Menuju Hakekat Ajaran Allah
Adalah merupakan
kenyataan bahwa umat islam hingga saat ini dalam kondisi terpuruk. Sebagai indikator
dari keterpurukan umat adalah diabaikannya penggunaan akal pikiran, sementara
ajaran islam diyakini sebagai agama akal. Seolah masalahnya hanya terletak pada
pengamalan, padahal hal itu pada aspek pemahaman ajaran. Karena pemahaman terhadap pemaknaan
penggunaan akal pikiran telah keliru, maka hal itu menjadikan umat islam bukan
umat yang menguasai dan mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Demikian
juga dengan masalah ucapan bila umat
akan memulai sesuatu dengan mengucapkan basmalah, yang tujuan untuk mendorong
agar umat islam, menjadi umat yang penuh kasih sayang, sebagaimana Allah mencurahkan
kasih sayang kepada seluruh umat, tanpa kecuali. Namun dalam banyak hal, umat
islam seringkali merasa dirinya paling
baik dan benar dan mengabaikan sifat kasih sayang. Kondisi ini menunjukkan bahwa terdapat masalah pemahaman dan pengamalan ajaran Islam. Ini
hanya dua contoh dari banyak contoh lainnya.
Pada umumnya umat islam,
menganggap bahwa masalah pemahaman ajaran sudah final, yang menjadi masalah
adalah pengamalan. Mengapa demikian? Sebab
kalau masalahnya hanya pada pengamalan, maka jumlah umat islam yang telah
mencapai 1,4 milyar orang, maka pasti pada suatu kelompok, disuatu wilayah pada saat ini kehidupannya dapat menjadi contoh dan patut diteladani.
Kejayaan umat memang
bukan tujuan beragama islam, namun
kejayaan didunia dalam makna tercapainya tujuan kehidupan dunia sebagaimana
diamanatkan Allah, adalah indikator
penting dari suatu keberhasilan pemahaman islam yang baik dan benar.
Tulisan ini merupakan
suatu proses pendalaman yang cukup lama, sebagai upaya untuk memahami ajaran
Islam, ajaran Allah dengan mencoba menggunakan segenap potensi akal pikiran yang dimiliki (
baik rasional, emosional dan spiritual). Disamping itu juga melakukan pemahaman kritis, yang bila diperlukan tidak
lagi menggunakan pemahaman yang telah ada. Yang karena proses sejarah, tidak mustahil apa yang kini menjadi pemahaman dan
keyakinan, adalah merupakan ajaran turun temurun dari nenek moyang. Disamping Al Qur’an yang digunakan sebagai acuan
utama, maka berbagai ajaran agama yang ada, telah dicoba untuk dikaji dan
didalami essensi atau hakekat ajaran. Karena ajaran agama pada saat ini telah
menjadi ajaran yang rumit dan kompleks dan banyak yang telah dibumbui dan
dikembangkan manusia.
Apa yang penulis
lakukan, bukan suatu pendekatan normatif,
juga bukan pendekatan ilmiyah, tetapi mencoba melakukan pemikiran bebas,
jauh dari penggunaan pakem yang selama
ini telah digunakan umat dalam membahas pemahaman ajaran agama, khususnya
ajaran islam. Penulis mencoba melakukan pemahaman secara kaffah dan sekomprehensif
mungkin. Agar tulisan ini ringkas, maka yang disampaikan hanya merupakan highlight, sehingga hanya mengarah pada
aspek yang paling hakiki atau essensial.
Dengan menganggap bahwa masalah utama bagi umat islam, adalah masalah pemahaman. Karena dengan pemahaman yang baik dan benar, maka barulah kita mampu mengamalkan ajaran dengan; tepat, baik dan benar. Jalan lama sudah berakhir, kita memerlukan jalan baru.
Paling tidak, apa yang penulis lakukan adalah suatu upaya mencoba memahami hakekat ajaran Allah, sekalipun terpaksa mendobrak sebagian pola pikir dan pemahaman serta keyakinan yang ada. Dengan suatu harapan bahwa, mudah mudahan Allah membimbing apa yang penulis lakukan.
Paling tidak, apa yang penulis lakukan adalah suatu upaya mencoba memahami hakekat ajaran Allah, sekalipun terpaksa mendobrak sebagian pola pikir dan pemahaman serta keyakinan yang ada. Dengan suatu harapan bahwa, mudah mudahan Allah membimbing apa yang penulis lakukan.
Penciptaan Manusia dan Tugas Kehidupannya.
Dari mana manusia
berakal, apa tugasnya dan kemana tujuannya, sering dibahas dan dicoba didalami.
Meskipun tetap saja banyak yang belum kita ketahui. Kita hanya bisa meyakini bahwa Allah adalah pencipta
manusia, yang tugas kehidupannya tidak
sia sia.
Allah menciptakan alam
semesta dengan mahluk didalamnya
adalah bagi kepentingan
manusia. Sedangkan Allah menciptakan
manusia melalui dua proses, Pertama adalah dengan menciptakan jiwa manusia.
Kedua, menciptakan manusia secara phisik melalui proses alami/ keduniaan.
Allah menciptakan jiwa
manusia di alam malakuut, yang jumlahnya sebanyak dianggap Allah cukup.
Kemudian Allah membuat perjanjian dengan setiap jiwa manusia, dalam rangka manusia memahami “ keberadaan
Allah” dan memahami tugas dan misi
jiwa, mulai dari awal kehidupannya didunia. Memahami keberadaan Allah,
mempunyai makna ; menerima ajaranNya dan penugasan dirinya dalam menjalani
kehidupan didunia. Jiwa diciptakan dalam
keadaan suci dan langsung menyatu dengan tubuh phisik manusia, bersamaan dengan
terjadinya proses pembuahan ovum oleh sperma ( zygote) yang terjadi dalam kandungan ibu. Kesucian yang dimaksud pada dasarnya adalah suatu keadaan dimana sesuatu itu; “ tidak melekat pada kehidupan keduniaan”.
Selain dari itu, Allah juga
meniupkan ruh dzatNya pada manusia, disaat
janin berusia 4 bulan di dalam perut ibu; ruh tersebut pada dasarnya merupakan sarana
untuk membimbing manusia dalam menjalankan
kehidupannya. Berbeda dengan
jiwa yang mengalami proses pematangan
dan kemantapan melalui kehidupan
ini, maka ruh bebas dari proses apapun
yang dilakukan manusia. Karena itulah maka dikatakan bahwa jiwa menjadi
tempatnya pahala dan dosa dari amal
perbuatan manusia. Banyak tulisan yang
mengaburkan perbedaan makna dan peran antara ruh ( spirit- ar ruh) dan jiwa (
soul- an nafs), apalagi akibat
berkembangnya ilmu kejiwaan.
Manusia sebagai mahluk
yang berakal budhi, disimbolkan melalui penciptaan Adam yang sekaligus diangkat
sebagai Nabi. Karena Adam adalah simbolisasi manusia yang diberi pengajaran oleh Allah , yang dalam Al Qur’an disebutkan bahwa Allah
mengajarkan ;“ nama nama”, yang pada
dasarnya adalah “pengetahuan” . Yang kemudian
dikisahkan juga melalui bentuk “pelanggaran
oleh Adam dan Hawa”, dengan memakan buah kuldi, yang pada dasarnya adalah
buah pengetahuan baik dan buruk atau buah akal dan budhi, suatu pengetahuan yang menjadikan Adam mengenal baik dan buruk; pengetahuan
sekaligus keadaan yang bersifat dikotomis.
Karenanya Adam dinilai tidak layak untuk tetap tinggal di surga yang tidak bersifat
dikotomis dan serba ada. Yang
digambarkan oleh Allah, sebagai pengusiran Adam dan Hawa
dari surga ke dunia, tempat yang serba dikotomis yang untuk menjalani kehdupan didalamnya memerlukan
upaya ( kerja-karya).
Alam dan segala isinya dan manusia, pada dasarnya diciptakan Allah melalui proses evolusi, sebagaimana keberadaan alam
semesta dan binatang dan tumbuh tumbuhan ( yang terus bermutasi dan berevolusi
), demikian juga mahluk yang dinamakan manusia. Sekalipun simbolisasi
penciptaan alam dilakukan Allah dalam “tujuh
hari atau masa”, namun itu adalah “hari/
masa bagi Allah”. Sebutan nama hari,
dapat dibedakan antara” harinya Allah dan “harinya manusia”. Harinya Allah, bisa saja lamanya jutaan atau
milyardan tahun, menurut ukuran manusia. Sedangkan makna harinya manusia, baru tercipta
akibat terjadinya proses perputaran matahari terhadap bumi.
Meskipun alam tercipta
melalui proses evolusi, tidak berarti
bahwa Allah tidak Maha Besar. Kalau ilmu pengetahuan itu telah mencapai
kebenaran, maka kebenaran ajaran Allah
pasti sejalan dengan ilmu
pengetahuan. Karena mujizat apapun yang
dilakukan Allah, tidak akan bertentangan dengan hukum yang ditetapkannya. Hanya saja bisa jadi hukumnya mujizat, belum
dikenal manusia, yang bisa terjadi akibat persinggungan antar dimensi.
Dengan lain perkataan
kalau teori evolusi telah terbukti kebenarannya, maka hal itu sama sekali tidak
mengecilkan kebesaran Allah. Bersamaan
dengan penciptaan Adam melalui penciptaan spiritual, maka bersaaman itu mahluk yang berwujud
seperti manusia telah mencapai kesempurnaan phisik. Sehingga manusia itu siap
menjadi mahluk phisik yang dimasuki daya spiritual, yang menjadikan manusia
sempurna baik phisik maupun
spiritualnya. Dalam wujud manusia
sempurna seperti itulah, maka manusia tumbuh dan berkembang bersama anak anak
Adam, berkembang biak mengisi dunia dari
dahulu hingga masa kini.
Manusia dalam pemahaman
tersebut, mendapatkan anugerah Allah, berupa potensi intrinsik yaitu; tubuh phisik
dan jiwa yang dilengkapi
dengan akal pikiran, nafsu, perasaan ,
disamping sebagai wadah bagi ruh dzat
Allah. Selain dari itu, setiap manusia mempunyai fitrah yang unik dan spesifik, sehingga satu
sama lain berbeda sehingga tugas dan misinya didunia juga berbeda beda. Perbedan antara manusia ini dapat ditandai
dari aspek phisik, seperti; sidik jari, kornea mata, hingga DNA dsb, disamping
juga perbedaan aspek non phisik seperti;
potensi akal pikiran, nafsu dan perasaannya. Meskipun
berbagai potensi itu dapat disederhanakan sebagai “akal pikiran”, hal ini dibuktikan bahwa manusia dapat menyadari
keberadaan dirinya, adalah karena akal pikirannya. “ Karena saya berpikir maka saya ada”. Keberadaan yang dapat membentuk pemahaman dan
keyakinan agama.
Tugas dan Misi Allah,
seperti yang telah disampaikan adalah agar (jiwa) manusia dalam perlu menjalani kehidupan didunia, adalah untuk menyempurnakan dan memantapkan penciptaanNya. Karena itu,
dapat dikatakan bahwa tugas dan misi utama manusia dalam menjalankan kehidupan didunia, adalah
untuk mematangkan jiwa dan meningkatkan mutu kehidupan. Karena jiwa itu
diciptakan suci maka, kehidupan manusia itu
dapat dikatakan sebagai ; tetap perlu
menjaga kesucian jiwanya. Sehingga kesucian jiwa tidak menjadi tujuan,
namun upaya penjagaan kesucian jiwa. Kecuali kalau jiwa itu terlanjur
terkotori, maka perlu kembali diupayakan kesucian jiwanya.
Proses pematangan dan pemantapan
jiwa dalam kehidupan dunia terjadi melalui proses; pengamalan, ujian , cobaan
dan godaan terhadap manusia. Yang bisa dalam bentuk sesuatu yang menarik jiwa manusia,
dalam bentuk; kenikmatan, kepuasan dan
kesenangan dunia. Disamping itu manusia juga bisa dalam bentuk ; rasa
kekhawatiran, penderitaan dan ketidak-amanan. Atau yang secara sederhana, dapat kita sebut sebagai; godaan berupa keterikatan pada kehidupan atau kemelekatan jiwa pada kehidupan dunia.
Kehidupan dunia, yang
serba dikotomis, meliputi ; baik dan buruk
, kejahatan, siang dan malam, yin dan yang
dsb. Dalam kaitan ini, mahluk yang dikenal sebagai; malaikat dan iblis/
syaitan, sesungguhnya sengaja diciptakan Allah, antara lain sebagai simbolisasi
unsur dikotomi dikehidupan dunia.
Malaikatjuga dapat ditafsirkan sebagai simbolisasi dari
sifat ; ketertundukan, keimanan, kepatuhan dalam kebaikan dan sifat positip
lainnya. Sebaliknya syaitan, sebagai
simbolisasi dari sifat; kedzaliman, kejahatan, ketidak adilan dan hal negatif lainnya.
Karena manusia berada
dalam kehidupan dunia yang berupaya menarik atau mengikat jiwa manusia, maka
manusia disebutkan sebagai mahluk yang ;“cenderung
pada kejahatan”. Sejak jiwa manusia
berada didunia ( dimulai sebagai janin), kemudian menjadi ; bayi, menjadi
anak anak, kemudian beralih remaja, selanjutnya menjadi dewasa dan menjadi tua; manusia selalu
bergelut dengan upaya memenuhi
kebutuhan phisiknya yang serba duniawi.
Seperti pangan, sandang dan papan, yang kemudian meningkat pada berbagai
kesenangan dan kenikmatan hingga pada
aktualisasi diri yang serba keduniaan, semua ini telah memupuk egosimenya dan
pola piker/mind-set- nya. Hal ini
disebabkan, karena kehidupan dunia difahami sebagai kehidupan yang paling konkrit dan
nyata baginya.
Karena itulah maka
ditahap awal ajaran kehidupan, manusia didorong dan dingatkan; untuk berbuat
kebaikan. Hal ini sebagai pelajaran awal agar manusia tidak mementingkan diri ,
keluarga dan golongannya ( egoism). Yang
pada tingkat dan proses selanjutnya, maka manusia diharapkan mampu memerdekakan diri,
melepaskan diri dari kemelekatannya pada
kehidupan dunia. Ajaran agama pada umumnya, mengajarkan agar manusia
menjalankan tugas didunia tanpa harus terikat atau melekatkan jiwanya pada
kehidupan dunia.
Sebagai indikator, bahwa
manusia pada umumnya melekat pada kehidupan dunia, antara lain dapat dibuktikan
bahwa misalnya dalam memahami ajaran agama, maka terhadap semua aspek ajaran yang
sifatnya ghaib atau spiritual bahkan terhadap Allah sekalipun, selalu mengungkapkannya dengan ukuran keduniaan.
Bahkan Allah juga digambarkan sebagaai
sesuatu yang mempunyai wajah, kaki, tangan hingga singgasana ( Arysh ) yang
kita bisa menjumpai Allah secara phisik. Karena itu manusia telah terbiasa dan
memang selalu meliputi dirinya dalam kehidupan dunia, sehingga semua kehidupan akhiratpun
diukur dengan ukuran duniawi.
Bahkan untuk menjadikan
manusia bisa menyadari bahwa dirinya itu melekat mind-set, keduniaan memang
sulit. Apalagi terhadap kaum beragama, yang menganggap bahwa mereka adalah umat
yang paling menetang kehidupan sekuler. Karena agama yang mengajarkan ajaran
spiritual, disamping ajaran keduniaan, tanpa disadari telah dijadikan ajaran spiritual
yang disekulerkan.
Ajaran Allah
Karena tanggung jawab
dan kasih sayang Allah kepada manusia, maka Allah mengajar kepada manusia ajaran
dan tuntunan kehidupan. Hal ini dimaksud
sebagai pedoman bagi manusia dalam memahami kehidupan dan hukum hukum kehidupan,
serta tatanilai kehidupan yang dapat
dijadikan dasar dalam menetapkan arah kehidupannya masing masing. Meskipun
dapat dikatakan bahwa, karena Allah yang menugaskan manusia untuk menjalankan
kehidupan didunia, maka wajar apabila Allah memberikan ajaran, pedoman dan
acuan kehidupan.
Ada 3 bentuk cara
pengajaran yang dilakukan Allah. Pertama,
adalah ajaran yang digelar dialam
semesta dengan segala isi dan kehidupan
didalamnya. Darinya manusia akan dapat memikirkan dan memahami ajaranNya terutama
hukum hukum dan tata nilai didalamnya. Kedua , adalah dengan memberikan wahyu berisi
ajaran dalam bentuk deskriptif kepada seseorang yang dipilihNya atau menunjuk Nabi sebagai utusanNya, untuk
diterukan kepada semua manusia. Untu itu
para Nabi juga diberikan kemampuan untuk; menjabarkan, memberikan keteladanan,
mengingatkan dan mengajarkan, yang
kemudian seluruh ajaran dan
keteladanan itu disebut sebagai agama.
Yang pada dasarnya yang mengajarkan; hakekat/ aqidah/ essensi ajaran kehidupan dan ajaran yang bersifat
kontekstual, berlaku dalam kondisi tertentu sebagai contoh kasus. Semua ajaran
itu dapat dikelompokan dalam bentuk ibadah kepada Allah yang terdiri dari dua
ibadah: ibadah ritual ( ubudiyyah) dan
ibadah muamallah ( amal shaleh dan perilaku ahlak mulia). Ketiga, adalah ajaran yang dimasukkan kedalam diri manusia.
Disamping Allah telah membuat perjanjian dengan setiap jiwa, kepada setiap manusia
ditiupkan ruh, dzat Allah kedalamnya. Yaitu sebagai sarana yang mendampingi dan mengajar setiap diri manusia, ajaran Allah yang lebih bersifat spesifik yang sifatnya
individual. Ajaran ini hanya “dapat
didengar dan menjadi pengingat diri manusia”, melalui proses/ upaya dengan persyaratan tertentu.
Umumnya umat manusia
hanya mengenal bentuk ajaran yang kedua, karena wujudnya seolah paling konkrit.
Padahal ketiganya sama sama konkritnya, atau sebaliknya bisa dianggap sama sama
abstraknya. Ketiga ajaran itu bukanlah suatu yang instant, berupa ajaran yang sepenuhnya
siap pakai pada setiap masalah dan tahapan kehidupan, namun merupakan ajaran
yang perlu difahami dan di-imani. Agar manusia dapat memahami ajaran dengan baik dan benar, memerlukan proses. Dan pemahaman itu menjadi berharga kalau
kemudian diamalkan. Sesungguhnya seluruh
ajaran Allah tergelar dialam semesta, meskipun ajaran yang paling mudah adalah
mempelajari keteraturan alam, sehingga dapat difahami berbagai hukum alam. Dengan
memahami alam semesta dengan segala hukum hukum yang berlaku serta sejarah
kehidupan didalamnya, maka terdapat pelajaran
yang nyata, yang perlu proses untuk direnungkan,
dipikirkan dan didalami. Karena itulah maka wahyu pertama yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad, adalah “5 ayat
surah Al Alaq atau iqra”, wahyu ini dapat dikatakan sebagai sarana pencerahan / membuka
hijab Nabi dalam memahami ajaran Allah
sekaligus pembaptisan Muhammad sebagai Nabi.
Sedangkan pada para Nabi lainya,
dilakukan dengan cara berbeda. Karena para Nabi bukan sekedar terompet Allah,
namun mampu mendalami dan menghayati ajaran Allah.
Dalam Al Qur’an,
dijelaskan perlunya umat menghormati dan meyakini keberadaan para Nabi utusan
Allah, disamping mengakui ajaran yang dibawakannya. Bahkan Allah menegaskan
bahwa Allah tidak membeda bedakan para Nabinya, dan masing masing Nabi diberikan kelebihan sendiri sendiri
karena kebutuhan jamannya masing maisng dalam meyakinkan umatnya. Karena itu
para Nabi pada dasarnya diberikan ajaran dari Allah yang hakekatnya adalah
sama. Ditangan manusialah maka ajaran
para Nabi itu itu menjadi berbeda beda.
Karena itu, apapun yang telah terjadi sumber semua ajaran agama, adalah Allah,
Allah Yang Maha Tahu, baik masa lalu, masa kini dan masa datang.
Khususnya ajaranNya yang
tertuang dalam Kitab Suci, adalah berupa ajaran kehidupan, ibadah ubudiyyah (ritual)
dan ibadah muamallah ( sosial), ajarannya ada yang pemahamannya bersifat explisit ada yang implisit, ada yang phisikal
ada yang spiritual, ada yang yang
bersifat hakiki / aqidah/ essensial dan ada
yang bersifat kontekstual.
Terhadap ajaran para Nabi yang kemudian disusun oleh
umatnya menjadi Kitab Suci, bahkan Nabi Muhammad sebagai Nabi terakhir yang
jamanya paling mutakhir, tidak
menyaksikan dan menyesyahkan perumusan/ penulisan Al Qur’an. Apalagi para Nabi
yang ajarannya baru dituliskan ratusan tahun setelah para Nabi bersangkutan
wafat, yang bahkan Kitab Suci agama agama itu dilakukan beberapa kali revisi
dan pelengkapan. Meskipun demikian, Allah pasti menjaga kemurnian semua ajaranNya,
sekalipun penjagaan oleh Allah, bisa jadi tidak kata perkata sebagaimana telah
dituliskan menjadi Kitab Suci oleh manusia. Karena itu semua Kitab Suci diwahyukan
dan dituliskan penuh dengan bahasa perumpamaan, kiasan dan simbol, suatu yang
tak mungkin dihindarkan karena dinyatakan didalam Kitab Suci itu sendiri.
Apalagi ajaran didalamnya memuat ajaran tentang masa lalu dan masa depan yang
abstrak, disamping ajaran tentang yang ghaib hingga maha ghaib, yang non
phisik. Karena yang terpenting dalam hal ini, Allah pasti menjaga hakekat
ajaran didalamnya.
Pada tahap awal manusia
dapat memahami ajaran secara explisit/ eksotoris sebagaimana makna tertulis,
namun pada tahap selanjutnya perlu
memahami yang implisit/ isotoris yang maknanya . Demikian juga dengan ruh dzat
Allah yang mendampingi manusia. Ruh yang sebenarnya selalu membisikkan kepada manusia ajaran Allah , yaitu kalau
jiwa manusia mampu mengendalikan; akal pikiran, nafsu dan perasaan manusia. Atau
manusia dalam kondisi meditatif / khusuk. Maka melalui pengalaman kehidupan pribadi, manusia
dapat melakukan evaluasi dan penghayatan, agar kita dapat mendengar bisikan atau ajaran dari ruh. Banyak cara bagi manusia untuk memahami dan
mendalami serta mengimani ajaran Allah
serta mengamalkannya dalam kehidupan.
Kitab Suci sebagai Kitab tertulis,
seolah paling mudah, karena kita bisa membacanya dan seolah dapat
langsung memahaminya. Padahal itu adalah langkah awal, membaca dan memahami
makna secara explisit.
Ajaran Allah, memang
sederhana, hanya saja begitu banyak pendekatan pemahaman yang dapat dilakukan.
Kesederhaan ajaran Allah akan kita fahami, kalau mempelajari ajaran secara
kaffah, terutama kalau kita dapat
memahami hakekat atau aqidah ajaran. Namun ajaran Allah juga dapat
sedemikian luas dan amat dalam, yang tak akan tak habis habisnya untuk difahami dan dihayati.
Amanah Kehidupan
Manusia diciptakan
Allah sebagai mahluk yang paling mulia,
kemuliaan diperoleh karena manusia diberikan hak dan kebebasan ( fitrah) oleh
Allah untuk melakukan pilihan dalam
menempuh kehidupannya. Dilain pihak
dikatakan dalam salah satu ayat Al Qur’an,
disebutkan bahwa Allah menawarkan
kepada langit, bumi dan gunung gunung untuk memikul amanah, semua menolak kecuali manusia yang
bersedia menerimanya (sesungguhnya manusia itu dzalim dan bodoh).
Amanah Allah itu memang
berat, karena menyangkut tugas
kehidupan, yang dapat difahami sebagai
tugas untuk; memajukan proses pematangan jiwa dan memajukan kehidupan tanpa
keterikatan pada dunia. Tugas yang seolah olah kontroversial, sehingga hanya
orang yang “ dzalim dan bodoh”, yang
mau menerimanya. Ini hanya suatu penegasan saja, karena manusia sejak awal,
memang menerima penugasan dirinya.
Pelajaran pertama yang
dianjurkan kepada manusia dalam menjalankan
tugas dan misi kehidupannya, adalah dengan berbuat amal shaleh dan berperilaku
mulia. Agar tertuntun, maka manusia dianjurkan untuk mendekatkan diri kepada
Allah, melalui pendekatan ritual sekaligus melaksanakan amal shaleh dan
perilaku ahlak mulia.
Karena amal saleh dan perilaku ahlak mulia itu sulit
dilakukan, maka manusia cenderung melakukan
modifikasi ajaran ( dengan alas an menggunakan dasar Al Qur’an dan Hadits) ,
untuk menjadikan ibadah ritual ( dengan berbagai bentuknya) sebagai cara utama
dalam memperoleh pengampunan Allah terhadap penyimpangan ajaran yang
dilakukan. Padahal melalui upaya ritual yang khusuk, maka upaya manusia akan
dituntun dan dimudahkan Allah. Dan pengampunan Allah tidak dengan menghapus
dosa atau kesalahan, melainkan diberikannya melalui tuntunan dan kekuatan pada manusia
untuk melakukan perbaikan diri.
Seperti telah
dijelaskan, bahwa kehidupan dunia , umumnya telah menjerat manusia. Antara lain
disebabkan karena sifatnya mementingkan
diri sendiri dan keluarganya mendominasi
kehidupan. Semua orang ingin mengejar ; kekuasaan dan atau kedudukan dan atau
kekayaan, harga diri dan atau kesehatan
dan atau kehidupan keluarga yang menyenangkan. Sebagai akibatnya manusia saling
berebut, saling menjatuhkan satu sama lain, saling memperalat dan kalaupun mereka berhimpun hanyalah strategi agar
tercapai kepentingan diri dan
kelompoknya. Meskipun manusia juga
menyadari, bahwa; kenikmatan, kepuasan dan kesenangan yang dikejar dan
diperoleh itu, sifatnya hanya sementara.
Karena setelah itu, manusia silih berganti mengalami kehidupan yang penuh penderitaan,
kekhawatiran dan rasa tidak aman; setiap manusia dapat menjadi sakit atau menjadi tua dan
akhirnya mengalami kematian. Semua itu dapat menciptakan kebingungan dan
pertanyaan bagi umat manusia. Ada
yang kemudian beragama guna memperoleh harapan kedamaian atau sebaliknya menolak
agama dan menjadi kaum atheis yang hanya mengandalkan akal pikiran rasional dan
dunia nyata.
Hanya sebagian kecil
umat beragama, yang mampu memahami dan
mengamalkan ajaran Allah dengan baik dan benar, yang tercermin pada kehidupannya yang ; tenang, damai dan penuh kasih sayang serta kebahagiaan. Mereka
menjalankan tugas kehidupan dengan baik untuk
memajukan kualitas kehidupan dirinya dan memberikan kontribusi bagi peningkatan
peradaban kehidupan, tanpa terikat pada kehidupan dunia. Apapun ajaran agama yang dianutnya, karena
semua agama sumbernya adalah Allah.
Demikian kompleksnya
kehidupan itu kalau dibahas satu persatu.
Meskipun hakekat kehidupan manusia
itu sebenarnya sederhana. Yang
sebaiknya dicoba manusia untuk
ditemukan, sehingga kehidupan juga akan ditanggapi dengan mudah.
Dan uniknya setiap kejadian selalu ada yang
kontroversial , sehingga perdebatan tentang kehidupan manusia tak akan
ada habis habisnya. Sehingga masalah
kehidupan dan ajaran agama menjadi
semakin rumit dan kompleks.
Apapun yang dilakukan
manusia, melalui pilihan kehendak bebas, apakah percaya kepada Allah dan
memilih agama tertentu ataupun mereka yang menolak keberadaan
Allah; mereka semua selalu mendapatkan kasih sayang Allah. Semua manusia akan
memperoleh anugerah, berupa ; kehidupan, rezeki, ilmu dan anugerah lainnya dari Allah.
Hal ini hanya mungkin kalau apa
yang dilakukan manusia disisi Allah, adalah proses guna penyempurnaan dalam menjalankan tugas kehidupan. Meskipun
bisa jadi mereka tersesat terlebih dahulu, dan pada suatu masa akan mulai
sadar. Adalah keliru kalau agama itu hanya ditujukan untuk kaum beriman, sebab agama ( ajaran Allah) pada
dasarnya justru ditujukan kepada kaum
tidak beriman, mereka yang ingkar atau kafir.
Karena itu kenyataan kehidupan
manusia penuh dengan kontroversi. Seorang dzalim, diberinya kekuasaan dan
kehormatan. Sehingga seolah kemungkaran
dan kejahatan lebih diberikan peluang,
dibandingkan mereka yang banyak berbuat
kebaikan. Para ulama dan tokoh agama, akan
hidup penuh penghormatan apabila dekat dengan penguasa, dibandingkan
kalau dirinya menjadi acuan kebijaksanaan dan mendukung mereka yang lemah dan
tertindas. Bahkan jarang sekali dalam sejarah kehidupan manusia, seorang adil
dan bijaksana mendapatkan kekuasaan dan dijadikan raja/ kaisar/ khalifah/
pimpinan negara. Ini terjadi, baik
dimasa kerajaan Hindu, Budha, Yahudi, Nasrani
hingga kekhalifahan Islam. Meskipun manusia berupaya membangun system
untuk dapat memilih orang terbaik
menjadi pimpinannya dan menggunakan ajaran agama sebagai dasar hukum. Semua masalah sebenarnya tergantung pada
manusianya, dan bukan agama yang dipeluknya.
Dalam politik, agama sering dijadikan alat bagi para penguasa.
Karena itu ajaran agama,
seringkali diubah dan ditafsirkan, agar umat lebih bersedia berbuat kebaikan
dengan cara sederhana dan membodohkan. Misalnya dalam masalah; zakat, kolekte,
derma. Maka dijanjikan bukan saja akan mendapatkan
pahala surga, melainkan juga dapat imbalan harta yang berlipat. Sehingga orang mau berderma, karena imbalan. Inilah
salah satu hal yang ingatkan Allah agar
tidak memperdagangkan agama dengan harga
murah. Atau seolah membela Allah, padahal mereka memperjuangkan diri dan
kelompoknya, sehingga dapat dinilai sebagai “membeli
dunia dengan akhirat”.
Tujuan Kehidupan Manusia di Dunia: Kebahagiaan
Hampir semua manusia,
baik yang beragama maupun tidak beragama, sadar bahwa tujuan kehidupan adalah
untuk memperoleh kebahagiaan. Meskipun banyak yang tidak tahu makna
kebahagiaan, dan bagaimana kebahagiaan itu sebenarnya. Bahkan karena sibuknya
manusia dengan permasalahan kehidupan, akhirnya lupa, bahwa tujuan kehidupannya
adalah untuk memperoleh kebahagiaan sepanjang hidupnya.
Kebanyakan diantara kita
menganggap, bahwa; kesenangan, kenikmatan dan kepuasan adalah kebahagiaan.
Padahal kebahagiaan adalah suatu keadaan jiwa , akal pikiran dan nafsu yang
kondisinya diatas semua kenikmatan, kesenangan dan kepuasan. Suatu kondisi yang
hanya mungkin dicapai dalam kondisi spiritual
tertinggi. Suatu keadaan, bukan
saja kalau sekedar bisa berbuat amal shaleh dan beribadah ritual khusuk, namun
suatu keadaan yang lebih dari itu.
Ajaran agama selalu mengajarkan kebaikan, yang akan mengalahkan mereka yang ingkar
atau dzalim. Seolah keadaan diluar yang akan menentukan
keberhasilan kehidupan, seperti memperoleh; keadilan, kedamaian, kasih sayang
dari orang lain. Padahal kebahagiaan itu datangnya bukan dari luar, tetapi dari
dalam jiwa manusia itu sendiri. Kita bisa merasakan kebahagiaan, kalau kita
mampu melepaskan diri dari kemelekatan kita pada dunia. Kita akan bisa merasa
bahagia, kalau kita mampu tidak lagi mementingkan diri sendiri melalui berbagai
bentuk egoism. Sehingga kebahagian akan kita rasakan, karena kita berbuat kebaikan, melakukan amal shaleh
dan berperilaku ahlak mulia kepada sesama dan alam.
Kenyataannya, kita baru
merasa seolah bahagia, kalau kita
mendapatkan; kenikmatan, kepuasan dan kesenangan dunia suatu keadaan yang dapat
terjadi kalau, kita; berhasil dalam mencapai cita cita , berkuasa, kaya raya ,
sehat dan mempunyai keluarga yang menyenangkan.
Suatu keadaan eksternal. Padahal itu semua merupakan kekeliruan
pemahaman.
Pada kenyataan kehidupan,
manusia kadangkala berhasil- kadangkala gagal, kadangkala berkuasa kadangkala tak berkuasa, kadangkala
berjabatan- kadangkala harus melepaskan jabatan, kadangkala sehat- kadangkala
sakit dsb sehingga kadangkala senang -kadangkala
menderita, kadangkala nikmat- kadangkala kecewa, kadangkala optimis- kadangkala khawatir dsb dsb. Dan ini akan dihadapi semua manusia,
perbedaannya hanya masalah intensitas dan kualitasnya. Karena itu, masalahnya
adalah bagaimana dengan turun-naik kehidupan itu, kita tetap merasa bahagia.
Keistimewaan dari
keadilan Allah, terletak bahwa apa yang dirasakan dan dipikirkan manusia
bersifat relatif, sehingga dalam intensitas dan kualitas apapun tingkatan sosial
dan phisik dari berbagai
kondisi manusia, semua tetap bisa
merasakan; kesenangan, kenikmatan dan kepuasan
termasuk memperoleh kebahagiaan.
Hal yang sama juga berlaku terhadap masalah; penderitaan, kesulitan,
kekecewaan dsb, semua itu bersifat relatif dan subyektif. Dan semua manusia
dapat mencapai kebahagiaan, apapun status, fungsi dan kedudukan mereka.
Sayangnya, manusia juga
mudah membuat permasalahan baru dan atau yang dikelirukan sehingga dapat
menjerumuskan. Karena itu manusia beragama, yang menderita dan mendapatkan
ketidak adilan kehidupan dunia, harapannya
adalah kebahagiaan di akhirat. Seolah kebahagiaan diakhirat itu dapat
diupayakan didunia. Seolah kalau selama hidupnya lebih banyak melakukan ibadah
ritual, itu artinya menanam bekal bagi akhiratnya. Padahal ibadah ritual, yang
pada dasarnya mendekatkan diri kepada Allah, bukan berarti kita bisa “ mencari muka” kepada Allah. Mendekatkan
diri kepada Allah, adalah agar kita memperoleh tuntunan dalam menjalankan tugas
dan misi kehidupan didunia. Karena itulah maka Allah menyatakan; “ celakalah mereka yang shalat namun lalai
dalam shalatnya”.
Padahal kebahagiaan di akhirat hanya akan dapat
diperoleh kalau dirinya mampu memperoleh kebahagiaan dunia. Kebahagiaan hidup didunia, adalah landasan bagi
diperolehnya kebahagiaan di akhirat. Karena kebahagiaan di dunia, bukan
ditentukan oleh; harta, kekuasaan, kedudukan, kesehatan dsb yang dinilai sebagai keberhasilan dunia.
Namun ditentukan oleh kondisi jiwa dalam diri manusia itu sendiri.
Seorang yang beragama
dengan baik dan benar, mempunyai ciri
utama yaitu bahwa hidupnya penuh kebahagiaan. Kebahagiaan
yang sebenarnya bisa dilihat dari pancaran wajahnya yang cerah dan
senantiasa tersenyum dan kita akan merasa damai berada didekatnya. Kebahagiaan
itu bisa dicapai bukan karena faktor diluar dirinya, seperti ; kekayaan,
kedudukan, kesehatan dan keberadaan anak
istri dsb. Kebahagiaan yang diperoleh
karena kondisi dari dalam jiwanya, kondisi spiritual. Dan seperti kita ketahui bahwa kebahagiaan
adalah tujuan kehidupan.
Masalahnya adalah
bagaimana seseorang bisa memperoleh kebahagiaan seperti itu? Apakah
kebahagiaan itu cukup sebagai indikator bagi umat beragama yang shaleh? Seseorang
hanya bisa selalu berbahagia, kalau
dirinya mampu memahami, meyakini dan mengamalkan ajaran agama dengan
baik dan benar dalam makna seluas-luasnya.
Apakah mungkin seseorang yang atheis bisa bahagia? Seorang atheis bisa
saja berbahagia, kalau mampu menghayati makna kehidupan, namun kebahagiaan yang
terbatas, sebatas upaya yang tingkatannya rasional.
Hanya mereka yang mampu
memperoleh kebahagiaan hidup didunia akan memperoleh kebahagiaan hidup
diakhirat. Karena hanya mereka yang mampu mengamalkan ajaran Allah secara
kaffah saja yang mampu memperoleh kebahagian hidup didunia. Hanya orang yang
bahagia, yang terbebas dari penderitaan,
khawatir dan rasa tidak aman. Atau hanya mereka yang terbebas dari;
penderitaan, khawatir dan rasa tidak aman adalah orang yang benar benar beriman
dan bertaqwa. Dan orang itu bukan saja mampu mendekatkan diri kepada Allah,
melainkan juga mampu selalu beramal
shaleh dan berahlak mulia. Mampu
menjalankan fitrah kehidupan, yang
berarti juga mampu menjaga kesucian jiwa. Selalu berupaya dengan aktif, namun tulus dan ichlas, dan
menerima apapun hasil upaya dengan rasa syukur.
Masalah apapun dalam
kehidupan pada ujungnya akan berproses
melalui akal pikiran, nafsu, perasaan . Persoalannya adalah, bagaimana memperoleh kekuatan/ enersi, arah dan kemampuan
untuk menggerakkan akal pikiran, nafsu dan perasaan dengan baik dan
benar.
Kebanyakan umat
beragama, umumnya menjadi kaum awam dan taklid. Mereka bertumpu atau
menggantungkan pemahaman dan keyakinan dirinya pada kepada kaum; ulama atau
pendeta atau biksu dsb dan atau para tokoh agama. Padahal kependetaan itu ditolak, baik
oleh Budha Gautama maupun Nabi Muhammad
dan demikian juga ajaran para Nabi lainnya ( kecuali yang sudah diselewengkan
manusia). Manusia didorong untuk mandiri dalam beragama, apalagi agama adalah
ajaran kehidupan dan setiap diri manusia
adalah ahli bagi kehidupannya. Manusia
harus mendayagunakan segenap potenti dirinya dalam memahami ajaran Allah. Tak perlu kita takut
sesat, karena kalau diekrjakan secara tulus dan sungguh sungguh Allah yang akan
menuntun. Apakah kalau kita mengikuti pemahaman dan pemikiran orang lain, sekalipun
dirinya seorang ulama yang diagungkan maka kita dijamin tidak sesat? Apalagi yang difahami ulama itu belum tentu
kita fahami dengan baik dan benar.
Kalaupun sesat, maka itu
hanyalah proses. Kunci menjadi ahli agama, tidak sama dengan ahli ilmu manusia.
Seoang yang yang mendalami ajaran agama , ajaran Allah adalah kesungguhan dan
ketulusan, selebihnya Allah yang
mengajar setiap manusia. Terutama
melalui ruh dzatNya yang ada dalam diri setiap manusia. Apalagi kita tahu,
bahwa fitrah manusia terbesar adalah bahwa setiap manusia dianugerahkan Allah
potensi intrinsik dan pengembangan yang unik dan spesifik demikian juga tugas dan misi yang
ditetapkan Allah kepada setiap manusia itu berbeda beda.
Perlu kita fahami, bahwa
ajaran Allah atau ilmu Allah itu berbeda
dengan ilmu yang diciptakan manusia. Ilmu agama, kalau kita dalami, sebenarnya adalah ilmu
yang diciptakan manusia. Karena ajaran Allah adalah ajaran yang ada dalam Al
Qur’an.
Karena itu, mereka yang
dikatakan ulama dimasa lalu, adalah manusia yang menguasai berbagai ilmu
manusia, yang kemudian secara khusus mendalami ilmu agama. Sehingga ulama
dimasa lalu, umumnya juga ahli dalam berbagai ilmu ciptaan manusia yang kemudian akan memberikan kemudahan dalam
mendalami ilmu Allah, melalui Kitab Suci.
Namun sayangnya banyak ulama, yang hanya mendalami ilmu agama, dan
menganggap dengan demikian menganggap bahwa dirinya menguasai ajaran
Allah. Ayat 80-82 surah Al Kahfi, yang memerintahkan Nabi Musa seorang Nabi
yang dibimbing wahyu Allah yang pasti kita anggap menguasai ilmu Allah,
ternyata harus belajar pada seorang hamba yang shaleh dan diberi rahmat dan
ilmu disisi Allah. Jelas mengajarkan
kepada kita bahawa rahmat dan ilmu dari sisi Allah bisa diberikan kepada siapa
saja.
Hal ini bukan berarti
keberadaan para ulama ( yang ahli ilmu) tidak ada gunanya. Namun jangan jadikan
pemahaman dan pemikirannya seolah sebagai suatu kebenaran, karena kebenaran
adalah milik Allah. Kita sesame manusia hanya bisa sharing, sebagai referensi,
untuk saling mengingatkan akan kebenaran; kebenaran yang sebenarnya sedang kita
upayakan.
Dalam hal ini, kebahagiaan
adalah sebagai salah satu contoh nyata, bahwa hanya dapat kita peroleh secara mandiri dan
pribadi.
Ibadah Hanya Kepada Allah
Umat islam sering
menyatakan bahwa semua ibadahnya hanya untuk Allah? Apa makna ibadah hanya
kepada Allah? Ada dua ibadah, pertama
adalah ibadah ritual ( ubudiyyah) dan kedua, ibadah muamallah. Kedua ibadah
tersebut tidak saja hanya perlu berkeseimbangan, namun kedua ibadah itu perlu
konsistensi dan dilaksanakan secara berkelanjutan, karena saling terkait,
saling mempengaruhi dan meningkatkan. Sehingga tidak tepat bila kita hanya
mengutamakan salah satu ibadah saja. Makna ibadah ritual juga bukan sekedar
ibadah yang formal yang bersifat phisik, namun lebih dari itu yaitu, ibadah
ritual yang sifatnya informal dan
sangat spiritual mendekatkan diri kepada
Allah. Ibadah ritual, pada tahap awal diwajibkan, namun kemudian harus dijadikan
sebagai kebutuhan. Sehingga kalau manusia tidak memperoleh nilai tambah apapun
melalui ibadah ritual tersebut dan tetap menganggap sebagai kewajiban, maka itu
adalah suatu yang keliru dalam tatacara menjalankan ibadahnya. Minimal karena
dilakukan secara tidak khusuk.
Karena dalam kaitan ini
umumnya masalahnya terletak pada sikap batin dalam menjalankan ibadah, yang
disebut sebagai khusuk. Adalah keliru bila kita menilai shalat dan ibadah
ritual lainnya itu, karena Allah membutuhkannya, atau Allah memberikan pahala. Karena
melalui ibadah yang benar dan khusuk, maka manusia akan mendapatkan manfaatnya.
Yaitu mendapatkan tuntunan Allah, sehingga kehidupannya menjadi lebih baik.
Meskipun “tuntunan Allah” itu bukan suatu yang instant dan langsung
benar, namun “tuntunan” tersebut masih
merupakan proses pembelajaran kepada kita, yang akan apapun yang terjadi akan meningkatkan kualitas amal kita disamping memberikan
pelajaran bagi kita. Dan umumnya
petunjuk itu adalah berupa kemampuan
diri kita dalam meningkatkan kualitas amal shaleh kita kepada sesama dan lingkungan ( ibadah muamallah). Yang
kalau semua amal itu kita evaluasi dan dalami, maka hal itu akan dapat
meningkatkan ibadah ubudiyyah atau
ibadah ritual kita. Demikian dapat kita lakukan secara konsisten dan
berkesinambungan.
Dalam kehidupan nyata, kita
perlu berlatih, untuk menerima; kesenangan, kenikmatan sama halnya dengan kalau
kita mendapatkan; penderitaan ,
kesulitan dan berbagai persoalan
kehidupan. Yaitu selalu mampu mensyukurinya, karena dibalik itu semua terdapat
pelajaran yang berharga.
Memang banyak berbagai
bentuk pemahaman dan keimanan beragama yang diperlukan, namun uraian diatas
adalah merupakan hasil pendalaman yang
telah dilakukan. Dalam beragama, praktek yang dikatakan sebagai ibadah kepada
Allah, yang dilakukan umat dengan cara berdoa dan permohonan, pada umunya isinya sekitar kehidupan dunia. Yaitu seperti memperoleh;
kekayaan, kedudukan, kekuasaan, istri- anak yang membanggakan dsb, yang
sifatnya duniawi. Kalaupun diikuti dengan doa untuk mendapatkan pahala diakhirat umumnya hanya mengikuti ajaran yang melekat turun temurun, tanpa
memaknainya dengan benar. Sebab pahala akhirat, adalah konsekuensi
logis, kalau amal ibadah kita didunia
dilakukan dengan; tepat, baik dan benar.
Bahkan uniknya,
sekalipun berkaitan dengan masalah akhirat, tetap membayangkannya bahwa akhirat
sebagai tempat yang penuh kenikmatan dan
kesenangan dsb dengan ukuran keduniaan.
Hal ini disebabkan
karena dalam Al Qur’an, dan terlebih lagi dalam Hadits, banyak janji kepada
manusia, kalau berbuat berbagai kebaikan
dan ketaatan, maka hadiahnya adalah surga. Surga dengan demikian difahami sebagai tujuan
akhir kehidupan manusia. Sebaliknya neraka sebagai tempat hukuman yang harus
dihindari. Padahal , kalau surga dan
neraka itu kita dalami, dapat merupakan bentuk reward and punishment yang
sederhana. Apalagi bila kita meyakini, bahwa
neraka dan surge adalah kekal. Maka mana yang lebih kekal, Allah atau
surga dan neraka ciptaanNya? Pasti hanya Allah, karena Allah kekal dan nyata,
sedangkan ciptaanNya tidak nyata. Karena
itu ada pemahaman dalam salah satu sekte
agama Nasrani, bahwa iblis dan neraka itu pada hari akhir akan
dibinasalan dan lenyap. Sehingga tidak lagi ada dikotomi, surga dan neraka yang
kekal. Suatu pemahaman yang masuk akal.
Ada doa kaum Nasrani
yang menarik, yaitu: “ Jadikanlah dibumi
ini sebagaimana keadaan disurga”.
Yang pada sebagaian umat islam difahami “ Melalui
Daullah islamiyah yang menggunakan hukum islam sebagai dasar ajaran Allah akan
dapat dilaksanakan didunia”. Semua itu adalah harapan ideal manusia, dalam
pola pikir keduniaan, atau spiritual yang diduniakan.
Karena dunia memang
diciptakan Allah dalam kehidupan yang penuh dikotomi. Kalau Allah
menghendakinya, maka hal itu sangat mudah.
Akibatnya kehidupan manusia tak lagi memerlukan proses pematangan dan ujian dari Allah.
Adanya anggapan bahwa hukum
syari’at dalam islam, itu sebagai hokum
Allah, tidak sepenuhnya benar, bahkan sebagaian besar adalah keliru. Seperti
telah disebutkan, bahwa hukum
syari’at itu, sebenarnya dirumuskan oleh
manusia yang bukan Nabi. Dalam hukum syari’at, sekalipun hukum itu dicuplik
dari Al Qur’an, maka begitu dicuplik, hal itu menjadi pekerjaan manusia. Apakah
melalui proses ; ijma dan qiyas baik melalui tafsir maupun itjdtihad.
Karena Al Qur’an, adalah
Kitab Ajaran, bukan Kitab Hukum yang langsung dapat di “copy paste”, apalagi untuk dijadikan sebagai hukum positip. Terlebih lagi apabila penulisan hukum syari’ah itu dilakukan dengan sekedar mencuplik
Hadits. Karena yang perlu dipersoalkan terlebih
dahulu adalah, apakah hadits itu benar benar Hadits Nabi? Sekalipun dikatakan
sebagai hadits yang shahih dan jenis yang mutawatir, yang diriwayatkan oleh perawi
hadits yang paling masyhur.
Bahwa hokum syari’at itu
sumbernya adalah Al Qur’an dan Hadits, itu tak lagi diragukan, namun karena
perumusannya adalah melalui proses tafsir, takwil atau ijdtihad, maka harus diakui itu adalah
karya manusia, bukan karya Allah dan juga bukan karya Rasul. Sebagai karya
manusia, maka kalau dihukumkan yang mengadili adalah manusia, namun
diatasnamakan Allah, sungguh sifat yang manipulative bahkan munafik, jauh dari
kebenaran dan keadilan. Hukum Allah
hanya akan menjadi adil apabila yang mengadili adalah Allah itu sendiri, yang
dari waktu kewaktu telah dilaksanakan Allah.
Seperti, adanya
ketentuan bahwa ; mereka yang rajin mendirikan shalat 5 waktu, akan
dijamin masuk surga. Berpuasa dengan baik juga dijamin masuk surga, demikian
juga menjalankan ibadah haji. Bahkan
puasa dibulan rajabpun, dijamin masuk surga. Atau mereka yang percaya kepada Yesus Sang
Juru Selamat, maka dijamin masuk surga. Atau mereka yang percaya Budha, dijamin
masuk nirvwana. Dsb dsb. Padahal percaya kepada mereka para Nabi, bukan berhenti
pada percaya, tetapi mengikuti ajarannya.
Bahkan banyak kebaikan
kecil dan mudah, ganjarannya adalah surga.
Jarang ajaran yang menyatakan bahwa
semua kebaikan dan perintah harus dijalankan, maka baru dijamin masuk
surga. Memang membuat ajaran menjadi menarik dan
mudah, dengan janji janji surge, hanya
ditujukan bagi pemula, tetapi tidak bagi
para pelanjut.
Sementara dirinya berbuat ketidak adilan,
curang dalam berdagang atau korupsi dan
perbuatan dzalim lainnya. Karena
itu umat umumnya patuh melaksanakan
berbagai upacara ritual, seperti puasa, naik haji agar mendapatkan balasan
dunia-akhirat. Meskipun tetap saja kurang
beramal shaleh, berkeadilan dalam memutus sesuatu dan menebarkan kasih
sayang pada sesama.
Apalagi perlakuan terhadap kaum atheis dan mereka yang dianggap kafir, sementara
dirinya masih sibuk dengan upaya mengikatkan diri pada kehidupan dunia, yang
sebenarnya juga menduakan Allah, sehingga sama sama kafir. Bahkan lebih dari itu,
karena menjadi kaum munafik, yang
hukumannya lebih berat dari kaum kafir karena dihukum dikerak neraka.
Dan yang lebih
menyedihkan adalah, mereka juga memusuhi kaum seagama namun berbeda aliran
pemahaman, seolah dirinya telah paling
benar. Padahal sikap itu sama saja dengan menamakan dirinya sebagai Tuhan
sehingga berlaku syirk. Itu semua adalah godaan beragama, seolah sudah benar
dan berada dijalan Allah. Karena syaitan, bukan hanya menyesatkan manusia dalam
jalan kejahatan, melainkan juga dengan seolah merupakan jalan kebaikan
menjadikan seseorang merasa telah beriman dan bertaqwa.
Kelebihan seorang yang
taat beragama dalam makna yang sebenarnya, seolah dikaburkan dengan kehidupan
mereka yang tidak beragama ataupun orang
yang beragamanya namun agama dijadikan sarana memperoleh kehidupan dunia atau kepentingan golongan dan
dirinya.
Apakah sesungguhnya ciri dari kelebihan seorang beragama yang baik dan benar? Mengapa manusia lebih suka, berbohong,
menipu, berbuat sewenang-wenang, dzalim dan berbuat kejahatan lainnya? Paling tidak merasa dirinya paling baik dan
benar?
Hal ini karena manusia
cenderung pada sikap mementingkan diri, mengejar kepuasan sesaat dan melakukan
jalan mudah/ pintas dalam memperoleh kepuasan dan kenikmatan akibat dorongan
nafsunya. Atau sebaliknya bersikap; malas, mudah putus asa dan kecewa dan perilaku
negatip lainnya. Bahkan kalau mereka merasa beragama, bertaqwa dan
beriman, maka itupun dilakukan dalam kebodohan dan perilaku manipulatif.
Kehidupan sebagai Proses Pembelajaran
Pada tahap awal proses
pembelajaran kehidupan, manusia didorong untuk melakukan kebaikan dan amal
shaleh. Namun seiring dengan pengalaman
dan perjalanan kehidupan, maka manusia
akan menyadari bahwa kebaikan dan keburukan dan semua sifat dikotomis lainnya,
bersifat relatif. Karena itu tidak perlu menjadi fanatik ( berpikir
sempit). Karena, dibalik kebaikan ada keburukan, dibalik keburukan ada
kebaikan. Janganlah kau membenci suatu
keburukan ( menurutmu) padahal itu baik bagimu,
demikian juga jangan menyukai kebaikan ( menurutmu), padahal itu tidak
baik bagimu.
Ajaran Allah adalah
ajaran bagi semua manusia, bahkan ditujukan kepada orang yang belum beriman dan
bertaqwa atau belum sepenuhnya beriman dan bertaqwa. Sebab bagi mereka yang
benar benar beriman dan bertaqwa, mereka yang telah memahami dan mengamalkan
ajaran yang telah baik dan benar, ajaran itu tak lagi diperlukan karena ajaran
Allah itu sudah merasuk dalam jiwanya. Dan karena kita adalah umat yang dhaif,
maka kita adalah manusia yang sedang
berproses menuju jalan Allah, jalan yang lurus. Tak sepentasnya seorang anak
manusia telah merasa benar, dan menilai orang lain sebagai sesat, karena bisa
jadi kitapun masih sesat. Kalaupun kita ingin membantu dan mengingatkan orang
lain, adalah dengan kerendahan hati, sehingga menyampaikan kebenaran kita
dengan santun dan kasih sayang. Karena bisa jadi kitapun masih belum berada dalam kebaikan dan kebenaran di jalan
Allah.
Kehidupan manusia selalu
akan penuh dengan kesulitan, bila manusia mengandalkan nafsu dan perasaan
serta akal pikiran yang sempit. Semakin nafsu, perasaan dan akal pikiran sempit
yang dikedepankan maka kehidupan akan semakin terasa berat dan penuh kesulitan.
Dan beban itu akibat dari pola pikir
dalam dirinya akibat; nafsu,
perasaan dan pikiran sempit.
Bagaimana kita
memperbaiki pola pikir kita, agar kita terbebas dari semua kesulitan ?
Perubahan pola pikir, tidak selalu berarti bahwa kesulitan itu lenyap. Akibat perubahan pola pikir,
bisa jadi cara berpikir kita menjadi lebih jernih, sehingga amal perbuatan kita
dapat menyingkirkan kesulitan. Namun seandainya kesulitan itu tetap ada, melalui perubahan pola pikir, kita tidak lagi
merasakan kesulitan itu sebagai kesulitan.
Kita bisa menganggapnya sebagai hikmah atau tantangan, sehingga
memberikan kita kekuatan untuk mengatasi kesulitan. Dan perubahan pola pikir
itu hanya bisa kita lakukan kalau, jiwa kita mendapatkan pencerahan jiwa atau
hikmah. Dan pencerahan jiwa akan diperoleh kalau manusia melakukan amal shaleh
kepada sesama dan lingkungan serta mendekatkan diri kepada Allah. Dan cara
mendekatkan diri kepada Allah yang paling efektip adalah melalui “ penyerahan diri sepenuhnya hanya kepada
Allah “ yang merupakan makna dari;
islam atau kristus atau
budha dsb. Sikap ini, kontroversi dengan akal pikiran
rasional, karena mereka; “yang menyerah akan kehilangan kemerdekaannya”. Inilah uniknya ajaran Allah. Karena “kecerdasan
tertinggi yang dimiliki Allah baru akan masuk kedalam diri manusia manakala
manusia tidak lagi menggunakan akal
pikirannya”.
Kecerdasan Allah yang
disampaikan kepada manusia dalam
kehidupan sehari hari, dapat diperoleh
dalam bentuk; ilham, inspirasi, dan yang tertinggi adalah melalui wahyu.
Secara sederhana, penyerahan diri kepada Allah itu bisa dimulai dalam bentuk; sikap relaksasi
dan atau kondisi meditatif dan atau tafakur dan atau shalat yang khusuk. Melalui upaya seperti itu, maka manusia dapat memperoleh “ petunjuk, ilmu dan hikmah” dari Allah, mulai dari; inspirasi,
ide, ilham hingga wahyu. Sebagai “petunjuk
“yang diperoleh oleh kalangan ilmuwan, antara lain adalah; gagasan
Archimedes melalui Aureka , ditemukannya listrik Thomas Alva Edison, struktur atom oleh Madame Curie, teosi mekanik
oleh Newton, teori relativitas oleh Einstein dsb. Atau dalam bentuk gagasan/ pemikiran bagi para filosof, seperti; Aristoteles, Al Kindi, Al Farabi, Rene
Descrates dsb. Atau pemahaman dari para tokoh agama, seperti ; Al Gazali, Al
Halaj, Suhrawadi, Moh. Abduh, Iqbal dsb. Yang lebih khusus lagi adalah berupa
wahyu yang diterima para Nabi.
Memang semua perilaku keduniaan
yang mengabaikan ajaran agama dapat menghasilkan keberhasilan kehidupan yang
menggiurkan, namun akan bersifat sementara, karena ujungnya adalah penderitaan,
kekecewaan , kekhawatiran dan rasa tidak aman. Meskipun kebanyakan umat
manusia memahami sebagian hukum alam (
Allah) ini, tetap saja mereka lebih
tertarik, pada kehidupan dunia yang menggiurkan. Manusia baru mulai
sadar kalau telah mengalami; penderitaan atau kekecewaan atau kekhawatiran dan atau rasa tidak aman. Dan kesadaran itu, umumnya bersifat
sementara, sebab kalau kesulitan telah berlalu, manusia kembali akan melakukan
kesalahan yang sama. Demikian seterusnya.
Demikian juga kalau
manusia hanya memahami ajaran agama dari sisi luarnya, seolah sudah menemukan
mujizat atau rahmat Allah, yang menguntungkan dirinya setelah mengalami
kesulitan dan penderitaan ataupun, padahal itu semua tetap bersifat sementara,
maka ujungnya adalah penderitaan,
kekhawatiran dan rasa tidak aman.
Lain halnya kalau ajaran
agama difahami dan diyakini secara baik dan benar, maka hasil upayanya selalu
mendatangkan kebahagiaan. Meskipun kebahagiaan itu diperoleh bukan karena
perubahan keadaan yang menguntungkan, namun suatu keadaan yang sebenarnya, membawa;
kekecewaan, penderitaan, rasa khawatir dan tidak aman. Yang perlu menjadi fleksibel dalam menerima
semua keadaan, adalah sikap batin, yang
selalu bisa mensykuri apapun perolehan yang didapat. Hal ini tidak berarti
bersikap pasrah, karena setelah itu perlu melakukan evaluasi dan kembali
berupaya. Demikian seterusnya.
.
Bagamana cara manusia dapat mencapai kesadaran spiritual ?
Banyak jalan pemahaman
dan keimanan agar manusia dapat terbuka hijab yang menutupnya dari
ajaran kebenaran. Manusia akan dapat terus berada pada kesadaran hakiki, kalau
senantiasa mendapatkan pencerahan jiwa. Dan mereka yang mendapatkan pencerahan
adalah mereka yang telah mencapai kesucian jiwa. Tahap awal pencapaian kesucian
jiwa, kalau mampu meniadakan sikap mementingkan diri dan berbuat kebaikan pada
sesama dan lingkungan. Suatu kalimat sederhana, namun pada kenyataannya
mempunyai kompleksitas atau varitas yang luar biasa dan tidak mudah dan
sesederhana dapat dipikirkan. Sering
kita beranggapan bahwa dalam beragama, maka yang diperlukan adalah keimanan,
selanjutnya biarlah “ tangan Allah yang
bekerja”. Keimanan dianggap sebagai suatu sikap batin, yang tidak memerlukan pemahaman. Padahal apapun keimanan
seseorang, hanya mungkin melalui pemahaman, sekalipun hanya sedikit. Semakin tinggi tingkat pemahaman maka semakin
tinggi pula keimanan seseorang.
Ada berbagai proses
pengajaran yang dilakukan oleh Allah.
Pertama, adalah memahami
ajaran tauhid. Yaitu; meng-Esa-kan Allah. Seolah mudah, padahal dengan memahami
ajaran tauhid, bukan sekedar tidak memberhalakan Allah, atau mengimani
sesuatu yang lain selain Allah. Kalau umat Nasrani mengakui ajaran “trinitas” sebagai metoda agar manusia
lebih mudah memahami Allah, maka hal itu tidak masalah. Namun kalau men-Tuhan-kan
Nabi Isa, maka banyak yang dapat dipermasalahkan. Atau masih ada subyek sebagai pengamat dan Allah sebagai obyek yang
diamati, itupun artinya menduakan Allah. Karena ada pengamat dan yang diamati,
padahal Allah yang menciptakan sesuatu, dan sesuatu yang diciptakan Allah, tidak
berada diluar diriNya melainkan dari diriNya. Ini memang merupakan
masalah teologis yang rumit. Karena
Allah tidak dapat diperumpamakan dengan segala sesuatu, maka Allah akan dapat
difahami sebagai yang meliputi segala sesuatu.
Yang nyata hanya Allah dan kekal, sedangkan semua ciptaanNya tidak nyata, tidak
kekal. Artinya kalau kita mencintai sesuatu selain Allah sama dengan kecintaan
kita kepada Allah, itupun dapat dianggap menduakan Allah. Termasuk mencintai
dunia dengan segala isinya, bahkan sangat mencintai anak atau istri dan atau
harta/ kepemilikan dan atau kekuasaan dan atau apapun juga. Hal itu merupakan kemelekatan jiwa Dan hal itu hanya dapat dimungkinkan kalau
manusia melepaskan dirinya dari keterikatannya pada dunia. Yang ujung dari
ajaran tauhid itu adalah ajaran pensucian jiwa.
Kedua, adalah
menjalankan kehidupan hanya sebagai ibadah kepada Allah. Makna ibadah kepada Allah,
bukan karena Allah membutuhkan ibadah kita, juga karena Allah apapundari
mahlukNya, apalagi membutuhkan puja puji kita. Allah tidak membutuhkan ibadah
kita, yang membutuhkan adalah kita sendiri. Ibadah kepada Allah, mempunyai dua
unsur, yaitu ibadah ubudiyyah ( ibadah ritual) dan ibadah muamallah ( ibadah
kepada sesama dan alam ). Kedua ibadah itu bukan sekedar dilakukan secara
berkeseimbangan, karena makna keseimbangan ini tidak jelas. Kedua ibadah itu harus
dilakukan karena saling berkaitan dan mempengaruhi, karena itu harus dilakukan
secara konsisten ( istiqamah) dan berkesinambungan. Karena hanya melalui
pelaksanaan kedua ibadah itulah maka kedua ibadah itu dapat terus dapat
ditingkatkan mutunya. Ibadah ritual kepada Allah, bukan berhenti pada kewajiban
( itu baru sebagai ajaran awal), namun harus dirasakan sebagai kebutuhan.
Karena ibadah itu untuk kepentingan kita, agar manusia yang setiap detik harus mengambil keputusan/
pilihan kehidupan, maka melalui ibadah ritual, manusia akan mendapatkan;
tuntunan, petunjuk dan kekuatan serta
kemudahan dari Allah.
Hasil ibadah ritual,
adalah kemampuan dan kemudahan untuk dapat berbuat amal shaleh dan
berperilaku ahlak mulia. Sehingga ibadah muamallah yang dilakukan manusia,
kepada sesama manusia, sesama mahluk dan alam lingkungan dapat; tepat, baik dan
benar. Yang tujuan antaranya adalah untuk mendapatkan hikmah dan ilmu dari Allah,
melalui pencerahan jiwa. Hal ini ujungnya adalah melepaskan diri dari
keterikatan manusia pada dunia, yang hanya dimungkinkan kalau jiwa manusia itu
suci. Tetap menjalankan tugas dan misi didunia, namun tanpa terikat atau terlepas dari kemelekatannya pada
kehidupan dunia.
Dengan demikian betapa
pentingnya upaya pensucian jiwa, karena melalui pensucian jiwa, maka semua amal
ibadah kita akan tertuntun. Melalui
pensucian jiwa, dimana kita tidak terikat pada keduniaan, maka kita mampu
berbuat dengan tulus- ichlas dan menerima semua keadaan atau hasil dengan rasa
syukur. Sehingga kita bisa selalu bahagia.
Yang semua itu hanya bisa tercapai kalau kita memahami ajaran Allah
dengan baik dan benar ( serta kaffah), disamping mempu mengamalkan ajaran
dengan; tepat, baik dan benar. Dan
memahami ajaran Allah dengan baik dan benar kalau kita mampu memahami hakekat
ajaran dengan baik dan benar yang melalui
pemahaman ini, maka kita akan beriman dengan baik dan benar serta mengamalkan
ajaran dengan tepat baik dan benar. Dan
upaya itu perlu dilakukan sepanjang kehidupannya.
Ketiga, mendalami ilmu
tasauf, sebagaimana diajarkan Allah, melalui syrah Al Kahfi ayat 60-82, yang
pada dasarnya mengajarkan ilmu kebijaksanaan. Karena upaya maksimal yang
dilakukan oleh manusia adalah selalu berbuat kebijaksanaan. Untuk itu manusia
perlu tulus-ichlas dalam mengejarakan sesuatu, dan mensyukuri apapun hasilnya.
Melalui kesabaran seperti itulah maka Allah akan memberikan hikmah dan ilmu dari
sisinya. Yang menjadikan seseorang mampu memahami suatu kejadian dengan
informasi yang lengkap. Sebagaimana yang
dianugerahkan kepada hambanya yang shaleh, sehingga mampu mengenal suatu
keadaan dengan lengkap, memahami amsa lalu dan masa depan, bahkan mampu berbuat
sesuatu tanpa kehadirannya, karena dirinya telah sejalan dengan kehendak Allah.
Hanya dengan perolehan informasi yang
lengkap dan perlu serta mampu melakukan
analisa yang tepat, sehingga keputusan yang diambil dapat bijaksana.
Dalam kehidupan ini kalau kita tidak lagi
mementingkan diri sendiri, tak ada yang perlu dikhawatirkan atau dijadikan
penderitaan. Karena dibalik itu, minimal ada pelajaran agar kita dapat “naik tingkat”. Yang selalu bisa diubah dalam diri kita,
adalah; harapan atau tujuan, pola pikir, perasaan, nafsu, yang perlu diarahkan
dengan baik dan benar.
Kegagalan adalah akibat
harapan tidak terpenuhi, keinginan tidak tercapai, namun kalau kita ubah,
kegagalan, sebagai sukses yang tertunda, sebagai pelajaran untuk emnjadi lebih
baik, maka kita akan mampu mensyukuri dengan sebenar benarnya rasa syukur.
Penderitaan, demikian juga, terutama akibat kekecewaan, kita perlu dalami
mengapa kita kecewa? Masalahnya bisa
banyak, semuanya juga adalah akibat pola
pikir, perasaan dan nafsu.
Apa yang disampaikan
diatas, mungkin dianggap masih merupakan suatu hal yang makro.
Seperti diketahui,
timbulnya rasa ; penderitaan, khawatir dan rasa tidak aman, umumnya akibat
prediksi oleh akal pikiran kita. Penderitaan dapat terjadi, akibat kekecewaan karena harapan dan tujuan
kita tidak tercapai. Penderitaan, akan
mengakibatkan kita mengalami stress, dari ringan hingga berat. Kita lupa bertanya, apakah dengan menderita
atau stress, keadaan akan berubah? Tentu
tidak! Penderitaan dan stress, mengakibatkan
dua hal, pertama, batin kita sakit,
sehingga tubuh phisik juga bisa sakit.
Kedua, batin yang sakit akan membawa pada pola pikir yang jerbih dan upaya yang dilakukan tidak
tepat. Kesemuanya sia sia. Karena itu menerima kenyataan adalah sikap terbaik. Sehingga kita bisa berpikir jernih dan
melakukan upaya yang tepat.
Bagaimana halnya dengan
adanya rasa khawatir dan rasa tidak
aman? Ini semua terjadi akibat prediksi
dari pikiran dengan segala alternative kemungkinan yang terjadi. Dalam hal ini
cara paling mudah adalah, untuk menerima keadaan paling buruk. Kalau kita bisa menerimanya, maka akal
pikiran akan menjadi jernih. Sehingga akan diperoleh solusi yang tepat. Suatu badai kalau tampak dari kejauhan akan mengerikan, namun kalau sudah
badai itu sudah datang , maka yang ada adalah upaya mengatasi.
Yang mungkin cukup berat
adalah penderitaan akibat penyakit. Kita
perlu melatih diri, untuk tidak melawan rasa sakit dan mencoba menngikuti rasa
sakit dan menikmatinya. Semua itu hanya mungkin dapat kita lakukan kalau
pemahaman spiritual khususnya terhadap diri sendiri semakin tinggi. Yang hanya
bisa dicapai kalau kita memahami makna kehidupan sejatti, atau memahami hakekat
ajaran Allah, ajaran kehidupan. Sebab
suka dan duka kehidupan akan tetap terus terjadi, dan bagaimana kita
mengembangkan diri sehingga sama sekali tak terimbas olehnya.
Ada cara sederhana,
yaitu kalau kita mulai merasakan; penderitaan, khawatir dan rasa tidak aman,
sehingga tak lagi bisa tersenyum, maka pasti ada sesuatu yang keliru dalam diri kita. Apakah itu pola
piker, nafsu atau perasaan. Maka temukanlah kelemahan itu, dan senyumlah. Ubahlah
diri terhadap kelemahan itu, terkait, apakah ;
pola pikir, nafsu dan perasaan.
Maka secara bertahap kita akan makin tinggi daya kemampuan kita. Siap
untuk menerima kebahagiaan sepanjang kehidupan, sehingga senyum selalu menghiasi
wajah kita!
Kehidupan Manusia adalah Proses Pembelajaran
Bagaimana kalau pada
akhir kehidupannya ( meninggal), seorang anak manusia masih belum mencapai
kesucian jiwa? Kita umat pada umumnya, memahami bahwa kalau kematian telah mendatangi, maka tinggal ada pilihan di
pengadilan akhir. Masuk surga atau neraka. Maka akan timbul pertanyaan,
bagaimana kalau kita telah beragama, mengakui keberadaan Allah dan ajaranNya,
namun kita masih banyak melakukan penyimpangan. Bahkan masih menduakan Allah
dengan mencintai sesuatu yang ada
didunia, melebihi kecintaan kepada Allah? Padahal hal itupun termasuk pelanggaran ajaran
tauhid namun hal itu tidak kita sadari. Karena men-dua-kan atau syirik kepada
Allah hanya dilakukan kalau kita
melakukan pemberhalaan kepada Allah.
Umat islam sering mengutuk ajaran Nasrani mengenai tritunggal, sementara sebagian besar umat islampun mmenganggungkan
Nabi Muhammad secara berlebihan, yang juga bisa syirk bahkan munafik karena
menetang sesuatu namun juga menjalankannya sendiri.
Maka para ulama,
memberikan jalan; umat islam yang seperti itu, di akhirat nanti, hanya untuk sementara masuk neraka menjalani
hukuman akibat kesalahannya. Namun setelah hukumannya dianggap impas maka
mereka mendapat promosi ; dimasukkan
surga. Sedangkan mereka yang munafik,
hukumannya lebih berat dari orang kafir, karena akan dihukum dineraka yang
paling dasar. Artinya di surge dan neraka masih ada hirarki dan ada proses promosi.
Menurut pemahaman umat beragama ( samawi), mereka
yang kafir, sekalipun berbuat kebaikan tetap saja di akhirat mereka masuk neraka selama
lamanya. Artinya, kebaikan apapun bagi
mereka yang kafir, seolah tidak ada gunanya, tiada maaf dan ampunan. Hanya
orang beragama, itupun beragama tertentu ( yaitu menurut agama yang dipeluknya
sendiri) yang dijamin masuk surga. Inilah bentuk keadilan Allah, kata mereka. Padahal
dalam Al Qur’an, kaum Sabiin, Yahudi dan Nasrani, kalau berbuat kebajikan akan
diperhtungkan Allah. Apalagi hanya ada tiga amal yang masih berjalan bagi
seorang yang telah meninggal. Yaitu, ilmu yang
bermanfaat, amal kebaikan yang
berkelanjutan ( amal jari’ah) dan
anak ( cucu-cicit dst) shaleh yang
mendoakannya. Maka bagaimana dengan
mereka yang berjasa bagi kemanusiaan, seperti; Edison, Einstein, Freud, Rene
Descrates , yang ilmunya bermanfaat?
Atau mereka yang meskipun kafir,
tetapi beramal jariah dan mempunyai keturunan anak shaleh?
Konsep kehidupan yang
difahami kebanyakan umat beragama samawi, yaitu bahwa bagi setiap jiwa
hanya menjalani sekali saja sepanjang kehidupan. Yang umumnya manusia,
hanya mengharapkan ampunan Allah. Terutama
bagi mereka yang jiwanya belum
mencapai kesucian. Karena itu konsep pengampunan dosa menjadi demikian dominan pada pemahaman umat beragama samawi. Baik pada
umat agama Yahudi, Nasrani dan
Islam. Dengan pemahaman seperti
itu, sesungguhnya hal itu akan
mengakibatkan berbagai inkonsistensi
pada pemahaman terhadap ajaran
Allah. Makna bahwa kelebihan manusia
dari umat lain yang diciptakan Allah, berupa kebebasan memilih dan
mempertanggung jawabkan pilihannya menjadi tidak berguna
( kecuali menjadikan kafir atau beriman). Sebagian besar anjuran untuk
beramal shaleh dan berahlak mulia menjadi tidak berarti, karena bagi yang melakukan penyimpangan maka akan
mengharapkan ampunan Allah.
Padahal ampunan Allah,
bukan melalui penghapusan dosa atau kesalahan, melainkan dengan memberikan
jalan dan kekuatan serta kemampuan, untuk melakukan perbaikan. Jangan
Allah dianggap manusia yang mempunyai hak prerogratif , karena Allah
juga akan menegakkan hukum hukumNya. Masalahnya adalah ada hukum Allah yang
belum difahami manusia.
Sehingga setiap perjalanan kehidupan setiap jiwa
manusia dalam menjalani kehidupan didunia adalah proses. Proses dalam
memantangkan jiwanya disamping menjalankan tugas kehidupan yang telah digariskan Allah. Justru
untuk mematangkan jiwa dan memantapkan tugasnya, maka manusia diberikan potensi
untuk dapat melakukan pilihan bagi jalan dan pilihan hidupnya. Apapun
pilihannya, semua itu merupakan proses. Baik apakah seseorang mau beriman atau
menjadi kafir, apapun pilihannya semua itu merupakan proses. Karena itu proses
seseorang mencapai kesucian jiwanya, ada
yang prosesnya panjang ada yang pendek. Ajaran Allah menuntun manusia, agar
dalam menjalani kehidupan dapat efektip dan efisien.
Dalam menjalani
kehidupan, karena manusia merupakan mahluk sosial, maka ada kecenderungan bagi
manusia untuk; (1) saling berkomunikasi
(2) berserikat, berkumpul dan
membangun organisasi.
Komunikasi diantara
manusia , dimulai dari peradaban membangun bahasa, symbol dan isyarat. Suatu upaya membangun kesepakatan sehingga
terbentuk suatu keseragaman tertentu dalam memahami sesuatu. Penyeragaman, ini
pulalah maka manusia, membentuk;
pengaturan, prosedur, standar dan kriteria dalam semua bidang
kehidupannya.
Melalui pengorganisasian itulah maka manusia
membangun kerjasama antara manusia, hingga pada
akhirnya terbangun system
kekuasaan. Hal ini diwujudkan dalam bentuk organisasi , mulai dari organisasi kesukuan/ klan kemudian meningkat
pada organisasi padepokan, kampung ,
nagari, hingga kerajaan dan atau pemerintahan wilayah yang sangat luas ( kekaisaran).
Dengan demikian, manusia
menjadikan system kekuasaan menjadikan bagian penting dalam kehidupan
bersama. Berbagai mitos, legenda dan
ideologi; yang dibangun untuk melegitimasi kekuasaan sesuai
dengan jamannya masing masing. Semakin maju kehidupan manusia, semakin kompleks
bentuk organisasi yang dikembangkan. Apakah itu organsiasi politik, agama, profesi, ekonomi, sosial, budaya, kesenian
dst hingga arisan. Apapun system dan
bentuk organisasi pemerintahan, orientasi utama kehidupan antar manusia adalah;
kekuasaan yang diwujudkan dalam perilaku politik. Agar struktur dan hirarki organisasi dapat
dibentuk. Yang akhirnya terbentuklah
pengaturan hukum ; prosedur, standard an kriteria, dalam berbagai
bentuknya, guna penyatuan arah, gerak dan langkah yang mengarah pada
penyeragaman . Organisasi dan
pengaturannya ( hukum), menjadi Allahnya manusia, sambil mengakui adanya Allah Yang Esa.
Upaya penyeragaman yang
dilakukan manusia terhadap ilmu atau pengetahuan manusia sangat wajar, namun
yang menjadi tidak wajar adalah menjadikan ajaran Allah yang bersifat
supranatural, juga ingin diseragamkan. Upaya ini dilakukan agar kehidupan menjadi
tertib dan teratur, menurut ukuran manusia. Justru karena upaya penyeragaman itulah maka
timbul banyak aliran dan mashab agama. Bahkan lebih dari itu, justru
mengakibatkan permusuhan dan pertentangan diantara sesama umat. Meskipun tak
dipungkiri bahwa karena keberadaan
agama, maka nilai nilai moral tetap terjaga. Tidak juga dipungkiri bahwa
manusia juga memperalat agama bagi kepentingan kekuasaan bagi golongan dan individu.
Kalau saja dalam
keberagamaan umat manusia, menggunakan fitrahnya yaitu, bahwa setiap manusia
adalah berbeda masing masing bersifat unik dan spesifik. Dan hubungan manusia
dengan Allah bersifat individual, tak
seorang lainpun yang berhak dan mampu
menilai keberagamaan seseorang. Dengan
demikian maka setiap umat beragama mau menghargai perbedaan dalam
keberagamannya masing masing. Bukankah Allah telah menganugerahkan manusia
potensi dan peluang pengembangan yang berbeda? Padahal dengan potensi yang berbeda akan
mengakibatkan pemahaman yang berbeda.
Dalam perbedaan hubungan
manusia dengan Allah yang bersifat individual, bukan berarti aka nada masalah
hubungan sosial antar manusia.
Akan menjadi masalah
kalau hubungan antar manusia, seolah semuanya juga telah diatur melalui ajaran
agama. Ajaran agama, kalau kita dalami, sesungguhnya hanya mengarahkan
ketentuan atau hukum yang bersifat prinsip atau hakiki, meskipun dengan kasus
kasus pengajaran yang diangkat dalam Kitab Suci
( dan Al Qur’an) seolah mengatur sesuatu
dengan rinci. Yang berarti semua kehidupan manusia telah ada aturan dan
ketentuan hukumnya. Padahal kalau Kitab
Suci ( dan Al Qur’an) didalami secara kaffah, tidaklah seperti itu.
Dalam hal penetapan hukum
syari’ah, umat bukan saja hanya mencuplik ayat ayat secara parsial, juga
menggunakan Hadits, yang belum terjamin
bahwa hal itu merupakan; pembenaran, perkataan dan perbuatan Nabi.
Karena Hadist yang ada, sekalipun dianggap merupakan hadits yang paling shahih
sekalipun, dituliskan 200-400 tahun setelah Nabi Muhammad wafat. Sehingga
originalitasnya perlu dikaji, khususnya relevansinya sebagai penjabaran Al
Qur’an. Sebab kalau tidak sesuai bahkan bertentangan, maka patut ditolak.
Bahkan terhadap hadits yang dianggap shahih dan periwayatan yang sempurna.
Seperti misalnya kisah Mirajd, yang
diyakini umat sebagai proses penetapan sahalat lima waktu, melalui dialog dan
tawar menawar antara Nabi Muhammad dan Allah. Kalau dialog langung antara Allah
dan Nabi Muhammad, itu benar benar
terjadi, maka kedudukannya lebih tinggi dari wahyu Al Qur’an. Karena wahyu Al
Qur’an itu diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantaraan, baik melalui
malaikat Jibril maupun wahana lain. Bahkan dalam Al Qur’an, peristiwa Mirajd
itu sama sekali tak disebutkan. Dan Nabi juga menegaskan bahwa shalat kita yang
khusuk adalah mirajd kita kepada Allah.
Bagaimana Umat Islam, Keluar dari Keterpurukan
Keluarnya umat dari
keterpurukan bukan tujuan agama, namun hal itu akan terjadi dengan sendirinya,
kalau umat islam, memahami ajaran Allah dengan baik dan benar ( disisNya) dan
mengamalkan ajaran dengan; tepat, baik dan benar.
Dengan memperhatikan
sejarah, bahwa sudah lebih dari seribu tahun, umat islam mengalami
keterpurukan. Kita bisa berdebat panjang mengenai masalah keterpurukan ini.
Indikator sederhana dari keterpurukan, adalah tidak lagi dikusasi ilmu
pengetahuan dan teknologi oleh umat
islam, dan beralih kepada bangsa lain. Kalau dimasa abadd 13 M keatas, kaum
barat yang umumnya beragama Nasrani, maka kini mulai dikuasai mulai dari bangsa
Jepang ( yang beragama Shinto), China (
yang Kong Hu Cu dan atheist) dan India ( yang Hindu).
Terpuruk dibandingkan
dengan umat beragama lain, termasuk kaum
atheist sekalipun. Tentang hal ini kita
juga dapat melakukan bantahan, dengan alasan bahwa umat islam; moralitas paling
baik. Apakah itu benar? Kita juga bisa berdalih, bahwa umat islam
tidak mengejar dunia, namun mengejar
akhirat. Benarkan umat islam pasti berhasil memperoleh akhirat, surga jan’ah?
Yang jelas; Al Qur’an
mengajarkan keutamaan menggunakan akal pikiran,
namun kita umat islam adalah umat
yang tertinggal dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dibandingkan
umat lainnya. Umat islam bukan saja hanya menjadi konsumen dari kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, bahkan hanya jadi penonton, lebih dari itu hanya
bisa memberikan kritik dan kecaman terhadap ilmu pengetahuan yang ditemukan,
namun tidak memberikan ilmu tandingan yang baru dan lebih bermutu.
Masalah keterpurukan
umat, sumbernya adalah bukan sekedar masalah pengamalan ajaran, melainkan juga
termasuk masalah pemahaman. Umat islam
membanggakan dirinya sebagai umat dengan ajaran yang mengutamakan akal pikiran,
namun yang terjadi adalah pemasungan akal pikiran. Kalau ada yang menggunakan akal pikiran yang
dinilai bertentangan dengan standar ( pakem), pemahaman, maka dianggap sebagai;
umat yang sesat. Kita hanya bisa pemakai ilmu pengetahuan dan teknologi, namun
sambil melakukan kritik keras, kalau dianggap bertentangan dengan ajaran islam.
Namun tidak mampu mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi alternative/ baru, yang sesuai ajaran islam.
Karena itu, secara
ringkas, dapat dikatakan bahwa ada
kekeliruan yang cukup mendasar
telah terjadi pada pemahaman dan keimanan umat islam. Dan bukan sekedar tidak mampu mengamalkan
ajaran islam sebagaimana seharusnya. Umat islam, dan juga kebanyakan umat beragama lain, mempunyai kesalahan yang cukup mendasar.
Pertama, adalah dengan
membentuk penyeragaman pemahaman dan
mengorganisasikannya dengan pemikiran
bahwa kebenaran ajaran Allah adalah tunggal. Namun sebagaimana penafsiran dan
pemahaman kelompok dan golongannya sendiri. Namun hal itu dapat menjadi
penyebab terciptanya berbagai aliran pemahaman
yang cenderung eksklusifis. Yang disatu fihak dapat mudah
mempersatukan umat, namun dilain pihak
dapat menciptakan pertentangan dan permusuhan, baik terbuka maupun terselubung.
Kedua, menjadikan ajaran
agama sebagai ideologi politik, yang diharapkan akan mempermudah pelaksanaan keberagamaan, namun pada
dasarnya memperalat agama
untuk digunakan mengejar kekuasaan
duniawi. Kalaupun berbicara tentang aspek spiritual dan
akhirat, semua hanya merupakan embel
embel atau lips services bahkan hanya sarana
untuk meligitimasi kekuasaan. Ketiga, menjadikan ajaran agama penuh
dengan gambaran keduniawian namun di spiritualkan. Sekalipun menolak
sekulerisme namun membangun sekulerisme baru yang seolah berwajah
spiritual. Menjadikan kehidupan surga, dapat
diturunkan didunia. Suatu harapan spiritual yang sekuler . Sehingga sebagai suatu
gambaran penuh keduniaan namun diisi dengan; mujizat, keajaiban dan mistik.
Untuk keluar dari
keterpurukan maka umat islam perlu lebih menghargai potensi akal pikiran dan
mendayagunakan secara maksimal. Dimulai dari kebiasaan untuk mendorong
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kalau ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat inti, dinilai terlalu
sekuler, maka kembangkanlah ilmu
pengetahuan yang lebih baik dan bersifat spiritual.
Dan selanjutnya melalui penguasaan ilmu pengetahuan teknologi yang
diperbaharui, dan pemahaman ajaran agama
islam yang dianutnya, mampu mengembangkan keteladanan kehidupan dunia yang
sebaik baiknya. Karena keteladanan itu merupakan dakwah yang paling efektip.
Untuk itu seluruh umat islam
termasuk umat lainnya, perlu dirangkul dengan menghargai perbedaan. Yaitu
dengan membuktikan bahwa tata nilai
dan ilmu pengetahuan serta teknologi yang dibawakannya, mampu membangun tatanan
kehidupan dan ekmajuan peradaban umat yang lebih baik. Negara Negara islam kaya minyak, sesungguhnya
paling besar peluangnya untuk melakukannya.
Namun karena jeratan system politik, mengakibatkan upaya pembaharuan
menjadi amnsul, karena akan membahayakan system kekuasaan yang ada. Arab Saudi
( yang Sunni dan Wahabi), merupakan Negara kaya minyak, disamping sebagai
negara tempat dimana Masjidil Haram dan
Masjidil Nabawi berada, mempunyai peluang paling tinggi. Namun pemerintahan Arab Saudi mampu menggunakan para
ulama yang meyakini bahwa pemahaman umat Saudi sudah mapan, sekalipun menjual
kemerdekaan dan keamanan pemerintahan
negaranya pada Amerika Serikat.
Kini Iran, dengan faham
Syi’ah, merupakan kekuatan baru dan dapat menjadi kuda hitam. Namun faham Syi’ah dianggap kaum Sunni,
sebagai penyimpangan. Padahal karena kekuatan faham Syi’ah, maka Iran berani
menentang barat. Meskipun itupun bukan gambaran pemahaman islam yang baik dan
benar, karena terlalu mengkultuskan Ali.
Kini gerakan Ichwanul
Muslimin ( yang Sunni dan Revolusioner) , terutama di Mesir, mulai unjuk
kekuatan dan mungkin bisa merebut kekuasaan. Akan kita lihat bagaimana mereka
akan berkiprah menghadapi kaum Nasrani (
Koptik) dan Islam moderat lainnya. Ada pula gerakan Al Qaeda yang mendukung
terorisme , tersebar kekuatannya di Timur Tengah dan Lybia dan utamanya di
Afaganistan, yang perjuangannya dilakukan dengan kekerasan, dan pemahamannya
sangat eksklusif. Demikian juga gerakan Taliban. Ada pula gerakan Hizbut Tahrir
yang meyakini bahwa kejayaan islam hanya
mungkin bila dibentuk Daullah Islamiyah. Ini semua sebenarnya lebih cenderung
pada aspek politik dibandingkan aspek keislaman. Agama islam hanya dijadikan
alat saja.
Dari segi agama, secara
diam diam dan sangat pribadi, kaum tasauf menilai bahwa ajaran islam yang
isotoris memang hanya bisa dikembangkan secara terbatas pada orang orang pilihan. Artinya pemahaman kepada umum dan kepada umat
tertentu yang sudah sangat spiritual, memang harus dibedakan. Karena mengajarkan suatu hakekat atau makrifat tidak bisa bagi umat yang awam,
karena dianggap akan menimbulkan kesalahfahaman. Kesalahfahaman yang bukan saja
berhenti pada perbedaan pemahaman, namun bisa mengundang permusuhan.
Kini sudah saatnya bagi
umat islam, tidak lagi perlu dibeda bedakan. Kuncinya terletak pada upaya untuk
mendorong umat islam bisa memahami perbedaan. Karena perbedaan itu sebenarnya
telah eksist, yang dapat diuji kepada
suatu kelompok umat yang pemahamannya tentang islam satu aliran dan satu
mashab. Kalau setiap umatnya mau menjawab dengan jujur, apa bentuk pemahamannya
tentang islam dengan rinci. Maka setiap umat satu sama lain pasti berbeda beda
jawabanya, apakah perbedaan itu bersifat aqidah atau bersifat khilafiyah. Artinya perbedaan itu sudah eksitt pada
setiap umat.
Apa hakekat ajaran
islam? Secara sederhana, pemahaman
ajaran islam yang benar, akan mendorong umat untuk bersama sama membangun tatanan kehidupan yang damai, penuh kasih sayang. Menghargai perbedaan pemahaman, apapun tingkat
perbedaan itu. Karena setiap umat perlu menyadari bahwa dirinya adalah umat
yang dhaif, namun sedang bersama sama menuju kebenaran menurut keyakinannya
masing masing.
Upaya penyeragaman
ajaran, baik yang dilakukan secara sadar maupun tidak sadar, adalah kekeliruan
utama dari umat beragama pada umumnya dan umat islam pada khususnya. Jadikanlah
semua umat islam, bukan seorang awam dan taklid. Ajaran islam, tidak mengenal
system kependetaan, karena itu Nabi Muhammad tidak pernah mewariskan
kepemimpinan umat kepada siapapun. Kalau
pewarisan adalah sangat penting mengapa Nabi tidak melakukannya, sementara
masalah pewarisan Al Qur’an mengajarkan mekanismenya?
Bahwa terjadinya
pemerintahan islam, itu adalah upaya keduniaan, karena para penguasa, ada yang
maksudnya baik ada yang maksudnya kepentingan diri dan golongan. Meskipun
mereka yang maksudnya baik, sekalipun, umumnya mereka cenderung menyalahgunakan
kekuasaan. Apalagi bisa ada feodalisme didalamnya. Sejarah manusia membuktikan hal itu.
Demikian juga hukum
syari’at yang dianggap sebagai uAllah
yang akan dijadikan acuan pemerintahan, kalau
hukum itu didalami dengan jernih , mendalam dan jujur, maka itu semua adalah hukum rumusan manusia, bukan
rumusan Allah dan Rasul. Sekalipun
diambil dari Al Qur’an dan Hadits. Al Qur’an apalagi Hadits, adalah bukan Kitab
Hukum, hukum Allah apakah itu hukum alam atau hukum sosial atau hukum
lainnya, tergelar dialam semesta
ini. Kalau manusia mau berupaya dan
Allah kehendaki, siapun dapat memperoleh hukum itu bagian per bagian. Namun itu
semua adalah tafsiran manusia, dan hasil pikiran manusia , yang bisa berubah.
Hukum Allah adalah tetap
dan pasti, ditetapkan oleh Allah yang
pengadilannya juga oleh Allah Yang Maha Adil, manusia tidak layak mengadilinya. Nabi Isa mengajarkan: “Siapa bukan pendosa, silahkan
dia yang melempar pertama”.
Kalau manusia ingin
mengadili sendiri suatu hukum, silahkan buat hukum yang akan diberlakukan, dan silahkan bertanggung jawab, baik
rumusannya maupun pengadilannya.
Janganlah manusia memanipulasi hukum Allah. Memang ketentuan hukum yang
ada dalam Al Qur’an, seolah dapat dilakukan pengadilannya oleh manusia. Padahal
ketentuan ayat itu lebih bersifat kontekstual. Bahkan, kebanyakan hukum sosial yang
ada dalam Al Qur’an, selalu ada pengecualiannya. Hukum yang terkait dalam ibadah ritual, yaitu misalnya
mengenai perintah; shalat lima waktu, yang dianggap sangat penting, secara
explisit tidak disebutkan dalam Al Qur’an. Kalaupun ada, adalah pada Hadits,
itupun pada Hadits peristiwa Mirajd yang sama sekali tidak disebutkan dalam Al
Qur’an ( kecuali Isra’). Kalau ada yang
explisit, maka ada perintah shalat tiga waktu. Karena itulah kaum Syi’ah,
memegang shalat 3 waktu.
Kalau dialog langsung antara
Allah dan Nabi Muhammad , bahkan terjadi tawar menawar secara langsung, dalam
peristiwa Mirajd, maka kalau peristiwa itu benar; kedudukannya “ tawar menawar shalat antara Nabi dan Allah”,
kedudukannya lebih tinggi dari Al Qur’an. Karena wahyu yang diperoleh Nabi dan yang
menjadi Al Qur’an, wahyunya diperoleh secara
tidak langsung dari Allah, apakah melalui Jibril, mimpi atau wahana lain.
Hadits Mirajd, akan berharga, sebagai simbolisasi bahwa seorang Nabi pasti
dekat dengan Allah, dan setiap umat islam, melalui shalat yang khusuk,
melakukan mirajd kepada Allah.
Perintah shalat dalam Al
Qur’an, yang sengaja tidak disebutkan Allah secara explisit, kecuali melalui
tafsir, dengan menghitung ayat ayat perintah shalat termasuk shalat wustha,
akan shalat akan berjumlah lima waktu. Memang ada perintah shalat secara
explisit disebut tiga waktu. Hal ini sekedar
menunjukkan bahwa tata cara ritual,
sesuatu yang bukan etrmasuk ajaran aqidah, namun shalat yang didirikan
secara khusuk itu jauh lebih penting. “ Celakalah
mereka yang shalat, tetapi lalai dalam shalatnya”, karena shalatnya tidak
dikerjakan secara khusuk.
Begitu banyak masalah
pemahaman yang sudah melekat selama lebih dari seribu tahun, sehingga kita
sulit menemukan kebenaran ajaran, sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad. Karena
kini, orang telah banyak yang melebih lebihkan ajaran. Disatu sisi ajaran
semakin kompleks, dilain sisi banyak yang
terlalu dimudahkan prinsipnya. Yang prinsip menjadi tidak prinsip yang
tidak prinsip menjadi prinsip.
Kembali kepada hakekat
ajaran, sebagaimana diwahyukan Allah dan diajarkan Nabi Muhammad, memang tidak
mudah. Apalagi kini kita sudah terjebak pada “pemahaman nenek moyang”, yang
dikaitkan dengan pemahaman dan pemikiran para ulama besar yang harus dan telah
dihormati. Apakah mungkin kita menembus
barikade ini?
Mungkin kini masanya
telah tiba, dimana kemajuan informasi telah meluas dan dapat diakses dengan
mudah oleh hamper semua orang. Taka da
yang perlu dibedakan ajaran kepada awam dan ahli tasauf. Ilmu hukum islam/ syari’at dan filsafat juga
tidak bisa hanya dimenopoli oleh kaum atau kelompok umat tertentu. Kita semua
umat islam, harus mulai mandiri dalam beragama. Bukankah yang akan diadili amal
perbuatan kita, juga kita sendiri dan bukan orang lain? Setiap manusia harus
mau dan mampu mendalami ajaran agamanya, karena setiap orang adalah ahli
kehidupan dan ajaran Allah adalah ajaran kehidupan. Hubungan kita dengan Allah bersifat personal.
Hasil hubungan kita dengan sesame manusia dan alam, adalah berupa; amal shaleh dan perilaku ahlak mulia serta
menghargai perbedaan.
Kita tidak perlu takut
sesat, akrena kita semua sedang berproses menuju “jalan yang lurus, yang
diridhai Allah”. Asakan hal itu dilakukan dengan tulus dan sungguh sungguh,
menjauhkan egosime, pikiran sempit (
fanatisme) serta nafsu dan perasaan
negatip. Selanjutnya Allah sendiri yang akan bekerja.
Bila kita semua mau
melakukan hal diatas, maka setiap umat akhirnya akan sampai pada muara
kebenaran yang sama. Hakekat kebenaran
ajaran islam, terletak pada penghargaan pada
perbedaan, amal shaleh, perilaku ahlak mulia, kedamaian dan kasih
sayang. Maka setiap jiwa akan mencapai kesuciannya, memantapkan dirinya
dan memberikan kontribusi pada kemajuan
peradaban kehidupan yang baik. Umat islam
tidak lagi terpuruk, semua umat akan maju bersama sama, yang terpenting
setiap jiwa akan mencapai kematangannya, dijaga kesuciannya, tetap hidup didunia,
sekalipun tidak terikat pada dunia.
Reinkarnasi dan Tujuan Pensucian Jiwa
Kalau tujuan kehidupan
manusia adalah untuk kematangan jiwa dengan tetap menjaga kesucian jiwanya,
maka kesucian jiwa dapat dianggap salah satu
tujuan antara. Dan tujuan akhir
kehidupan manusia bukan memperoleh pahala surga atau mendapatkan hukuman neraka ( yang masih
merupakan unsur dikotomi), melainkan; “ dari Allah kembali kepada Allah”. Itulah
terminal akhir rangkaian kehidupan manusia ( akhirat). Seperti telah dijelaskan bahwa hukuman neraka dan pahala surga , didalamnya
masih ada proses, karena itu dapat dianggap bahwa surga dan neraka, merupakan
simbolisasi reward and punishment. Kalau
didalam surga dan neraka masih ada
promosi, maka hal itu dapat ditafsirkan
sebagai suatu proses kehidupan itu sendiri. Karena Allah Maha Suci, maka
hanya jiwa manusia yang suci yang dapat
kembali kepada Allah.
Siapapun manusianya, bila
pada saat kematiannya belum mencapai kesucian jiwa, maka dirinya perlu
menjalani kembali kehidupan didunia (
atau ditempat lain). Demikian
seterusnya, sehingga dirinya mencapai kesucian jiwanya., sehingga dapat : “
Kembali kepada Allah” . Suatu keadaan
yang tak bisa digambarkan, namun tanpa dikotomi. Sementara itu surga
digambarkan sebagai kondisi penuh kenikmatan dan kesenangan, yang dikotomis
dengan keadaan neraka, yang penuh
penderitaan. Kembali kepada Allah, adalah suatu keadaan yang dapat dikatakan,
dalam kata kata, kecuali mungkin dapat dikatakan sebagai keadaan penuh kedamaian,
ketenangan, kasih sayang dan kebahagiaan, keadaan tertinggi yang dapat
digambarkan manusia. Atau bisa pula
dianggap sebagai “perjumpaan dengan Allah” atau “ menyatunya hamba dengan Sang Khalik”
atau “ jumbuhing kawulo lan Gusti” atau “ an al Haq” atau kata lain yang
sepadanan.
Kehidupan kembali,
umumnya dikenal sebagai reinkarnasi, sebagaimana difahami melalui ajaran Hindu
atau ajaran Budha. Reinkarnasi pada ajaran Hindu, yang mengenal adanya kasta
yang hirarki dan turun temurun, tidak sama dengan ajaran Budha, yang tidak
mengenal hirarki dan struktur.
Reinkarnasi yang penulis sampaikan adalah reinkarnasi, atau kehidupan kembali , dimana kelahiran kembali hanya dari
manusia ke manusia, dan tidak ke mahluk lain, apalagi binatang, karena binatang
( secerdas apapun) bukan mahluk yang berakal budhi.
Melalui kelahiran
kembali, maka segala amal perbuatan yang belum diperhitungkan pada
kehidupan sebelumnya, akan diwujudkan
dalam kehidupannya kembali. Sehingga
Allah memang tidak perlu menetapkan nasib seseorang, melainkan semua itu
adalah hasil amal perbuatan manusia bersangkutan. Perhitungan segala amal perbuatan manusia, pada kehidupan
sebelumnya diperhitungkan secara rinci dan ditungkan dalam bentuk
potensi intrinsik, termasuk kemudahan dna kesulitan atau protensi
pengembangan yang diterima di awal kehidupannya kembali. Dan proses kehidupan itu misinya adalah, proses
pematangan jiwa dan peningkatan mutu
kehidupan dan memajukan peradaban kehidupan manusia.
Masalahnya adalah, bagaimana kehidupan jiwa manusia
disaat awal kehidupannya? Seperti telah
disampaikan bahwa setiap penciptaan
jiwa, Allah telah membuat perjanjian dengan yang bersangkutan. Janji tersebut,
yang disimbolkan sebagai pengakuan terhadap Allah, yang maksudnya adalah pemahaman terhadap ajaran Allah berupa
pemahaman terhadap ketentuan dan hukumNya serta
penugasan dan misi kehidupan didunia. Dengan diberikan potensi intrinsik
tertentu yang dibutuhkan dan atau
disesuaikan dengan tugas kehidupannya
masing masing. Itulah yang disebut sebagai kodrat.
Dalam Al Qur’an, masalah
reinkarnasi ini sengaja terselubungi,
yang hanya akan dapat difahami kalau kita mampu menembus selubung atau
hijab. Mungkin hal ini sengaja ditutup Allah, menunggu waktu yang tepat. Karena
dalam Al Qur’an sesungguhnya terdapat berbagai ayat ayat yang dapat difahami
sebagai ajaran reinkarnasi. Kehidupan umat yang hanya sekali sepanjang
kehidupan, akan terlalu sederhana dan menggantungkan manusia pada “pengampunan Allah”, untuk menghapus dosa
atau kesalahan manusia. Karena hanya sedikit saja manusia yang mampu mencapai
kesadaran spiritual, dalam kondisi jiwa yang suci, sebagaimana dikehendaki
Allah. Karena itu wajar bila manusia diberikan kesempatan untuk menjalani kehidupan sehingga mencapai pemantapan jiwa
dan memberikan kontribusi bagi peningkatan kualitas kehidupan dengan tetap
mampu menjaga dan atau mengupayakan kesucian jiwanya.
Tujuan Akhir Kehidupan Manusia
Apakah sebenarnya
diharapkan manusia dalam kehidupan ini? Apakah yang diharapkan manusia pada
kehidupan di akhirat? Apakah yang diharapkan dari tuntunan Allah pada kehidupan
dunia ? Apakah hadiah kehidupan akhirat
yang diharapkan manusia di a khirat?
Dalam bahasa sederhana harapan manusia didunia dan akhirat, adalah:
Kebahagiaan ! Dalam bahasa tasauf, hal
itu akan kita peroleh melalui; “ bersatunya hamba dengan Allah – jumbuhing kawulo lan Gusti- an al Haq
”. Yang menurut Al Qur’an, adalah : “Innalilahi
wa inna lilahi roji’un- dari Allah kembali kepada Allah”. Tujuan , tempat, wadah atau apa saja, yang
tidak lagi mengenal unsur dikotomi, karena kita kembali kepada Allah – Sang
Maha Pencipta- Sang Maha Suci. Meskipun
penggunaan kata kata “ inna lilahi wa
inna lillahi roji’un”, sering hanya dimaknai
umat secara terbatas, sebagai ucapan yang
ditujukan kepada orang yang meninggal,
yang bisa saja di akhirat setelah
pengadilan akhir itu nantinya bisa masuk
surga atau sebaliknya masuk neraka. Padahal itulah essensi tujuan akhir
kehidupan manusia.
Kembali kepada Allah!
Dari Allah kembali kepada Allah, seperti yang telah disampaikan, adalah suatu
kondisi yang dalam ungkapan bahasa
manusia, adalah kondisi, penuh; kedamaian, ketenangan, kasih sayang dan
kebahagiaan. Suatu kondisi yang sebenarnya diluar bayangan manusia atau
ungkapan apa saja. Hanya Allah yang nyata, hanya Allah yang kekal, bukan
ciptaanNya, sekalipun itu surga dan neraka.
Apa yang dituliskan
diatas kalau benar hanya milik Allah, kalau keliru milik penulis ; Walahu’alam.