusia tak lagi memerlukan  proses pematangan dan ujian dari Allah.
Adanya anggapan bahwa hukum syari’at  dalam islam, itu sebagai hokum Allah, tidak sepenuhnya benar, bahkan sebagaian besar adalah keliru. Seperti telah disebutkan, bahwa  hukum syari’at  itu, sebenarnya dirumuskan oleh manusia yang bukan Nabi. Dalam hukum syari’at, sekalipun hukum itu dicuplik dari Al Qur’an, maka begitu dicuplik, hal itu menjadi pekerjaan manusia. Apakah melalui proses ; ijma dan qiyas baik melalui tafsir maupun itjdtihad.
Karena Al Qur’an, adalah Kitab Ajaran, bukan Kitab Hukum yang langsung dapat di “copy paste”, apalagi untuk dijadikan sebagai hukum positip.  Terlebih lagi apabila penulisan hukum  syari’ah itu dilakukan dengan sekedar mencuplik  Hadits. Karena yang perlu dipersoalkan terlebih dahulu adalah, apakah hadits itu benar benar Hadits Nabi? Sekalipun dikatakan sebagai hadits yang shahih dan jenis yang mutawatir, yang diriwayatkan oleh perawi hadits yang paling masyhur.
Bahwa hokum syari’at itu sumbernya adalah Al Qur’an dan Hadits, itu tak lagi diragukan, namun karena perumusannya adalah melalui proses tafsir, takwil  atau ijdtihad, maka harus diakui itu adalah karya manusia, bukan karya Allah dan juga bukan karya Rasul. Sebagai karya manusia, maka kalau dihukumkan yang mengadili adalah manusia, namun diatasnamakan Allah, sungguh sifat yang manipulative bahkan munafik, jauh dari kebenaran dan keadilan.   Hukum Allah hanya akan menjadi adil apabila yang mengadili adalah Allah itu sendiri, yang dari waktu kewaktu telah dilaksanakan Allah.
Seperti, adanya ketentuan bahwa  ; mereka  yang rajin mendirikan shalat 5 waktu, akan dijamin masuk surga. Berpuasa dengan baik juga dijamin masuk surga, demikian juga menjalankan ibadah haji. Bahkan  puasa dibulan rajabpun, dijamin masuk surga.  Atau mereka yang percaya kepada Yesus Sang Juru Selamat, maka dijamin masuk surga. Atau mereka yang percaya Budha, dijamin masuk nirvwana. Dsb dsb. Padahal percaya kepada mereka para Nabi, bukan berhenti pada percaya, tetapi mengikuti ajarannya.
Bahkan banyak kebaikan kecil dan mudah, ganjarannya adalah surga.  Jarang ajaran yang menyatakan bahwa  semua kebaikan dan perintah harus dijalankan, maka baru dijamin masuk surga.  Memang  membuat ajaran menjadi menarik dan mudah,  dengan janji janji surge, hanya ditujukan bagi pemula, tetapi tidak bagi  para pelanjut.
 Sementara dirinya berbuat ketidak adilan, curang dalam berdagang atau korupsi  dan perbuatan dzalim lainnya.  Karena itu  umat umumnya patuh melaksanakan berbagai upacara ritual, seperti puasa, naik haji agar mendapatkan balasan dunia-akhirat.   Meskipun tetap saja  kurang  beramal shaleh, berkeadilan dalam memutus sesuatu dan menebarkan kasih sayang pada sesama.
Apalagi  perlakuan terhadap kaum atheis  dan mereka yang dianggap kafir, sementara dirinya  masih sibuk dengan upaya  mengikatkan diri pada kehidupan dunia, yang sebenarnya juga menduakan Allah, sehingga sama sama kafir. Bahkan lebih dari itu, karena menjadi kaum munafik,  yang hukumannya lebih berat dari kaum kafir karena dihukum dikerak neraka.
Dan yang lebih menyedihkan adalah, mereka juga memusuhi kaum seagama namun berbeda aliran pemahaman, seolah dirinya  telah paling benar. Padahal sikap itu sama saja dengan menamakan dirinya sebagai Tuhan sehingga berlaku syirk. Itu semua adalah godaan beragama, seolah sudah benar dan berada dijalan Allah. Karena syaitan, bukan hanya menyesatkan manusia dalam jalan kejahatan, melainkan juga dengan seolah merupakan jalan kebaikan menjadikan seseorang merasa telah beriman dan bertaqwa.
Kelebihan seorang yang taat beragama dalam makna yang sebenarnya, seolah dikaburkan dengan kehidupan mereka yang tidak beragama ataupun  orang yang beragamanya namun agama dijadikan sarana memperoleh  kehidupan dunia atau kepentingan golongan dan dirinya.
Apakah  sesungguhnya ciri dari  kelebihan seorang  beragama yang baik dan benar?  Mengapa manusia lebih suka, berbohong, menipu, berbuat sewenang-wenang, dzalim dan berbuat kejahatan lainnya?  Paling tidak merasa dirinya paling baik dan benar?
Hal ini karena manusia cenderung pada sikap mementingkan diri, mengejar kepuasan sesaat dan melakukan jalan mudah/ pintas dalam memperoleh kepuasan dan kenikmatan akibat dorongan nafsunya. Atau sebaliknya  bersikap; malas,  mudah putus asa dan kecewa dan perilaku negatip lainnya. Bahkan kalau mereka merasa beragama, bertaqwa dan beriman,  maka  itupun dilakukan  dalam kebodohan  dan perilaku manipulatif.

Kehidupan sebagai Proses Pembelajaran
Pada tahap awal proses pembelajaran kehidupan, manusia didorong untuk melakukan kebaikan dan amal shaleh.  Namun seiring dengan pengalaman dan perjalanan kehidupan, maka  manusia akan menyadari bahwa kebaikan dan keburukan dan semua sifat dikotomis lainnya, bersifat relatif.  Karena  itu tidak perlu menjadi fanatik ( berpikir sempit). Karena, dibalik kebaikan ada keburukan, dibalik keburukan ada kebaikan. Janganlah  kau membenci suatu keburukan ( menurutmu) padahal itu baik bagimu,  demikian juga jangan menyukai kebaikan ( menurutmu), padahal itu tidak baik bagimu.
Ajaran Allah adalah ajaran bagi semua manusia, bahkan ditujukan kepada orang yang belum beriman dan bertaqwa atau belum sepenuhnya beriman dan bertaqwa. Sebab bagi mereka yang benar benar beriman dan bertaqwa, mereka yang telah memahami dan mengamalkan ajaran yang telah baik dan benar, ajaran itu tak lagi diperlukan karena ajaran Allah itu sudah merasuk dalam jiwanya. Dan karena kita adalah umat yang dhaif, maka  kita adalah manusia yang sedang berproses menuju jalan Allah, jalan yang lurus. Tak sepentasnya seorang anak manusia telah merasa benar, dan menilai orang lain sebagai sesat, karena bisa jadi kitapun masih sesat. Kalaupun kita ingin membantu dan mengingatkan orang lain, adalah dengan kerendahan hati, sehingga menyampaikan kebenaran kita dengan santun dan kasih sayang. Karena bisa jadi kitapun masih belum  berada dalam kebaikan dan kebenaran di jalan Allah.
Kehidupan manusia selalu akan penuh dengan  kesulitan,  bila manusia mengandalkan nafsu dan perasaan serta akal pikiran yang sempit. Semakin nafsu, perasaan dan akal pikiran sempit yang dikedepankan maka kehidupan akan semakin terasa berat dan penuh kesulitan. Dan beban  itu akibat dari  pola pikir  dalam dirinya akibat;  nafsu, perasaan dan pikiran sempit.
Bagaimana kita memperbaiki pola pikir kita, agar kita terbebas dari semua kesulitan ? Perubahan pola pikir, tidak selalu berarti bahwa  kesulitan itu lenyap. Akibat perubahan pola pikir, bisa jadi cara berpikir kita menjadi lebih jernih, sehingga amal perbuatan kita dapat menyingkirkan kesulitan. Namun seandainya kesulitan itu tetap ada,  melalui perubahan pola pikir, kita tidak lagi merasakan kesulitan itu sebagai kesulitan.  Kita bisa menganggapnya sebagai hikmah atau tantangan, sehingga memberikan kita kekuatan untuk mengatasi kesulitan. Dan perubahan pola pikir itu hanya bisa kita lakukan kalau, jiwa kita mendapatkan pencerahan jiwa atau hikmah. Dan pencerahan jiwa akan diperoleh kalau manusia melakukan amal shaleh kepada sesama dan lingkungan serta mendekatkan diri kepada Allah. Dan cara mendekatkan diri kepada Allah yang paling efektip adalah melalui “ penyerahan diri sepenuhnya hanya kepada Allah “ yang merupakan makna dari;  islam atau kristus atau  budha  dsb.  Sikap ini, kontroversi dengan akal pikiran rasional, karena mereka;  “yang menyerah akan kehilangan kemerdekaannya”.  Inilah uniknya ajaran Allah.  Karena “kecerdasan tertinggi yang dimiliki Allah baru akan masuk kedalam diri manusia manakala manusia tidak lagi menggunakan  akal pikirannya”.
Kecerdasan Allah yang disampaikan kepada manusia  dalam kehidupan sehari hari, dapat diperoleh  dalam bentuk; ilham, inspirasi, dan yang tertinggi adalah melalui wahyu. Secara sederhana, penyerahan diri kepada Allah itu  bisa dimulai dalam bentuk; sikap relaksasi dan atau  kondisi meditatif dan atau  tafakur dan atau shalat yang khusuk.  Melalui upaya seperti itu, maka  manusia dapat memperoleh “ petunjuk, ilmu dan hikmah” dari Allah, mulai dari; inspirasi, ide, ilham hingga wahyu. Sebagai “petunjuk “yang diperoleh oleh kalangan ilmuwan, antara lain adalah; gagasan Archimedes melalui Aureka , ditemukannya listrik  Thomas Alva Edison,  struktur atom oleh Madame Curie, teosi mekanik oleh Newton, teori relativitas oleh Einstein dsb. Atau  dalam bentuk gagasan/ pemikiran bagi  para filosof, seperti;  Aristoteles, Al Kindi, Al Farabi, Rene Descrates dsb. Atau  pemahaman dari  para tokoh agama, seperti ; Al Gazali, Al Halaj, Suhrawadi, Moh. Abduh, Iqbal dsb. Yang lebih khusus lagi adalah berupa wahyu yang diterima para Nabi.  
Memang semua perilaku keduniaan yang mengabaikan ajaran agama dapat menghasilkan keberhasilan kehidupan yang menggiurkan, namun akan bersifat sementara, karena ujungnya adalah penderitaan, kekecewaan , kekhawatiran dan rasa tidak aman. Meskipun kebanyakan umat manusia  memahami sebagian hukum alam ( Allah) ini, tetap saja mereka lebih  tertarik, pada kehidupan dunia yang menggiurkan. Manusia baru mulai sadar kalau telah mengalami; penderitaan atau kekecewaan atau  kekhawatiran dan atau rasa tidak aman.  Dan kesadaran itu, umumnya bersifat sementara, sebab kalau kesulitan telah berlalu, manusia kembali akan melakukan kesalahan yang sama. Demikian seterusnya.
Demikian juga kalau manusia hanya memahami ajaran agama dari sisi luarnya, seolah sudah menemukan mujizat atau rahmat Allah, yang menguntungkan dirinya setelah mengalami kesulitan dan penderitaan ataupun, padahal itu semua tetap bersifat sementara, maka  ujungnya adalah penderitaan, kekhawatiran dan rasa tidak aman.
Lain halnya kalau ajaran agama difahami dan diyakini secara baik dan benar, maka hasil upayanya selalu mendatangkan kebahagiaan. Meskipun kebahagiaan itu diperoleh bukan karena perubahan keadaan yang menguntungkan, namun  suatu keadaan yang sebenarnya, membawa; kekecewaan, penderitaan, rasa khawatir dan tidak aman.  Yang perlu menjadi fleksibel dalam menerima semua keadaan,  adalah sikap batin, yang selalu bisa mensykuri apapun perolehan yang didapat. Hal ini tidak berarti bersikap pasrah, karena setelah itu perlu melakukan evaluasi dan kembali berupaya. Demikian seterusnya.
.
Bagamana cara  manusia dapat mencapai kesadaran spiritual ?
Banyak jalan pemahaman dan keimanan  agar manusia  dapat terbuka hijab yang menutupnya dari ajaran kebenaran. Manusia akan dapat terus berada pada kesadaran hakiki, kalau senantiasa mendapatkan pencerahan jiwa. Dan mereka yang mendapatkan pencerahan adalah mereka yang telah mencapai kesucian jiwa. Tahap awal pencapaian kesucian jiwa, kalau mampu meniadakan sikap mementingkan diri dan berbuat kebaikan pada sesama dan lingkungan. Suatu kalimat sederhana, namun pada kenyataannya mempunyai kompleksitas atau varitas yang luar biasa dan tidak mudah dan sesederhana dapat dipikirkan.  Sering kita beranggapan bahwa dalam beragama, maka yang diperlukan adalah keimanan, selanjutnya biarlah “ tangan Allah yang bekerja”. Keimanan dianggap sebagai suatu sikap batin, yang tidak  memerlukan pemahaman. Padahal apapun keimanan seseorang, hanya mungkin melalui pemahaman, sekalipun hanya sedikit.  Semakin tinggi tingkat pemahaman maka semakin tinggi pula keimanan seseorang.
Ada berbagai proses pengajaran yang dilakukan oleh Allah.
Pertama, adalah memahami ajaran tauhid. Yaitu; meng-Esa-kan Allah. Seolah mudah, padahal dengan memahami ajaran tauhid,  bukan sekedar  tidak memberhalakan Allah, atau mengimani sesuatu yang lain selain Allah. Kalau umat Nasrani mengakui ajaran “trinitas” sebagai metoda agar manusia lebih mudah memahami Allah, maka hal itu tidak masalah. Namun kalau men-Tuhan-kan Nabi Isa, maka banyak yang dapat dipermasalahkan. Atau masih ada subyek  sebagai pengamat dan Allah sebagai obyek yang diamati, itupun artinya menduakan Allah. Karena ada pengamat dan yang diamati, padahal Allah yang menciptakan sesuatu, dan sesuatu yang diciptakan Allah,  tidak  berada diluar diriNya melainkan dari diriNya. Ini memang merupakan masalah teologis yang rumit.  Karena Allah tidak dapat diperumpamakan dengan segala sesuatu, maka Allah akan dapat difahami sebagai  yang meliputi segala sesuatu. Yang nyata hanya Allah dan kekal, sedangkan semua ciptaanNya tidak nyata, tidak kekal. Artinya kalau kita mencintai sesuatu selain Allah sama dengan kecintaan kita kepada Allah, itupun dapat dianggap menduakan Allah. Termasuk mencintai dunia dengan segala isinya, bahkan sangat mencintai anak atau istri dan atau harta/ kepemilikan dan atau kekuasaan dan atau apapun juga.  Hal itu merupakan kemelekatan jiwa  Dan hal itu hanya dapat dimungkinkan kalau manusia melepaskan dirinya dari keterikatannya pada dunia. Yang ujung dari ajaran tauhid itu adalah ajaran pensucian jiwa.
Kedua, adalah menjalankan kehidupan hanya sebagai ibadah kepada Allah. Makna ibadah  kepada Allah,  bukan karena Allah membutuhkan ibadah kita, juga karena Allah apapundari mahlukNya, apalagi membutuhkan puja puji kita. Allah tidak membutuhkan ibadah kita, yang membutuhkan adalah kita sendiri. Ibadah kepada Allah, mempunyai dua unsur, yaitu ibadah ubudiyyah ( ibadah ritual) dan ibadah muamallah ( ibadah kepada sesama dan alam ). Kedua ibadah itu bukan sekedar dilakukan secara berkeseimbangan, karena makna keseimbangan ini tidak jelas. Kedua ibadah itu harus dilakukan karena saling berkaitan dan mempengaruhi, karena itu harus dilakukan secara konsisten ( istiqamah) dan berkesinambungan. Karena hanya melalui pelaksanaan kedua ibadah itulah maka kedua ibadah itu dapat terus dapat ditingkatkan mutunya. Ibadah ritual kepada Allah, bukan berhenti pada kewajiban ( itu baru sebagai ajaran awal), namun harus dirasakan sebagai kebutuhan. Karena ibadah itu untuk kepentingan kita, agar manusia yang  setiap detik harus mengambil keputusan/ pilihan kehidupan, maka melalui ibadah ritual, manusia akan mendapatkan; tuntunan, petunjuk dan kekuatan serta  kemudahan dari Allah.
Hasil ibadah ritual, adalah kemampuan  dan  kemudahan untuk dapat berbuat amal shaleh dan berperilaku ahlak mulia. Sehingga ibadah muamallah yang dilakukan manusia, kepada sesama manusia, sesama mahluk dan alam lingkungan dapat; tepat, baik dan benar.  Yang tujuan antaranya adalah  untuk mendapatkan hikmah dan ilmu dari Allah, melalui pencerahan jiwa. Hal ini ujungnya adalah melepaskan diri dari keterikatan manusia pada dunia, yang hanya dimungkinkan kalau jiwa manusia itu suci. Tetap menjalankan tugas dan misi didunia, namun tanpa terikat  atau terlepas dari kemelekatannya pada kehidupan dunia.
Dengan demikian betapa pentingnya upaya pensucian jiwa, karena melalui pensucian jiwa, maka semua amal ibadah kita akan tertuntun.  Melalui pensucian jiwa, dimana kita tidak terikat pada keduniaan, maka kita mampu berbuat dengan tulus- ichlas dan menerima semua keadaan atau hasil dengan rasa syukur. Sehingga kita bisa selalu bahagia.  Yang semua itu hanya bisa tercapai kalau kita memahami ajaran Allah dengan baik dan benar ( serta kaffah), disamping mempu mengamalkan ajaran dengan; tepat, baik dan benar.  Dan memahami ajaran Allah dengan baik dan benar kalau kita mampu memahami hakekat ajaran dengan baik dan benar  yang melalui pemahaman ini, maka kita akan beriman dengan baik dan benar serta mengamalkan ajaran dengan tepat baik dan benar.   Dan upaya itu perlu dilakukan sepanjang kehidupannya.
Ketiga, mendalami ilmu tasauf, sebagaimana diajarkan Allah, melalui syrah Al Kahfi ayat 60-82, yang pada dasarnya mengajarkan ilmu kebijaksanaan. Karena upaya maksimal yang dilakukan oleh manusia adalah selalu berbuat kebijaksanaan. Untuk itu manusia perlu tulus-ichlas dalam mengejarakan sesuatu, dan mensyukuri apapun hasilnya. Melalui kesabaran seperti itulah maka Allah akan memberikan hikmah dan ilmu dari sisinya. Yang menjadikan seseorang mampu memahami suatu kejadian dengan informasi yang lengkap. Sebagaimana  yang dianugerahkan kepada hambanya yang shaleh, sehingga mampu mengenal suatu keadaan dengan lengkap, memahami amsa lalu dan masa depan, bahkan mampu berbuat sesuatu tanpa kehadirannya, karena dirinya telah sejalan dengan kehendak Allah.  Hanya dengan perolehan informasi yang lengkap dan perlu serta mampu melakukan  analisa yang tepat, sehingga keputusan yang diambil dapat bijaksana.
Dalam  kehidupan ini kalau kita tidak lagi mementingkan diri sendiri, tak ada yang perlu dikhawatirkan atau dijadikan penderitaan. Karena dibalik itu, minimal ada pelajaran agar kita dapat “naik tingkat”.   Yang selalu bisa diubah dalam diri kita, adalah; harapan atau tujuan, pola pikir, perasaan, nafsu, yang perlu diarahkan dengan baik dan benar.
Kegagalan adalah akibat harapan tidak terpenuhi, keinginan tidak tercapai, namun kalau kita ubah, kegagalan, sebagai sukses yang tertunda, sebagai pelajaran untuk emnjadi lebih baik, maka kita akan mampu mensyukuri dengan sebenar benarnya rasa syukur. Penderitaan, demikian juga, terutama akibat kekecewaan, kita perlu dalami mengapa kita kecewa?  Masalahnya bisa banyak, semuanya juga  adalah akibat pola pikir, perasaan dan nafsu. 
Apa yang disampaikan diatas, mungkin dianggap masih merupakan suatu hal yang makro.

Seperti diketahui, timbulnya rasa ; penderitaan, khawatir dan rasa tidak aman, umumnya akibat prediksi oleh akal pikiran kita.  Penderitaan dapat terjadi, akibat  kekecewaan karena harapan dan tujuan kita  tidak tercapai. Penderitaan, akan mengakibatkan kita mengalami stress, dari ringan hingga berat.  Kita lupa bertanya, apakah dengan menderita atau stress, keadaan akan berubah?  Tentu tidak!  Penderitaan dan stress, mengakibatkan dua hal,  pertama, batin kita sakit, sehingga  tubuh phisik juga bisa sakit. Kedua, batin yang sakit akan membawa pada pola pikir  yang jerbih dan upaya yang dilakukan tidak tepat.  Kesemuanya  sia sia. Karena itu menerima kenyataan  adalah sikap terbaik.  Sehingga kita bisa berpikir jernih dan melakukan upaya yang tepat.
Bagaimana halnya dengan adanya rasa khawatir  dan rasa tidak aman?  Ini semua terjadi akibat prediksi dari pikiran dengan segala alternative kemungkinan yang terjadi. Dalam hal ini cara paling mudah adalah, untuk menerima keadaan paling buruk.  Kalau kita bisa menerimanya, maka akal pikiran akan menjadi jernih. Sehingga akan diperoleh solusi yang tepat.   Suatu badai kalau tampak dari  kejauhan akan mengerikan, namun kalau sudah badai itu sudah datang , maka yang ada adalah upaya mengatasi.
Yang mungkin cukup berat adalah penderitaan akibat  penyakit. Kita perlu melatih diri, untuk tidak melawan rasa sakit dan mencoba menngikuti rasa sakit dan menikmatinya. Semua itu hanya mungkin dapat kita lakukan kalau pemahaman spiritual khususnya terhadap diri sendiri semakin tinggi. Yang hanya bisa dicapai kalau kita memahami makna kehidupan sejatti, atau memahami hakekat ajaran Allah, ajaran kehidupan. Sebab  suka dan duka kehidupan akan tetap terus terjadi, dan bagaimana kita mengembangkan diri sehingga sama sekali tak terimbas olehnya.
Ada cara sederhana, yaitu kalau kita mulai merasakan; penderitaan, khawatir dan rasa tidak aman, sehingga tak lagi bisa tersenyum, maka pasti ada sesuatu yang  keliru dalam diri kita. Apakah itu pola piker, nafsu atau perasaan. Maka temukanlah kelemahan itu, dan senyumlah. Ubahlah diri terhadap kelemahan itu, terkait, apakah ;  pola pikir, nafsu dan perasaan.  Maka secara bertahap kita akan makin tinggi daya kemampuan kita. Siap untuk menerima kebahagiaan sepanjang kehidupan, sehingga senyum selalu  menghiasi  wajah kita!


Kehidupan Manusia adalah Proses Pembelajaran
Bagaimana kalau pada akhir kehidupannya ( meninggal), seorang anak manusia masih belum mencapai kesucian jiwa? Kita umat pada umumnya, memahami bahwa kalau kematian  telah mendatangi, maka tinggal ada pilihan di pengadilan akhir. Masuk surga atau neraka. Maka akan timbul pertanyaan, bagaimana kalau kita telah beragama, mengakui keberadaan Allah dan ajaranNya, namun kita masih banyak melakukan penyimpangan. Bahkan masih menduakan Allah dengan mencintai  sesuatu yang ada didunia, melebihi kecintaan kepada Allah?  Padahal hal itupun termasuk pelanggaran ajaran tauhid namun hal itu tidak kita sadari. Karena men-dua-kan atau syirik kepada Allah  hanya dilakukan kalau kita melakukan pemberhalaan kepada Allah.  Umat islam sering mengutuk ajaran Nasrani  mengenai tritunggal, sementara  sebagian besar umat islampun mmenganggungkan Nabi Muhammad secara berlebihan, yang juga bisa syirk bahkan munafik karena menetang sesuatu namun juga menjalankannya sendiri.
Maka para ulama, memberikan jalan;  umat islam  yang seperti itu, di akhirat nanti,  hanya untuk sementara masuk neraka menjalani hukuman akibat kesalahannya. Namun setelah hukumannya dianggap impas maka mereka  mendapat promosi ; dimasukkan surga.  Sedangkan mereka yang munafik, hukumannya lebih berat dari orang kafir, karena akan dihukum dineraka yang paling dasar. Artinya di surge dan neraka masih ada hirarki  dan ada proses promosi. 
Menurut  pemahaman umat beragama ( samawi), mereka yang kafir, sekalipun berbuat kebaikan tetap saja  di akhirat mereka masuk neraka selama lamanya. Artinya, kebaikan apapun  bagi mereka yang kafir, seolah tidak ada gunanya, tiada maaf dan ampunan. Hanya orang beragama, itupun beragama tertentu ( yaitu menurut agama yang dipeluknya sendiri)  yang dijamin masuk surga.    Inilah bentuk keadilan Allah, kata mereka. Padahal dalam Al Qur’an, kaum Sabiin, Yahudi dan Nasrani, kalau berbuat kebajikan akan diperhtungkan Allah. Apalagi hanya ada tiga amal yang masih berjalan bagi seorang yang telah meninggal. Yaitu, ilmu yang  bermanfaat,  amal kebaikan yang berkelanjutan ( amal jari’ah)  dan anak  ( cucu-cicit dst) shaleh yang mendoakannya.  Maka bagaimana dengan mereka yang berjasa bagi kemanusiaan, seperti; Edison, Einstein, Freud, Rene Descrates , yang ilmunya bermanfaat?   Atau mereka yang meskipun kafir,  tetapi beramal jariah dan mempunyai keturunan anak shaleh?
Konsep kehidupan yang difahami kebanyakan umat beragama samawi, yaitu bahwa bagi setiap jiwa hanya  menjalani sekali saja  sepanjang kehidupan. Yang umumnya manusia, hanya mengharapkan ampunan Allah. Terutama  bagi mereka yang  jiwanya belum mencapai kesucian. Karena itu konsep pengampunan dosa  menjadi demikian dominan pada  pemahaman umat beragama samawi. Baik pada umat agama Yahudi, Nasrani dan  Islam.   Dengan pemahaman seperti itu,  sesungguhnya hal itu akan mengakibatkan berbagai inkonsistensi  pada  pemahaman terhadap ajaran Allah.  Makna bahwa kelebihan manusia dari umat lain yang diciptakan Allah, berupa kebebasan memilih dan mempertanggung jawabkan pilihannya menjadi tidak  berguna  ( kecuali menjadikan kafir atau beriman). Sebagian besar anjuran untuk beramal shaleh dan berahlak mulia menjadi tidak berarti, karena  bagi yang melakukan penyimpangan maka akan mengharapkan ampunan Allah.
Padahal ampunan Allah, bukan melalui penghapusan dosa atau kesalahan, melainkan dengan memberikan jalan dan kekuatan serta kemampuan, untuk melakukan perbaikan.  Jangan  Allah dianggap manusia yang mempunyai hak prerogratif , karena Allah juga akan menegakkan hukum hukumNya. Masalahnya adalah ada hukum Allah yang belum difahami manusia.
Sehingga  setiap perjalanan kehidupan setiap jiwa manusia dalam menjalani kehidupan didunia adalah proses. Proses dalam memantangkan jiwanya  disamping  menjalankan tugas  kehidupan yang telah digariskan Allah. Justru untuk mematangkan jiwa dan memantapkan tugasnya, maka manusia diberikan potensi untuk dapat melakukan pilihan bagi jalan dan pilihan hidupnya. Apapun pilihannya, semua itu merupakan proses. Baik apakah seseorang mau beriman atau menjadi kafir, apapun pilihannya semua itu merupakan proses. Karena itu proses seseorang mencapai  kesucian jiwanya, ada yang prosesnya panjang ada yang pendek. Ajaran Allah menuntun manusia, agar dalam menjalani kehidupan dapat efektip dan efisien.
Dalam menjalani kehidupan, karena manusia merupakan mahluk sosial, maka ada kecenderungan bagi manusia untuk; (1) saling berkomunikasi  (2)  berserikat, berkumpul dan membangun organisasi.
Komunikasi diantara manusia , dimulai dari peradaban membangun bahasa, symbol dan isyarat.  Suatu upaya membangun kesepakatan sehingga terbentuk suatu keseragaman tertentu dalam memahami sesuatu. Penyeragaman, ini pulalah maka manusia, membentuk;  pengaturan, prosedur, standar dan kriteria dalam semua bidang kehidupannya.
Melalui  pengorganisasian itulah maka manusia membangun  kerjasama antara manusia,  hingga pada  akhirnya  terbangun system kekuasaan.  Hal ini diwujudkan  dalam bentuk organisasi , mulai dari  organisasi kesukuan/ klan kemudian meningkat pada organisasi  padepokan, kampung , nagari, hingga kerajaan dan atau pemerintahan wilayah yang sangat luas ( kekaisaran).
Dengan demikian, manusia menjadikan system kekuasaan menjadikan bagian penting dalam kehidupan bersama.  Berbagai mitos, legenda dan ideologi;  yang  dibangun untuk melegitimasi kekuasaan sesuai dengan jamannya masing masing. Semakin maju kehidupan manusia, semakin kompleks bentuk organisasi yang dikembangkan.  Apakah itu organsiasi  politik, agama,  profesi, ekonomi, sosial, budaya, kesenian dst  hingga arisan. Apapun system dan bentuk organisasi pemerintahan, orientasi utama kehidupan antar manusia adalah; kekuasaan yang  diwujudkan dalam  perilaku politik.  Agar struktur dan hirarki organisasi dapat dibentuk. Yang akhirnya terbentuklah  pengaturan hukum ; prosedur, standard an kriteria, dalam berbagai bentuknya, guna penyatuan arah, gerak dan langkah yang mengarah pada penyeragaman .   Organisasi dan pengaturannya ( hukum), menjadi Allahnya manusia, sambil mengakui  adanya Allah Yang Esa.
Upaya penyeragaman yang dilakukan manusia terhadap ilmu atau pengetahuan manusia sangat wajar, namun yang menjadi tidak wajar adalah menjadikan ajaran Allah yang bersifat supranatural, juga  ingin diseragamkan.  Upaya ini dilakukan agar kehidupan menjadi tertib dan teratur, menurut ukuran manusia.  Justru karena upaya penyeragaman itulah maka timbul banyak aliran dan mashab agama. Bahkan lebih dari itu, justru mengakibatkan permusuhan dan pertentangan diantara sesama umat. Meskipun tak dipungkiri bahwa  karena keberadaan agama, maka nilai nilai moral tetap terjaga. Tidak juga dipungkiri bahwa manusia juga memperalat agama bagi kepentingan kekuasaan bagi  golongan dan individu.
Kalau saja dalam keberagamaan umat manusia, menggunakan fitrahnya yaitu, bahwa setiap manusia adalah berbeda masing masing bersifat unik dan spesifik. Dan hubungan manusia dengan Allah  bersifat individual, tak seorang lainpun yang berhak  dan mampu menilai keberagamaan seseorang.  Dengan demikian maka setiap umat beragama mau menghargai perbedaan dalam keberagamannya masing masing. Bukankah Allah telah menganugerahkan manusia potensi dan peluang pengembangan yang berbeda?  Padahal dengan potensi yang berbeda akan mengakibatkan pemahaman yang berbeda.
Dalam perbedaan hubungan manusia dengan Allah yang bersifat individual, bukan berarti aka nada masalah hubungan sosial antar manusia.
Akan menjadi masalah kalau hubungan antar manusia, seolah semuanya juga telah diatur melalui ajaran agama. Ajaran agama, kalau kita dalami, sesungguhnya hanya mengarahkan ketentuan atau hukum yang bersifat prinsip atau hakiki, meskipun dengan kasus kasus pengajaran yang diangkat dalam Kitab Suci  ( dan Al Qur’an) seolah mengatur sesuatu  dengan rinci. Yang berarti semua kehidupan manusia telah ada aturan dan ketentuan hukumnya.  Padahal kalau Kitab Suci ( dan Al Qur’an) didalami secara kaffah, tidaklah seperti itu.
Dalam hal penetapan hukum syari’ah, umat bukan saja hanya mencuplik ayat ayat secara parsial, juga menggunakan Hadits, yang belum terjamin  bahwa hal itu merupakan; pembenaran, perkataan dan perbuatan Nabi. Karena Hadist yang ada, sekalipun dianggap merupakan hadits yang paling shahih sekalipun, dituliskan 200-400 tahun setelah Nabi Muhammad wafat. Sehingga originalitasnya perlu dikaji, khususnya relevansinya sebagai penjabaran Al Qur’an. Sebab kalau tidak sesuai bahkan bertentangan, maka patut ditolak. Bahkan terhadap hadits yang dianggap shahih dan periwayatan yang sempurna. Seperti  misalnya kisah Mirajd, yang diyakini umat sebagai proses penetapan sahalat lima waktu, melalui dialog dan tawar menawar antara Nabi Muhammad dan Allah. Kalau dialog langung antara Allah dan Nabi  Muhammad, itu benar benar terjadi, maka kedudukannya lebih tinggi dari wahyu Al Qur’an. Karena wahyu Al Qur’an itu diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantaraan, baik melalui malaikat Jibril maupun wahana lain. Bahkan dalam Al Qur’an, peristiwa Mirajd itu sama sekali tak disebutkan. Dan Nabi juga menegaskan bahwa shalat kita yang khusuk adalah mirajd kita kepada Allah.  

Bagaimana Umat Islam, Keluar dari Keterpurukan
Keluarnya umat dari keterpurukan bukan tujuan agama, namun hal itu akan terjadi dengan sendirinya, kalau umat islam, memahami ajaran Allah dengan baik dan benar ( disisNya) dan mengamalkan ajaran dengan; tepat, baik dan benar.
Dengan memperhatikan sejarah, bahwa sudah lebih dari seribu tahun, umat islam mengalami keterpurukan. Kita bisa berdebat panjang mengenai masalah keterpurukan ini. Indikator sederhana dari keterpurukan, adalah tidak lagi dikusasi ilmu pengetahuan dan teknologi  oleh umat islam, dan beralih kepada bangsa lain. Kalau dimasa abadd 13 M keatas, kaum barat yang umumnya beragama Nasrani, maka kini mulai dikuasai mulai dari bangsa Jepang ( yang  beragama Shinto), China ( yang Kong Hu Cu dan atheist) dan India ( yang Hindu).
Terpuruk dibandingkan dengan umat beragama lain, termasuk  kaum atheist sekalipun.  Tentang hal ini kita juga dapat melakukan bantahan, dengan alasan bahwa umat islam; moralitas paling baik.  Apakah itu benar?  Kita juga bisa berdalih, bahwa umat islam tidak mengejar dunia,  namun mengejar akhirat.  Benarkan umat islam pasti  berhasil memperoleh akhirat, surga jan’ah?
Yang jelas; Al Qur’an mengajarkan keutamaan menggunakan akal pikiran,  namun kita umat islam  adalah umat yang tertinggal dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dibandingkan umat lainnya. Umat islam bukan saja hanya menjadi konsumen dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan hanya jadi penonton, lebih dari itu hanya bisa memberikan kritik dan kecaman terhadap ilmu pengetahuan yang ditemukan, namun tidak memberikan ilmu tandingan yang baru dan lebih bermutu.
Masalah keterpurukan umat, sumbernya adalah bukan sekedar masalah pengamalan ajaran, melainkan juga termasuk masalah pemahaman.  Umat islam membanggakan dirinya sebagai umat dengan ajaran yang mengutamakan akal pikiran, namun yang terjadi adalah pemasungan akal pikiran. Kalau  ada yang menggunakan akal pikiran yang dinilai bertentangan dengan standar ( pakem), pemahaman, maka dianggap sebagai; umat yang sesat. Kita hanya bisa pemakai ilmu pengetahuan dan teknologi, namun sambil melakukan kritik keras, kalau dianggap bertentangan dengan ajaran islam. Namun tidak  mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi alternative/ baru, yang sesuai ajaran islam.
Karena itu, secara ringkas, dapat dikatakan bahwa ada  kekeliruan  yang cukup mendasar telah terjadi pada pemahaman dan keimanan umat islam.  Dan bukan sekedar tidak mampu mengamalkan ajaran islam sebagaimana seharusnya. Umat islam, dan juga  kebanyakan umat beragama lain,  mempunyai kesalahan yang cukup mendasar. 
Pertama, adalah dengan membentuk  penyeragaman pemahaman dan mengorganisasikannya  dengan pemikiran bahwa kebenaran ajaran Allah adalah tunggal. Namun sebagaimana penafsiran dan pemahaman kelompok dan golongannya sendiri. Namun hal itu dapat menjadi penyebab terciptanya berbagai aliran pemahaman  yang cenderung eksklusifis. Yang disatu fihak dapat mudah mempersatukan  umat, namun dilain pihak dapat menciptakan pertentangan dan permusuhan, baik terbuka maupun terselubung.
Kedua, menjadikan ajaran agama sebagai ideologi politik, yang  diharapkan akan  mempermudah pelaksanaan keberagamaan, namun pada dasarnya  memperalat  agama  untuk digunakan mengejar  kekuasaan  duniawi.  Kalaupun  berbicara tentang aspek spiritual dan akhirat,  semua hanya merupakan embel embel atau lips services bahkan hanya sarana   untuk meligitimasi kekuasaan. Ketiga, menjadikan ajaran agama penuh dengan gambaran keduniawian namun di spiritualkan. Sekalipun menolak sekulerisme namun membangun sekulerisme baru yang seolah berwajah spiritual.  Menjadikan kehidupan surga, dapat diturunkan didunia. Suatu harapan spiritual yang sekuler . Sehingga sebagai suatu gambaran penuh  keduniaan  namun diisi dengan;  mujizat, keajaiban dan mistik. 
Untuk keluar dari keterpurukan maka umat islam perlu lebih menghargai potensi akal pikiran dan mendayagunakan secara maksimal. Dimulai dari kebiasaan untuk mendorong pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.  Kalau ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat inti, dinilai terlalu sekuler, maka  kembangkanlah ilmu pengetahuan yang lebih baik dan bersifat  spiritual.  Dan selanjutnya melalui penguasaan ilmu pengetahuan teknologi yang diperbaharui,  dan pemahaman ajaran agama islam yang dianutnya, mampu mengembangkan keteladanan kehidupan dunia yang sebaik baiknya. Karena keteladanan itu merupakan dakwah yang paling efektip. 
Untuk itu seluruh umat islam termasuk umat lainnya, perlu dirangkul dengan menghargai perbedaan.  Yaitu  dengan membuktikan bahwa  tata nilai dan ilmu pengetahuan serta teknologi yang dibawakannya, mampu membangun tatanan kehidupan dan ekmajuan peradaban umat yang lebih baik.  Negara Negara islam kaya minyak, sesungguhnya paling besar peluangnya untuk melakukannya.  Namun karena jeratan system politik, mengakibatkan upaya pembaharuan menjadi amnsul, karena akan membahayakan system kekuasaan yang ada. Arab Saudi ( yang Sunni dan Wahabi), merupakan Negara kaya minyak, disamping sebagai negara tempat dimana  Masjidil Haram dan Masjidil Nabawi berada, mempunyai peluang paling tinggi. Namun  pemerintahan Arab Saudi mampu menggunakan para ulama yang meyakini bahwa pemahaman umat Saudi sudah mapan, sekalipun menjual kemerdekaan dan keamanan pemerintahan  negaranya pada Amerika Serikat.
Kini Iran, dengan faham Syi’ah, merupakan kekuatan baru dan dapat menjadi kuda hitam.  Namun faham Syi’ah dianggap kaum Sunni, sebagai penyimpangan. Padahal karena kekuatan faham Syi’ah, maka Iran berani menentang barat. Meskipun itupun bukan gambaran pemahaman islam yang baik dan benar, karena terlalu mengkultuskan Ali.
Kini gerakan Ichwanul Muslimin ( yang Sunni dan Revolusioner) , terutama di Mesir, mulai unjuk kekuatan dan mungkin bisa merebut kekuasaan. Akan kita lihat bagaimana mereka akan berkiprah menghadapi kaum Nasrani  ( Koptik) dan Islam moderat lainnya. Ada pula gerakan Al Qaeda yang mendukung terorisme , tersebar kekuatannya di Timur Tengah dan Lybia dan utamanya di Afaganistan, yang perjuangannya dilakukan dengan kekerasan, dan pemahamannya sangat eksklusif. Demikian juga gerakan Taliban. Ada pula gerakan Hizbut Tahrir  yang meyakini bahwa kejayaan islam hanya mungkin bila dibentuk Daullah Islamiyah. Ini semua sebenarnya lebih cenderung pada aspek politik dibandingkan aspek keislaman. Agama islam hanya dijadikan alat saja.
Dari segi agama, secara diam diam dan sangat pribadi, kaum tasauf menilai bahwa ajaran islam yang isotoris  memang hanya  bisa dikembangkan secara terbatas  pada orang orang pilihan.  Artinya pemahaman kepada umum dan kepada umat tertentu yang sudah sangat spiritual, memang harus dibedakan.  Karena mengajarkan suatu hakekat atau  makrifat tidak bisa bagi umat yang awam, karena dianggap akan menimbulkan kesalahfahaman. Kesalahfahaman yang bukan saja berhenti pada perbedaan pemahaman, namun bisa mengundang permusuhan.
Kini sudah saatnya bagi umat islam, tidak lagi perlu dibeda bedakan. Kuncinya terletak pada upaya untuk mendorong umat islam bisa memahami perbedaan. Karena perbedaan itu sebenarnya telah eksist, yang  dapat diuji kepada suatu kelompok umat yang pemahamannya tentang islam satu aliran dan satu mashab. Kalau setiap umatnya mau menjawab dengan jujur, apa bentuk pemahamannya tentang islam dengan rinci. Maka setiap umat satu sama lain pasti berbeda beda jawabanya, apakah perbedaan itu bersifat aqidah atau bersifat khilafiyah.  Artinya perbedaan itu sudah eksitt pada setiap umat.
Apa hakekat ajaran islam?   Secara sederhana, pemahaman ajaran islam yang benar, akan mendorong umat untuk  bersama sama membangun  tatanan kehidupan  yang damai, penuh kasih sayang.  Menghargai perbedaan pemahaman, apapun tingkat perbedaan itu. Karena setiap umat perlu menyadari bahwa dirinya adalah umat yang dhaif, namun sedang bersama sama menuju kebenaran menurut keyakinannya masing masing.
Upaya penyeragaman ajaran, baik yang dilakukan secara sadar maupun tidak sadar, adalah kekeliruan utama dari umat beragama pada umumnya dan umat islam pada khususnya. Jadikanlah semua umat islam, bukan seorang awam dan taklid. Ajaran islam, tidak mengenal system kependetaan, karena itu Nabi Muhammad tidak pernah mewariskan kepemimpinan umat kepada siapapun.  Kalau pewarisan adalah sangat penting mengapa Nabi tidak melakukannya, sementara masalah pewarisan Al Qur’an mengajarkan mekanismenya?
Bahwa terjadinya pemerintahan islam, itu adalah upaya keduniaan, karena para penguasa, ada yang maksudnya baik ada yang maksudnya kepentingan diri dan golongan. Meskipun mereka yang maksudnya baik, sekalipun, umumnya mereka cenderung menyalahgunakan kekuasaan. Apalagi bisa ada feodalisme didalamnya.  Sejarah manusia membuktikan hal itu.
Demikian juga hukum syari’at yang  dianggap sebagai uAllah yang akan dijadikan acuan pemerintahan, kalau  hukum itu didalami dengan jernih , mendalam dan jujur, maka  itu semua adalah hukum rumusan manusia, bukan rumusan Allah dan Rasul.  Sekalipun diambil dari Al Qur’an dan Hadits. Al Qur’an apalagi Hadits, adalah bukan Kitab Hukum, hukum Allah apakah itu hukum alam atau hukum sosial atau hukum lainnya,  tergelar dialam semesta ini.  Kalau manusia mau berupaya dan Allah kehendaki, siapun dapat memperoleh hukum itu bagian per bagian. Namun itu semua adalah tafsiran manusia, dan hasil pikiran manusia , yang bisa berubah.
Hukum Allah adalah tetap dan pasti,  ditetapkan oleh Allah yang pengadilannya juga oleh Allah Yang Maha Adil, manusia tidak layak  mengadilinya.  Nabi Isa mengajarkan: “Siapa  bukan pendosa, silahkan dia yang melempar pertama”.  
Kalau manusia ingin mengadili sendiri suatu hukum, silahkan buat hukum yang akan diberlakukan,  dan silahkan bertanggung jawab, baik rumusannya maupun pengadilannya.  Janganlah manusia memanipulasi hukum Allah. Memang ketentuan hukum yang ada dalam Al Qur’an, seolah dapat dilakukan pengadilannya oleh manusia. Padahal ketentuan ayat itu lebih bersifat kontekstual. Bahkan, kebanyakan hukum sosial yang ada dalam Al Qur’an, selalu ada pengecualiannya.  Hukum yang terkait dalam ibadah ritual, yaitu misalnya mengenai perintah; shalat lima waktu, yang dianggap sangat penting, secara explisit tidak disebutkan dalam Al Qur’an. Kalaupun ada, adalah pada Hadits, itupun pada Hadits peristiwa Mirajd yang sama sekali tidak disebutkan dalam Al Qur’an ( kecuali Isra’).  Kalau ada yang explisit, maka ada perintah shalat tiga waktu. Karena itulah kaum Syi’ah, memegang shalat 3 waktu.
Kalau dialog langsung antara Allah dan Nabi Muhammad , bahkan terjadi tawar menawar secara langsung, dalam peristiwa Mirajd, maka kalau peristiwa itu benar; kedudukannya “ tawar menawar shalat antara Nabi dan Allah”, kedudukannya lebih tinggi dari Al Qur’an. Karena wahyu yang diperoleh Nabi dan yang menjadi Al Qur’an, wahyunya  diperoleh secara tidak langsung dari Allah, apakah melalui Jibril, mimpi atau wahana lain. Hadits Mirajd, akan berharga, sebagai simbolisasi bahwa seorang Nabi pasti dekat dengan Allah, dan setiap umat islam, melalui shalat yang khusuk, melakukan mirajd kepada Allah.
Perintah shalat dalam Al Qur’an, yang sengaja tidak disebutkan Allah secara explisit, kecuali melalui tafsir, dengan menghitung ayat ayat perintah shalat termasuk shalat wustha, akan shalat akan berjumlah lima waktu. Memang ada perintah shalat secara explisit disebut tiga waktu. Hal ini sekedar  menunjukkan bahwa tata cara ritual,  sesuatu yang bukan etrmasuk ajaran aqidah, namun shalat yang didirikan secara khusuk itu jauh lebih penting. “ Celakalah mereka yang shalat, tetapi lalai dalam shalatnya”, karena shalatnya tidak dikerjakan secara khusuk.
Begitu banyak masalah pemahaman yang sudah melekat selama lebih dari seribu tahun, sehingga kita sulit menemukan kebenaran ajaran, sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad. Karena kini, orang telah banyak yang melebih lebihkan ajaran. Disatu sisi ajaran semakin kompleks, dilain sisi banyak yang  terlalu dimudahkan prinsipnya. Yang prinsip menjadi tidak prinsip yang tidak prinsip menjadi prinsip.
Kembali kepada hakekat ajaran, sebagaimana diwahyukan Allah dan diajarkan Nabi Muhammad, memang tidak mudah. Apalagi kini kita sudah terjebak pada “pemahaman nenek moyang”, yang dikaitkan dengan pemahaman dan pemikiran para ulama besar yang harus dan telah dihormati.  Apakah mungkin kita menembus barikade ini?
Mungkin kini masanya telah tiba, dimana kemajuan informasi telah meluas dan dapat diakses dengan mudah oleh hamper semua orang.  Taka da yang perlu dibedakan ajaran kepada awam dan ahli tasauf.  Ilmu hukum islam/ syari’at dan filsafat juga tidak bisa hanya dimenopoli oleh kaum atau kelompok umat tertentu. Kita semua umat islam, harus mulai mandiri dalam beragama. Bukankah yang akan diadili amal perbuatan kita, juga kita sendiri dan bukan orang lain? Setiap manusia harus mau dan mampu mendalami ajaran agamanya, karena setiap orang adalah ahli kehidupan dan ajaran Allah adalah ajaran kehidupan.  Hubungan kita dengan Allah bersifat personal. Hasil hubungan kita dengan sesame manusia dan alam, adalah berupa;  amal shaleh dan perilaku ahlak mulia serta menghargai perbedaan.
Kita tidak perlu takut sesat, akrena kita semua sedang berproses menuju “jalan yang lurus, yang diridhai Allah”. Asakan hal itu dilakukan dengan tulus dan sungguh sungguh, menjauhkan egosime,  pikiran sempit ( fanatisme) serta  nafsu dan perasaan negatip. Selanjutnya Allah sendiri yang akan bekerja.
Bila kita semua mau melakukan hal diatas, maka setiap umat akhirnya akan sampai pada muara kebenaran yang sama.  Hakekat kebenaran ajaran islam, terletak pada penghargaan pada  perbedaan, amal shaleh, perilaku ahlak mulia, kedamaian dan kasih sayang. Maka setiap jiwa akan mencapai kesuciannya, memantapkan dirinya dan  memberikan kontribusi pada kemajuan peradaban kehidupan yang baik. Umat islam  tidak lagi terpuruk, semua umat akan maju bersama sama, yang terpenting setiap jiwa akan mencapai kematangannya, dijaga kesuciannya, tetap hidup didunia, sekalipun tidak terikat pada dunia.



Reinkarnasi dan Tujuan Pensucian Jiwa
Kalau tujuan kehidupan manusia adalah untuk kematangan jiwa dengan tetap menjaga kesucian jiwanya, maka kesucian jiwa dapat dianggap salah satu  tujuan antara.  Dan tujuan akhir kehidupan manusia bukan memperoleh pahala surga atau  mendapatkan hukuman neraka ( yang masih merupakan unsur dikotomi), melainkan;  “ dari Allah kembali kepada Allah”.  Itulah  terminal akhir rangkaian kehidupan manusia ( akhirat).  Seperti telah dijelaskan bahwa  hukuman neraka dan pahala surga , didalamnya masih ada proses, karena itu dapat dianggap bahwa surga dan neraka, merupakan simbolisasi reward and punishment.  Kalau didalam surga dan neraka  masih ada promosi, maka hal itu dapat ditafsirkan  sebagai suatu proses kehidupan itu sendiri. Karena Allah Maha Suci, maka hanya jiwa manusia yang suci  yang dapat kembali kepada Allah.
Siapapun manusianya, bila pada saat kematiannya belum mencapai kesucian jiwa, maka dirinya perlu menjalani kembali kehidupan  didunia ( atau ditempat lain).  Demikian seterusnya, sehingga dirinya mencapai kesucian jiwanya., sehingga dapat :            “ Kembali kepada Allah” . Suatu keadaan  yang tak bisa digambarkan, namun tanpa dikotomi. Sementara itu surga digambarkan sebagai kondisi penuh kenikmatan dan kesenangan, yang dikotomis dengan  keadaan neraka, yang penuh penderitaan. Kembali kepada Allah, adalah suatu keadaan yang dapat dikatakan, dalam kata kata, kecuali mungkin dapat dikatakan sebagai keadaan penuh kedamaian, ketenangan, kasih sayang dan kebahagiaan, keadaan tertinggi yang dapat digambarkan manusia.  Atau bisa pula dianggap  sebagai “perjumpaan dengan Allah” atau “ menyatunya hamba dengan Sang Khalik” atau “ jumbuhing kawulo lan Gusti” atau “ an al Haq” atau kata lain  yang  sepadanan.
Kehidupan kembali, umumnya dikenal sebagai reinkarnasi, sebagaimana difahami melalui ajaran Hindu atau ajaran Budha. Reinkarnasi pada ajaran Hindu, yang mengenal adanya kasta yang hirarki dan turun temurun, tidak sama dengan ajaran Budha, yang tidak mengenal hirarki dan struktur.  Reinkarnasi yang penulis sampaikan adalah reinkarnasi,  atau kehidupan  kembali , dimana kelahiran kembali hanya dari manusia ke manusia, dan tidak ke mahluk lain, apalagi binatang, karena binatang ( secerdas apapun) bukan mahluk yang berakal budhi.
Melalui kelahiran kembali, maka segala amal perbuatan yang belum diperhitungkan pada kehidupan  sebelumnya, akan diwujudkan dalam kehidupannya kembali. Sehingga  Allah memang tidak perlu menetapkan nasib seseorang, melainkan semua itu adalah hasil amal perbuatan manusia bersangkutan. Perhitungan segala  amal perbuatan manusia, pada kehidupan sebelumnya diperhitungkan secara rinci dan ditungkan dalam  bentuk  potensi intrinsik, termasuk kemudahan dna kesulitan atau protensi pengembangan yang diterima di awal kehidupannya kembali. Dan proses  kehidupan itu misinya adalah, proses pematangan jiwa dan peningkatan  mutu kehidupan  dan  memajukan peradaban kehidupan manusia.  
Masalahnya  adalah, bagaimana kehidupan jiwa manusia disaat awal kehidupannya?   Seperti telah disampaikan bahwa setiap  penciptaan jiwa, Allah telah membuat perjanjian dengan yang bersangkutan. Janji tersebut, yang disimbolkan sebagai pengakuan terhadap Allah, yang maksudnya  adalah pemahaman terhadap ajaran Allah berupa pemahaman terhadap ketentuan dan hukumNya serta  penugasan dan misi kehidupan didunia. Dengan diberikan potensi intrinsik tertentu  yang dibutuhkan dan atau disesuaikan   dengan tugas kehidupannya masing masing. Itulah yang disebut sebagai kodrat.
Dalam Al Qur’an, masalah reinkarnasi ini sengaja terselubungi,  yang hanya akan dapat difahami kalau kita mampu menembus selubung atau hijab. Mungkin hal ini sengaja ditutup Allah, menunggu waktu yang tepat. Karena dalam Al Qur’an sesungguhnya terdapat berbagai ayat ayat yang dapat difahami sebagai ajaran reinkarnasi. Kehidupan umat yang hanya sekali sepanjang kehidupan, akan terlalu sederhana dan menggantungkan manusia pada “pengampunan Allah”, untuk menghapus dosa atau kesalahan manusia. Karena hanya sedikit saja manusia yang mampu mencapai kesadaran spiritual, dalam kondisi jiwa yang suci, sebagaimana dikehendaki Allah. Karena itu wajar bila manusia diberikan kesempatan untuk menjalani  kehidupan sehingga mencapai pemantapan jiwa dan memberikan kontribusi bagi peningkatan kualitas kehidupan dengan tetap mampu menjaga  dan atau  mengupayakan kesucian jiwanya.


Tujuan Akhir Kehidupan Manusia
Apakah sebenarnya diharapkan manusia dalam kehidupan ini? Apakah yang diharapkan manusia pada kehidupan di akhirat? Apakah yang diharapkan dari tuntunan Allah pada kehidupan dunia ?  Apakah hadiah kehidupan akhirat yang diharapkan manusia di a khirat?  Dalam bahasa sederhana harapan manusia didunia dan akhirat, adalah: Kebahagiaan !  Dalam bahasa tasauf, hal itu akan kita peroleh melalui;                   “ bersatunya hamba dengan Allah – jumbuhing kawulo lan Gusti- an al Haq ”. Yang menurut Al Qur’an, adalah : “Innalilahi wa inna lilahi roji’un- dari Allah kembali kepada Allah”.  Tujuan , tempat, wadah atau apa saja, yang tidak lagi mengenal unsur dikotomi, karena kita kembali kepada Allah – Sang Maha Pencipta- Sang Maha Suci.  Meskipun penggunaan kata kata “ inna lilahi wa inna lillahi roji’un”, sering hanya  dimaknai umat secara terbatas,  sebagai ucapan yang  ditujukan kepada orang yang meninggal, yang bisa saja  di akhirat setelah pengadilan akhir itu nantinya bisa  masuk surga atau sebaliknya masuk neraka. Padahal itulah essensi tujuan akhir kehidupan manusia.    
Kembali kepada Allah! Dari Allah kembali kepada Allah, seperti yang telah disampaikan, adalah suatu kondisi yang  dalam ungkapan bahasa manusia, adalah kondisi, penuh; kedamaian, ketenangan, kasih sayang dan kebahagiaan. Suatu  kondisi  yang sebenarnya diluar bayangan manusia atau ungkapan apa saja. Hanya Allah yang nyata, hanya Allah yang kekal, bukan ciptaanNya, sekalipun itu surga dan neraka.


Apa yang dituliskan diatas kalau benar hanya milik Allah, kalau keliru milik penulis ; Walahu’alam.