Selasa, 12 Oktober 2010

Manusia, Tubuh, Jiwa ( Pikiran, Nafsu, Emosi) dan Ruh

Manusia, Tubuh, Jiwa ( Pikiran, Nafsu, Emosi) dan Ruh

Siapa Manusia?

Manusia secara umum, mempunyai perangkat berupa tubuh, indera, akal pikiran, nafsu, perasaan ( emosi), jiwa dan ruh. Bagi seorang atheis, seperti bapak psikologi Sigmunds Freud, jiwa diakui keberadaannya, sekalipun dipahami bahwa jiwa akan mati bersamaan dengan kematian orang bersangkutan. Sedangkan dalam pemahaman ajaran Allah, jiwa tetap akan hidup, dan jiwa inilah yang kelak akan mempertanggung jawabkan segala amal perbuatan yang dilakukan semasa hidup. Sedangkan ruh, merupakan unsur Dzat Allah yang ditiupkan kedalam janin manusia ( menurut Al Qur’an) pada saat dalam kandungan ibu berumar 4 bulan ( menurut Hadits). Dibawah ini diuraikan secara ringkas mengenai, tubuh manusia, indera, akal pikiran, nafsu,emosi , jiwa dan ruh.

Dari mana asal manusia, bagaimana proses penciptannya, apa tujuan hidupnya, dan kemana akhir kehidupannya, memerlukan pembahasan yang panjang. Namun pada kesempatan ini hanya disampaikan secara ringkas melalui bahasa yang diupayakan populer, sehingga mudah difahami.

Di masa lalu, di sekitar abad 12, dunia dihebohkan oleh pandangan seorang ilmuwan yang mengatakan bahwa bumi itu bulat. Sebelumnya, manusia memahami bahwa bumi itu datar, dan karena Kekuasaan Allah Yang Maha Besar, dipahami bahwa Allah selalu menerbitkan matahari dari timur dan membawanya ke barat, dan esoknya kembali membawa matahari dari timur. Copernicus yang disampaikan oleh Gelileo, ilmuwan yang dimaksud, menyatakan bahwa dunia ini bulat dan matahari berputar mengelilingi bumi. Pendapat itu oleh kaum agamawan dinilai merusak hakekat ajaran Allah. Namun kemudian pendapat Copernicus dan Galileo itu terbukti benar. Ternyata bumi itu bulat dan berputar mengitari matahari. Karena itulah maka dengan sendirinya matahari selalu terbit di Timur dan tenggelam di Barat. Dengan kenyataan seperti ini, bukan berarti menjadikan “Allah menjadi lebih kecil”, namun Allah justru semakin Maha Besar. Karena Allah mampu menjadikan semua benda di alam semesta, yang begitu besar dan berat, bergerak mengapung sesuai dengan peredarannya. Bahkan kita sadar bahwa bumi yang menurut manusia begitu luas, ternyata hanya planet kecil di tata surya kita, dan hanya debu, di galaksi Bima Sakti. Bahkan bumi seolah hanya sebuah atom, di alam semesta yang maha luas ini. Kasus penolakan kaum beragama berkaitan dengan “matahari dan bumi”, hendaknya juga dilakukan pada “penciptaan Adam”.

Manusia diciptakan Allah secara sempurna yang secara simbolik diserupakan dengan Allah, dan dijadikannya khalifah di muka bumi. Manusia lebih sempurna dari malaikat apalagi dibandingkan dengan jin/ syaitan/ iblis, yang juga merupakan ciptaan Allah. Secara simbolik Allah hanya mengajar manusia ( nama nama), yang tidak diajarkan kepada malaikat. Karena itu Allah diminta Allah untuk mengabarkan kepada malaikat apa yang diajarkan Allah, dan bukan mengajar malaikat. Karena malaikat tidak diberi perangkat melakukan analisa, malaikat merupakan mahluk yang hanya mengikuti apa yang diperintahkan atau dirtugaskan Allah. Malaikat hanya bisa berbuat kebaikan. Dan karenanya malaikat diperintah Allah untuk bersujud kepada manusia. Mahluk Allah lain, yang menolak bersujud itulah iblis dan syaitan. Iblis dan syaitan, karenanya mendapat kewenangan dari Allah untuk menggoda manusia untuk berbuat kejahatan. Hanya manusia yang beriman yang kebal dari godaan syaitan, namun manakala manusia lengah, maka dapat tergoda.

Mengapa manusia diciptakan? Darimana dan untuk apa diciptakan? Al Qur’an menjelaskan secar a terselubung. Dimulai bahwa manusia sebelum “diturunkan kedunia”, yang berarti jiwanya, telah membuat “perjanjian dengan Allah”. Secara teoritis, jiwa diciptakan Allah dalam keadaan suci. Namun jiwa ditugasnya menjalankan tugas kehidupannya didunia, melalui tubuh phisiknya agar mengalami proses penyempurnaan . Kehidupan dunia, memang dapat memberikan pengalaman dan penghaytan baru, namun kehidupan dunia juga dapat menjerat jiwa sehingga terikat didalamnya. Indikasinya adalah kalau manusia terikat dan lebih menyukai kehidupan dunia.Karena itu tugas manusia dan jiwanya, adalah untuk tetap menjaga agar akal pikiran mengendalikan nafsu dan emosinya , hidup didunia tanpa terikat didalamnya sehingga mampu menjaga kesucian jiwanya ( akibat telah terkotori kehidupan dunia). Sehingga pada akhirnya, jiwa manusia dapat kembali kepada Allah. Dari Allah kembali kepada Allah.

Manusia diciptakan dalam satu kesatuan yang utuh, terdiri dari unsur intrinsik , berupa ; tubuh phisik, indera, jiwa, akal pikiran, nafsu emosi dan ruh, serta faktor pengembangan, yaitu lingkungan kehidupannya, upaya dan perkembangan kehidupan. Dan dalam menjalani kehidupan ini manusia terkena hukum sebab akibat atau hukum lainnya, baik yang menyangkut hukum alam maupun hukum sosial kemasyarakatan. Dan setiap orang empunyai potensi intrinsik maupun potensi pengembangan yang berbeda beda.

Yang mungkin menjadi pertanyaan adalah apakah penetapan potensi intrinsik dari orang perorang yang berbeda beda sejak kelahiran manusia bersangkutan didunia? Penetapan potensi intrinsik oleh Allah bisa dua kemungkinan, Pertama, telah ditetapkan Allah sebelumnya dan Kedua adalah dengan tetap mengikuti hukum sebab akibat. Kalau mengikuti hukum sebab akibat, maka akan menjadi mudah diterangkan kalau kita mempercayai adanya reinkarnasi.

Dengan menganut konsep reinkarnasi , akan tetap akan menjadi pertanyaan , bagaimana dengan kehidupan paling awal bagi jiwa. Jawabannya adalah; bahwa potensi intrinsik seluruh ( jiwa) manusia diawal kehidupannya, hanya mungkin apabila ditetapkan sama diantara semua manusia yang dilahirkan pada awal pertama kali. .

Namun kemudian , akibat perkembangan dari setiap manusia itu berbeda, maka kualifikasi manusia akhirnya menjadi berbeda beda, Dan perbedaan diantara umat manusia itu semakin luas spektrumnya sejalan dengan kompleksitas kehidupan. Pengembangannya kehidupan manusia didunia sejak awalnya yang menjadikan setiap manusia menjadi berbeda beda.

Dengan demikian upaya setiap manusia adalah penting, karena itulah tugas dan misi setiap manusia, siapapun dirinya. Manusia harus bekerja dan berkarya, apapun karyanya. Untuk bisa bekerja dengan baik, manusia harus belajar, apapun cara belajarnya. Dengan sendirinya setiap manusia akan menginginkan kehidupan yang semakin baik. Dan kebaikan yang semakin baik bagi umumnya manusia adalah berhasil dalam kehidupan dunia. Dari sinilah maka ajaran agama menjadi penting. Karena ajaran agama ( dalam hal ini ajaran Islam) akan menuntun kehidupan manusia, dengan tepat , baik dan benar atau bahasa tehnisnya, adalah dapat efektip dan efisien guna mencapai tujuan hidupnya.

Penciptaan Adam Dan Teori Evolusi

Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Adam adalah manusia pertama yang diciptakan Allah, sekaligus sebagai nabi pertama.

Selanjutnya Adam dikisahkan dikeluarkan Allah dari surga dan diturunkan kedunia, karena melanggar larangan-Nya. Mengapa Adam dan Hawa dikeluarkan dari surga, adalah disebabkan Adam dan Hawa telah memakan buah “kuldi”, buah larangan. Yang merupakan simbol dari “buah ilmu pengetahuan”, buah yang “kalau dimakan dapat Adam mampu membedakan mana yang baik dan buruk” yang dapat menimbulkan rasa malu. Mengapa Adam tergoda untuk memakan buah kuldi buah yang “dilarang Allah untuk dimakan melalui hasil godaan syaitan? Adalah sebagai perumpamaan bahwa setiap larangan Allah kepada manusia, maka syaitan justru menggoda agar manusia melakukan pelanggaran. Kisah itu adalah sebagai pintu masuk ajaran, mengapa manusia harus hidup didunia. Melalui “penciptaan Adam dan Hawa sebagai mahluk berpasangan, yang kemudian diajar Allah ( nama nama <> dan pengetahuan baik dan buruk <>, dan kemudian dianugerahi kemampuan melakukan pilihan jalan kehidupan”, telah menjadikan manusia sebagai mahluk yang mulia. Meskipun yang dilakukan oleh Adam dalam hal ini adalah dengan melakukan pelanggaran.

Manusia bukan saja merupakan mahluk yang dianugerahi Allah mempunyai kemampuan berpikir namun juga mahluk yang mengenal budhi, baik dan buruk, senang dan susah. Melalui kemampuan itulah maka manusia mempunyai kemampuan melakukan pilihan. Apakah memilih jalan kebaikan atau jalan kejahatan. Adam dan Hawa sesungguhnya mewakili sifat sifat insani dalam hal kemampuan untuk melakukan pilihan ( free will), namun juga sebagai Nabi utusan Allah yang diberi ajaran Allah. lain halnya dengan Malaikat, mahluk ciptaan Allah yang serba baik, sedangkan iblis merupakan mahluk yang serba jahat, maka manusia menjadi mahluk yang mulia. Manusia adalah mahluk yang menjadi khalifah Allah di bumi, karena diberikan kemampuan oleh Allah untuk memilih.

Sebelum makan “buah larangan”, Adam dan Hawa hidupnya “terasa di surga”. Setelah makan “buah larangan atau buah ilmu pengetahuan, Adam menjadi manusia yang berakal budi, mengenal baik dan buruk, senang dan susah .

Dan pada masa itu telah ada banyak manusia, meskipun dalam Al Qur’an tidak dijelaskan dari mana dan bagaimana asalnya . Namun dapat dikatakan bahwa mereka belum mempunyai kesadaran “akal dan budi ”. Dan anak-anak Adam , manusia yang telah berakal budi , menikah dan melahirkan keturunan dengan manusia-manusia lain (yang belum berakal budi), sehingga keturunannya menjadi mahluk yang “sepenuhnya manusia dan berakal budi”. Dalam Al Qur’an dijelaskan bahwa Adam hanya mempunyai dua orang anak, yaitu Habil dan Kabil. Kemudian diuraikan bahwa Kabil karena iri hati, membunuh Habil. Sehingga hanya tersisa Kabil.

Kalau Adam dan Hawa diciptakan Allah secara langsung ( dan langsung menjadi dewasa berdasarkan konsep “kun fa ya kun”), maka keturunan Adam hanya mungkin ada, kalau terjadi incest , yaitu hubungan suami istri antar sesama anak Adam. Kalaupun ada anak Adam-Hawa yang lain, adalah anak perempunan, maka tidak mungkin Kabil menikahinya ( Habil mati dibunuh). Perkawinan antara anak-anak Adam sesuai dengan hukum biologi akan mengakibatkan degradasi keturunan. Sementara yang terjadi pada pada anak-anak manusia keturunan Adam yang terjadi adalah peningkatan mutu keturunan. Disamping itu berdasarkan hukum Allah, perkawinan antar sesama saudara kandung itu dilarang (yang tentunya hukum ini berlaku dari sejak manusia diciptakan).

Menurut teori Darwin, manusia modern ( sempurna) keberadaannya melalui proses evolusi. Sama halnya dengan adanya semua kehidupan dibumi. Dari mulai sel sederhana tumbuh makin lama makin kompleks , sesuai dengan perkembangan alam dan lingkungan sekitar menjadi berbagai bentuk, dari beraneka tumbuh tumbuhan hingga bermacam binatang . Diantara mahluk yang namana binatang, itu dapat dipetakan menjadi pohon kehidupan. Ringkasnya dari “cabang binatang” yang merupakan semacam kera, kemudian beranak cabang menjadi berbagai monyet yang diantara anak cabang itu terjadi evolusi menjadi mahluk yang paling sempurna .

Menurut skema , evolusi internal spesies Homo adalah sebagai berikut: pertama Homo erectus, kemudian Homo sapiens purba dan Manusia Neandertal, lalu Manusia Cro-Magnon dan terakhir manusia modern.

Yang terus berrevolusi sejak jutaan tahun yang lalu hingga menjadi manusia sebagaimana bentuknya kini. Meskipun terhadap teori Darwin ini masih ada tanggapan dan kontroversi, baik yang pro dan kontra. Lepas dari kebenaran teori Darwin, penulis ingin mengingatkan bahwa upaya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan harus tetap dihargai. Pro dan kontra, sebaiknya tidak berhenti pada fanatisma sempit, melainkan untuk mendorong perkembangan ilmu pengetahuan. Pengalaman dan kasus Gelileo patut menjadi pelajaran.

Walaupun Allah Maha Kuasa, Allah selalu mengikuti hukum yang ditetapkannya. Artinya, berdasarkan ilmu pengetahuan yang terbukti benar, maka kebenaran pengetahuanlah yang perlu kita anut, termasuk masalah “penciptaan Adam”. Pengertian “kun fa ya kun- terhadap penciptaan Adam”, tidak berarti Allah melanggar hukumnya, ada hukum di belakangnya yang belum kita ketahui, demikian pula kisah “penciptaan Adam” perlu difahami secara berbeda. Interpretasi “penciptaan Adam dan pelanggaran Adam”, dapat menjadi seperti yang diuraikan diatas, kalau teori Darwin tentang evolusi, adalah benar merupakan kenyataan. Artinya “essensi penciptaan Adam dan pelanggarannya”, akan tetap sejalan sekalipun dengan “teori evolusi” Darwin.

Kalau teori Darwin itu benar maka penafsiran umat akan penciptaan Adam melalui pemahaman terhadap ajaran agama, yang merupakan sekali cipta ( kun fa yakun), perlu difahami dengan pemahaman yang lain. Artinya manusia sebelum Adam, sudah ada semacam manusia” , dia hanya mahluk bertubuh manusia namun belum mempunyai “akal budhi” dan berpengetahuan. Dan dengan di tunjukNya Adam sebagai manusia pertama dan sekaligus sebagai Nabi, maka Adam yang telah mendapatkan ilmu ( nama nama Allah atau pemahaman terhadap ajaran Allah) dari Allah dan melakukan “kesalahan memakan buah khuldi” , telah menjadi Adam manusia seutuhnya, karena menjadi manusia yang telah “ berakal budhi”. Yang didakwahkan Adam kepada “manusia lainnya”. Pengusiran Adam dari surga untuk turun keduia, adalah merupakan perintah Allah kepada Adam sebagai manusia sekaligus Nabi , untuk menjalankan tugas kehidupan. Ilmu Allah ataupun “ buah kuldi yang dimakan Adam dan Hawa , adalah pembekalan terhadap Adam/ Hawa , dalam menjalankan kehidupan di dunia. Kalau pada waktu Adam dan Hawa , belum mengenal baik dan buruk, senang dan susah , maka itulah kehidupan surga. Maka setelah mengenal baik dan buruk, senang dan susah , itulah kehidupan yang sebenarnya yang harus dijalaninya atau diturunkan dari surga.

“ Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama nama seluruhnya, kemudian mengemukakan kepada Malaikat lalu berfirman;” Sebutkan kepadaKu nama benda benda itu jika kamu memang orang orang benar”. Mereka menjawab:” Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” Allah berfirman:” Hai Adam , berutahukanlah kepada mereka nama nama benda itu”. Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kiamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?” ( Al Baqarah/2:30-33)

Allah telah mengajarkan ajaran yang tidak diajarkan kepada malaikat, ajaran itu adalah “nama nama benda”, yang berarti adalah ajaran tentang “ nama nama Allah” , aspek yang berkitan dengan kesadaran pemahaman terhadap Allah dan ilmu dari sisi Allah pada umumnya..

(Dan Allah berfirman): "Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan isterimu di surga serta makanlah olehmu berdua (buah-buahan) di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim." Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan syaitan berkata: "Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)." Dan dia (syaitan) bersumpah kepada keduanya. "Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasehat kepada kamu berdua", maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?" ( Al A’raaf/7 ayat 19-22)

Buah kuldi merupakan simbol dari buah pengenalan tentang ; baik dan buruk , senang dan susah, karena itu begitu memakannya Adam dan Hawa merasakan rasa malu dengan “menutup aurat”, unsur rasa malu dalam dirinya Meskipun hal itu terjadi melalui godaan syaitan, pasti hanya mungkin terjadi karena perkenan Allah. Suatu proses yang menentukan, sehingga manusia harus menjalankan kehidupan di dunia, untuk kembali “mendapatkan surga”. Kisah Adam adalah kisah pembekalan dan penugasan, dan bukan semata mata penciptaan manusia.

Karena itu sekiranya teorinya Darwin dan para pendudukung teori evolusi itu benar, maka ajaran Allah dalam Al Qur’an, tetap mengena, bahkan lebih mengena. Mengingat hukum perkawinan dan atau proses reproduksi yang seharusnya berlaku. Adam di utus pada saat manusia secara phisik, wujud dan potensinya telah sempurna , siap untuk menerima “ilmu pengetahuan dan pelajaran akal budhi”.

Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi. Allah berfirman: "Turunlah kamu sekalian, sebahagian kamu menjadi musuh bagi sebahagian yang lain. Dan kamu mempunyai tempat kediaman dan kesenangan (tempat mencari kehidupan) di muka bumi sampai waktu yang telah ditentukan." Allah berfirman: "Di bumi itu kamu hidup dan di bumi itu kamu mati, dan dari bumi itu (pula) kamu akan dibangkitkan. Hai anak Adam , sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa[531] itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat. Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman. Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji[532], mereka berkata: "Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya." Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji." Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui? ( Al A’ra’af /7 ayat 23-28)

Kalau kita berasumsi bahwa pada waktu itu hanya ada manusia yang namanya Adam dan Hawa, maka ayat diatas menjadi kurang tepat. Karena Allah memperingatkan, bahwa sebagian kau akan menaddi musuh dari sebagian yang lain, bukan dalam kalimat future tenses” melainkan keadaan masa itu. Artinya Adam tidak hanya berdua dengan Hawa pada waktu berada di dunia, tidak hanya mereka berdua yang merupakan manusia. maka dapat diperhatikan ayat ayat dibawah ini (artinya ada manusia manusia lain bersamanya). Yang kalau kita mengikuti teori Darwin, maka ada “manusia kera” yaitu manusia yang secara phisik dan kemampuan akal pikiran rasional telah sempurna, namun secara “kecerdasan spiritual belum sempurna, karena belum di isi dengan pengetahuan Allah, berupa “akal budhi” yang dibawakan oleh Nabi Adam.

“ Allah berfirman;” Turunlah kamu sekalian, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Dan kamu mempunyai tempat kediaman dan kesenangan ( tempat mencari kehidupan) di muka bumi sampai waktu yang ditentukan” . Allah berfirman;” di bumi itu kamu hidup dan di bumi itu kamu mati, dan dari bumi itu (pula) kamu akan dibangkitkan ( Al A’raaf/7:24-25)

“Sebagian kamu menjadi musuh bagi sebahagian yang lain”. Artinya pada saat Adam diturunkan dari surga, bukan saja hanya ada Adam dan hawa, namun telah terdapat banyak mahluk berupa “manusia serupa dengan Adam , yang telah menghuni dunia. Karena itu ungkapan “dapat dan akan saling bermusuhan”, adalah karena telah ada banyak manusia lain. Dan mereka itulah yang kemudian saling menikah . Sehingga pernikahan yang terjadi bukan di antara sesama anak Adam. Apalagi menurut kisah anak Adam hanya dua , yaitu Kabil dan Habil., keduanya laki laki. Apalagi kemudian dikisahkan bahwa Kabil membunuh Habil, sehingga yang tersisa hanya satu anak saja. Ayat dibawah ini juga mempertegas, bahwa Allah memilih Adam, artinya pemilihan hanya mungkin dilakukan bila ada alternatif manusia lainnya, sama dengan pemilihan Allah terhadap Nuh karena banyak manusia selain Nuh. Sedangkan pemilihan Allah terhadap keluarga Ibrahim dan keluarga Imran adalah karena ada banyak keluarga lainnya.

Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga 'Imran melebihi segala umat , ( Ali Imran/3 :33)

Perlu kita ketahuai bahwa mengapa perkawinan sesama anak dari ayah yang sama dari keluarga laki lakiketurunan dari ayah itu dilarang ajaran Islam karena hal itu dapat mengakibatkan degenerasi. Kalau terjadi perkawinan antara sesama anak Adam artinya terjadi “ incest”, suatu perbuatan yang dilarang ajaran Islam. Ajaran itu berlaku tetap, sejak Adam hingga manusia terakhir. Karena pernikahan antara sesama anak Adam ( satu orang tua) , bertentangan dengan hukum Allah ( incest) dan hukum genetika yang dapat mengakibatkan proses degenerasi. Padahal yang terjadi pada manusia, anak keturunan Adam adalah proses penyempurnaan generasi. Dan antara mahluk “yang serupa manusia” dengan anak Adam atau antara mereka itulah terjadi perkawinan, sehingga manusia beranak pinak . Dalam hal ini Adam berperan sebagai Nabi yang mengajarkan ajaran Allah , sehingga mereka ( yang serupa manusia) dapat mengenal baik dan buruk serta berpengetahuan serta ber-akal budhi .

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia ( yang ditafsirkan sebagai Adam) dari tanah liat kering (yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk..”( Al Hijr/26:27) Dan Dia yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu pertalian darah dan hubungan pernikahan. Dan adalah Tuhan Engkau Maha Kuasa” ( Al Furqan/25:54)” Allah menciptakan ( manusia) dari permulaan , kemudian mengembalikannya kembali; kemudian kepadaNyalah kamu dikembalikan” ( Ar Ruum/30:11)

“Dan Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan kemu berpasangan ( laki laki dan perempuan) . Dan tidak seorang perempuan mengandung dan (tidak) pula melahirkan melainkan dengan pengetahuanNya. Dan sekali kali tidak dipanjangkan umur seseorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan ( sudah ditetapkan) dalam Kitab ( Lauh Mahfuzh) ( Faathir/35:11)

“Dialah membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendakiNya… ( Ali Imran/3:6)

Dalam kaitan dengan teori Darwin, manusia bukan hanya bernenek moyang kera, namun juga berasa dari binatang bersel satu. Kera sebagai nenek moyang manusia , tidak berarti kera yang ada kini dapat berevolusi menjadi kera, karena “cabang pohon kehidupan” yang merupakan cabang mahluk kera sudah lewat, yang kemudian berevolusi menjadi manusia akan terus menjadi manusia, sebaliknya yang kini kera tetap akan menjadi kera.

Jika Darwin tokoh vital teori evolusi awal, di zaman modern ini, maka Teilhard de Chardin yang sarjana paleontology dari Perancis, yang sangat popular dalam teori evolusi yang lebih maju. Menurut Teilhard bumi mengalami 3 fase evolusi:

· Fase Geosfer: fase terciptanya matahari dan planet-planet (termasuk bumi). Pada fase ini belum ada kehidupan, namun perubahan alam berjalan terus.

· Fase Kehidupan (biosfer): bermula dari sel-sel, sampai pada tingkat perkembangan tertinggi. Loncatan evolusi terpenting adalah munculnya manusia.

· Fase pikiran: manusia berkembang dari pola kehidupan primitif sampai pada kehidupan modern yang ditandai teknik dan industri modern.

Teilhard mengatakan, setiap benda memiliki dua segi yang saling berjalin, yaitu segi luar (without): seluruh struktur benda sejauh dapat diukur, diperiksa secara fisika-kimia, dan segi dalam (within): konsentrasi psikis-inti kecendrungan dari benda. Oleh Teilhard, konsentrasi psikis itu disebut “kesadaran”. Kesadaran nampak jelas dalam diri manusia, namun ada juga dalam binatang sebagai perasaan dan insting, dan dalam tumbuh-tumbuhan sebagai hidup vegetatif. Sedangkan dalam benda mati, “kesadaran” itu masih tipis.Segi luar dan segi dalam tidaklah merupakan dua bagian yang berlainan dalam suatu benda, melainkan dua sudut dari kenyataan yang sama, sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan. Jadi benda bukanlah semacam kumpulan atom-atom yang berjajaran secara mekanis saja, melainkan suatu penyatuan atom-atom dan molekul-molekul dengan daya kecendrungan tertentu.

Kecendrungan itu, “kesadaran” , adalah kunci evolusi.Dalam benda mati, kombinasi atom dan molekul masih relatif sederhana dan sejalan dengan kesederhanaan segi luar itu, konsentrasi psikis, segi dalamnya-pun masih sederhana dan tipis. Makin kompleks, makin kaya segi lahir, yakni kombinasi molekul-molekulnya, makin padat dan kuatlah segi batinnya. Evolusi menuju struktur benda yang semakin sempurna adalah sekaligus evolusi menuju kesadaran batin yang semakin memusat. Sampai suatu saat, terjadilah loncatan maha penting dalam proses evolusi alam semesta, yaitu: meningkatnya kesadaran instinktif menjadi kesadaran reflektif, lahirnya pikiran.

Terjadilah jiwa manusiawi. Manusia sadar bahwa dirinya “sadar”, dapat berkata “aku”, dapat memikirkan masa lampau dan masa depan, mengambil kesimpulan, dan merencanakan. Ia sendiri kini menjadi pendorong evolusi.Makin kompleks, makin bersatulah benda – itulah hukum evolusi–, yang disebut oleh Teilhard “loi de complexite et de conscience” (hukum eratnya hubungan antara kompleksifikasi materi dan konsentrasi batin, yaitu kesadaran). Dan bisa ditambahkan bahwa; makin bersatu, makin bebas dari pengaruh luar, makin merdekalah ia dalam dirinya sendiri. Kebebasan mencapai puncaknya dalam diri manusia. Ia merupakan satu personaliti, kepribadian yang menyeluruh dalam dirinya sendiri. Ia bebas menentukan nasibnya sendiri.

Penjelasan dari Teilhard merupakan pukulan yang mematikan bagi materialisme. Ia menunjukan bahwa evolusi tidak berjalan atas susunan materi belaka, tidak berkembang dari kebetulan, tetapi secara terarah, berdasarkan kesadaran batin, seakan-akan dalam benda itu tertanam suatu rencana.Persatuan mutlak antara segi lahir dan batin (tubuh dan jiwa) membawa kesimpulan-kesimpulan yang revolusioner. Pertama, manusia, seluruhnya jiwa dan badan berasal dari bapak ibu, dari leluhur. Jadi bukanlah bahwa anak bayi tubuhnya berasal dari sel telur perempuan dan sperma lelaki, sedang jiwanya pada pembuahan langsung diciptakan Tuhan. Tetapi, bapak ibu secara total, jiwa dan badan, menurunkan anak. Kedua: jika manusia meninggal, tubuh tidak akan mutlak terpisah dari jiwa, dan itu merupakan dasar dari kebangkitan.

Teori evolusi bukan lagi teori evolusi dari Darwin. Darwin sudah jauh ketinggalan. Meskipun ia tetap berjasa, namun teorinya sudah demikian mendapat koreksi, hingga teori evolusi tidak dapat disebut dan disamaratakan dengan Darwinisme. Selama ribuan tahun manusia berevolusi dalam kesadaran. Manusia telah mencapai tingkat kompleksitas yang tinggi, baik dalam pemikiran, perasaan maupun kegiatan-kegiatan hidupnya. Lebih-lebih dalam 300 tahun terakhir, telah terjadi peningkatan yang luar biasa di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan kemampuan-kemampuan intelektuil yang lain.Sesungguhnya titik terpenting teori evolusi bagi kehidupan manusia hari ini adalah penelaahan terhadap langkah-langkah perkembangan kebudayaan manusia. Sehingga kita akan memikirkan lagi asal usul seluruh kegiatan dan tujuan-tujuan dasar dari kegiatan tersebut. Di bidang ekonomi misalnya, dimana saat ini yang menguasai kegiatan ekonomi adalah kapitalistik dan penciptaan kebutuhan yang tidak perlu, banyak menyimpang dasarnya. Seni, terdistorsi dari pengungkapan perasaan kepada selera dangkal seperti pornografi. Sehingga, dengan pemahaman akan landasan kehidupan, manusia bisa merencanakan merintis kemajuan-kemajuan sejati di masa mendatang.

Bagaimanpun juga adanya teori evolusi telah membuka pengembangan dan integrasi berbagai ilmu dan teknologi, sebagaimana telah disebutkan dimuka, seperti kajian biologi evolusione (DNA) masa kini, yang melibatkan ilmuwan yang berkutat di bidang biokimia, ekologi, genetika, dan fisiologi. Konsep evolusi juga digunakan lebih lanjut pada bidang seperti psikologi, pengobatan, filosofi,bahkan ilmu komputer.

Andaikata teori evolusi itu benar, maka artinya Allah telah menciptakan alam dan mahluk di dalamnya secara evolutif, hal itu tak berarti telah menjadikan Allah berkurang kehebatannya baik ke Maha Besar-nya , ke Maha Pencipta-nya dan ke-Maha Kuasa-nya . Belum lagi masalah penciptaan secara biologis akan menjadi bahasan yang semakin rumit bila dikaitkan dengan yang terkait dengan unsur atau dimensi ghaib dari manusia (kecerdasan akal pikiran, perasaan , jiwa dan ruh), yang diluar dimensi materi. Meskipun semua kehidupan dialam ini seolah terjadi dengan sendirinya secara evolutif banyak aspek kehidupan yang harus dijalankan dalam kehidupan ini.

Ada dua pandangan besar dalam pemahaman umat Islam pada umumnya dalam kaitan dengan penciptaan Adam. Kelompok Pertama, adalah mereka yang meyakini bahwa penciptaan Adam sebagai manusia pertama terjadi secara langsung paripurna tanpa proses, Allah tinggal emngucapkan “ kun fa ya kun ~ jadilah maka terjadilah” ( fixisme) : Kelompok kedua adalah bahwa penciptaan manusia ( Adam ) melalui proses transformasi, yang kurang lebih sejalan dengan teori evolusinya Darwin. Adam adalah Nabi sekaligus manusia yang berakal budhi, berbeda dengan mahluk setara manusia lainnya.

Manusia yang dalam dirinya secara turun-temurun telah tertanam sebagai mahluk yang berakal budi inilah yang menjadikan dirinya berbeda dengan mahluk ciptaan Allah lainnya. Akal budi ini pula yang menjadikan manusia mampu membedakan mana yang baik dan buruk, dan sekaligus kemampuan dan kewajiban untuk melakukan pilihan. Karena itu wajar bila Allah juga meminta pertanggungan jawab segala amal perbuatan manusia setiap umatnya.

Apapun teori tentang penciptaan manusia itu, namun kalau telah dapat dibuktikan oleh ilmu pengetahuan ( dalam arti luas), maka itulah kebenaran, dan pasti sejalan dengan ajaran Allah . Maka pemahaman dan keyakinan kita terhadap keberadaan Allah dengan segala atributnya perlu disesuaikan, karena bukan ajaran Allah yang keliru namun pemahaman kita yang keliru.

Tubuh Fisik dan Indera

Secara sederhana, tubuh manusia memiliki berbagai organ, seperti badan (daging, kulit), tulang, organ dalam, darah dan pembuluhnya, sistem syaraf , indera (panca indera). Setiap tubuh manusia terdapat organ otak dengan dukungan susunan syarafnya di seluruh tubuh yang bekerjanya sangat luar biasa. Otak berfungsi mengkoordinasikan seluruh organ tubuh agar berfungsi dengan baik

Indera atau indria merupakan alat penghubung/kontak antara jiwa dalam wujud kesadaran rohani diri dengan material lingkungan. Dalam ajaran Hindu indria ada sebelas macam dan disebut sebagai eka dasa indriya.

Lima macam indera berfungsi sebagai alat sensor dalam bahasa Sansekertanya disebut panca budi indriya dan dalam bahasa Indonesia lebih dikenal sebagai panca indera yaitu: alat pembantu untuk melihat (mata), alat pembantu untuk mengecap (lidah), alat pembantu untuk membau (hidung), alat pembantu untuk mendengar (telinga), dan alat pembantu untuk merasakan (kulit/indera peraba).

Lima jenis lagi disebut panca budi indria sebagai alat gerak yaitu tangan untuk mengambil, kaki untuk berjalan, anus untuk membuang air, mulut sampai hidung untuk bicara-bernafas-makan, alat kelamin untuk menikmati hubungan kelamin. Indria yang kesebelas merupakan indera utama yang mengontrol jalannya kesepuluh indera yang lain. Indera kesebelas ini adalah pikiran sebagai kendali segala aktivitas diri.

Indera Mata

Indera mata, merupakan indera penglihatan, kemampuan manusia untuk melihat gelombang cahaya yang sebenarnya merupakan enersi yang berbentuk gelombang elektro magnetik dan kasad mata , adalah pada cahaya dengan panjang gelombang 380- 780 nm ( nanometer). Gelombang cahaya lebih kecil dari 380 nm, adalah gelombang cahaya / enersi dari mahluk ghaib/ kekuatan yang bersifat negatif, sedangkan gelombang cahaya diatas 750 nm, adalah gelombang cahaya berasal dari mahluk ghaib yang bersifat positip. Warna adalah spektrum tertentu yang terdapat di dalam suatu cahaya sempurna (berwarna putih). Identitas suatu warna ditentukan panjang gelombang cahaya tersebut. Sebagai contoh warna biru memiliki panjang gelombang 460 nanometer. Dalam peralatan optis, warna bisa pula berarti interpretasi otak terhadap campuran tiga warna primer cahaya: merah, hijau, biru yang digabungkan dalam komposisi tertentu. Misalnya pencampuran 100% merah, 0% hijau, dan 100% biru akan menghasilkan interpretasi warna magenta.Dalam seni rupa, warna bisa berarti pantulan tertentu dari cahaya yang dipengaruhi oleh pigmen yang terdapat di permukaan benda. Misalnya pencampuran pigmen magenta dan cyan dengan proporsi tepat dan disinari cahaya putih sempurna akan menghasilkan sensasi mirip warna merah. Setiap warna mampu memberikan kesan dan identitas tertentu sesuai kondisi sosial pengamatnya. Misalnya warna putih akan memberi kesan suci dan dingin di daerah Barat karena berasosiasi dengan salju. Sementara di kebanyakan negara Timur warna putih memberi kesan kematian dan sangat menakutkan karena berasosiasi dengan kain kafan (meskipun secara teoritis sebenarnya putih bukanlah warna). Di dalam ilmu warna, hitam dianggap sebagai ketidakhadiran seluruh jenis gelombang warna. Sementara putih dianggap sebagai representasi kehadiran seluruh gelombang warna dengan proporsi seimbang. Secara ilmiah, keduanya bukanlah warna, meskipun bisa dihadirkan dalam bentuk pigmen.

Indera Telinga

Indera telinga, sebagai fungsi pendengaran kemampuan manusia untuk mendengarkan suara adalah antara 20 hertz dan 20.000 hertz. Manusia tidak bisa mendengar suara infrasonik yang gelombangnya dibawah 20 hz dan suara ultrasonik yang gelombang suaranya lebih dari 20.000 hz. Suara infrasonik adalah yang diciptakan oleh bergetarnya benda benda yang besar, seperti gempa dan gunung meletus. Sedangkan suara ultrasonik adalah gelombang suara yang dimiliki kelelawar. Namun manusia dengan perangkat teknologi mampu mendengarkan semua gelombang suara, dan masing masing gelombang suara dapat didaya gunakan. Telinga manusia disamping sebagai alat pendengaran juga berguna menjaga keseimbangan tubuh.

Indera Hidung

Indera hidung menjalankan fungsi penciuman sekaligus juga untuk melakukan pernafasan, yang merupakan unsur penting bagi kehidupan. Penciuman atau olfaksi, adalah penangkapan atau perasaan bau. Perasaan ini dimediasi oleh sel sensor tespesialisasi pada rongga hidung vertebrata, dan dengan analogi, sel sensor pada antena invertebrata. Untuk hewan penghirup udara, sistem olfaktori mendeteksi zat kimia asiri atau, pada kasus sistem olfaktori aksesori, fase cair. Pada organisme yang hidup di air, seperti ikan atau krustasea, zat kimia terkandung pada medium air di sekitarnya. Penciuman, seperti halnya pengecapan, adalah suatu bentuk kemosensor. Zat kimia yang mengaktifkan sistem olfaktori, biasanya dalam konsentrasi yang sangat kecil, disebut dengan bau.

Indera Mulut

Indera mulut dengan lidahnya sebagai fungsi pengecap Lidah mempunyai reseptor khusus yang berkaitan dengan rangsangan kimia. Lidah merupakan organ yang tersusun dari otot. Permukaan lidah dilapisi dengan lapisan epitelium yang banyak mengandung kelenjar lendir, dan reseptor pengecap berupa tunas pengecap. Tunas pengecap terdiri atas sekelompok sel sensori yang mempunyai tonjolan seperti rambut. Permukaan atas lidah penuh dengan tonjolan (papila).

Tonjolan itu dapat dikelompokkan menjadi tiga macam bentuk, yaitu bentuk benang, bentuk dataran yang dikelilingi parit-parit, dan bentuk jamur. Tunas pengecap terdapat pada paritparit papila bentuk dataran, di bagian samping dari papila berbentuk jamur, dan di permukaan papila berbentuk benang. Lidah merupakan bagian tubuh penting untuk indra pengecap yang terdapat kemoreseptor untuk merasakan respon rasa asin, asam, pahit dan rasa manis. Tiap rasa pada zat yang masuk ke dalam rongga mulut akan direspon oleh lidah di tempat yang berbeda-beda. Letak masing-masing rasa berbeda-beda yaitu; (1) Rasa Asin, Lidah Bagian Depan (2)Rasa Manis, Lidah Bagian Tepi (3) Rasa Asam / Asem, Lidah Bagian Samping (4) Rasa Pahit / Pait , Lidah Bagian Belakang.

Indera Kulit

Kulit sebagai indera peraba / perasa Kulit berfungsi sebagai alat pelindung bagian dalam, misalnya otot dan tulang; sebagai alat peraba dengan dilengkapi bermacam reseptor yang peka terhadap berbagai rangsangan; sebagai alat ekskresi; serta pengatur suhu tubuh. Sehubungan dengan fungsinya sebagai alat peraba, kulit dilengkapi dengan reseptorreseptor khusus. Reseptor untuk rasa sakit ujungnya menjorok masuk ke daerah epidermis. Reseptor untuk tekanan, ujungnya berada di dermis yang jauh dari epidermis. Reseptor untuk rangsang sentuhan dan panas, ujung reseptornya terletak di dekat epidermis.

Disamping fungsi tehnis dari panca indera diatas, melalui seluruh penggunaan panca indera , manusia dapat melihat dan membayangkan/ melakukan imajinasi dan atau melihat kedalam sesuatu yang bersifat mistis atau makrifat. Demikian juga yang dilakukan melalui pendengaran, manusia dapat mendengar bisikan ghaib, apakah berasal dari syaitan atau malaikat bahkan Allah, tergantung bagaimana kondisi jiwa. Melalui perasaan, emosi manusia dapat merasakan suatu kehadiran sesuatu yang ghaib, baik syaitan maupun malaikat idsamping merasakan “ kehadiran Allah”. Koordinasi panca indera terhadap seluruh hasil kerj a panca indera, yang kemudian akan terwujud dalam bentuk pikiran, pemahaman dan kehendak.

Betapa pentingnya peran panca indera dalam membentuk pemahaman dan penghayatan apapun, termasuk terhadap ajaran Allah. Pada setiap orang kepekaan panca indera itu berbeda beda, baik penglihatan, pendengaran, perasaan , penciuman dan pengacapan. Yang bisa timbulnya bisa akibat kecerdasan ataupun fokus perhatian ataupun karena kebiasaan dan faktor keunikan lainnya.

Satu saja indera yang hilang atau tidak berfungsi, maka akan menjadi timpang. Pada orang buta sejak lahir, tentu imajinasi, emosinya dan persepsinya berbeda beda. Demikian pula bila terjadi ketidak berfungsian indera lainnya. Sehingga bisa dibayangkan kalau salah satu atau beberapa indera tidak berfungsi dan melakukan pemahaman terhadap ajaran Allah. Maka pasti semakin berbeda dengan mereka yang lengkap fungsi inderanya.

Berkaitan dengan panca budi indera, merupakan bentuk pengamalan dari hasil koordinasi kegiatan panca indera. Baik yang dilakukan melalui ; kaki, tangan, ucapan ( mulut) , perangkat sexual atau pembuangan cairan tubuh dan perangkat pembuangan kotoran zat padat ( sisa makanan yang habis diolah) atau anus.

Karena itu dalam Al Qur’an beberapa kali disebutkan terhadap perilaku manusia, punya mata tetapi tak melihat, punya telinga tapi tak mendengar, punya rasa tapi tak berkorban, punyai hati tetapi membatu. Hal itu bukan makna phsikal namun makna spiritual.

Uniknya, karena keistimewaan anugerah Allah, manusia yang inderanya secara fisik tidak berfungsi, namun secara spiritual dapat tetap berfungsi. Misalnya pada orang yang buta sejak lahir, maka dunia ini sesuai dengan imajinasinya, dan ini disebabkan karena ada intuisi atau yang dikenal dengan indera keenam yang lebih tajam dari manusia biasa. Kekurangan akan indera phisik, dapat terisi dengan penguatan kemampuan indera ke enam ( extra sensoris perception). Bahkan adanya peran indera phisik yang dominan justru dapat semakin menjerat manusia pada keterikatan pada duniawi. Karena itu, potensi adanya indera keenam perlu didayagunakan atau diasah sekalipun kita telah mempunyai 5 indera yang sempurna. Indera keenam atau extra sensoris perception, perlu ditingkatkan mendampingi indera phisik, sehingga menjadikan setiap diri kita semakin tinggi potensinya.

Otak dan Akal Pikiran dan Kecerdasan

Selama ini telah menjadi motto bersama dikalangan umat Islam, bahwa akal pikiran manusia itu potensinya terbatas. Namun sudahkah akal pikiran manusia yang terbatas itu didayagunakan secara makismal? Einstein tokoh manusia jenius, dari hasil penelitian, baru menggunakan 15% dari potensi otak atau akal pikirannya. Otak selama ini diyakini adalah unsur phisik yang menjadikan manusia mampu berpikir dan menggerakkan seluruh organ tubuhnya agar berfungsi. Manusia pada umumnya, baru menggunakan sekitar 3-5 % dari potensi otaknya. Artinya akal pikiran manusia yang kita katakan terbatas itu sebenarnya belum kita daya gunakan dengan optimal, apalagi makismal. Jadi jangalah kita mempunyai semboyan bahwa akal pikiran terbatas , sementara kita belum berbuat apa apa dalam mendayagunakan akal pikiran kita. Bahwa manusia itu terbatas dan juga kemampuan otak, akal pikirannya terbatas itu sudah sangat jelas, namun tak perlu didengung dengungkan. Karena itu akan melemahkan jiwa kita, apalagi kita belum berbuat apa apa, dan hanya ditujukan kepada mereka yang telah berbuat memaksimalkan akal pikiran dan kecerdasannya.

Otak mempunyai fungsi untuk mengolah informasi, baik untuk menggerakkan organ tubuh secara sadar maupun bawah sadar, disamping sebagai sarana berpikir (“Central Proccessing Unit ~CPU /hard disk”).

Begitu luar biasa dan kompleks sarana fisik yang terdapat dalam tubuh manusia, terutama otak dengan semua jaraingan syarafnya. Otak manusia telah buksial dipetakan, sehingga dapat diketahui bagaimana peran otak kanan, otak kiri, dan otak kecil, hingga pada setiap fungsi dari kumpulan sel otak. Sel syaraf otak (neuron) bertanggung jawab untuk menyimpan informasi dan bekerjasama secara terpadu dengan suluruh bagian otak, berfungsi mengolah informasi sehingga mampu manusia berpikir secara cerdas. Jumlah sel neuron sekitar 10-15 miliar, dengan total beratnya hanya sekitar 180 gram. Jumlah sel neuron tersebut hampir sama banyaknya dengan jumlah planet dalam seluruh Galaksi. Karena itu otak merupakan universum dalam kepala setiap manusia. Sel-sel penting otak terdiri dari sel neuron dan sel glia. Sel glia ini berfungsi sebagai perekat agar sel neuron kokoh dan kuat yang menyusun kulit otak.

Dalam otak manusia terdapat sekitar 100 milyar sel dengan berat keseluruhannya sekitar 420 gram, sedangkan total berat otak orang dewasa sekitar 1.400 gram, atau 2% dari total berat badan manusia. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa seluruh sel otak berjumlah sekitar 100 milyar. Otak aktif sejak lahir. Masing-masing sel otak membuat jaringan sampai 20.000 sambungan setiap detik. Dan yang paling mengagumkan adalah otak kita berkembang melalui proses belajar alamiah, dengan kecepatan 3 milyar sambungan setiap detik. Bisa dibandingkan pada tahun 1997, dengan jutaan pengguna komputer di seluruh dunia, jaringan internet sebanyak 200 juta sambungan, maka diperlukan kecepatan untuk membuat jaringan yang sama yang dilakukan oleh otak dalam satu detik, maka keseluruhan jaringan intenet di dunia membutuhkan waktu 45 hari.

Karena itu, Gordon Dryden, mengatakan bahwa otak manusia adalah komputer paling hebat di dunia. Kemampuan memori otak manusia menurutnya adalah 10 pangkat 800 GB, dibandingkan dengan jumlah planet di seluruh semesta hanya sekitar 10 pangkat 100.

Potensi manusia yang dapat dikembangkan secara lebih holistik, komprehensif dan integral adalah berupa; 1) indera, 2) rasio, 3) emosi, dan 4) intuisi. Plato, Socrates, Aristoteles, Henri Bergson, Aviciena (Al-Farabi) dan Averoes (Ibn Sina) serta Al Gazali, jauh hari telah mengemukakan masalah yang sama. Yang belum menjadi bahan pertimbangan adalah bagaimana kedudukan dan peran jiwa, nafsu dan ruh. Dalam hubungan ini, Al Gazali telah memperkenalkan isitilah; al Aq’al, al Ruh, al Nafs dan al Qalb. Dan sejak lama ketetapan dalam Al-Qur’an tentang “pikiran” selalu diterjemahkan sebagai kecerdasan rasional, padahal dapat menyangkut semua bentuk kecerdasan manusia. Baik yang kini telah ditemukan maupun yang belum ditemukan, di mana akan mampu membangun potensi kecerdasan manusia menuju “kedewasan tingkat tinggi”.

Manusia juga terdiri dari kumpulan DNA sebagai cetak biru dari manusia , yang telah berhasil dipetakan melalui teknologi canggih. Melalui peta DNA banyak kemajuan pengetahuan tentang manusia telah diperoleh, termasuk bagaimana menangani masalah kesehatan. Namun demikian pengetahuan manusia tentang DNA tetap saja menyimpan misteri. DNA pada dasarnya berisi program dalam diri manusia (termasuk mahluk hidup pada umumnya), semacam “chip” dari program fisik dan kecerdasan dari setiap manusia, baik bentuk, warna dan seluruh komponen pembentuk wujud fisik dari mahluk bersangkutan, dan tingkat kecerdasannya. Melalui “teknologi cloning”, binatang telah berhasil digandakan menjadi mahluk yang serupa dan sebangun dengan aslinya. Sehingga dengan teknologi serupa, maka manusia dengan mudah juga dapat digandakan dalam bentuk manusia yang “serupa dan sebangun”. Artinya melalui teknologi tersebut kita dapat membangun kumpulan keturunan manusia, yang secara fisik dan intelektual mempunyai tingkat kesempurnaan yang sama dengan aslinya. Yang menjadi masalah adalah, bagaimana dengan jiwa dan aspek spiritual lainnya?

Akal pikiran adalah sarana manusia dalam menentukan setiap arah dari setiap detik kehidupannya. Pada masa abad awal hingga sebelum akhir abad 20 ini, akal (‘aql) dikenal sebagai kecerdasan rasional. Pada akhir abad 20, mulai ditemukan atau dikembangkan manusia berbagai jenis kemampuan berpikir, yang didasarkan pada kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual (jiwa). Menurut penulis, bentuk “kecerdasan ruhani” manusia mencakup semua potensi kecerdasan manusia yang ada.

Kesadaran manusia akan keberadaan diri adalah melalui akal pikirannya. Tanpa akal pikiran, manusia tidak dapat memahami diri dan keberadaannya. “Cogito ergo sum, saya berpikir maka saya ada”, merupakan ungkapan Descrates yang patut difahami dengan baik dan benar, tentang kesadaran akan keberadaan diri manusia, termasuk kesadaran akan keyakinan sesuatu. Sehingga menyetujui dogma, sepenuhnya juga hasil kerja akal pikiran. Karena itu, keliru bila manusia takut dalam mengoptimalkan penggunaan akal, akibat keyakinan dan dogma tertentu. Di mana antara kebodohan (karena malas menggunakan akal) dan berpikir bebas tanpa hambatan (karena dikendalikan nafsu), keduanya sama-sama merugikan.

Aql yang dapat juga disebut sebagai “pikiran” atau kecerdasan, menurut Al-Qur’an dan berbagai pemahaman, terdiri dari kecerdasan intelektual (rasonal), kecerdasan emosional dan kecerdasan ruhaniyah (spiritual), ataupun kecerdasan lain, yang belum ditemukan orang.

Kapasitas Kecerdasan Akal, terkait dengan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai berikut.

Akal adalah sistem yang sempurna, (Al-Sajadah, ayat 7-9), Menciptakan apa-apa yang kamu tidak ketahui (Al Nahl, ayat 8), Mengajari manusia yang tak diketahuinya (Al-‘Alaq, ayat 4-5), Apakah …memahami apa apa yang engkau sampaikan? (A- Furqan, ayat 44), Menjadi tanda tanda bagi kaum yang mau berpikir (Al-Jatsiyah, ayat 5), Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Qur’an berbahasa Arab supaya kamu berpikir (Al- Zukruf, ayat 1), Kitab yang dijelaskan ayat ayatnya (yaitu) Al-Qur’an berbahasa Arab bagi kaum yang mengetahui (Al- Fushilat, ayat 3-4), Dan jika engkau bertanya kepada mereka….Tetapi kebanyakan mereka tidak memahami (A- Ankabut, ayat 63), Apakah engkau memperdengarkan kepada orang orang tuli walau mereka tidak mengerti? (Yunus, ayat 42), Orang yang pekak dan bisu (tentang kebenaran), mereka yang tidak mau mengerti (Al-Anfal, ayat 22).

Selanjutnya, konsep kecerdasan ‘aql tersebut, telah dikembangkan melalui ilmu pengetahuan rinciannya meliputi; kecerdasan akal (intelektual), kecerdasan emosional yang terangkup kedalam kecerdasan spiritual atau kecerdasan ruhani.

Kecerdasaan Rasional (Intelektual-IQ) dan peran otak kiri, mencakup kemampuan manusia untuk; memilih hukum kausalitas, memahami sistem jagad raya, berpikir distingtif, argumen logis, berpikir kritis, mampu mangatur taktik dan strategi, dan belajar dari pelajaran dan pengalaman. Sedangkan kecerdasan emosional (EQ) dan peran otak kanan, mencakup kemampuan manusia untuk: memiliki kesabaran, memahami orang lain, memiliki kreatifitas dan inovasi, imajinasi, intuisi, hubungan sosial yang memupuk (istiqamah dan fathanah), amanah (trust), dan silaturahmi.

Beberapa tahun terakhir ini, manusia mulai tertarik pada kecerdasan emosional (EQ) hasil temuan Daniel Goleman. Dan bentuk kecerdasan lain adalah kecerdasan ruhaniyah (spiritual atau SQ). Secara fa’ali kecerdasan spiritual, menurut Danah Zohar dan Ian Marshall, beroperasi di pusat otak, yang menintegrasikan kedua kecerdasan; rasional dan emosional. Kini orang sedang memikirkan kecerdasan baru, yaitu “kecerdasan adversitas “(AQ) yang dikembangkan menjadi “kecerdasan quantum” (QQ).

Menurur Zohar dan Marshall, perbedaan antara SQ dan EQ terletak pada daya ubahnya. Sedangkan EQ, menurut Daniel Goleman, memungkinkan seseorang mampu untuk memutuskan dalam situasi apa saja dengan cara yang tepat. Dengan pengertian bahwa kecerdasan itu bekerja dalam batasan tertentu tanpa upaya melakukan perubahan. Sedangkan SQ merupakan kecerdasan yang melampui kemampuan EQ. Melalui SQ, alaternatif yang dapat dilakukan dari mulai mengubah, situasi hingga pada tidak lagi perlu melakukan tindakan apapun alias diam. Sesungguhnya melalui kecerdasan emosional atau spiritual, yang diasah adalah kepekaan untuk melihat seluruh permasalahan dengan baik, yaitu dengan hati. Karena hati, adalah receiver . yang dapat menangkap informasi apapun, karena “setiap benda sesungguhnya bisa berbicara dengan mengirimkan sinyal informasi ”. Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Khidr, yang mampu menangkap semua informasi dari manapun. Atau Nabi Sulaiman yang mampu “berbicara dengan bahasa binatang dan jin”.

Sesungguhnya kecerdasan emosional menurut para ahli, adalah merupakan kacerdasan ruhaniyah atau ketajaman (kecerdasan) hati menurut ajaran Allah.Kecerdasan yang jauh melebihi kecerdasan rasional, sekalipun kecerdasan rasional tetap diperlukan dalam melakukan analisis dan melakukan pilihan. Kecerdasan spiritual ini, adalah kecerdasan yang berkembang karena hati di terangi dengan cahayaNya. Karena melalui kecerdasan inilah akal akan mendapatkan informasi yang lengkap dan diperlukan terkait dengan suatu perkara yang harus diputuskan. Hanya dengan data/informasi yang lengkap , maka wawasan menjadi luas, dan data / informasi akan dapat diolah, dan ditemukan solusinya dengan tepat, baik dan benar (adil bijaksana)

Kecerdasan Ruhaniyah (Spiritual-SQ) menurut sementara ahli terletak pada God Spot, bagian tengah otak, yang dicirikan pada: Ketersambungan akal pikiran dengan Enersi Allah”, sikap relaksasi yang pada dasarnya merupakan bentuk ; “penyerahan diri secara menyeluruh hanya kepada Allah” . Keterbukaan akan rahasia yang Ghaib (kehidupan di atas dimensi keempat). Ketajaman hati atau qolbu atau batin, sehingga mampu menangkap “petunjuk Allah”, dan integrasi semua kecerdasan manusia (holistik-dialogis). Juga kemampuan memahami rahasia kehidupan dan ajaran Allah (Masa Lalu-Masa Kini-Masa Depan); baik yang fisikal maupun yang ghaib ( seperti dalam kisah “Nabi Khidir”).

Ketiga bentuk kecerdasan manusia di atas (dan kecerdasan lain yang belum ditemukan (misalnya kecerdasan Quantum), pada dasraya dapat saling mendukung dan mengisi. Tergantung pada aspek pembahasan atau oleh pikiran yang diperlukan. Karena pada dasarnya masing-masing kecerdasan akan mempunyai tingkat dominansi pemanfaatan tertentu. Sebagai contoh aspek yang lebih membutuhkan perhitungan matematik, memerlukan kecerdasan rasional-intelektual, karena perhitungan matematika itu bisa terkait dengan kegiatan hubungan antar-manusia, maka didalamnya diperlukan adanya penggunaan kecerdasan emosional/ spritual. Bahkan mungkin membutuhkan kecerdasan ruhaniyah. Lain lagi dengan aspek yang lebih bersifat/ merupakan relasi sosial, maka aspek kecerdasan emosional akan lebih berperan dan diperankan, sedangkan kecerdasan lainnya tetap diperlukan namun bersifat mendukung. Intinya, kalau manusia sudah terlatih menggunakan semua potensi dirinya, baik phisik , indera, akal pikiran dengan semua kecerdasanya, dalam mengendalikan nafsu ( enersi) dan emosi ( merasakan) , idealnya perlu dan atau dapat didayagunakan secara proporsional.

Kemampuan otak manusia sangat luar biasa. Einsten sang jenius, baru menggunakan 15% dari kapasitas phisik otaknya. Sedangkan manusia biasa baru menggunakan sekitar 2-3 % saja, itupun dalam penggunaan yang belum seimbang akibat pengaruh sistem pendidikan. Seperti diketahui, sistem pendidikan yang kini lebih berkembang adalah pelatihan terutama masih ditekankan pada pendayagunaan otak bagian kiri. Terutama sejak Wilhem Stern, psikolog Jerman yang mengacu kepada teori intelegensia. Alfred Binnet dan Theodore Simon menyebutkan IQ (Intellengence Quotient) sebagai ukuran kecerdasan.

Profesor Universitas Havard, Richard Hernstein dan ilmuwan politik Charles Murray, telah menutup abad 20 dengan pendewaan besar-besaran terhadap IQ. Melalui metoda “Quantum Learning”, telah dicoba mengembangkan pendayagunaan otak kiri dan kanan secara seimbang. Upaya untuk tidak mendewa-dewakan otak kiri juga didukung oleh Astronom Willis Hartman dan Edgar Michel dengan mendirikan Institur for Neroetic (dari kata jiwa dan akal), demikian juga telah dilakukan oleh Fritjof Capra yang menemukan kesejajaran Fisika dan Metafisika. Demikian juga yang telah dikembangkan oleh Danah Zohar, dengan hasil temuan berupa kecerdasan spiritualnya.

Jika kita mendayagunakan semua kecerdasan (rasional, emosional dan spiritual-ruhaniyah) secara seimbang, maka upaya ini perlu dilakukan melalui perubahan sistem pendidikan. Yaitu mulai dari pra sekolah, sekolah dasar , sekolah menengah bahkan tingkat universitas, hingga S3. Melalui upaya itu maka kita akan menciptakan kehidupan umat manusia yang jauh lebih baik. Masalahnya adalah bagaimana memasukkan ajaran agama secara tepat, masuk kedalam semua sistem keilmuan ciptaan manusia. Sesuai dengan tingkat perkembangan akal pikiran anak didik, sesuai dengan umur dan tingkat perkembangan kejiwaannya.

Kemampuan otak manusia benar-benar sangat mengagumkan, sementara itu baru didayagunakan jauh di bawah kapasitas rata-rata sekitar 3-5%. Kita seringkal menilai bahwa akal pikiran kita manusia sangat terbatas, namun akal pikiran yang sangat terbatas itu belum didayagunakan atau diupayakan pemanfaatannay secara optimal. Kita tak bisa membayangkan kemajuan berpikir manusia kalau kapasitas otak telah digunakan 100%. Meskipun pengetahuan otak telah hampir lengkap, namun manusia masih belum menemukan di mana letak daya dorong untuk berpikir dan melakukan analisis. Melalui keseimbangan penggunaan akal pikiran, sejalan dengan sifat atau fitrah tubuh, kehidupan seseorang akan lebih sehat, dan pada gilirannya akan meluas pada kehidupan masyarakat, bangsa dan umat manusia. Karena apa yang kita lakukan akan sinkron dengan kehendak alam semesta, amanat Allah. Dalam wujud yang seolah di luar ayat-ayat dan hukum agama, namun justru itulah mungkin wujud pengamalan kehidupan yang lebih baik dan benar.

Sigmund Freud, sebagai bapak psikologi, menetapkan dua proses psikologi, primer dan sekunder. Proses primer, diasosiasikan dengan; id (super ego), instink, tubuh, emosi dan bawah sadar. Proses sekunder diasosiaikan dengan; ego, kesadaran dan pikiran rasional. Freud lebih mementingkan proses sekunder, dan para psikolog lainnya lebih mengutamakan proses primer. Dan dengan adanya konsep SQ maka terdapat 3 proses. Kedudukannya sebenarnya pada bagian dari proses primer, yaitu alam tak sadar.

Dalam kaitan dengan SQ, meskipun dalam bahasa yang berbeda, Jung telah mencoba mendalami konsep diri” dan “fungsi transendental”. Sayang ia keburu meninggal (1961) sehingga pemikirannya terhenti. Meskipun demikian banyak ahli lain yang mencoba meneruskannya, seperti David Lukof, Sally Clay , RD Laing, John Perry, Marsha Sinetar dan Khalil Khavari, dll.

Otak seorang manusia, kalau dibuat komputer, besarnya sama dengan “bola dunia”. Dengan kemampuan otak seperti itu, maka perilaku manusia tidak mungkin diramalkan. Mungkin karena hingga kini belum ditemukan bagaimana membuat komputer yang memiliki perasaan dan kemampuan spiritual seperti manusia.

Sel-sel penting otak adalah neuron dan sel glia. Neuron bertanggung jawab untuk menyimpan dan mengolah informasi, bekerja sama secara terpadu dengan seluruh bagian otak, sehingga memungkinkan manusia berpikir. Jumlah sel neuron sekitar 10-15 milyar, sama dengan bintang yang ada dalam Galaksi Bimasakti. Sel glia berfungsi memberi makan kepada sel neuron, sekaligus sebagai perekat agar neutron kuat dan kukuh. Otak didukung oleh sel syaraf, yang jaringannya mirip pohon (dendron) dan ranting (dendrit).

Batang pohon disebut nucleus, sedangkan pesan antar sel disalurkan melalui semacam tabung yang disebut akson. Pesan pesan dikirim oleh sel syaraf lain yang disebut sinaps. Kalau sel syaraf berjumlah 10 jutaan, maka sinaps berkisar 10 trilyun. Pendek kata meskipun keseluruhan peta otak belum sepenuhnya dikuasai, namun bekerjanya sistem otak sangat mentakjubkan, bahkan kehebatan sistemnya tak terbayangkan. Otak mengatur setiap denyut kehidupan setiap sel yang paling kecil dalam diri manusia, pergerakan motorik hingga menjadikan manusia mampu berpikir dengan segala bentuknya.

Otak manusia merupakan sumber dari banyak hal, yang merupakan kekuatan bagi pengembangan diri manusia secara keseluruhan. Termasuk dalam membangun kecerdasan manusia, baik kecerdasan rasional (peran otak kiri) dan kecerdasan emosional (peran otak kanan), sebagaimana ditemukan oleh Roger Sperry. Sedangkan kecerdasan spiritual (tempatnya di lobus temporal di kiri dan kanan dekat telinga), yang ditemukan oleh Vilyanur Ramachandran dan kemudian disebut sebagai “God Spot”.

Paul Mc Lean menyebutkan batang otak belakang sebagai “reptilian Brain”, yaitu jiwa vegetatif. Rene Descrates menemukan bahwa kelenjar pineal, sebagai bagian otak tempat jiwa dan badan bertemu. Sementara menurut para ahli sufi, jatung adalah tempatnya jiwa, tempat dimana manusia merasakan sesuatu yang halus (bashirah). Menurut mistikus Kristen, rasa itu letaknya di hati. Semua itu karena bersifat ghaib, masing-masing berpekulasi tentang di mana sebenarnya letak jiwa, demikian juga nafsu serta perasaan bahkan akal pikiran. Dan sesuai dengan sifat ghaib dari sisi dalam manusia, di manapun tempat kegiatan tidak begitu penting, karena jiwa manusia setelah kematiannya tetap mampu membawa semua data informasi kehidupan yang bersangkutan tanpa ada unsur fisik sebagai wadahnya.

Danah Zohar dan Ian Marshall menulis bukunya ; “Emotional Quotient, memanfaatkan kecerdasan spiritual dalam berpikir integralistik dan holistik untuk memaknai kehidupan. Kecerdasan spiritual dikaitkan dengan berbagai pemikiran spiritual lain, seperti Cakra (ajaran Wedha- Hindu), fungsi dan tugas kehidupan individu, ajaran psikologi yang dikaitkan dengan Titik Tuhan (God Spot). Titik Tuhan, menurut Michael Persinger (1990) dan disempurnakan oleh VS Ramachandran (1997), umumnya menjadi dasar atau titik tolak pemikiran dalam mengembangkan kecerdasan spiritual. Menurut Jalaludin Rahmat, mereka ini sayangnya masih terjebak dengan psikologi transpersonal.

Di Indonesia pemikiran SQ antara lain dikembangkan oleh Hidayat Nataatmaja “Intelegensi Spiritual”– sebagai intelegensi manusia kreatif kaum sufi dan para Nabi-(2001). Pemikirannya sangat ‘reaktif-revolusioner’. Meskipun demikian, gagasan yang menarik dalam upaya interpertasi ajaran Al-Qur’an, tentang wahyu pertama surat Al-Alaq dan Al-Fatihah, juga sebagai upaya untuk meningkatkan intelegensi manusia dalam mengatasi kebuntuan ilmu dan teknologi serta kehidupan sosial dan ekonomi. Sementara, Ary Ginanjar Agustian (“Emotional/ Spiritual Quotient”, berdasarkan pada Ihsan, 6 rukun Iman dan 5 rukun Islam (2001), pemikirannya lebih ditekankan pada aspek manajemen kewirausahaan menuju keberhasilan dan kesuksesan. Namun secara keseluruhan, belum ada pemikir muslim yang mampu mengembangkan sistem pendidikan atau pelatihan yang mampu memasukkan ajaran Islam kedalam semua ilmu ciptaan manusia.

Wilder Penfield (penganut aliran dualisme tubuh dan jiwa), seorang ahli neurologi dan bedah otak termasyur, telah mengambil kesimpulan sementara, bahwa pikiran dan kehendak tidak dapat dideteksi oleh instrumen apapun. Ia telah mampu memetakan lokus bagian otak, seperti; emosi, ingatan, perasaan, hasrat, naluri, indra, dan psikomotorik namun gagal dalam melokalisasi akal pikiran. Pendapatnya adalah bahwa otak itu sama sekali bukan organ intelegensi dan kehendak, karena tidak ada bagian dari otak apabila diberi stimulus elektrik akan menyebabkan manusia melakukan kegiatan berpikir, percaya (believe) atau pengambilan keputusan (to decide).

Temuan ini mengejutkan banyak ahli, seperti Sir John Eccles, Hans Selye, Barbara Brown, Karl Pribram bahkan Roger Sperry (w.1994). Kesadaran diri (the self consciousness of mind), adalah entitas independen yang secara aktif membaca berbagai pusat keaktifan dalam modul di wilayah otak. Jiwa merupakan eksistensi yang riil dan substansial, tidak hanya fenomena sampingan dari proses fisiolofis, sebagaimana dianut oleh ilmuwan behavioristik, fungsionalisme atau materialistik saintisme.

Perkembangan terakhir tentang otak telah menolak reduksionis, deterministik-mekanistik, dan dualisme (pikiran-tubuh), yang diperkirakan akan menuju pada integrasi sains dan ajaran agama. Menurut Heisenberg (3 abad setelah Descrates), pemisahan kesadaran dan materi telah jauh menembus ke dalam pikiran manusia, dan masih diperlukan waktu yang lama untuk menggantinya, dengan pandangan yang berbeda terhadap persoalan realitas. Dan manusia masih berproses menggapai ilmu pengetahuan, termasuk mencoba memahami jalan bekerjanya akal pikiran. Mulla Shadra, antropologi eksistensial, menjelaskan relasi dinamis antara organ tubuh dan jiwa atau akal pikiran.

Pemahaman bahwa akal pikiran dan jiwa bahkan ruh tak dapat dilepaskan dari tubuh, merupakan suatu pemikiran untuk menjelaskan perannya masing- masing sebagai satu kesatuan sinerji. Kita memang dapat melakukan bahasan tentang salah satu aspek; apakah akal pikiran meliputi kecerdasan; ‘aql intelektual, ‘aql emosional atau ‘aql ruhaniyah, apakah jiwa merupakan unsur penggerak dengan al-nafs yang ada dibelakangnya, atau di depannya.

Kecerdasan akal manusia yang terbatas akan menjadi tidak terbatas (yang terbatas), kalau dapat didayagunakan secara maksimal. Memang pemahaman bahwa akal hanya didayagunakan rata rata 3-5% itu apakah sudah membayangkan bahwa kalau kecerdasan itu termasuk semua kekuatan kecerdasan spiritual? Sebab kala kecerdasan akal itu dilatih dan atau mendapat bimbingan rahmat dan ilmu Allah, maka akan menjadikan akal pikiran manusia kekuatannya akan menjadi luar biasa. Karena manusia akan mampu mempunyai akses langsung dengan kecerdasan tertinggi; yaitu Allah.

Psikologi Dan Ilmu Tentang An-Nafs

Dalam psikologi, hingga saat ini belum ditemukan suatu kesepakatan tentang “jiwa” (psyche). Selama ini psikologi telah berkembang melalui 5 mashab teori pendekatan, 1) Eksistensialis dengan tokoh Victor Frankl, 2) Behaviouris, dengan tokoh Watson, 3) Psikoanalisis, dengan tokoh Sigmund Freud, 4) Humanistis dengan tokoh Maslow, dan 5) Transpersonal, dengan tokoh Anthony Sutich. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Psikologi adalah suatu ilmu yang dikembangkan untuk mengenal manusia dari aspek non-materi, yang selama ini masih gelap kemudian menjadi mulai remang-remang. Karena memang belum terang dan jelas. Banyak kritik kaum agama yang dilontarkan pada psikologi, khususnya kepada Sigmund Freud, bapak psikologi modern yang mengembangkan teori psikoanalisa, mungkin karena ia adalah seorang atheis.

Muhammad Qutb (1906-1966), menilai bahwa psikologi merupakan ” ilmu jiwa tanpa jiwa”, menurutnya Freud dengan teori psikoanalisa dinilainya telah menyuguhkan “secangkir kopi beracun”, dalam kita menatap realitas manusia.

Psikologi merupakan bagian dari ilmu pengetahuan di bidang kejiwaan yang dikembangkan manusia, terlepas dari tingkat kebenarannya, karena ilmu psikologi juga terus tumbuh dan berkembang. Karena itu apabila dikembangkan manusia tanpa pendekatan ajaran agama sebenarnya tidak menjadi masalah, sebagaimana juga halnya dengan ilmu pengetahuan lainnya. Sedangkan bagi kaum beragama, upaya apapun yang dilakukan tersebut perlu dilihat keterkaitannya dengan ajaran atau pemahaman agama. Sementara itu pemahaman ajaran agama juga masih terus diperdalam orang (meskipun sebagian agamawan menilai bahwa pemahaman ajaran agama telah final). Dengan demikian jika ilmu pengetahuan dan agama dirasakan bertentangan, kita sebagai umat beragama yang shaleh, tidak perlu marah dan jengkel. Apalagi menanggapinya dengan perdebatan yang tidak mendudukkannya pada pokok permasalahannya. Kita perlu melakukan perenungan kedalam. Penulis yakin jika ilmu pengetahuan telah menemukan kebenaran, maka kebenarannya pasti sejalan dengan pemahaman ajaran agama yang baik dan benar.

Kita dapat mengujinya melalui kemanfaatan ilmu tersebut bagi kehidupan manusia dan baru kemudian memeriksa kembali bagaimana konsistensinya dengan pemahaman ajaran agama. Pada perkembangannya selanjutnya ternyata ilmu psikologi dicoba oleh para ahli melalui pemikiran yang sejalan dengan “ajaran agama”, seperti yang dilakukan oleh Pfister (sahabat Freud sampai meninggal) dan Jung (sahabat yang kemudian menjadi “lawan”nya). Pfister menjadikan psikologi sebagai pelengkap ajaran agama, sejalan sebagaimana yang di inginkan Freud, bahwa psikoanalis sebenarnya merupakan upaya “ penyembuhan melalui cinta”.

Dalam ilmu psikologi juga telah dikembangkan tiga pandangan tentang hakekat manusia, yaitu :

§ Pertama, menganggap bahwa materi (benda) adalah hakekat segala sesuatu termasuk hakekat dari manusia (pandangan serba materi, serba benda, materialisme), antara lain adalah pandangan Du Boi dan Lu Matterei.

§ Kedua, menganggap bahwa jiwa (spirit) adalah hakekat segala sesuatu termasuk hakekat manusia (pandangan serba jiwa, serba roh, serba spirit, psikologisme, spiritualisme). Pandangan ini menganggap hal hal yang ditangkap panca indera adalah manifestasi dari jiwa. Ini adalah pandangan dari Schopenhouer, Lacisco, Herbart, Leibnitz, Plato, Berkeley, Berson dan filosofi Kejawen.

§ Ketiga, menganggap bahwa jasmani dan jiwa keduanya merupakan hekekat segala sesuatu, termasuk hakekat manusia. Keduanya adalah wujud atau eksistensi yang tak dapat dihindari, yang nyata; pandangan serba dua, serba jasmani ruhani, dualisme, eksistensialisme. Pandangan ini diikuti antara lain oleh Martin Heidegger, Karl Jaspers dan Gabriel Marcell.

Psikologi transpersonal kemudian tumbuh di tengah-tengah perubahan politik dan budaya di Amaerika Serikat sekitar tahun 1960-1970. Bersamaan dengan gerakan yang menuntut persamaan hak, protes terhadap perang Vietnam, gerakan ekologi, pemberdayaan perempuan dan hak-hak kaum homoseksual. Gereja yang didukung oleh minoritas kulit hitam memberikan inspirasi bagi perjuangan persamaan hak bergabung dengan Gereja dari mayoritas kulit putih. Pada saat bersamaan perjuangan mereka dilakukan dengan tema-tema spiritual, bahkan dipakai untuk pengembangan spiritual. Kejenuhan akan kemewahan material telah menjadikan anak- anak muda menjadi kaum hippies yang erat kaitannya dengan penggunaan obat obatan psikotropika.

Bersamaan dengan itu muncul psikoterapi, dengan penggunaan latihan pernafasan dan meditasi. Pesona ajaran agama Timur berkembang dan memukau masyarakat Barat, bahkan banyak mahasiswa dan kaum akademisi bergabung dengan semangat kontra budaya. Hal ini mendorong Wilber, seorang autodikdak yang tertarik dengan filsafat, psikologi dan spiritual, dalam usianya yang muda sekitar 24 tahun, menerbitkan bukunya (1973); “The Spectrum of Conciousness“, yang berisi integrasi sains dan tradisi spiritual. Sampai tahun 1983, Wilber sangat produktif dengan buku-bukunya yang meletakkan dasar-dasar pemikiran inetgratif dari psikologi transpersonal. Meskipun demikian yang patut disebut sebagai pendiri psikologi transpersonal adalah Anthony Sutich, yang merupakan pendiri The Journal of Humanistic Psychology.

Menurut Said Hawwa, manusia mempunyai tujuh keunggulan; 1) Aspek kejadiannya, sebagaimana di sebut dalam At-Tiin, ayat 4; “Sesungguhnya telah dicipta manusia itu sebaik baik ciptaan”, 2) Mempunyai tradisi belajar; Al-Alaq, ayat 4-5; “…yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa apa yang tadinya belum diketahuinya sama sekali”, 3) Aspek kemampuan dan kemauannya untuk memilih (Asy-Syams, ayat 8);”Maka telah Kami ilhamkan kepada manusia (jalan) kejahatan dan jalan ketaqwaan“, 4) Aspek kedudukannya (Al-Hajj, ayat 65); “Apakah kamu tidak melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di langit dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintahNya. Dan dia menahan (benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izinNya? Sungguh Allah Maha pengasih lagi Penyayang terhadap manusia”, 5) Aspek kemampuan mengurusi atau analisis (Ar Rahman, ayat 3-4); “Dialah yang menciptakan manusia dan mengajarkannya pandai bicara…”, 6) Aspek imajinatif, yaitu melalui kecerdasan akal pikirannya, 7) Aspek budhi pekerti, yaitu kemampuan yang hanya di miliki manusia, untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Sesungguhnya manusia itu siapa? Essensi manusia terletak pada jiwanya, karena jiwanya itulah yang akan bertanggung jawab terhadap segala amal perbuatannya. Dan akibat tanggung jawab dari perbuatannya itu, maka pertanggungan jawab dapat diberlakukan pada masa hidup (sebagian atau seluruhnya) dan pada akhir hidup (sisa perhitungannya). Dalam hal ini psikologi membahas “pertanggungan jawab” manusia pada saat masih menjalankan tugas hidupnya di dunia.

Manusia, sebagaimana yang telah disampaikan di atas adalah telaahan tentang potensi manusia, yang belum mengait dengan aspek ke-”jiwa”-an yang sebenarnya.

“ Demi jiwa dan penyempurnaan ciptaanNya” (Asy-Syams, ayat 7).

“Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat. Dan dengan apa yang tidak kamu lihat“

(Al-Qalam, ayat 38-39).

“Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya”

(Al-Qiyamaah, ayat 19).

Dan jiwa dalam arti ini merupakan misteri, dan masih merupakan kewajiban manusia untuk mengupayakan agar mendapatkan pengajaran dari Allah. Jiwa yang sudah tenang, artinya adalah “jiwa yang telah mampu dikendalikan” (Al-Mutmainah). Untuk itu Al-Qur’an menyatakan;

“Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan di ridhai, maka masuklah kedalam golongan hamba hamba Ku, dan masuklah kedalam surgaKu”

(Al-Fajr, ayat 27-30).

“Jiwa yang tenang” adalah jiwa yang telah mencapai tingkat kesucian tertinggi, meskipun bagi kaum sufi masih ada beberapa tingkatan pengendalian jiwa lainnya yang lebih tinggi, seperti; rodiyah, mardliyah dan kamilah.

Jiwa, Nafsu dan Emosi

Jiwa manusia diciptakan Allah mendahului penciptaan tubuhnya. Pada awal penciptaannya, jiwa adalah suci. Dan setiap jiwa melakukan perjanjian dengan Allah, yang difahami kaum sufi, sebagai perintah untuk menjalankan tugas dan misi didunia dengan tetap menjaga kesuciannya. Kehidupan manusia didunia adalah untuk memberikan proses pematangan.

Dan mereka akan dibawa ke hadapan Tuhanmu dengan berbaris. Sesungguhnya kamu datang kepada Kami, sebagaimana Kami menciptakan kamu pada kali yang pertama; bahkan kamu mengatakan bahwa Kami sekali-kali tidak akan menetapkan bagi kamu waktu[883] (memenuhi) perjanjian.( Al Kahfi/18 ayat 48)
Dan ingatlah karunia Allah kepadamu dan perjanjian-Ny
a yang telah diikat-Nya dengan kamu, ketika kamu mengatakan: "Kami dengar dan kami taati." Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Mengetahui isi hati(mu).(Al Maidah/5 ayat 7)

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", ( Al Ara’af/7 ayat 172)

Jiwa setelah terjun kedalam kehidupan dunia maka jiwa difahami adalah sumber ahlak tercela, karena mempunyai kecenderungan dan ketertarikannya pada kehidupan dunia. Dalam masalah jiwa, Al-Farabi, Ibn Sina dan Al-Ghazali membagi jiwa pada: (1) jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), (2) jiwa hewani (binatang) dan (3) jiwa insani.

Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang organis dari segi makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwa hewani, disamping memiliki daya makan untuk tumbuh dan melahirkan, juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yang kecil dan daya merasa, sedangkan jiwa insani mempunyai kelebihan dari segi daya berfikir (al-nafs-al-nathiqah). Daya jiwa yang berfikir (al-nafs-al-nathiqah atau al-nafs-al-insaniyah). Inilah, menurut para filsuf dan sufi, yang merupakan hakekat atau pribadi manusia. Sehingga denganhakekat, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yang khusus, Dzatnya dan Penciptaannya. Karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insani
(berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan hewani, maka jiwa
(nafs) manusia mejadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat yang tercela pada manusia.

Itulah sebabnya jiwa manusia mempunyai sifat yang beraneka sesuai dengan keadaannya. Jiwa manusia diberi perangkat, selain tubuh phisik dan indera, juga diberikan akal pikiran, nafsu dan emosi/ perasaan. Melalui pengaruh tubuh phisiknya, jiwa ( manusia), cenderung pada dunia. Melalui nafsu dan perasaannya, jiwa dibawa pada kenikmatan dan kesenangan dunia. Jiwa manusia sejak awalnya menjadikan tertarik sekaligus terikat pada kehidupan dunia. Apalagi apabila akal pikiran dikendalikan oleh nafsu dan perasaan, maka akan cenderung berbuat kejahatan. Sebaliknya, apabila akal pikiran mampu mengendalikan nafsu dan perasaan, akan membuahkan amal shaleh dan perilaku ahlak yang mulia.

Ada Hadits Nabi yang menyatakan; dalam tubuh manusia ada segumpal darah, kalau ia baik maka baiklah jiwanya, kalau ia buruk maka buruklah jiwanya” , itu yang disebut sebagai al qalb, “hati manusia” tempat emosi manusia. Menurut kaum sufi, proses menjadikan “segumpal darah” itu menjadi baik melalui proses bertingkat, terdiri dari baiknya bagian luar al qalb, yaitu “sadr”, fuad bagian agak dalam ( inner heart) dan lub , bagian paling dalam ( the most inner heart). Ada pula yang menyebutkan tingkatan mencapai kesadaran Ilahiyah , yaitu melalui tingkatan; al qalb ( intelek), lub (secret), sirr ( hidden) dan al Haq (the most hidden)

Ajaran Allah merupakan ajaran kehidupan yang dapat memberi peringatan dan arah kepada jiwa agar mampu mendorong akal pikiran untuk dapat mengendalikan hawa nafsu dan perasaan negatif. Mengapa manusia perlu membebaskan diri dari keterikatannya pada dunia? Karena dunia adalah fana, yang sifatnya sementara. Meskipun sementara, dunia merupakan sarana bagi pensucian jiwa. Proses untuk menggembleng jiwa agar dapat membawanya kepada kesadaran akan tugas kehidupannya didunia.

Karena dunia, itu penuh dengan kesenangan, kepuasan dan kenikmatan, maka dunia menjadi menarik. Meskipun disadari bahwa kenikmatan, kepuasan dan kesenangan itu sifatnya sangat sementara, namun tetap saja lebih menarik. Meskipun disadari bahwa kehdupan manusia didunia hanya pendek, namun tetap lebih menarik. Karena kehidupan dunia ini begitu menarik maka dijanjikan kehidupan dunia yang sama dengan ekhidupan disurga.

Jiwa manusia merupakan essensi dari tubuh atau dapat dikatakan sebagai “diri pribadi” dari manusia yang sebenarnya. Jiwa juga dapat dikatakan sebagai bagian dari akal pikiran dan nafsu manusia serta emosi. Jiwa adalah tempat di mana melekat segala “pahala dan dosa” dari hasil perbuatan manusia. Jiwa yang mampu mengendalikan hawa nafsu adalah jiwa yang mutmainah, sedangkan jiwa yang dikendalikan nafsu dan emosi adalah jiwa amarah dan aluwamah.

Berdasarkan urian di atas maka jiwa adalah sarana manusia yang mengalami “proses pensucian dan pembelajaran” dalam seseorang menjalani kehidupan di dunia. Sedangkan ruh, yang juga merupakan unsur ghaib dalam diri manusia, secara ringkas tidak mengalami proses apapun, karena “ruh” adalah dzat Allah yang ditiupkan dalam setiap diri manusia.

Selama manusia hidup, jiwa (soul) merupakan sumber penggerak atau energi yang terkait dengan hawa nafsu. Sedangkan emosi, menjadikan manusia dapat merasakan seuatu yang sifatnya non phisik. Dalam Al-Qur’an, jiwa seringkali disebutkan sebagai an-nafs. Karena itu seringkali sulit untuk membedakan antara an-nafs dan jiwa. Namun secara sederhana dapat dikatakan bahwa an-nafs (hawa nafsu) dapat berperan secara dominan sehingga dapat mengendalikan jiwa, yang dalam hal ini disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai nafsu yang membawa “kecenderungan (jiwa) pada kejahatan”.

Dalam kondisi seperti ini, maka jiwa (dapat dikatakan digerakkan oleh “syaitan atau iblis”), yang menyuruh manusia cenderung pada jalan kebatilan, yang disimbolkan sebagai jiwa yang kotor, yaitu karena an-nafs yang mengendalikan jiwa. Namun demikian apabila jiwa (dalam arti akal pikiran) mampu mengendalikan hawa nafsu, maka akan menjadikan nafsu sebagai enersi penggerak kehidupan diri. Pada kondisi itu dapat dikatakan bahwa jiwa tersebut telah mencapai ketenangan, jiwa “mutmainah”, dalam arti bahwa Al-Nafs, sepenuhnya dikendalikan jiwa (akal pikiran).

Dalam kondisi jiwa mencapai tingkatan “mutmainah” , maka jiwa cenderung melakukan perbuatan baik, perbuatan amal shaleh dan ahlak mulia serta beriman dan bertaqwa. Sekalipun demikian ada ajaran tasauf yang lebih kompleks berkaitan dengan peran berbagai an-nafs (ada tujuh tingkatan), yang akan menentukan kualitas proses pensucian jiwa.

Bagaimana manusia mampu menjadikan jiwanya tidak dikendalikan oleh an-nafs, dan bukan sebaliknya. Kuncinya adalah sikap “penyerahan diri hanya kepada Allah”, yaitu kondisi penyerahan diri secara totalitas kepada Allah tanpa keraguan. Inilah uniknya ajaran Allah, dibandingkan dengan pemahaman manusia yang utamanya dikendalikan oleh akal pikiran atau intelektualitasnya, sehingga cenderung mengarahkan manusia pada aspek upaya. Melalui proses penyerahan diri kepada Allah, maka akal utama manusia akan diaktifkan, yang dicirikan sebagai pengembangan potensi kecerdasan akal emosional dan kecerdasan akal spiritual (ruhaniyah), yang berkeseimbangan. Pada saat itulah maka jiwa secara bertahap akan semakin mampu mengendalikan an-nafs.

Bagaimana bekerjanya suatu memori pada diri manusia, dan berkembang semasa ia hidup. Memori, ada pada “pusat data informasi” yang diproses di otak manusia. Memori dalam diri manusia (baik dalam bentuk sadar atau di bawah sadar), merupakan “data base”, yang mulai tumbuh sejak manusia berpikir, berkata dan berbuat. Berpikir adalah merupakan hasil dari proses manusia dalam melakukan analisa terhadap semua data dan informasi yang masuk, evaluasi, kesimpulan dan keputusan. Dan data atau informasi ini dapat masuk atau dicatat oleh otak, melalui semua indera manusia (tujuh lubang), baik yang direkam secara sadar atau dibawah sadar. Dimana kesimpulan dan keputusan yang diambil melalui proses berpikir dipengaruhi oleh potensi jiwa (akal pikiran), baik apakah itu jiwa yang di dominansi oleh al-nafs atau jiwa yang mengendalikan al-nafs. Yang kedua menentukan mutu jiwa (sebagai kesatuan akal pikiran dan nafsu).

Dalam Al-Qur’an, jiwa juga disebut sebagai “al- nafs”. Jiwa juga dapat disebut sebagai “pikiran” , karena itu an-nafs (nafsu), jiwa (soul) dan pikiran (al-aql), merupakan satu kesatuan yang sulit dipisahkan. Kecuali bila telah muncul kecenderungan dominasinya. Jiwa yang dikendalikan nafsu, disebut jiwa yang mengarah pada kesesatan. Sebaliknya jiwa yang tenang, adalah jiwa yang mencapai tingkatan “mutmainah”. Karena itu jiwa merupakan unsur manusia yang berproses baik memilih jalan kebaikan, atau berproses melalui jalan kesesatan. Dan proses itu terjadi selama jiwa melekat dalam tubuh manusia, atau menjalankan kehidupan. Jiwa manusia merupakan penggerak sehingga manusia hidup. Ia sebenarnya adalah spirit, unsur penggerak energi manusia sehingga manusia itu hidup. Jiwa yang bersatu dengan nafsu, adalah “essensi pribadi” yang ada pada setiap orang, “tempat pahala dan dosa berpadu”, pribadi yang dinilai Allah dan dihukum dan atau diberi pahala.

Tubuh, indera, akal pikiran, jiwa nafsu dan emosi ( perasaan), merupakan unsur yang sangat penting, karena menyangkut “dunia ada” atau “dunia pemahaman” manusia, serta kehidupan itu sendiri. Untuk memahaminya, para filosof telah memulai dengan pendekatan yang spekulatif, namun akhirnya secara empirik dikembangkan kedalam ilmu pengetahuan. Hasil perwujudan kekuatan ilmu pengetahuan akhirnya berkembang menjadi teknologi, yang menjadikan kehidupan manusia menjadi semakin mudah.

Akibat kekuatan akal pikiran, jiwa, dan nafsu, manusia makin mampu mendaya-gunakan kekuatan alam semesta dengan lebih baik. Meskipun seperti telah disampaikan sebelumnya, bahwa pengetahuan manusia tentang diri, mulai tubuh dan apalagi menyangkut jiwa dan ruh, masih sangat terbatas dan tertinggal dengan pengetahuan manusia tentang hal yang diluar dirinya.

Selama ini kaum beragama mempunyai dualisme pemikiran tentang tubuh dan jiwa (juga dalam arti pikiran), sebagai paradigma Cartesian-Newtonian. Disebut dualisme karena satu sama lain dinilai sebagai entitas yang yang berhubungan namun berbeda. Pemahaman “Cogito ergo sum”, karena saya berpikir maka saya ada, atau “Mensana en corpora sano” (di dalam tubuh yang sehat terletak jiwa yang sehat”, pada dasarnya dilandasi pemikiran; 1) Subyektif-Antroposentrik, 2) Dualisme-Tubuh-Jiwa, 3) Mekanistik-Deterministik, 4) Reduksionis-Atomistik 5) Instrumentalisme, 6) Materialisme-Saintifik. Dan paradigma ini juga berpengaruh dalam pengembangan bahasa yang kita gunakan hingga kini.

Belakangan ini, sejak dikembangkan Teori Quantum, Teori Chaos, Biologi Molekuler telah muncul paradigma baru yang disebut sebagai paradigma holistik-dialogis, menyangkut ketidak jelasan, keacakan, kompleksitas dan samar atau ambigu. Karena kemiskinan bahasa, maka seringkali sulit dikemukakan dalam bahasa yang tepat. Pola pikirnya menjadi “Respondeo ergo sum” (Aku bertanggung jawab maka aku ada). Ciri dari paradigma holistik-dialogis, adalah; 1) Fluidasi, 2) Fluks, 3) Fusion, 4) Feminity, 5) Fuzizness.

Pemikiran ini dikembangkan oleh; Pertama; Mulla Shadra (w. 1641 M) dengan pemikiran ontologis, khususnya; analisis eksistensial terhadap realitas dan konsep primasi ekistensi, gradasi eksistensi dan gerak trans substansial. Kedua; Alfred North Whitehead (w.1947), dengan pemikiran kosmologis yang organis dan holistik, khususnya tentang konsep actual entities, becoming process, nexus, dan pansubyektivitas. Ketiga, pemikiran Frijof Capra, Morris Berman dan Sayyed Hossein Nasr, yang banyak mengulas paradigma holistik

Kelompok pemikir di atas telah mampu melakukan pembaharuan cara pandang. Inti pemikiran mareka adalah, Pertama, diharapkan akan dapat menjelaskan berbagai krisis global yang terjadi saat ini, di mana berbagai kegiatan terkait satu sama lain, atau setidak tidaknya, berkorelasi erat dengan krisis persepsi. Kedua, berbagai krisis persepsi tersebut terjadi karena manusia pada umumnya, atau pada tingkat kesadaran kolektif, masih menganut faham Cartesian-Newtonian, dalam memahami realitas. Ketiga, Paradigma Cartesian-Newtonian, tak lagi dapat digunakan untuk memahami realitas yang ternyata saling berkaitan, termasuk memahami sains mutakhir. Keempat, menawarkan paradigma holistik–dialogis, dalam ranah ontologis-kosmologis, yang diharapkan dapat membangun kerangka teoritis filosofis dan ilmu, dalam mengatasi krisis kemanusiaan dan peradaban kontemporer. Paling tidak itulah yang yang dapat dicapai oleh pemikiran manusia hingga saat ini.

Pemikiran di atas, dapat mempengaruhi pemahaman kita dalam memahami alam semesta dan mahluk yang ada di dalamnya, baik yang nyata (aktual) maupun yang ghaib, baik melalui pendekatan makrokosmos ataupun mikrokosmos, mulai dari pemahaman atau pemikiran tentang persepsi, perasaan, kesadaran, hingga kehendak dirinya. Di dalamnya termasuk dalam pemahaman tentang tubuh, jiwa dan pemikiran atau pemahaman, dan an-nafs serta ar-‘ruh.

Ibn Miskawaih (w.1035 M), mengemukakan teori jiwa, sebagai substansi non-materi, bagian dari manusia di luar raga. Jiwa merupakan kemampuan, pelaku atau pengaruh kegiatan manusia (yang memberikan enersi). Jiwa merupakan proses yang nampak pada organism-organism. Jiwa merupakan tingkah laku. Disamping itu, terdapat tiga fakultas jiwa, yaitu: a) yang berkaitan dengan berpikir, melihat dan mempertimbangkan realitas sesuatu, b) yang berkait dengan ungkapan kemarahan, berani menghadapi bahaya, ingin berkuasa, menghargai diri, dan menginginkan bermacam kehormatan, dan c) Yang terkait dengan nafsu syahwat, makan, kenikmatan, minuman, sanggama, dan kenikmatan inderawi lainnya.

Ada pihak yang menilai bahwa jiwa adalah sisi ghaib atau immaterial atau esensial dari phisik manusia, sehingga bila tubuh mati maka mati pulalah jiwa. Penilaian seperti ini, tidak sesuai dengan ajaran Al-Qur’an.

“Setiap yang ber jiwa akan merasakan mati (badan wadagnya). Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan” (Al-Ankabut/29 ayat 57).

“Manusia akan kembali kepada Allah“

(Al Baqarah, ayat 156), (Ali-Imran, ayat 55).

Setiap yang berjiwa, antara lain adalah manusia (termasuk hewan) akan merasakan mati, tetapi kematian itu bukan kematian jiwa, karena jiwa tetap hidup. Dan jiwa manusia akan kembali kepada Allah untuk dimintai pertanggungan jawab (dihisab). Karena badan wadag manusia setelah mati akan hancur, maka yang masih sisa adalah badan halusnya, yaitu jiwa. Dalam aliran Sunni, difahami bahwa pada saat itu tubuh manusia akan kembali utuh dan muncul bersama jiwa di akhirat, yaitu untuk menunjukkan kebesaran Allah. Meskipun harus diakui bahwa kondisi di akhirat yang ghaib pasti berbeda dengan alam dunia nyata.

Pada berbagai referensi, dijelaskan mengenai ketujuh tingkatan nafsu, serta berbagai kondisi yang meliputinya. Intinya adalah bahwa ketujuh tahapan nafsu perlu dijalani manusia sebelum sepenuhnya terbebas dari nafsu, sehingga manusia dapat mencapai tingkatan Insan Kamil. Yang menurut penulis adalah keadaan dimana “amal perbuatan manusia dan kehendak Allah” telah sejalan, sama sebangun. Sehingga tak ada lagi ukuran baik dan buruk, senang dan susah, semuanya serba selaras, hening suatu suasana kebahagiaan yang penuh kedamaian dan penuh cinta kasih.

Dalam Al Qur’an, secara explisit disebutkan tiga bentuk nafsu (1) al nafs al amarah bi-al suu (2) al nafs al aluwammah ( 3) al nafs al mutmainah. Jiwa (akal pikiran) yang dikendalikan oleh nafsu (terutama al-nafs al-amarah bi-al suu) dan emosi negatif, akan mengarah pada perbuatan dzalim atau kejahatan, sedangkan jiwa yang menyadari atau menyesali kesalahan adalah kondisi jiwa dalam pengaruh al nafs al aluwammah. Sedangkan jiwa (akal pikiran) yang mampu mengendalikan nafsu (al-nafs al-mutmainah) akan mendorong perbuatan manusia ke arah kebaikan, ahlak mulia dan amal shaleh. Kesemua itu merupakan pilihan manusia, apakah menjadikan jiwa yang mampu mengendalikan nafsu atau sebaliknya menjadikan nafsu yang mengendalikan jiwa.

Dengan demikian pemahaman sebagaimana tersebut diatas, maka nafsu dan emosi merupakan kekuatan yang dapat mempengaruhi jiwa (akal pikiran) atau sebaliknya merupakan enersi yang dapat diarahkan oleh jiwa (akal pikiran). Sehingga melalui nafsu, manusia mempunyai kekuatan atau enersi gerak upaya, baik dalam kaitan dengan berpikir dalam melakukan pilihan jalan hidup dan melakukan upaya untuk menjalankan kehidupannya dengan baik dan benar atau sebaliknya.

Agar semua amal perbuatan manusia merupakan perbuatan kebaikan dan amal shaleh, maka setiap diri (jiwa dalam arti gabungan akal pikiran dan nafsu) manusia, sepantasnya selalu berupaya melakukan pensucian diri. Pensucian diri yang dimaksud, seperti sering dikemukakan adalah berperi laku dengan akhlak yang mulia dan melakukan perbuatan amal shaleh serta kebaikan.

“Sesungguhnya beruntung orang orang yang mensucikan (nurani)nya, dan sungguh merugi orang orang yang mengotorinya”

(Asy-Syams, ayat 9-10).

“Dan barang siapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allah lah kembali (mu)”

(Al-Fathir, ayat 18).

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman)” (Al-A’la, ayat 14).

“Ambilah (zakat) dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan (hati dari kekikiran dan cinta harta) dan mensucian mereka dengannya (dengan tumbuh sifat-sifat terpuji dalam jiwa mereka). Dan doakanlah mereka karena sesungguhnya doamu itu menjadi ketentraman bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui“ (A-Taubah, ayat 103).

Apapun upaya pensucian jiwa yang kita lakukan, pada dasarnya selalu diikuti dengan sikap rendah hati, karena hanya Allah-lah yang dapat menilai. “..maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertqawa” (Al-Najm, ayat 32).

Ada juga yang menafsirkan bahwa pensucian jiwa, dapat juga dilakukan melalui infaq harta benda, dengan menjalankan shalat, menjaga kesucian kehidupan seksual, dan menjaga etika pergaulan (akhlak mulia).

Upaya pensucian jiwa, di samping dilakukan melalui ibadah ubudiyyah juga dapat dilakukan melalui ibadah muamallah. Keduanya perlu dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan. Semua upaya pensucian jiwa yang seolah diarahkan kepada Allah, sebenarnya upaya itu ditujukan bagi kepentingan diri sendiri, karena manfaatnya adalah bagi diri manusia yang bersangkutan, agar setiap diri dan setiap saat selalu mendapatkan petunjuk, bimbingan dan kekuatan dari Allah.

Setiap ibadah yang ditujukan kepada Allah, adalah dimaksudkan untuk mendapat dibimbing dalam melakukan pilihan hidup, yang perlu dilakukan setiap saat, mulai dari berpikir, berkehendak, hingga melakukan upaya. Kalau kita sukses, maka kita dibimbing agar selalu bersyukur dan bersikap rendah hati, jauh dari sikap sombong dan keberhasilan yang kita peroleh hanya mungkin karena Allah. Sebaliknya kalau kita mengalami kegagalan, kita justru tetap selalu bersyukur yang diikuti dengan kesabaran untuk melakukan perbaikan upaya karena kegagalan itu akibat kesalahan atau kekurangan dirinya. Kembali berupaya dengan tulus dan ichlas dan didukung keimanan yang teguh .

“Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh maka untuk dirinya sendiri dan barang siapa yang berbuat jahat maka atas dirinya sendiri, dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba-Nya” (Al-Fushilat, ayat 46).

Secara alami atau manusiawi, maka nafsu merupakan penggerak jiwa (akal pikiran). Ajaran Allah, justru mengajarkan kepada manusia agar mengubah keadaan, yaitu menjadikan ; jiwa (akal pikiran) sebagai pengendali nafsu. Karena nafsu kalau dikelola dengan tepat, merupakan enersi atau kekuatan. Seperti telah dijelaskan bahwa dalam Al Qur’an, secara explisit hanya disebutkan 3 jenis nafsu; yaitu, al nafs amarah , al nafs aluwamah dan al nafs mutmainah. Namun para ahli tasauf, telah menambahkan persyaratan untuk mencapai tingkatan jiwa tertinggi, melalui 7 tingkatan proses.

Adapun ke tujuh tingkatan al-nafs menurut sebagian ahli tasauf, adalah:

Al-Nafs Aluwamah, “Aku bersumpah dengan hari kiamat, dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)” (Al-Qiyamah, ayat 2), Nafs Aluwammah: selalu mengeluh, kecewa dan menyesali diri sendiri.

An-Nafsu Sawwamah, yaitu hawa nafsu yang seringkali menggambarkan dan menghiaskan sesuatu maksiat atau kejahatan menjadi indah dalam pandangan atau khayalan (Yususf, ayat 83). Bagi sebagian kaum sufi, disebut sebagai al-nafs al-supiah, nafsu untuk melakukan pebuatan baik, namun termasuk bagian dari nafsu yang dapat menyesatkan. “Demi jiwa dan penyempurnaannya” (Al-Syams, ayat 7).

An Nafsul Mulhamah, yaitu hawa nafsu yang memberikan ilham pada jalan kejahatan (fasik atau kedurhakaan) dan ketaqwaannya (Asy-Syams, ayat 8), nafsu yang memberikan kekuatan pemilihan yang baik atau yang buruk.

Al-Nafs al-Mutmainah, yaitu suatu kondisi jiwa yang telah mencapai kesempurnaan, karena mampu mengendalikan nafsu serta mengenal keseluruhan potensi diri serta tugasnya dalam kehidupan. “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhamu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah kedalam jama’ah hambaKu, dan masuklah ke dalam surga-Ku (Al-Fajr, ayat 27-30). Nafs Mutmainah, adalah nafs yang bersifat rohani yang telah mencapai tingkat pengamalan kebenaran (Allah ); “Celupan (Shibghah) Allah, dan siapakah yang lebih baik dari celupan Allah” (Al-Baqarah, ayat 138), “Allah akan membangkitkan suatu kaum yang dicintai Nya dan merekapun mencintai-Nya” (Al-Maidah, ayat 54), dan diri serta penyempurnaannya (ciptaanNya) (Asy-Syams, ayat 7).

Al-Nafs al-Rodiyah, yaitu yang tempatnya ada di sirrus sirr (substansi yang halus dan lembut, latifah), pada kerangka tubuh. Yang termasuk nafsu Rodiyah adalah; jiwa sosial, zuhud, perwira aatau mengambil tanggung jawab, riyadloh atau berlatih, dan menepati janji. Ini termasuk jiwa mukmin. “Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati (jiwa) yang ridha” (Al-Fajr, ayat 28).

Al-Nafs al-Mardliyah, yaitu yang tempatnya samar dekat payudara kanan sekitar dua jari kearah tengah dada. Yang termasuk nafsu Mardliyah adalah; pekerti yang baik, selalu dekat hanya dengan Allah, kasih sayang kepada mahluk, berpaling dari dosa mahluk, mencintai hamba Allah dan membantu mereka pada cahaya. Ini termasuk tingkatan jiwa orang yang bertaqwa (muttaqin) . “Dan diridhai oleh-Nya” (Al-Fajr, 28).

Al-Nafs al-Kamilah, yaitu yang tempatnya lebih samar, di tengah dada. Yang termasuk nafsu Kamilah adalah; ilmu yakin, ainul yakin dan haqqul yakin. Ini termasuk tingkatan jiwa Insan Kamil. “masuklah dalam golongan hamba hamba-Ku dan masuklah kedalam surga-Ku (Al-Fajr, ayat 29-30).

Pada berbagai referensi, dijelaskan mengenai ketujuh tingkatan nafsu dan berbagai kondisi yang meliputinya. Intinya adalah bahwa ketujuh tahapan nafsu perlu dikendalikan manusia sebelum sepenuhnya terbebas dari nafsu, sehingga manusia dapat mencapai tingkatan Insan Kamil. Yang menurut penulis adalah keadaan di mana nafsu manusia dan kehendak Allah telah sejalan, sama sebangun. Sehingga tak ada lagi ukuran baik dan buruk, senang dan susah, semuanya serba selaras, hening dan membahagiakan serta penuh kasih sayang dan cinta kasih.

Dengan demikian nafsu merupakan kekuatan yang dapat mempengaruhi jiwa (akal pikiran) atau sebaliknya nafsu juga dapat menjadi energi yang dapat diarahkan oleh jiwa (akal pikiran). Sehingga manusia mempunyai kekuatan atau energi gerak upaya, baik dalam kaitan dengan berpikir dalam melakukan pilihan jalan hidup dan melakukan upaya untuk menjalankan kehidupannya. Jiwa yang dikendalikan oleh nafsu (terutama al-nafs al-Amarah bi-al suu) akan mengarah pada perbuatan dzalim atau kejahatan, sedangkan jiwa (akal pikiran) yang mampu mengendalikan nafsu (al-nafs al-mutmainah-jiwa mutmainah) maka ia akan mendorong perbuatan manusia bersangkutan ke arah kebaikan, ahlak mulia dan amal shaleh. Kesemua itu merupakan pilihan manusia, apakah menjadikan jiwa yang mampu mengendalikan nafsu atau sebaliknya menjadikan nafsu yang mengendalikan jiwa.

Kita tak dapat memastikan apakah jiwa memerlukan proses pensucian yang sempurna dalam sekali kehidupan, atau dua kali atau berkali-kali. Namun demikian, dari semua uraian di atas, jiwa dalam proses menuju kesempurnaan pensucian, bisa melalui sekali kehidupan atau bisa dua kali hingga banyak kali dalam menjalankan proses kehidupan. Karena tujuan akhir jiwa akhirnya kembali kepada Allah; “Inna lilhahi wa ina lilahi rojiun”. Dan tujuan akhir jiwa manusia dalam kehidupan ini, bukan mencapai surga, tetapi kembali pada Tuhannya, Allah Yang Maha Suci. Dan untuk itu jiwa harus menjadi suci. Ukuran kesucian setiap manusia dapat saja merupakan ukuran yang sangat relatif, tidak sama satu dengan yang lain. Dan masalahnya adalah bagaimana caranya agar dalam kehidupan ini secepatnya setiap jiwa dapat mencapai tingkat kesucian?

Ruh Dzat Allah dan Peranannya dalam Diri Manusia

Berkaitan dengan jiwa dan ruh, dari begitu banyak referensi, hampir tidak ada yang mampu menjelaskan dengan baik dan memuaskan tentang masalah perbedaan jiwa dan ruh secara gamblang. Bahkan banyak yang mencampur adukkan ruh dan jiwa. Jarang sekali tokoh yang mengkaitkan ruh sebagai unsur Dzat Allah yang merupakan salah satu perangkat diri seorang manusia. Jiwa diterjemahkan sebagai soul sedangkan ruh diterjemahkan sebagai spirit. Ada berbagai versi berkaitan dengan pemahaman terhadap jiwa dan ruh.

Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelah ditiup Allah dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Ruh di dalam diri manusia berfungsi sebagai sumber moral yang baik dan mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang mulia dan terpuji, maka lain halnya dengan jiwa.

Ruh merupakan salah satu perangkat setiap manusia yang sifatnya ghaib. Banyak sekali anggapan para ulama, bahwa “ruh” sama dengan “jiwa” yang dalam bahasa Inggris disebutkan sebagai “soul”. Banyak sekali tulisan para ulama dan pemikir agama dan Islam yang seringkali mengacaukan pembahasan antara “ruh” dan “jiwa”. Sebagai ungkapan jati diri manusia yang sebenarnya atau “super ego atau sejatinya diri”. Ruh pada dasarnya berbeda dengan jiwa (soul), jiwa mengalami proses pasang surut kehidupan dari diri manusia yang menerima beban dari dosa manusia dan menerima pahala dari amal shaleh yang dilakukan manusia. Sedangkan ruh bebas sebagai dzat Allah, bebas dari proses kehidupan manusia bersangkutan.

Dalam bahasa Inggris, “ruh” diterjemahkan sebagai “spirit” sehingga mirip dengan semangat atau energi atau an-nafs. Spirit juga digunakan dalam pengertian sebagai “mahluk halus” atau disebut juga sebagai “ruh gentayangan”.

Dalam kaitan ini kita perlu menata kembali peristilahan “ruh” , untuk dikembalikan sesuai dengan ajaran Al-Qur’an. Ruh sesungguhnya belum ada padanannya dalam bahasa lain, namun yang jelas ruh berbeda dengan jiwa, ruh adalah Dzat Allah yang ditiupkan kepada setiap diri manusia pada sat janin berusia 4 bulan dan tidak mengalami proses pasang surut kehidupan diri manusia.

Kalau kita memperhatikan beberapa ayat Al-Qur’an, maka ditegaskan bahwa Ruh, adalah sebagai dzat Allah yang ditiupkan pada setiap diri manusia, pada saat manusia masih dalam kandungan ibunya (As-Sajdah, ayat 7-9). Ruh juga diartikan sebagai malaikat Jibril yang menyampaikan wahyunya kepada nabi Muhammad (Asy-Syu’araa, ayat 192-195) dan ruh ul-kudus, yang ditiupkan ke rahim Maryam (ke janin Nabi Isa). Jelas bahwa ruh dengan demikian merupakan suatu yang suci, karena berasal langsung dari dzat Allah, sehingga dapat dikatakan bahwa ruh bukan merupakan bagian dari tubuh dan jiwa manusia yang telah terwujud dari sejak awal dalam penciptaan manusia. Sebagai Dzat Allah, yang suci, maka ruh manusia terbebas dari proses pembelajaran yang dilakukan diiri manusia, bebas dari perbuatan atau kesalahan manusia.

Ruh yang ada dalam diri mansuai dapat dikatakan merupakan “sarana bagi Allah” yang dapat memberi informasi pada manusia yang terkait dengan ajaran dan ilmu Allah”. Namun demikian manusia tidak begitu saja mampu mendengar “suara ruh”. Utamanya disebabkan karena manusia sibuk dengan urusan dunia melalui akal pikiran dan hawa nafsunya dan keterikatannya pada dunia “. Karena itu maka Allah perlu menurunkan Nabi yang mengajarkan kepada manusia bagaimana mengaktifkan jiwa agar mampu memperoleh kesadaran terhadap (ajaran) Allah. Ajaran Allah melalui Al Qur’an mengajarkan kepada manusia bagaimana caranya agar manusia dapat memahami ajaran Allah. Al Qur’an juga mengajarkan kepada manusia, bagaimana melatih dirinya agar mampu “mendengar suara ruh yang ada dalam dirinya. Suara ruh yang menyampaikan petunjuk dan ajaran dan ilmu Allah. Berbagai metoda dan cara dilakukan Allah untuk membangkitkan kesadaran manusia.

Manusia sejak kelahirannya, manusia sudah terbiasa untuk berpikir dan merasakan serta berbuat terhadap segala urusan dunianya. Sehingga pola pikir atau mind-setnya sudah terbentuk dan terbiasa terikat pada dunia, materi, ruang dan waktu. Apa yang dipikirkan manusia hampir tidak pernah dilepaskan dari kebutuhan keduniawiannya, baik menyangkut kepentingan diri, pemenuhan kebutuhanya, mulai dari rezeki, pekerjaan, kehidupan keluarga, kesehatan dsb. Bahkan ajaran agama seringkali hanya digunakan guna pemenuhan kehidupan dunia. Padahal kehidupan dunia adalah proses pembelajaran guna mensucikan jiwa kembali, sama seperti sejak awal kelahiran jiwa didunia. Untuk itu manusia perlu diingatkan dan diberikan ajaran, melalui proses pembelajaran. Proses pembelajaran diperlukan manusia agar manusia mampu mendengar (dengan “pendengaran”) atau melihat (dengan “penglihatan”) serta memahami (dengan hati) ajaran Allah.

“(Dia) yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik baiknya dan memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia jadikan keturunannya dari saripati yang hina ( sperma dan ovum). Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan ke dalam (tubuhnya) ruhNya, dan Dia jadikan kamu pendengaran, penglihatan dan hati ; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur” (Al-Saj’dah, ayat 7-9).

Menurut para ahli tasauf, apabila seseorang telah mencapai tingkat kesucian tertentu maka akan terjadi pencerahan jiwa manusia oleh ruh (tajalliyah ar-ruh). Proses pencerahan pada diri seorang Nabi terjadi sekaligus, namun pada manusia biasa dapat terjadi secara bertahap. Melalui proses pencerahan (enlightment) tersebut, memungkinkan manusia untuk memahami rahasia kehidupan dan memahami petunjuk serta ajaran Allah dengan sebenar-benar ajaran-Nya. Namun demikian pencerahan pada diri manusia merupakan proses bertahap sekaligus terbatas atau tertentu. Karena setiap manusia tingkat dan ukuran kesuciannya berbeda, sesuai dengan tugas dan misi yang diemban manusia bersangkutan. Hal ini mengingat setiap manusia, mempunyai tugas dan misi yang berbeda beda, sehingga kebutuhannya akan “ pencerahan dan atau pensucian ” juga berbeda.

Keimanan dan ketaqwaan manusia pada dasarnya berbanding lurus dengan peningkatan atau penurunan dari amal ibadah manusia bersangkutan. Karena itu dalam perjalanan kehidupan, manusia dapat saja tergelincir, karena kesalahan dan kelemahannya. Baik karena meninggalkan ibadah ubudiyyah maupun ibadah muamallah dengan sebaik baiknya. Sehingga untuk itu manusia harus memperbaikinya. Tak jarang manusia harus memulainya kembali, berupaya untuk kembali merangkak naik. Dan upaya merangkak naik, dimungkinkan apabila manusia, memulainya dengan permohonan ampunan kepada Allah. Kembali melaksanakan ibadah ubudiyyah ( ritual) kepada Allah dan ibadah muamallah (amal shaleh dan perilaku ahlak mulia), kepada sesama manusia dan alam lingkungannya.

Ibadah ubudiyyah kepada Allah, intinya adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah, memohon kasih sayangnya, petunjuk, bimbingan dan kekuatan dalam menjalankan tugas kehidupan dengan baik. Ibadah muamallah kepada sesama, wujudnya berupa amal shaleh kita kenal sebagai perbuatan yang penuh kebaikan, yang maknanya sangat luas disamping perilaku yang diisi ahlak mulia. Untuk itu seperti telah disampaikan bahwa kaum sufi telah merumuskan berbagai tahapan, dalam upaya manusia untuk mendapatkan “pencerahan jiwa”.

Pencerahan, adalah tahap akhir bagi setiap jiwa manusia yang mampu menggapai kualitas kehidupan sebagaimana kondisi jiwa yang dicapai para Nabi, yaitu mencapai tingkatan manusia sempurna (Insan Kamil). Meskipun dengan tingkat komprehensitas yang berbeda. Dan pencerahan bukan suatu tujuan akhir, melainkan sebagai sarana agar kehidupan dirinya dapat selalu sesuai dengan jalan atau kehendak Allah.

Ruh termasuk dalam a’lam al-amr (alam perintah) yang bersifat baqa (keabadian) ‘alami al-ghayb (alam ghaib), yang diciptakan secara langsung oleh Allah, yang merupakan substansi ghaib yang tak terikat oleh waktu dan ruang. Ulama Sunni menolak entitas abstrak yang lain di dunia ini, baginya hanya Allah yang abstrak (tajarrud). Allah adalah “Maha Berdiri Sendiri” (wujub bi dazt) dan keazalian mutlak (qadam ala-mutlaq). Namun perlu dicacat, bahwa Allah yang Maha berdiri sendiri, juga dapat bermakna tidak ada unsur lainnya yang berdiri sendiri. Sehingga kedirian lainnya lebur kedalam diri Allah. Bahwa mereka yang menjauh, menolak dan menentang, tidak merubah ke Maha Berdirinya Allah. Artinya dalam bahasa manusia, sedang dalam proses melebur dalam ke-Diri-an Allah. Karena dilain pihak kita juga memahami bahwa hanya Allah Yang Maha Suci, dan semua ciptaanNya bisa kembali kepada Allah hanya mungkin kalau dia itu suci. inilah sulitnya menggambarkan tentang Allah dengan bahasa manusia, yang pasti tak lepas dari alam kebendaan, setiap ada sesuatu ada sesuatu lainnya. Dan Allah bukan sesuatu, namun manusia terpaksa menggambarkanNya dengan sesuatu. Apapun wujud sesuatu itu, karena mustahil kita meyakini yang tidak meyakini yang :tidak ada sesuatunya”. Umat Islam yang anti simbol sekalipun, juga “terpaksa“ menggunakan simbol minimal yaitu Ka’bah, Rumah Allah.

“…Ingatlah, kepunyaan Nya sajalah ciptaan dan perintah atau urusan”

(Al-Araf, ayat 54).

Menurut kaum sufi, ruh adalah lathifah dalam diri manusia, atau hembusan baik dalam hati. Akal tak akan sanggup mengetahui sifat hakikinya. Ruh Agung adalah apa yang disebut manusia yang masuk kedalam diri para nabi atau disebut juga sebagai “nur Muhammad”. Ia adalah manifestasi dari essensi Allah. Itulah sebabnya tak seorang pun dapat memperoleh makrifatnya kecuali atas perkenanNya. Menurut Sayyid Syah Ali Qalandar, Ruh datang ke dunia lahiriah dengan bakat untuk menyampaikan informasi dan pengetahuan Ilahiyah. Dan menurut sebagian ahli hadist, fiqh, tasauf; Ruh bukan Jiwa.

Ruh adalah sinar ruhaniyah, nur Illahi, unsur Illihaiyah, dipagari oleh malaikat. Melalui ruhlah, segala hidayah dan taufik Allah diturunkan. Ruh adalah rahasia karena ia adalah “min amri rabbi”. Ruh tidak mati (abadi) dan tidak mendapat cobaan. Ruh mempunyai “bentuk jasadnya” seperti manusia bersangkutan namun dalam keindahan. Ruh diciptakan dari bangsa malaikat (malakut) dan jiwa yang diterangi oleh “cahaya”. Melalui sarana dan kekuatan ruh, manusia dapat menjadi manusia berahlak mulia.

Menurut Al Gazali, dalam Ihya Ulum al-Din, ruh dibedakan atas dua kategori. Pertama, ruh yang berhubungan dengan jazad, ia berhubungan erat dengan jantung dan beredar sesuai dengan peredaran darah. Ruh dalam kategori ini juga menjadi sumber penginderaan. Ruh laksana pelita yang memancar keseluruh penjuru rumah. Kedua, adalah ruh sebagai sesuatu yang ghaib/ halus dalam diri manusia, yang memungkinkan mengetahui dan mempersepsi (al-lathifah al-alimah al-mudrikah min al-insan). Ia sama dengan pengertian hati sebagai bagian halusnya (al-qalb), sebagai sesuatu yang halus yang memiliki sifat ketuhanan dan keruhanian (lathifah rabbaniyyah ruhaniyyah).

Dari semua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa Ruh adalah suatu sarana bagi manusia yang memungkinkan setiap diri manusia mampu mengenal Tuhan, ajaran dan ilmu-Nya. Karena itu ruh dapat menimbulkan kekuatan (energi) pada naluri dan kehendak manusia berkehendak dengan rasa cinta untuk “bertemu” atau “kembali” kepada-Nya.

“Allah telah menuliskan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan Ruh Nya” (Al-Mujadilah, ayat 22).

Melalui ruh yang ada dalam setiap diri manusia itulah, Allah dapat menyampaikan ajaranNya secara langsung kepada setiap manusia. Al-Qur’an, sebagai wahyu yang disampaikan melalui nabi, yang berupa wujud “fisik” kata dan tulisan atau bacaan; Al Kitab atau Al-Qur’an), pada dasarnya merupakan essensi dalam bentuk tulisan dari ajaran Allah. Atau dapat dianggap sebagai cermin dalam manusia memahami ajaran Allah, sedangkan “ruh” adalah cahaya-Nya. Begitu manusia membaca Al-Qur’an, ia akan mampu memahami maknanya, kalau jiwa yang mendengar ajaran atau suara dari ruh”. Kualitas cahaya ruh yang menerangi jiwa ” , menentukan kualitas pemahaman jiwa dalam memahami makna ayat-ayat Kitab Suci Al-Qur’an. Bahkan “kekuatan ruh yang didayagunakan dengan tepat, akan mampu memberikan tambahan kekuatan atau enersi dalam diri manusia, menyehatkan tubuh fisik, ruhani dan kemudahan upaya.

Dalam kaitan bagaimana Allah melakukan penilaian terhadap hasil upaya atau pengamalan manusia, merupakan hal yang sangat mudah bagi Allah untuk menghitungnya. Karena perangkat untuk menilai segala amal perbuatannya telah melekat pada diri dari setiap orang, yang akan mencatat dan menghitung “pahala dan dosa” di setiap waktu. Dalam kaitan ini, dalam diri setiap manusia bahkan setiap “atom” di alam semesta, adalah semacam “Personal Computer (PC)” yang lengkap, yang di dalamnya telah ada program Allah yang telah di “set up” pada setiap wujud. Keseluruhan “PC setiap wujud termasuk PC setiap manusia” disambungkan/link/interconnected (LAN) dengan “Super Computer Allah” yang terletak di Lauh Mafuzh. Karena itu adalah wajar bila setiap “gerak”, bahkan setiap “jatuhnya daun”, tak ada yang luput dari “pengetahuan Allah”.

Karena itu setiap perbuatan manusia dengan mudah akan selalu dapat dihitung setiap saat. Dan dalam diri manusia itupun ada “ruh” yang bagaikan “program” yang dapat mengakses “ajaran dan ilmu Allah”. Selain daripada itu perlu disampaikan bahwa DNA manusia pada dasarnya berisi program jasad fisik manusia. Karena itulah maka melalui DNA, manusia dapat diduplikasikan. Itulah istimewanya keseluruhan ciptaan Allah yang dapat kita gambarkan melalui temuan teknologi maupun bioteknologi. Karena itu betapa mudahnya Allah, untuk menetapkan dan menghitung serta mengakses semua ketentuan, kriteria, dan informasi dari seluruh alam dan mahluknya.

“Dan pada sisi Allah kunci kunci yang ghaib, tidak ada yang mengetahu selain Dia. Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan diketahuiNya (juga). Dan tiada sebutir biji bijian dalam kegelapan bumi dan tiada yang basah dan yang kering melainkan tertulis dalam Kitab yang terang (Kitaabim Mubiin)”

(Al- An’aam, ayat 59).

Melalui abstraksi di atas, yaitu dengan melakukan analogi antara sistem computer dengan manusia dan alam semesta, dapat mempermudah kita untuk memahami bagaimana Allah dapat mengendalikan semua sistem kehidupan. Melalui penemuan “teknologi komputer” dapat difahami bagaimana “program software” komputer yang ada dalam setiap jiwa manusia dan setiap unsur alam yang terhubungkan dengan “ program pada super sofwarenya Komputernya Allah” yang ada Lauh Mafuzh . Maka Allah dengan mudah mengakses semua data kehidupan ciptaanNya. Sehingga satu lembar daun atau biji sebesar zarrah yang jatuh, Allah dapat mengetahuinya.

Ini baru temuan teknologi komputer, dan kalau ditemukan teknologi yang semakin canggih, maka kita akan semakin mudah memahami “ajaran ilmu Allah”. Suatu “hikmah” yang hanya dimungkinkan untuk lebih memahami ajaran Allah dimasa kini, jauh apabila dibandingkan dengan kalau kita harus memahaminya di masa lalu.

Apa yang disampaikan masih yang berkaitan dengan kehidupan yang terkena dengan dimensi; materi, ruang dan waktu, dan belum lagi kalau kita memasuki dimensi di atas itu (dimensi “ghaib”, non-materi). Ajaran Allah, kalau kita dalami justru diarahkan pada setiap individu melalui pemahaman yang subyektif dan spesifik, karena itu ukuran normatif sebenarnya tidak terlalu diperlukan. Kalaupun diperlukan hanyalah sebagai jembatan keledai”, untuk memudahkan kita memahami, tetapi perlu diketahui bahwa bukan itu bukan kebenaran yang sejati. Dan kita tidak boleh lengah atau terjebak pemahaman yang menyebabkan kebuntuan pemahaman hingga menyesatkan. Manfaat suatu ajaran adalah pemahaman dan itu tidak berarti kalau pemahaman tersebut tidak diamalkan dalam kehidupan nyata.

Apapun bentuk pemahaman agama Islam sesorang, tidak menjadi masalah, namun setelah dilakukan upaya dengan sungguh sungguh. Karena pemahaman tersebut merupakan suatu proses yang berkelanjutan. Melalui pemahaman tersebut yang kemudian diamalkan dan hasil pengamalan itu dievaluasi, maka hasilnya akan memberikan masukan kedapan bagi seseorang untuk dapat lebih menghayati ajaran agama Islam lebih mendalam. Sehingga yang bersangkutan dapat melakukan penyempurnaan dan pendalaman terhadap pemahaman Ajaran Islam dari yang sebelumnya. Demikian dilakukan seterusnya. Demkian perlu dilakukan terus menerus sehingga dapat ditemukan pemahaman yang baik dan benar disisi Allah. Dan juga dapat diamalkannya pemahaman itu secara tepat, baik dan benar.

Siapakah yang berhak menyatakan bahwa pemahaman dirinya tentang ajaran Allah telah final, atau telah baik dan benar? Kita umat manusia pada umumnya (kecuali nabi), pada dasarnya sedang dalam proses, yaitu proses belajar yang tiada henti, yang kita lakukan sepanjang usia, hingga kita mengakhiri hidup kita. Melalui pola pikir ini, maka wujud keberhasilan seorang beragama dalam kaitan hubungannya dengan sesama umat, sesama manusia adalah ahlak atau perilaku mulia dalam kehidupan nyata. Dan kalau kita benar benar sampai pada tingkatan itu, maka kita tidak akan merasa apalagi mengakuinya ataupun mempersalahkan pemahaman orang lain. . Hanya saja kita dapat melihat ciri cirinya, selalu merasakan kebahagiaan dalam kehidupn ini.

Apakah dengan adanya kebebasan bagi individu melakukan pemahaman ajaran agama secara sendiri-sendiri, akan melahirkan kesimpang-siuran pemahaman, dan lalu muncul anarki sehingga terjadi chaos?

Kita mulai beragama tidak dari titik nol, tetapi memulainya dengan apa yang telah berkembang, apapun perkembangan itu. Apa yang disampaikan di sini bukanlah suatu perombakan berpikir keberagamaan dari titik awal, melainkan merupakan upaya untuk memertajam, memperdalam dan upaya memperbaiki pemahaman. Adanya tatanan keberagamaan bersama, dapat saja terus di ikuti namun dalam konsep atau kerangka berpikir yang baru.

Penghayatan atau kemampuan untuk melaksanakan ajaran Islam dari setiap diri seseorang akan berbeda beda dengan umat yang lain, karena kita diberikan fitrah oleh Allah, mahluk manusia yang berbeda satu sama lainnya. Bahkan masing masing umat berbeda tugas dan fungsi masing-masing dalam kehidupan ini. Dalam hal ini, perbedaan dimulai sejak kita memahami ajaran Islam, termasuk bagaimana kita memahami suara ruh, ajaran Ruh Dzat Allah. Bagaimana kita mendudukan diri antara pemahaman kita terhadap “ruh” dan semua ilmu yang dikembangkan manusia dalam upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah, pada dasarnya adalah untuk mendapatkan “hikmah dan ilmu” dari Allah.

Secara teoritis apabila kita telah berhasil memahami ajaran Allah dengan baik dan benar, maka akan mudah bagi kita untuk “mendudukkan diri” kita. Kalau saja kita telah “tahu”, maka dengan sendirinya mudah bagi kita untuk “memotivasi” diri guna merealisasikan apa yang kita tahu. Meskipun tetap saja, upaya untuk “mendudukkan diri” itu sendiri merupakan masalah lain yang perlu didalami lebih lanjut.

Penulis dalam kaitan dengan ruh ini , mempunyai pemahaman bahwa pada saat manusia meninggal, ruh langsung kembali kepada Allah, sedangkan jiwa masih harus mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan selama menjalankan tugas kehidupannya didunia.